tag:blogger.com,1999:blog-36579698928566547712024-03-12T22:42:23.742-07:00Tiada Kemulian Tanpa IslamSelamatkan Indonesia Dengan Syari'ahHidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.comBlogger64125tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-59987387389299600302012-01-31T20:28:00.000-08:002012-01-31T20:31:14.897-08:00Riba dan Makanan Haram Menutup Semua Pintu DoamuKita sering kali merasa sudah lengkap berdoa. Terkadang bahkan merasa telah lelah bermemunajat, namun mengapa Allah tidak pula memperkenankan. Permohonan dan permintaan tidak pula Dia kabulkan. Kadang kecewa dan putus asa bila demikian adanya. Bahkan timbul penilaian, Allah telah ingkar janji dengan perkataan-Nya sendiri. Padahal Dia telah menyatakan, "Ud'uunii astajiblakum", berdoalah kepada-Ku, niscaya Ku-kabulkan. Tapi mana buktinya!<br /><span class="fullpost"> <br />Inilah ucapan orang-orang yang tidak pernah mempelajari Al-Qur'an dan Al Hadits. Mereka tidak mengerti bahwa berdoa itu tidak dikerjakan secara sembrono dan sembarangan, tetapi perlu adab-adab dan syarat-syarat tertentu. Mereka menganggap berdoa itu pekerjaan yang sepele dan gampang. Sehingga mereka sering meremehkan dan akibatnya doa tak pernah terkabulkan. Kemudian timbul persangkaan buruk kepada Allah.<br /><br />Jadi, apa yang menyebabkan doa tidak dikabulkan? banyak hal yang menyebabkan permohonan dan permintaan tidak dikabulkan? Banyak hal yang menyebabkan permohonan dan permintaan tidak diperkenankan Allah. Sudahkan kita menghindari perut kita dari makanan dan minuman yang diharamkan Allah? Bila masih tatap saja perut kita terisi dengan hal-hal yang haram, tentulah doa yang kita panjatkan tak pernah Allah kabulkan.<br /><br />Sesuap makanan saja, akan mengakibatkan doa kita selama 40 hari tidak terkabul, apabila bila makanan haram yang masuk ke perut kita lebih dari sesuap bahkan berkali-kali sehingga tak terhitung lagi, sudah tentu sampai matipun kita berdoa, Allah tak akan mengabulkannya.<br /><br />Pada suatu hari Saad bin Abi Waqqas bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, doakan aku kepada Allah agar aku dijadikan Allah orang yang makbul doanya." Rasulullah menjawab, "Hai Saad, makanlah yang baik, (halal) tentu engkau menjadi orang yang makbul doanya. Demi Allah yang memegang jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang yang pernah melemparkan sesuap makanan haram ke dalam mulutnya (perutnya), maka tidaklah akan dikabulkan doanya selama selama 40 hari. Siapa saja manusia yang dagingnya tumbuh dari makanan yang haram, maka nerakalah yang berhak untuk orang itu." (HR. Alhaafidh Abubakar bin Mardawih dikutip oleh Alhaafidh Ibnu Kathin dalam tafsirnya).<br /><br />Untuk itu agar doa dikabulkan Allah, perlu pengetahuan dalam tata cara berdoa yang diberitakan Rasulullah. Bagaimana sunnahnya agar permohonan dan permintaan diperkenankan.<br /><br />Langkah pertama, hindari perut dari kemasukan barang-barang haram.<br /><br />Jangan sampai sesuap pun makanan haram yang kita telan. Jangan setegukpun minuman haram yang kita minum. Selektiflah dalam memilih makanan, yang meragukan sebaiknya ditinggalkan. Pilih saja makanan atau minuman yang benar-benar halal dan baik.<br />Allah berfirman, "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah : 168)<br /><br />Memakan makanan yang halal dan baik merupakan salah satu bentuk dari ketaatan kita kepada Allah dalam memenuhi segala perintah-Nya. Bila kita selalu taat kepada Allah dan dalam mengarungi kehidupan ini senantiasa berada dalam kebenaran, tentulah segala apa yang kita mohon, kita panjatkan, dan kita minta pastilah Allah akan mengabulkannya.<br /><br />وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ<br />"Aku mengabulkan mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaku maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahKu dan hendaklah mereka berikan kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. al-Baqarah :186)<br /><br />Langkah kedua, karena doa ini pekerjaan yang agung dan sangat utama, sebagai inti ibadah, maka dalam pelaksanaannya harus khusyu'dan serius tidak dengan main-main. Usahakan dalam berdoa ini dengan penuh keyakinan, penuh harap dan rasa takut. Merendahkan diri dengan suara yang lirih, tenang, tidak tergesa-gesa, dengan keimanan, dan tahu akan hakikat yang diminta.<br />Allah telah menyatakan;<br />ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ<br />"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut .." (QS. al-A'raf : 55)<br /><br />Langkah ketiga, mengetahui waktu-waktu doa dikabulkan. Walaupun berdoa ini bisa dilakukan sembarang waktu, namun ada waktu-waktu yang memang disunnahkan. Insya Allah pada waktu-waktu ini segala doa akan diperkenankan dan dikabulkan.<br /><br />Di tengah malam yang sunyi di mana orang-orang terlelap dengan tidurnya, ditemani mimpi-mimpi, kita terjaga, berdiri, ruku', sujud, dan memunajat kepada-Nya dengan penuh kekhusyukan dan penuh harap, tentulah Allah akan mendengar dan memperkenankan ratapan, permintaan, dan permohonan kita.<br /><br />Di akhir-akhir shalat fardhu, di waktu tahiyyat akhir (sebelum), adalah waktu-waktu yang sangat tepat untuk berdoa. Doa apa saja, yang mengarah pada kebaikan, tentu Allah akan mengabulkannya. Rasulullah SAW ditanya, "Pada waktu apa doa manusia lebih didengar Allah?" Lalu Rasulullah menjawab, "Pada tengah malam, pada akhir tiap shalat fardhu." (Mashabih Assunah).<br /><br />Selain tengah malam dan akhir shalat fardhu, ada juga waktu-waktu yang dimakbulkan doanya sudah tidak diragukan lagi, dan ini pun merupakan sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Seperti di sepertiga malam sampai fajar, diantara adzan dan iqamat, di waktu sujud, di bulan Ramadhan, dan di malam lailatul qadar.<br /><br />Langkah keempat, orang-orang tertentu yang dikabulkan doanya.<br /><br />Walaupun setiap orang yang berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan memenuhi persyaratan-persyaratannya akan dikabulkan, namun ada orang yang doanya dijamin diperkenankan Allah. Setiap ratapan doanya didengar dan dikabulkan. Segala permintaan dan permohonannya mesti diberikan tanpa terkecuali. Allah ridha kepada mereka dan begitu menaruh perhatian yang sangat. Allah istimewakan mereka, karena pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada tara, akhlak yang mulia dan juga ketabahannya dalam menapaki kebenaran.<br /><br />Allah istimewakan kedua-orangtua yang mengasuh, mendidik, dan menafkahi anaknya dengan penuh kasih sayang. Mereka bimbing anaknya menuju jalan yang diridhai Allah, sampai usia anak dewasa. Orang tua seperti inilah yang segala permintaan dan permohonannya dikabulkan.<br /><br />Musafir yang bepergian untuk maksud baik dan tujuan mulia, orang yang menolong orang lain yang dalam kesempitan, seorang muslim yang mendoakan teman-temannya yang tidak hadir, dan orang shalih, doanya akan diperkenankan dan dikabulkan Allah SWT. Seperti halnya orang tua yang mangasuh anaknya tadi.<br /><br />Di samping orang-orang yang telah disebut di atas yang dikabulkan doanya, ada juga doa orang-orang yang diangkat Allah ke atas awan, dibukakan pintu langit, dan Allah tidak menolak doanya, yaitu orang yang berpuasa sampai dia berbuka, penguasa yang adil dan orang yang teraniaya.<br /><br />"Ada tiga orang yang tidak ditolak doa mereka: orang yang berpuasa sampai dia berbuka, seorang penguasa yang adil, dan doa orang yang teraniaya. Doa mereka diangkat Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, 'Demi keperkasaan-Ku, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Attirmidzi)<br /><br />Dari rangkaian ulasan tentang doa di atas, nyatalah bahwa berdoa itu tidak sembarangan dan main-main, tapi memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sehingga janji-janji Allah yang akan mengabulkan doa-doa hamba-Nya akan menjadi kenyataan. namun harus diingat bahwa Allah dalam mengabulkan doa seseorang hamba, ada yang langsung terkabul di dunia, ada yang ditabung sampai di akhirat, dan ada pula diganti dengan mencegahnya dari bencana.<br /><br />Kelima, adalah masalah riba<br /><br />Allah sangat membenci riba dan inilah yang sering menjadi penghalang pintu doa kita kepada Allah.<br /><br />Dalam Surat Ali Imran 130 yang bunyinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.