Minggu, 12 April 2009

SEMANGAT POPULIS PARTAI DAKWAH


"Dua pendeta jadi caleg PKS," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mardani.

Dengan menjadi terbuka, Partai Keadilan Sejahtera menargetkan masuk tiga besar dengan 20 persen suara. Sebuah kajian melihat hal ini mustahil.

Perubahan rezim pada 1998 dan keterbukaan sesudahnya membuat berbagai gerakan bawah tanah penentang Order Baru tak punya alasan lagi untuk bertahan sembunyi-sembunyi. Mereka malah melihat peluang. Satu per satu bermunculan. Jamaah Tarbiyah, kelompok Islam yang sering dianggap berwatak "fundamentalis", penganut ajaran pendiri pergerakan Ikhwanul Muslimin dari Mesir, Hasan al-Banna, termasuk di antaranya.

Di permukaan itu, pada Juli 1998, aktivis-aktivis Jamaah Tarbiyah memproklamasikan berdirinya partai politik berdasarkan ideologi Islam dengan nama Partai Keadilan. Ini merupakan langkah yang 12 tahun mendahului rencana awal yang mereka gagas sebagai Visi 2010 pada Maret 1998. Sebenarnya, praktis belum ada persiapan apa pun untuk sampai ke sana. Karena itulah sikap para aktivis Tarbiyah sempat terbelah ketika rencana pendirian partai hendak dipercepat. "Tapi, (hasil) jajak pendapat internal kita, 70 persen mengatakan inilah momentumnya," kata Untung Wahono, salah seorang pendiri Partai Keadilan, kepada Tempo.

Partai Keadilan, di bawah pimpinan Nurmahmudi Ismail (kini Wali Kota Depok, Jawa Barat), ikut pemilihan umum legislatif pada 1999. Tapi mereka hanya sanggup meraih tujuh kursi Dewan Perwakilan Rakyat—setara dengan 1,36 persen suara. Meski perolehan suara itu menempatkan mereka di urutan ketujuh, dari 48 partai, mereka gagal lolos electoral threshold, batas minimal untuk ikut pemilu lagi.

Pada 20 April 2002, sebuah partai baru dibentuk, bernama Partai Keadilan Sejahtera. Setahun kemudian, Partai Keadilan melebur ke dalam partai baru itu. Hidayat Nur Wahid memimpin sebagai ketua umum (mereka menyebutnya presiden) dan Anis Matta sebagai sekretaris jenderal. Pada Pemilu 2004, dengan 7,34 persen suara dan 45 kursi Dewan—kenaikan yang signifikan—Partai Keadilan Sejahtera masuk lima besar partai pengumpul suara terbanyak.

Partai Keadilan Sejahtera boleh dibilang merupakan fenomena baru politik aliran di Indonesia. Pengamat politik Kevin Evans mengkategorikannya sebagai yang paling "kanan" dari kelompok "Bintangis". Hal ini terlihat dari sikapnya yang tak mau berpolemik soal Piagam Jakarta. Alasannya, Partai Keadilan Sejahtera enggan bermain di "kulit", karena yang penting adalah memperjuangkan substansi nilainya, bukan sekadar simbolisme Islam. Oleh partai, syariah diterjemahkan dalam bahasa praktis yang lebih bisa diterima, seperti adil, bersih, dan antikorupsi.

Menurut Agus Purnomo, politikus muda Partai Keadilan Sejahtera, Jamaah Tarbiyah telah mengalami beberapa tahap transformasi pemikiran hingga menjadikannya lebih "ramah lingkungan". Mereka berhasil lepas dari trauma persepsi bahwa negara itu musuh. Tarbiyah di Indonesia bahkan menjadi model bagi gerakan Islam di beberapa negara. "Memang ada yang masih memilih sikap konfrontatif terhadap negaranya dengan membentuk semacam DI/TII di kita dulu," kata Agus.

Di masa lalu, kesan eksklusivitas dan sejarah radikalisme yang menjadi akar ideologi kelompok itu menjadi dasar bagi rezim Orde Baru untuk senantiasa memantau gerak-gerik mereka. Jika ditelusuri, gerakan mereka terilhami oleh aktivis Ikhwanul Muslimin dari Mesir yang dianggap radikal. Sejumlah pelajar yang dikirim ke Timur Tengah oleh tokoh Masyumi, Muhammad Natsir, menjadi benih gerakan.