“<br /><br />Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Ada seorang yang menengadahkan tangannya ke langit berdoa, “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, pakaiannya haram, dan daging yang tumbuh dari hasil yang haram, maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.” (HR.Muslim)<br />Rasulullah pernah menjelaskan dosa-dosa riba. Dan yang paling ringan adalah seperti bersetubuh dengan ibu sendiri.<br /><br />“Riba itu memiliki tujuh puluh pintu dan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya sendiri.” (Riwayat Ibnu Majah).<br />Karena itu, jika kita sering berdoa tapi Allah masih belum mengabulkan juga. Jangan-jangan ada beberapa hal yang salah. Mungkin syarat-rukunnya salah, atau kita masih suka makanan haram dan bisa juga kita masih suka hal-hal berbau riba.<br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-13685040445667979292012-01-26T19:48:00.000-08:002012-01-26T19:57:33.091-08:00JILBAB DAN KHIMAR, BUSANA MUSLIMAH DALAM KEHIDUPAN UMUM<img src="http://n21imuth.files.wordpress.com/2011/03/slide1.jpg" align="left" width="160" height="115" /><br /><br />1. Pengantar <br />Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.<br /><span class="fullpost"> <br />Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu.<br />Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat –atau menggunakan bahan tekstil yang transparan-- tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.<br />Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.<br /><br />Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.<br /><br /><br />Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab-- sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat.<br /><br />Sabda Nabi SAW :<br /><br />“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145)<br /><br />“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)<br /><br /><br />2. Aurat dan Busana Muslimah<br /><br />Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.<br /><br />Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.<br /><br />Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.<br /><br />Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.<br /><br /><br /><br />a. Batasan Aurat Wanita<br /><br />Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT :<br /><br /><br />'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.' (QS An Nuur : 31)<br /><br />Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan). (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz III hal. 316).<br /><br />Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha) : “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan,’Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz XII hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).<br /><br /><br />Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi SAW sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW kepada Asma` binti Abu Bakar :<br /><br />'Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.' (HR. Abu Dawud)<br /><br />Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.<br /><br /><br />b. Busana Muslimah dalam Kehidupan Khusus<br /><br /><br />Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (QS An Nuur : 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) (HR. Abu Dawud). Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.<br /><br />Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar'i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.<br /><br />Namun demikian syara' telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.<br /><br />Mengenai dalil bahwasanya syara' telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :<br /><br />'Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.' (HR. Abu Dawud)<br /><br />Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.<br /><br />Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :<br /><br />'Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.'(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal. 441) (Al-Albani, 2001 : 135).<br /><br />Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda : 'Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.'<br /><br />Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara' telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.<br /><br />c. Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum<br /><br />Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.<br /><br /><br />Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.<br /><br />Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.<br /><br />Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung) . Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.<br /><br />Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (<br /><br />Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).<br /><br />Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.<br /><br />Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :<br /><br />'Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.' (QS An Nuur : 31)<br /><br />Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :<br /><br />'Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.' (QS Al Ahzab : 59)<br /><br />Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu 'Athiah RA, bahwa dia berkata :<br /><br />'Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata,’Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Maka Rasulullah SAW menjawab: 'Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!'(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).<br /><br />Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan :<br /><br />“Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).<br /><br /><br /><br />Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu 'Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab –untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.<br /><br />Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.).<br /><br />Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini –yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal-- diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda :<br /><br />“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’(yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” (HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (Al-Albani, 2001 : 89)<br /><br /><br />Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah --yaitu jilbab-- telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.<br /><br />Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-51)<br /><br /><br />3. Penutup<br /><br />Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam Al Qur`an.<br /><br />Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [ ]<br /><br /><br />Oleh : Ust. M. Shiddiq Al Jawi <br />DAFTAR BACAAN<br /><br />Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut Al-Qur`an dan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan ke-6. (Solo : At-Tibyan).<br /><br />----------. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man Khalafa Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi Satri Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Media Hidayah).<br /><br />Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu Tinjauan Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta : Gema Insani Press).<br /><br />Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).<br /><br />Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).<br /><br />Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)<br /><br />An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul Ummah).<br /><br />Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).<br /><br />Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan ke-5. (Solo : At-Tibyan).<br /><br />Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam Sholat (Hijab Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan ke-2. (Solo : At-Tibyan)<br /></span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-19063139685010576902011-01-27T18:50:00.000-08:002011-01-27T18:51:38.934-08:00Astaghfirullah, Siswi SMKN Melahirkan di Sekolah, Buah dari Sekularisme!Kebejatan yang menimpa sebagian generasi di negeri ini benar-benar berada di ambang kehancuran. Akibat sekularisme, ide pemisahan Islam dari kehidupan, telah menyebabkan kerusakan demi kerusakkan terjadi. Baru-baru ini dunia pendidikan kembali tercoreng, seorang pelajar SMK negeri di Madiun melahirkan usai UAS. <br /><span class="fullpost"> <br />Seperti dilansir detikcom, seorang siswi melahirkan di ruang UKS (Unit Kegiatan Sekolah) sekitar pukul 09.00 WIB, Kamis (16/12/2010). Siswi tersebut duduk di bangku kelas 11 jurusan administrasi perkantoran, SMKN 2 Madiun.<br />Bila seorang anak tersebut melahirkan sebagai hasil dari pernikahannya munkin tidak terlalu masalah. Tetapi di dalam sistem sekuler hari ini mana ada seorang pelajar sekolah diperbolehkan menikah? Memang ada upaya pernikahan dini dilarang, sementara perzinaan dibiarkan.<br /><br />Salah satu tenaga Bimbingan Konseling (BK) SMKN 2 Madiun, Heni mengaku berdasarkan dugaan dokter yang menangani siswi tersebut, usia kandungan baru berusia 7 bulan. <br /><br />"Usai ujian tadi kita kaget atas siswi tersebut yang melahirkan di ruang UKS. Dan dari keterangan dokter yang menangani persalinannya, usia kandungan baru 7 bulan," kata Heni saat di sekolah, Jalan MT Haryono.<br /><br />Heni menambahkan bahwa selama ini siswinya tersebut sehari-hari aktif dalam kegiatan intra maupun ekstra sekolah termasuk pelajaran olah raga. "Kalau dilihat dari absensinya ia tetap aktif dalam kegiatan sekolah, bahkan ia tetap aktif dalam kegiatan olah raga. Jadi sama sekali tidak ada tanda tanda jika dia hamil," tutur Heni.<br /><br />Kasus ini bukanlah hal yang baru mencoreng dunia pendidikan. Beberapa waktu lalu seorang siswi yang melahirkan di sekolah tega membunuh bayinya sendiri akibar dari pergaulan bebas yang dia lakukan [baca: Kegagalan Pendidikan Sekuler: Pelajar Hamil dan Bunuh Bayinya Sendiri ].<br />Apa yang menimpa siswi di SMKN 2 Madiun ini hanya menambah deretan korban generasi muda menyusul siswi SMAN 12 Surabaya, dan siswi-siswi lainnya yang terjerat pada pergaulan bebas. Sungguh sangat miris, data terakhir dari BKKBN yang menyatakan lebih dari separuh remaja di Jabodetabek telah melakukan perbuatan bejat tersebut. Entah sampai berapa banyak lagi berjatuhan korban yang sama?<br /><br />Menuai Hasil!<br /><br />Ibarat orang yang menanam pohon, maka ia akan menuai hasil pula. Demikianlah, penanaman ide-ide kebebasan dan demokrasi yang bersumber dari sekularisme serta pencampakkan Islam sebagai jalan hidup telah menuai hasil: maraknya perilaku hewani di kalangan generasi muda di negeri ini.<br />Memang banyak faktor yang menyebabkan peningkatan pergaulan bebas di kalangan remaja tersebut. Diantaranya:<br />1. Hilangnya ketaqwaan dan keimanan sebagai buah dari pendidikan sekular. Pendidikan agama sangat terbatas bahkan hanya sebatas ritual semata. Islam pun tidak mendasari pelajaran-pelajaran lainnya yang akan memicu buah ketakwaan. <br />2. Merebaknya contoh-contoh perilaku yang bejat seperti pacaran dan bercumbu secara terbuka melalui televisi-telivisi. <br />3. Lingkungan sekolah yang lepas pembinaan dan lepas kontrol, bahkan terkadang pacaran, berduaan dan pakaian yang mengumbar aurat difasilitasi melalui beberapa kegiatan esktrakurikuler yang campur baur. <br />4. Lingkungan masyarakat yang rusak dan jauh dari tatanan Islam, lemah ketaqwaan dan lemah kontrol.<br />5. Keluarga sebagai media pembinaan pokok bagi anak telah dihancurkan. Pendidikan keluarga hilang, yang ada justru pendidikan "kurang ajar" dari sebagian acara-acara televisi yang merusak, dan hal itu dibiarkan oleh para orang tua kepada anak-anaknynya.<br />6. Penerapan kurikulum pendidikan internet yang telah mengenalkan internet kepada remaja, tanpa dibarengi dengan pendidikan ketakwaan serta tanpa disertai dengan upaya pencegahan terhadap efek negatif dari internet. Para pemegang kebijakan pun belum siap mengerem efek negatifnya dengan memblokir situs-situs maksiyat sementara internet telah diperkenalkan kepada para remaja dan dunia pendidikan. <br />7. Seiring dengan hal itu, merebaknya warung-warung internet hingga ke pelosok-pelosok perkampunya, tanpa ada sedikitpun upaya dari pihak berwenang untuk menghilang efek negatifnya seperti pemblokiran konten-konten yang tidak sesuai dengan syariat.<br />8. Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap para pelaku perzinaan, terbukti para pelaku perzinaan, bahkan ikut menyebarkan tindakan rusaknya itu, berkeliaran bebas tanpa terjerat sanksi yang tegas. Padahal di dalam Islam, sanksinya tegas: hukum rajam hingga meninggal bagi pelaku zina yang sudah berkeluarga dan hukuman cambuk di muka umum bagi para pelaku zina yang belum berkeluarga.<br />9. Berkeliarannya para perusak negeri untuk meraup keuntungan sekaligus mempromosikan konten-konten yang rusak dengan mengatasnamakan hiburan. Mereka tidak takut lagi untuk membuat sinema dan sinetron dengan mempromosikan para pelaku zina ke negeri ini.<br />10. Sistem campur baur (ikhtilath) di beberapa lingkungan termasuk pendidikan, menyebabkan interaksi antara laki-laki dan perempuan semakin sering, tanpa dibarengi pemahaman tentang sistem pergaulan dalam Islam<br />11. Merebaknya para remaja puteri yang berpakaian tanpa pakaian (mengumbar aurat) sebagai hasil dari pendidikan mereka di keluarga yang miskin keimanan. Pendidikan keluarga telah beralih kepada 'pendidikan' yang mengacu kepada para selebritis yang tampil di televisi-telivisi yang seringkali mengumbar auarat. <br />12. Orang tua, masyarakat, dan para penguasa terlalu banyak mengabaikan syariah Islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam sistem pergaulan dalam Islam, dll. <br />Masih banyak lagi faktor-faktor lainnya, tetapi paling tidak merebaknya kerusakkan ini karena negeri ini terlalu banyak mengabaikan aturan-aturan Allah Swt. “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada harikiamat dalam keadaan buta.” (Thaahaa: 124).<br />Sistem Pendidikan sekuler saat ini telah gagal untuk mendidik generasi yang bertaqwa. Alih-alih berperilaku mulia sebagai seorang pelajar, seringkali para pelajar di negeri ini berperilaku kurang ajar. Buktinya, mengapa pergaulan bebas tersebut marak di kalangan remaja yang tiada lain adalah para pelajar. <br /><br />Pencampakkan Islam sebagai sebuah sistem hidup serta pembanggaan terhadap ide-ide kebebasan dan demokrasi telah membuat generasi di negeri ini tidak memahami cara bergaul dalam agama mereka. Apakah para remaja diajarkan tentang sistem pergaulan Islam di sekolah-sekolah mereka? Tentu saja tidak ada porsi untuk itu. Wajar sekiranya mereka gelap dengan aturan-aturan Islam terkait sistem pergaulan dalam Islam. <br /><br />Meningkatnya pergaulan bebas ini sejalan juga dengan pemaksaan ide-ide kebebasan terhadap generai melalui berbagai media. Termasuk di dalamnya pembiaran para pemegang kebijakan yang tak mampu menyelamatkan generasi muda masa depan negeri ini. <br /><br />Tengok saja, pacaran sebagai awal dari perzinaan telah diajarkan di rumah-rumah melalui televisi. Melalui sinetron, sinema, realty show, konser musik, dan beberapa acara televisi lainnya secara langsung ataupun tidak langsung telah mengajarkan pola hidup bebas serta cara bergaul yang jauh dari nilai-nilai Islam.<br /><br />Merebaknya konten-konten yang cabul baik melalui internet, sinema dewasa yang dibiarkan turut serta menghancurkan generasi muda kita. Perzinaan biasanya diawali oleh aktivitas pacaran. Pacaran inilah yang tiap hari dijejalkan melalui sinetron-sinetron televisi kepada anak-anak kita. Adegan bercumbu, berciuman, mengumbar aurat, telah mengotori rumah-rumah kaum Muslim. <br /><br />Sex Education: Solusi Bodoh!<br /><br />Melihat merebaknya pergaulan bebas di kalangan remaja, sebagian seolah menutup mata terhadap akar persoalan yang menimpa mereka. Beberapa solusi palsu ditawarkan tanpa sedikitpun menyentuh kepada akar persoalannya. sebut saja, gagasan memasukkan Pendidikan Sex (Sex Education) ke dalam kurikulum dianggap memberikan solusi. Padahal, langkah tersebut malah akan semakin menambah perilaku rusak tersebut. <br /><br />Di Inggris, sex education yang diterapkan bukannya memberkan solusi, malah perbuatan hewani akhirnya terjadi di kalangan anak-anak belia. Seorang anak berusia delapan tahun sudah melakukan kejahatan permerkosaan terhadap teman sebayanya. Bahkan ketika pergaulan bebas di kalangan anak-anak (bukan remaja) ini merebak, belakangan malah digagas kembali Sex Education untuk usia lima tahun [baca: Akibat Sex Education: Anak Umur Delapan Tahun telah Melakukan Kejahatan Pemerkosaan]. <br /><br />Solusi bodoh lainnya yang sering dilontarkan oleh para 'aktivis kebebasan' adalah solusi ABCDE terkait meningkatnya para pengidap HIV/AIDS. Salah satu solusi rusak itu adalah penggunaan dan penyebaran alat kontrasepsi (condom). Penggunaan alat kontrasepsi juga terkadang sudah dikenalkan kepada para remaja, diantaranya melalui kurikulum Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang disisipkan ke sekolah-sekolah.