Di Tanah Air, pemikiran politik tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dikembangkan oleh sekelompok mahasiswa di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung. Serial pemikiran tokoh-tokoh itu terus diterbitkan oleh Pustaka Salman dan berbagai model pembinaan (tarbiyah) berbentuk halaqoh atau usroh—semacam lingkaran-lingkaran diskusi. Belakangan, ini dikenal sebagai "mazhab" Salman dengan tokohnya M. Imaduddin Abdulrahim.

Represi rezim Orde Baru yang menormalisasi kehidupan kampus—dimulai dengan pendudukan kampus Institut Teknologi Bandung oleh tentara pada 1978—secara tidak langsung justru menyuburkan usroh. Saat dewan mahasiswa "dimatikan", para aktivisnya, terutama dari kalangan Himpunan Mahasiswa Islam, memindahkan pusat kegiatannya ke masjid.

Saat itu, bagi mahasiswa, negara adalah musuh. Sikap yang kian menjauhkan mereka dari negara ini bertumpu pada pemikiran Hasan al-Banna yang mengharamkan partai politik. "Hampir bisa dipastikan kami semua memilih golput (golongan putih) di masa itu," kata Untung.

Baru belakangan masuk pemikiran tokoh Ikhwanul Muslimin lain seperti Sayyid Qutb, disusul Yusuf Qardawi, yang menerima konsep negara nasional dan ide demokrasi sebagai cara memperjuangkan tujuan. "Demokrasi paling dekat dengan Islam," kata Untung.

Di Indonesia, menurut Untung, pemikiran Jamaah Tarbiyah mengalami "domestifikasi" setelah berinteraksi dengan pandangan politik tokoh lokal. Di fase selanjutnya, pengaruh Kuntowijoyo mengenai "obyektivikasi Islam"—di antaranya mengakui adanya pluralitas suku, agama, ras, dan golongan—pada 1990-an menjadi landasan transformasi Jamaah Tarbiyah. Aktivis masjid kampus inilah modal awal berdirinya Partai Keadilan Sejahtera.

Sebagai partai kader, Partai Keadilan Sejahtera punya modal organisasi yang ideal: hardware-nya model pengkaderan ala usroh-nya Hasan al-Banna, dengan software-nya obyektivikasi Islam ala Kuntowijoyo. Hal lain yang diunggulkan adalah program kesalehan individual kadernya. Ada mekanisme kontrol di komunitas ini yang memungkinkan murobi (guru) mengawasi mutarobi (murid-muridnya).

Pada Pemilu 2009, mereka menargetkan 20 persen suara dan masuk tiga besar. Mereka siap berkoalisi dengan Partai Demokrat, Golkar, PDI Perjuangan, dan partai menengah lain. Sebanyak 800 ribu kader solid dan militan sebagai mesin politik membuat Partai ini sebagai pilihan pertama koalisi. "Kalau 20 persen tercapai, kami akan mengusung calon presiden sendiri," kata Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring.

Namun, merujuk kajian Greg Barton, target 20 persen hampir mustahil tercapai. Menurut Barton, pemilih kategori "Islam radikal"—termasuk Partai Keadilan Sejahtera—tak lebih dari 14 persen. Karena itu, jangan heran melihat "akrobat" Partai ini mengerek popularitas: memasang iklan mempahlawankan Soeharto hingga menampilkan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang kontroversial itu.

Semua itu bagian kecil dari upaya mereka menampilkan diri sebagai partai populis, sebagai partai terbuka. Pesannya: Partai Keadilan Sejahtera bisa bergandengan dengan yang hijau, kuning, biru, bahkan merah. Inti dari semuanya adalah melebarkan sayap, tak terkecuali ke floating mass. Sebagai partai Islam, Partai Keadilan Sejahtera bahkan tak segan merangkul kalangan nonmuslim. "Dua pendeta jadi caleg PKS," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mardani.

Comments :

1
Hidayat mengatakan...
on 

Wahai saudaraku PKS, tidakkah Anda sadar setiap perbuatan pasti akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah pada Hari Kiamat kelak?

 

Copyright © 2009 by Tiada Kemulian Tanpa Islam