<br />Sekali lagi, akar persoalan merebaknya perzinaan di kalangan pelajar adalah telah hilangnya nilai-nilai Islam dalam tingkah laku dan pola pikir mereka. Di waktu yang sama mereka terus menerus dijejali dengan ide-ide kebebasan plus tingkah laku rusak melalui berbagai media yang ada.<br />Solusi cerdas untuk menuntaskan persoalan ini bukan denganpenerapan sex education ala Barat, tetapi kembali kepada syariah Islam dengan penanaman akidah dan ketakwaan serta pendidikan sistem pergaulan dalam Islam. Islam memiliki solusi tuntas tentang masalah ini dengan solusi nikah atau solusi sistem pergaulan Islam.<br /><br />Terapkan Kurikulum Sistem Pergaulan dalam Islam Sekarang Juga! <br /><br />Perzinaan merupakan pemuasan yang keliru dari naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau). Naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani, di mana naluri tersebut muncul karena rangsangan dari luar. Ketika fakta-fakta yang merangsang naluri ini semakin meluas bahkan sengaja diperbanyak seperti pengumbaran aurat, aktivitas pacaran dan bercumbu di tengah masyarakat, tidak aneh bila sebagian manusia berusaha memenuhinya.<br />Ketika para remaja tidak memahami sistem pergaulan dalam Islam sekaligus miskin keimanan, maka mereka berupaya memenuhinya degan cara-cara Barat yang telah diajarkan di rumah-rumah mereka (melalui televisi dan fasilitas pribadi seperti hape) atau di sekolah (melalui aktivitas campur baur dengan teman-temannya) atau di warnet (kelas baru usai sekolah yang kian menjamur). Bagi usia remaja, ketika menikah dini dilarang oleh sistem yang ada, maka pacaran yang ujung-ujungnya dapat menuju pada perzinaan menjadi pilihan bagi mereka.<br />Sistem pergaulan dalam Islam telah memberikan seperangkat aturan yang mengatur interaksi antara perempuan dan laki-laki. Diantaranya:<br />1. Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun wanita, untuk menundukkan pandangan. <br />2. Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna, yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Mereka hendaknya mengulurkan pakaian hingga menutup tubuh mereka.<br />3. Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahram-nya.<br />4. Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.<br />5. Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya, karena suami memiliki hak atas istrinya.<br />6. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam masjid, di sekolah, dan lain sebagainya.<br />7. Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahram-nya atau keluar bersama untuk berdarmawisata.<br />8. Islam memberikan solusi ikatan pernikahan sebagai satu-satunya ikatan sah untuk memuaskan naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau).<br />Islam sebagai sebuah jalan hidup telah memberikan seperangkat aturan yang lengkap untuk mengatur sistem kehidupan ini, termasuk pergaulan. Sistem pergaulan dalam Islam semuanya diatur dengan landasalan keimanan dan ketakwaan.<br />Mengapa tidak ada upaya serius dari beberapa pihak terutama para pemegang kebijakan untuk menyelesaikan persoalan yang sangat kritis ini? Ingat, negara-negara kapitalis, baru-baru ini terungkap, diantara AS dan China telah memiliki rencana busuk untuk menjadikan negeri ini sekular. Para kapitalis meraup keuntungan dengan menghalalkan segala cara, tanpa melihat akibatnya yang dapat menghancurkan generasi. Bahkan bisa jadi kehancuran generasi itulah yang diharapkan, agar negeri ini terus dapat terjajah<br />Bila demikian adanya, masihkah para orang tua dan masyakarat membiarkan perusakkan generasi muda negeri ini? Siapa pun yang masih punya akal pikiran yang jernih tentu tidak mengingkan perusakkan generasi ini terus berlanjut. Sudah saatnya kembali kepada syariah. Kaum Muslim hanya membutuhkan satu kesatuan politik yang akan mengembalikan kehidupan Islam. Umat membutuhkan Khilafah yang akan menerapkan sistem Islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk sistem pergaulan.<br /><br />Untuk itu, sudah sepatunya negeri ini menerapkan syariah yang insya Allah akan menuntaskan segala persoalan yang menimpa negeri ini. Hanya dengan syariah dan khilafah inilah, Indonesia akan menjadi negeri yang menuai berkah, besar, maju, berwibawa dan terdepan di dunia. Insya Allah, umat merindukannya! <br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-30888603008986275432011-01-11T20:44:00.000-08:002011-01-11T20:47:37.248-08:00Demokrasi Melahirkan Banyak Pejabat ‘Kriminal’<img src="http://www.bangkapos.com/wp-content/uploads/2011/01/korupsi.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.” Demikian kutipan dari editorial sebuah media harian nasional (MI, 10/1/2011). Ini adalah sebuah ungkapan jujur tentang demokrasi. Sekalipun bukan hal baru, ungkapan tersebut mengingatkan kembali umat Islam tentang hakikat dan fakta dari sistem demokrasi yang diadopsi oleh negeri ini.<br /><span class="fullpost"> <br />Dalam berbagai forum, Indonesia mendapat pujian sebagai negara demokratis. Namun, apakah dengan status demokratisnya negeri ini telah mampu melahirkan kepemimpinan yang amanah? Apakah demokrasi bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya?<br /><br />Tentu, kita merasa miris kalau melihat fakta aktual: sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka. Kebanyakan tersangkut kasus korupsi. Bahkan sebagian dari pemenang Pilkada 2010 berstatus tersangka dan meringkuk di penjara. Contoh nyata, Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar terpilih menjadi Walikota Tomohon-Sulut periode 2010-2015 dan dilantik oleh Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, pada rapat paripurna istimewa DPRD Tomohon, di Jakarta, Jumat (7/1). Padahal Jefferson sedang duduk di kursi pesakitan; ia dijadikan tersangka oleh KPK karena tindak pidana Korupsi. Yang lebih menggelikan, Jeferson lalu dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Baik yang melantik dan yang dilantik seolah sudah putus urat nadi rasa malunya. Jajaran pejabat yang akan mengurus rakyat dilantik oleh seorang terdakwa yang tersandung kasus ketika mengelola uang rakyat.<br /><br />Jadi, rasanya omong-kosong kita berharap bahwa sistem demokrasi bisa melahirkan para pemimpin yang amanah. Begitu juga terkait kesejahteraan. Pasalnya, demokrasi hanya menjadi tempat bagi orang-orang dan kelompok oportunis untuk mentransaksikan kepentingan-kepentingan perut dan nafsunya.<br /><br />Biaya Mahal, Hasilnya Nol<br /><br />Selama tahun 2010, tercatat sebanyak 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari Rp 4,2 triliun. Perlu dicatat, beberapa Pilkada akhirnya juga mengalami pengulangan pada tahun 2011 seperti kasus di Tangerang Selatan, setelah MK menerima gugatan ihwal banyaknya kecurangan dalam pelaksanaannya. Biaya ini jauh lebih besar daripada Pilkada tahun sebelumnya. Pilkada Tahun 2007 yang berlangsung di 226 daerah saja, yakni di 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota, menelan dana sekitar Rp 1,25 triliun. Penghamburan uang rakyat itu terjadi di tengah-tengah kondisi yang sangat memilukan; pada tahun 2010 tercatat lebih dari 31 juta (13,3%) dari 237 juta penduduk Indonesia dalam kondisi miskin luar biasa. Dalam hal ini, hasil Pilkada tak pernah mengubah nasib rakyat. Yang berubah nasibnya hanyalah para penguasa dan kroni-kroninya saja.<br /><br />Pilkada yang bertujuan menyertakan rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpinnya sendiri di tingkat lokal/daerah pada faktanya juga telah melahirkan dampak negatif. Masyarakat, misalnya, menjadi terkotak-kotak bahkan saling berhadap-hadapan. Hubungan sosial menjadi renggang. Tak jarang proses Pilkada ini melahirkan bentrokan yang mengarah pada tindakan kekerasan.<br /><br />Semua itu niscaya terjadi karena banyak faktor. Pertama: Banyak aturan Pilkada yang tumpang-tindih. Hal ini akibat terlalu besarnya dominasi partai politik dalam Pilkada. Kedua: Masih lemahnya pendidikan politik untuk masyarakat. Lemahnya pemahaman politik masyarakat ini ditunjukkan dengan masih banyaknya incumbent (pejabat lama) yang terpilih kembali. Padahal incumbent ini telah gagal dalam mensejaherakan rakyatnya. Ketiga: terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan calon yang “miskin”. Faktanya, banyak Pilkada berakhir di pengadilan.<br />Demokrasi: Akar Masalah<br /><br />Secara sederhana, politik saat ini diartikan sebagai proses interaksi pemerintah dengan masyarakat untuk menentukan kebijakan publik (public policy) demi kebaikan bersama. Sistem politik yang dianut Indonesia adalah demokrasi. Demokrasi kini telah menjelma menjadi sebuah paham, bahkan semacam ‘agama’ yang menglobal, yang nyaris tanpa koreksi. Gagasan dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Intinya, kewenangan membuat hukum ada di tangan manusia. Demokrasi selalu dianggap sebagai tatanan atau sistem politik yang paling ideal. Dalam sistem demokrasi, rakyat diasumsikan akan benar-benar berdaulat dan mendapatkan seluruh aspirasinya. Dari sana, melalui proses politik yang demokratis, lantas dibayangkan bakal tercipta sebuah kehidupan masyarakat yang ideal: adil, damai, tenteram dan sejahtera.<br /><br />Namun, semua itu hanyalah bayangan, bahkan tipuan. Dalam tataran praktik gagasan ideal itu tak pernah terwujud. Dalam negara demokrasi,<br />yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yakni sekelompok penguasa (dan pengusaha) saling bekerjasama untuk menentukan kebijakan politik, sosial<br />dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya. Partai politik dan wakilnya di Parlemen bekerja lebih untuk memenuhi aspirasinya sendiri.<br /><br />Maka dari itu, tidak ada yang namanya masyarakat yang adil, damai, tenteram dan sejahtera dalam sistem demokrasi. Yang ada justru ketidakadilan yang makin menganga. Kesejahteraan memang ada, tetapi hanya untuk segelintir elit yang berkuasa. Sebaliknya, kebanyakan rakyat sengsara dan menderita; jauh dari gambaran ideal yang diharapkan.<br /><br />Bagaimana bisa diharap ada keadilan bila sistem demokrasi malah melahirkan banyak pejabat dan penguasa yang lebih pantas disebut penjahat. Mereka adalah para tersangka berbagai kasus tindak pidana (terutama korupsi). Ini karena banyak dari proses politik berlangsung secara transaksional. Pragmatisme politik baik demi kekuasaan ataupun uang lebih banyak berperan. Kekuasaan diperlukan untuk mendapatkan uang. Uang diperlukan untuk mendapatkan kekuasaan atau kekuasaan yang lebih besar lagi. Kekuasaan dan uang juga diperlukan untuk menutup seluruh kebusukan yang telah dilakukan selama berkuasa.<br /><br />Dalam kondisi demikian, kepentingan rakyat dengan mudah terabaikan. Bagi penguasa, rakyat hanyalah alat untuk meraih kuasa. Akhirnya, bukan kedaulatan rakyat yang menjadi ‘ruh’ dari sistem demokrasi, melainkan kedaulatan kapital dari para pemilik modal atau penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah kenyataan umum di negara-negara penganut demokrasi, tanpa kecuali, termasuk di AS dan Eropa sebagai kampiun demokrasi.<br /><br />Oleh karena itu, pujian terhadap Indonesia yang dianggap sebagai ‘jawara demokrasi’ dengan julukan “Indonesia’s Shining Muslim Democrazy” (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia) hanya karena dianggap sukses menyelenggarakan Pileg dan Pilpres tahun 2004 dan 2009 secara damai perlu dipertanyakan. Sebab faktanya, keberhasilan itu tidak selaras dengan perbaikan hidup rakyat. Justru melalui pintu demokratisasilah liberalisasi di semua sektor kehidupan terjadi, dengan segala implikasi buruknya yang makin sulit dikendalikan.<br /><br />Tak aneh bila kemudian banyak orang melihat demokrasi sesungguhnya adalah sistem politik yang bermasalah. Tokoh Barat sendiri, Winston Churchil, menyatakan, “Democracy is worst possible form of government (Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan).”<br /><br />Benjamin Constan juga berkata, “Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”<br /><br />Jadi, benar bahwa problem politik, bahkan juga problem ekonomi, problem sosial dan budaya (perilaku amoral) berawal dari demokrasi, yang tragisnya justru dianggap sebagai sistem politik yang paling baik. Na’udzu billah.<br /><br />Saatnya Kembali ke Sistem Islam<br /><br />Dasar politik yang diterapkan di Indonesia adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Hukum bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia melalui proses demokrasi. Hukum dibuat oleh segelintir orang yang tidak lepas dari kepentingan, baik kepentingan uang ataupun kekuasaan.<br /><br />Selama sekularisme dengan demokrasinya yang diterapkan, selama itu pula yang terjadi adalah kerusakan dan keterpurukan. Hanya syariah Islam yang bisa menjamin keadilan karena ia berasal dari Zat Yang Mahaadil. Tetap menerapkan sekularisme dengan demokrasinya berarti meninggalkan hukum terbaik, yakni hukum Allah SWT, sebagaimana al-Quran menegaskan:<br /><br />أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ<br /><br />Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).<br /><br />Untuk itu, negeri ini harus segera mengubur sekularisme, lalu menggantinya dengan akidah dan syariah Islam. Segera tinggalkan demokrasi dengan kedaulatan rakyatnya, lalu ubah dengan sistem Khilafah dengan kedaulatan hukum syariahnya. Inilah yang akan menjamin kesejahteran, keadilan dan keberkahan di dunia serta kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Wallahu a’lam. [http://hizbut-tahrir.or.id/] <br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-13556517186033568412010-09-08T18:23:00.000-07:002010-09-08T18:41:27.569-07:00Selamat hari raya idul fitri 1431H.Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, para sahabat dan siapa saya yang loyal kepada Beliau dan siapa saja yang menelusuri garis Beliau dan menjadikan akidah Islam sebagai asas pemikirannya dan hukum-huku syara’ sebagai standar aktivitas-aktivitasnya dan sumber bagi hukum-hukumnya.<br /><span class="fullpost"> <br />Teriring gema takbir memuji kebesaran Allah SWT, kami mengucapkan ‘Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin’<br /><br />تقبل الله منا ومنكم تقبل يا كريم<br /><br />Semoga Allah muliakan kita dengan bai’at kepada Khalifah kaum Muslim di dalam Khilafah Rasyidah yang kedua. Allahumma amin, amin, amin.<br /><br />والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-73593108935158869582010-07-13T18:58:00.000-07:002010-07-13T19:03:27.594-07:00HAKIKAT PARTAI ISLAM<img src="http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:xaZk4hdbxMVz2M:http://www.123muslim.com/attachments/masajid-world/747d1222231945-qubba-al-sakhrah-alaqsa-masjid-jerusalem-occupied-palestine-qubba-al-sakhrah-alaqsa-masjid-jerusalem-occupied-palestine.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Partai Islam (al-hizb al-Islami), atau lengkapnya partai politik Islam, perlu dipahami hakikatnya. Sebab banyak orang tidak bisa membedakan mana partai Islam dan mana yang bukan partai Islam. Ada partai yang mengaku partai Islam, padahal strateginya sangat pragmatis dan oportunis, hanya mengejar ambisi kekuasaan seraya mencampakkan Islam.<br /><span class="fullpost"> <br />Sebaliknya ada partai Islam yang hakiki, tapi ditakuti umat, karena diopinikan atau dicitrakan buruk dengan berbagai stempel mengerikan, seperti cap teroris, fundamentalis, radikalis, dan sebagainya. Berikut ini sekilas penjelasan beberapa aspek terpenting mengenai partai Islam.<br /><br />Pengertian Partai Islam<br /><br />Partai Islam menurut Abdul Qadim Zallum adalah partai yang berdiri di atas dasar Aqidah Islam, yang mengadopsi berbagai ide, hukum, dan solusi yang Islami, yang metode perjuangannya adalah metode perjuangan Rasululllah SAW. (Ta’rif Hizbut Tahrir, Beirut : Darul Ummah, 2010, hal. 9).<br /><br />Sementara Ziyad Ghazzal mendefiniskan partai Islam adalah sebuah organisasi permanen yang beranggotakan orang-orang Islam yang bertujuan untuk melakukan aktivitas politik sesuai dengan ketentuan Syariah Islam. (Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah al-Khilafah, hal. 39).<br /><br />Dari dua definisi itu dapat diambil beberapa poin yang menjadi identitas pokok partai Islam. Pertama, partai Islam wajib berasaskan Aqidah Islam. Dengan kata lain, ideologi partai harus ideologi Islam. Maka partai yang asasnya bukan Aqidah Islam, bukanlah partai Islam. Misalnya partai yang berasaskan sekularisme, sosialisme, komunisme, dan sebagainya.<br /><br />Kedua, partai Islam wajib mengadopsi fikrah (ide) dan thariqah (metode perjuangan) yang berasal dari Islam. Fikrah dan thariqah ini utamanya terwujud dalam penentuan tujuan dan langkah-langkah (program) untuk mencapai tujuan. Maka bukan partai Islam, partai yang tujuannya untuk melayani kepentingan ideologi Barat. Misalnya bertujuan mewujudkan masyarakat madani (civil society), karena masyarakat sipil sebenarnya istilah lain untuk masyarakat sekular. Bukan pula partai Islam, kalau dalam perjuangannya mengadopsi ide non Islam, seperti demokrasi dan nasionalisme. Bukan pula partai Islam, partai yang mengadopsi metode yang pragmatis dan oportunis, yang tidak memakai kaidah halal haram.<br /><br />Ketiga, partai Islam wajib beranggota muslim saja. Maka bukanlah partai Islam, kalau menerima anggota-anggota non muslim. Perlu dipahami, masalah keanggotaan ini sebenarnya menunjukkan jenis ikatan (rabithah) yang menyatukan seluruh anggota partai menjadi satu kesatuan integral. Jika anggotanya muslim saja, berarti ikatannya adalah ikatan Ukhuwah Islamiyah yang berpangkal pada kesamaan aqidah, yaitu Aqidah Islam. Jika anggotanya campuran, ada muslim dan non muslim, berarti ikatan partai itu bukan lagi ikatan Islam, tapi telah berganti dengan ikatan lain yang bukan Islam, seperti ikatan kebangsaan (nasionalisme). Maka keanggotaan non muslim sebenarnya tidak sejalan dengan identitas pokok sebuah partai Islam, khususnya asas partai yaitu Aqidah Islam.<br /><br />Kewajiban Mendirikan Partai Islam<br /><br />Hukum mendirikan partai Islam adalah wajib. Hanya saja wajibnya bukanlah wajib ’ain, melainkan wajib kifayah. Artinya jika di tengah umat Islam sudah ada satu partai Islam yang mampu menjalankan tugasnya, berarti gugurlah kewajiban seluruh umat Islam. Jika di tengah umat tak ada satu pun partai Islam, maka berdosalah seluruh umat Islam. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2010, hal. 104).<br /><br />Dalilnya adalah firman Allah SWT :<br /><br />ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون<br /><br />"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar." (QS Ali 'Imran : 104).<br /><br />Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, ayat ini merupakan perintah untuk membentuk sebuah kelompok (jamaah) dari kalangan kaum muslimin (minal muslimin), yang melaksanakan dua tugas, yaitu menyeru kepada kebajikan (Islam), dan melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar.<br /><br />Mengapa demikian? Sebab kata "min" pada frase "minkum" adalah "min" yang berarti "sebahagian" (li at-tab’idh). Bukan "min" yang berfungsi untuk menjelaskan jenis (li bayan al-jins). Jadi artinya adalah "hendaklah ada sebuah jamaah di antara kaum muslimin", dan bukan "hendaklah kaum muslimin menjadi satu jamaah/umat." (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 103).<br /><br />Penjelasan ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama yang mengartikan "min" pada frase "minkum" adalah "min" yang berarti "sebahagian" (li at-tab’idh). (Lihat Tafsir Al-Jalalain, I/181; Tafsir Al-Qurthubi, IV/165).<br /><br />Hal ini mengandung implikasi bahwa hukum mendirikan sebuah jamaah yang melaksanakan dua tugas seperti tersurat dalam ayat tersebut, adalah fardhu kifayah.<br /><br />Perlu dicermati, yang fardhu kifayah bukan hukum amar ma'ruf dan nahi munkarnya, melainkan hukum mendirikan jamaah, yang melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar. Imam Ibnu Katsir menegaskan fardhu ‘ainnya amar ma’ruf nahi munkar ketika beliau menafsirkan QS Ali Imran : 104,"Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaknya ada segolongan dari umat ini yang melaksanakan tugas ini, meski tugas ini wajib atas setiap-tiap individu umat sesuai kemampuannya masing-masing." (Tafsir Ibnu Katsir, I/391).<br /><br />Syaikh Yasin bin Ali dalam masalah ini menegaskan pendapat senada, "Hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu ‘ain, bukan fardhu kifayah." Alasannya menurut beliau antara lain perintah amar ma’ruf nahi munkar seringkali dibarengkan dengan amal-amal yang hukumnya fardhu ‘ain, seperti sholat dan zakat. Misalnya firman Allah dalam QS Al-Hajj : 41 dan QS At-Taubah : 71. (Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar, hal. 24).<br /><br />Jadi hukum amar ma’ruf nahi munkar berbeda dengan hukum mendirikan jamaah yang melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Yang disebut pertama hukumnya fardhu ‘ain, sedang yang kedua fardhu kifayah.<br /><br />Yang juga penting disinggung di sini, bolehkah partai Islam jumlahnya lebih dari satu (ta’addud al-ahzab)? Para ulama berbeda pendapat menjadi dua versi, masing-masing dengan dalilnya. Pertama, ada yang mengharamkan, seperti Syaikh Shofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitabnya Al-Ahzab as-Siyasiyah fi Al-Islam. Juga Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dalam kitabnya Jama’ah Wahidah Laa Jama’at. Mereka inilah yang seringkali mengecam berbagai gerakan dan kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh dengan istilah "hizbiyyah", yaitu maksudnya fenomena bergolong-golongan di tengah umat.<br /><br />Kedua, ada yang membolehkan, ini pendapat mayoritas ulama kontemporer. Seperti Sa’id Hawa dalam kitabnya Jundullah, Muhammad ‘Imarah dalam kitabnya Al-Harakah al-Islamiyah Harakah Mustaqbaliyah, Adnan Ali Ridha an-Nahwi dalam kitabnya Bina’ al-Ummah al-Wahidah, dan sebagainya. (Lihat Abdul Hamid al-Ja’bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 187-189).<br /><br />Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah boleh hukumnya ada lebih dari satu partai Islam (ta’addud al-ahzab). Alasan beliau, karena ayat QS Ali ‘Imran : 104 tidaklah berbunyi "waltakun minkum ummah wahidah" (hendaklah ada di antara kamu satu jamaah saja), tapi bunyinya adalah "waltakun minkum ummah" (hendaklah ada di antara kamu satu jamaah).<br /><br />Jadi, boleh di tengah umat satu partai dan boleh pula ada lebih dari satu partai, selama partai yang adalah partai Islam, bukan yang lain. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 108; M. Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf al-Nas, hal.127-130).<br /><br />Keanggotaan Partai Islam<br /><br />Seperti telah diterangkan di muka, masalah keanggotaan merupakan satu identitas pokok partai Islam. Sebuah partai Islam tidak boleh menerima keanggotaan non muslim, berdasarkan firman Allah SWT QS Ali ’Imran : 104 di atas.<br /><br />Berdasarkan ayat tersebut, Syaikh Abdul Hamid Al-Ja'bah berkata,"Kata "minkum" [di antara kamu] pada ayat di atas melarang sebuah kelompok atau partai dari keanggotaan non Islam, dan membatasi keanggotaannya pada muslim saja." (Abdul Hamid Al-Ja'bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 120; lihat juga Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar, hal. 64; M. Abdullah al-Mas’ari, Muhasabah al-Hukkam, hal. 33).<br /><br />Selain itu terdapat berbagai dalil yang menegaskan amar ma’ruf nahi munkar adalah ciri khas umat Islam, bukan umat non muslim. Misalnya QS Ali 'Imran : 110 dan QS At-Taubah : 71. Jadi hanya umat Islam sajalah yang akan mampu menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar, umat non Islam tidak. Mungkinkah kita berharap non muslim mampu mendakwahkan wajibnya sholat, zakat, dan puasa, padahal dia sendiri tidak mempercayai wajibnya perbuatan-perbuatan itu? Tidak mungkin, bukan? Maka, Syaikh Ziyad Ghazzal mengatakan anggota partai Islam wajib orang muslim. Tak boleh non muslim. Sebab tugas amar ma’ruf nahi munkar telah mengharuskan keislaman anggotanya. (Ziyad Ghazzal, Masyru' Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 46).<br /><br />Namun perlu ditambahkan, meski keanggotaan non muslim dilarang dalam partai Islam, bukan berarti Islam mengharamkan partisipasi politik dari non muslim warga negara Khilafah (ahludz dzimmah). Partisipasi politik mereka tetap dapat disalurkan melalui saluran-saluran yang dibenarkan syariah, misalnya lewat Majelis Umat. Partai politik bukan satu-satunya saluran untuk menyampaikan aspirasi atau kritik.<br /><br />Menurut Ziyad Ghazzal dalam kitabnya Masyru' Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah hal. 29-30, ada 4 (empat) saluran untuk menyampaikan aspirasi atau kritik kepada penguasa. Pertama, partai politik. Kedua, Majelis Umat. Ketiga, Mahkamah Mazhalim. Keempat, Media massa.<br /><br />Misi Partai Islam<br /><br />Misi partai Islam adalah melakukan aktivitas politik Islam, yaitu melakukan koreksi atau pengawasan kepada penguasa (muhasabah al-hukkam), atau memperoleh kekuasaan melalui jalan umat. (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 103).<br /><br />Dalilnya juga QS Ali ’Imran : 104 di atas. Redaksi amar ma’ruf nahi munkar dalam ayat tersebut adalah redaksi yang bermakna umum. Termasuk di dalamnya adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada para penguasa. Atau yang diistilahkan dengan muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Jelas ini adalah aktivitas politik. Bahkan, kata Imam Taqiyuddin an-Nabhani, ini adalah aktivitas politik paling penting.<br /><br />Maka dari itu, ayat ini di samping memerintahkan secara fardhu kifayah untuk membentuk sebuah jamaah, juga menjelaskan karakter atau misi jamaah tersebut, yaitu karakter sebagai sebuah partai politik. (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 109).<br /><br />Namun demikian, cara partai Islam dalam mengoreksi penguasa wajib berupa cara yang damai. Tidak dibolehkan menggunakan cara kekerasan, misalnya dengan mengangkat senjata. Sabda Nabi SAW :<br /><br />من حمل علينا السلاح فليس منا<br /><br />"Barangsiapa mengangkat pedang kepada kami, maka dia bukan golongan kami." (HR Bukhari dan Muslim).<br /><br />Syaikh Ziyad Ghazzal menjelaskan, hadis tersebut telah melarang penggunaan senjata untuk mengoreksi penguasa. Senjata dalam hadis ini bersifat mutlak, yaitu meliputi senjata apa pun, seperti senjata tajam, senjata api, bom, dan sebagainya. Dikecualikan jika Khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, misalnya membolehkan judi, maka penggunaan senjata dibolehkan. (Ziyad Ghazzal, Masyru' Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 44)<br /><br />Langkah-Langkah Partai Islam<br /><br />Dalam setiap langkahnya, baik berupa program, agenda, rencana strategis, atau yang semacamnya, partai Islam wajib menggunakan cara-cara Islam. Tidak dibenarkan menghalalkan segala macam cara. Kaidah fikih menyebutkan : al-ghayah laa tubarrir al-wasithah. (Tujuan tidak membolehkan segala macam cara). (Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah Ila al-Islam, hal. 288).<br /><br />Maka partai Islam tidak boleh menggunakan cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya, seperti suap menyuap. Tidak boleh pula misalnya melakukan kampanye untuk menarik pendukung dengan cara-cara yang melanggar syariah, misalnya menggelar pertunjukan dangdut disertai ikhtilat (campur aduk pria wanita), atau berkoalisi dengan partai-partai yang tidak berideologi Islam hanya demi kursi kekuasaan sesaat.<br /><br />Semua itu bukanlah cara partai Islam, sebab partai Islam wajib berpegang dengan kaidah halal haram. Jika ada partai Islam yang tidak lagi peduli lagi halal-haram, itu berarti suatu pengumuman bahwa dia bukan lagi partai Islam, tapi sudah berubah menjadi partai sekular. Partai seperti ini jelas wajib dijauhi umat Islam. Haram hukumnya umat Islam mendukung partai oportunis dan hedonis seperti ini. Wallahu a’lam. [KH. M. Shiddiq al-Jawi ]<br /></span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-83036558928759715582010-05-18T20:39:00.000-07:002010-05-18T20:44:20.375-07:00BANGKITLAH DENGAN ISLAM!Setidaknya ada dua peristiwa penting pada pekan ini yang perlu dicatat. Pertama, peristiwa yang terkait dengan sejarah, yakni Hari Kebangkitan Nasional, yang biasa diperingati setiap tanggal 20 Mei. Tahun ini Hari Kebangkitan Nasional memasuki peringatan ke-102. Artinya, sejak tanggal 20 Mei 1908–tanggal lahirnya organisasi Boedi Oetomo–ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, perjalanan ’kebangkitan nasional’ telah memasuki tahun ke-102.<br /><br /><span class="fullpost"> <br />Kedua, peristiwa politik, yakni mencuatnya kembali isu terorisme pasca pemburuan sekaligus penembakan sejumlah orang yang diduga teroris oleh aparat Densus 88 yang menewaskan beberapa orang. Yang menarik, di tengah kritikan terhadap langkah-langkah aparat kepolisian yang makin ’brutal’ dalam memperlakukan para ’teroris’ (padahal mereka baru sebatas diduga), Presiden SBY melontarkan pernyataan yang tak kalah kontroversialnya. Merespon apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangani kasus terorisme baru-baru ini, Presiden SBY lalu mengaitkan tindakan para teroris ini dengan keinginan mereka untuk mendirikan Negara Islam.<br /><br />Ironi Kebangkitan<br /><br />Terkait dengan peristiwa pertama, meski ’kebangkitan nasional’ sudah berjalan seabad lebih, dari tahun ke tahun, negeri ini bukan makin bangkit, tetapi justru makin terpuruk di segala bidang. Contoh kecil, di bidang pendidikan, hampir berbarengan dengan Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei, kondisi dunia pendidikan di negeri ini boleh dikatakan makin memburuk. Terakhir, hal ini ditandai oleh banyaknya siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional (UN). Bahkan menurut data dari Kementerian Pendidikan Nasional, tahun 2010 ini sebanyak 267 sekolah tingkat SMA di seluruh Indonesia, 100% siswanya tidak lulus UN (Republika.co.id, 28/4). Di tingkat SMP kondisinya lebih parah lagi; sebanyak 561 SMP/MTs di seluruh Indonesia, 100% siswanya juga dinyatakan tidak lulus UN (Detik.com, 5/5). Kenyataan ini belum ditambah dengan makin mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, puluhan juta orang miskin tidak dapat sekolah.<br /><br />Di bidang hukum/peradilan, yang mengemuka akhir-akhir malah merajalelanya mafia hukum/peradilan. Di bidang politik/pemerintahan, kasus-kasus korupsi bukan malah berkurang, tetapi makin banyak dan beragam dengan berbagai modus. Wajar jika menurut survei PERC, tahun ini 2010 ini pun–sebagaimana tahun lalu–Indonesia masih memegang rekor sebagai negara terkorup di Asia Pasifik (Metronews.com, 10/3).<br /><br />Di bidang ekonomi, negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alam ini pun masih menyisakan sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia (Okezone, 18/8/2009). Parahnya lagi, rakyat ini harus menanggung beban utang luar negeri yang tahun 2010 ini mendekati Rp 2000 triliun (Kompas.com, 16/5).<br /><br />Di bidang kesehatan, bahkan akhir-akhir ini mencuat kembali sejumlah kasus gizi buruk di berbagai daerah, yang tentu berkaitan langsung dengan masalah kemiskinan.<br /><br />Jika demikian keadaannya, tentu setiap orang di negeri ini layak bertanya: lalu apa makna Hari Kebangkitan Nasional yang telah melawati usia lebih dari satu abad ini jika kebangkitan yang diharapkan semakin jauh dari harapan?<br /><br />Wacana Negara Islam<br /><br />Adapun terkait dengan yang kedua, sebetulnya upaya sejumlah kalangan, termasuk pejabat negara, mengaitkan isu terorisme dengan wacana pendirian Negara Islam bukanlah hal baru. Karena itu, pernyataan SBY di atas hanyalah pengulangan belaka.<br /><br />Sebagaimana diketahui, Presiden SBY dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5), sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia, menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan Negara Islam. Padahal, menurut SBY, pendirian Negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri ini. Padahal demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah reformasi. Karena itu, menurut Presiden, keinginan mendirikan Negara Islam dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia (Okezone.com, 17/5).<br /><br />Ada sejumlah hal yang menarik untuk dicatat dari pernyataan SBY di atas. Pertama: Negara Islam adalah negara yang menjadikan Islam sebagai asasnya dan syariah Islam sebagai aturan segala aspek kehidupan. Hal ini bukanlah persoalan sejarah, atau masalah diterima oleh mayoritas rakyat banyak atau tidak. Ini adalah masalah kewajiban dalam agama. Sudah seharusnya siapapun yang menjadi Muslim terikat pada syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupannya; termasuk bernegara, politik, ekonomi dan pendidikan. Kewajiban ini merupakan konsekuensi keimanan dan kecintaan seorang Muslim kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang seharusnya dijadikan teladan. Semuanya itu diwujudkan dengan terikat pada hukum-hukum Allah SWT yang bersumber dari Al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:<br /><br /> ]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً[<br /><br /> Hai orang-orang yang beriman, masukkan kalian ke dalam Islam secara total (QS al-Baqarah [2]: 208).<br /><br />Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ali ash-Shabuni menegaskan, bahwa ayat tersebut memerintahkan kaum Muslim untuk melaksanakan seluruh hukum Islam; tidak boleh melaksanakan hanya sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.<br /><br />Lagi pula, dalam berbagai kesempatan Presiden SBY sering mengatakan kita harus menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan kehidupan kita. Ini sejalan dengan firman Allah SWT:<br /><br /> ]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[<br /><br /> Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang baik bagi kalian (QS al-Ahzab [33]: 21).<br /><br />Rasul saw. tentu saja harus diteladani dalam seluruh aspeknya, termasuk dalam upayanya mendirikan Negara Islam (Daulah Islam) di Madinah. Bahkan beliau sendirilah yang menjadi kepala negaranya.<br /><br />Kita pun masih ingat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan sambutan pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) V, Jumat (7/5) di Jakarta. Dalam pidatonya, Presiden sendiri mengatakan Islam hadir sebagai jalan kehidupan manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Tuntunan al-Quran dan as-Sunnah adalah pedoman hidup dan jalan yang lurus untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah pun telah mencontohkan tatanan peradaban yang dibangun atas dasar iman dan takwa. “Kita memiliki tugas sejarah untuk membangun dan mengembalikan kejayaan Islam!” tegas Presiden saat itu.<br /><br />Kita juga ingat, ketika SBY memberikan kata sambutannya dalam Forum Ekonomi Islam Sedunia di Jakarta (2 /3/2009). Saat itu SBY mengajak negara-negara Islam mengatasi krisis dengan bersatu; negara-negara Islam akan bisa mengenang kembali kejayaan Abad 13. Tentu, kalau kita berbicara tentang kejayaan Islam Abad 13, tidak bisa dilupakan bahwa kejayaan Islam saat itu terjadi karena adanya Negara Islam–yang dikenal dengan Khilafah Islam–yang menjalankan syariah Islam.<br /><br />Selain itu, kewajiban menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup tentu bukan hanya dalam masalah ibadah ritual, moral atau individual saja, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Di sinilah letak wajibnya menegakkan institusi negara yang akan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan. Sebab, mustahil melaksanakan kewajiban syariah Islam secara keseluruhan kalau negaranya tidak berdasarkan Islam. Ini sesuai dengan kaidah ushul fikih:<br /><br /> ] ماَ لاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ[<br /><br /> Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali karena adanya sesuatu maka sesuatu itu wajib pula adanya.<br /><br />Kedua: Meskipun mendirikan Negara Islam adalah kewajiban agama, kita sepakat secara realita sosiologis, apakah Negara Islam tegak atau tidak sangat bergantung pada masyarakat; bergantung pada dukungan dan kesadaran masyarakat. Sistem apapun akan berjalan tegak dan baik kalau didukung oleh kesadaran masyarakat. Sistem demokrasi yang saat ini masih kita jadikan panutan bisa berjalan karena masyarakat kita masih mendukungnya. Artinya, kita tentu tidak bisa menolak perubahan kalau ternyata rakyat Indonesia yang mayoritas Islam ini kemudian mendukung penegakkan Negara Islam.<br /><br />Namun, kita setuju bahwa upaya membangun kesadaran masyarakat untuk menegakkan Negara Islam dilakukan bukan dengan jalan teror. Jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw. Jalan ini bahkan bisa kontraproduktif. Bagaimana mungkin rakyat akan mendukung syariah Islam kalau mereka ditakut-takuti dengan bom atau pembunuhan?<br /><br />Hizbut Tahrir termasuk yang menginginkan Negara Islam global berupa Khilafah Islam. Namun, dengan sangat tegas Hizbut Tahrir menentukan garis perjuangannya yang tidak menggunakan jalan kekerasan atau mengangkat senjata (non violence).<br /><br />Ketiga: Adalah kesalahan besar mengaitkan kewajiban penegakan Negara Islam dengan tindakan terorisme. Mungkin ada yang menempuh jalan kekerasan dalam memperjuangkan tegaknya Negara Islam. Akan tetapi hal itu tidak bisa digeneralisasi bahwa yang menginginkan tegaknya Negara Islam adalah teroris. Jika demikian logikanya, ketika banyak koruptor yang ditangkap dan mereka adalah pendukung sistem sekular, maka bisa dikatakan bahwa mendukung sistem ini pasti adalah seorang koruptor. Karena itu, kita melihat ada agenda busuk di balik pengaitan ini, yakni agar masyarakat kemudian takut, tertipu dan akhirnya tidak setuju dengan penegakan Negara Islam. Upaya ini memang secara sistematis dilakukan oleh kekuatan-kekuatan penjajah yang khawatir akan kebangkitan Islam. Sebab, tegaknya Negara Islam, apalagi dalam wujud Negara Islam global (Khilafah Islam) sangat ditakuti oleh Barat. Mereka tahu persis, tegaknya Khilafah akan menghentikan agenda penjajahan mereka di Dunia Islam.<br /><br />Karena itu, tentu sangat kita sayangkan kalau SBY terjebak dalam propaganda Barat ini yang mengaitkan terorisme dengan upaya penegakan syariah Islam atau Negara Islam.<br /><br />Bangkit Hanya dengan Islam<br /><br />Harus dikatakan, bahwa jika bangsa ini benar-benar ingin bangkit, maka kunci kebangkitan itu adalah Islam. Tanpa Islam bangsa ini akan makin tepuruk. Tanpa ideologi dan sistem Islam kondisi negeri ini akan makin memburuk. Tanpa Negara Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariah Islam umat ini tak akan pernah bangkit dan akan tetap tertinggal.<br /><br />Karena itu, perubahan adalah hal yang niscaya. Apalagi jika itu perubahan ke arah yang lebih baik. Allah SWT sendiri telah berfirman:<br /><br /> ]إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ[<br /><br /> Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada dalam suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya (QS ar-Ra’du [13]: 11).<br /><br />Karena itu, sangat bodoh siapapun yang tidak mau berubah dan gigih mempertahankan status-quo yang buruk. Karena itu pula, kita mempertanyakan sikap-sikap mempertahankan sistem demokrasi dan Kapitalisme yang jelas-jelas di depan mata tampak kebobrokannya. Padahal ada sistem yang lebih baik di depan matanya. Itulah sistem Islam. Itulah Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam. [] <br /></span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-12707436203589348522010-05-09T21:18:00.000-07:002010-05-09T21:20:33.467-07:00Tunggulah Kehancurannya!<img src="http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2010/05/editorial.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />“Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).<br /><span class="fullpost"> <br /><br />Geger artis porno/cabul dan pezina mencalonkan diri jadi pemimpin membuat kita teringat pada beberapa hadist Rosulullah saw yang menjadi panutan kita. Pertama sabda Rosulullah saw: “Tunggu saat kehancuranannya, apabila amanat itu disia-siakan!” Para sahabat serentak bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi SAW menjawab: “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).<br /><br />Jelas artis-artis seronok ini tidak punya kapabilitas untuk mengatur urusan umat yang merupakan hal utama dalam politik. Seorang pemimpin politik haruslah mengerti apa yang menjadi masalah masyarakat dan paham solusinya. Bukan hanya itu, dalam Islam, solusi yang diberikan, bukanlah sembarang solusi, tapi haruslah berdasarkan kepada syariah Islam.<br /><br />Bagaimana artis-artis cabul ini menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, sementara selama ini mereka tidak pernah hirau dalam urusan ini. Apalagi berharap mereka akan menyelesaikannya berdasarkan syariah Islam ? Bukankah yang mereka bicarakan selama ini hanyalah persoalan hiburan, gaya pakaian sensual yang mengundang nafsu , gaya panggung memikat yang mengumbar aurat ? Bukankah selama ini justru mereka menjadi pelaku maksiat yang banyak melanggar syariah Islam. Kalau kepemiminan politik ini diserahkankepada mereka tunggu saja kehancurannya !<br /><br />Saat ini bukti kehancuran itu sudah terjadi di depan mata. Ketika umat Islam dipimpin oleh orang yang maksiat, yang tidak mau berhukum pada hukum Allah SWT. Lebih tunduk kepada hukum kufur, tunduk kepada penjajah kufur dan mengikuti arahan mereka dalam mengatur kehidupan masyarakat. Tunduk kepada imperialis Amerika dengan perangkat sistem sekuler dan organisasi - alat penjajahannya- seperti PBB, IMF dan Bank Dunia. Lihatlah nasib umat Islam yang semakin terpuruk.<br /><br />Yang kedua adalah hadist Rosulullah saw tentang munculnya ruwaibidhoh. Sabda Rosulullah saw : “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?“. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah)<br /><br />Hal ini pun sudah terjadi. Banyak orang bodah yang memimpin umat . Mereka disebut bodoh karena menerapkan sistem yang bodoh (jahiliyah), tidak mau menjalankan syariah Islam. Bodoh , karena sudah tahu sistem sekuler danlibarel yang ada tidak akan membawa kepada kebaikan , malah membawa kehancuran, namun tetap saja dipertahankan. Bodoh, karena tidak mau mendengar pada kebenaran Islam untuk menerapkan syariah Islam.<br /><br />Dan terbukti, saat ini penuh dengan penipuan. Yang tadinya berpakaian seksi , menipu ummat dengan, pura-pura berbusana muslim. Berjanji akan memperhatikan rakyat, setelah memimpin malah memiskinkan dan menambah derita rakyat. Bicara mempertahankan kedaulatan negara, pada realitanya malah menjual negara kepada asing, dengan menyerahkan kekayaan alam yang seharusnya untuk rakyat, dirampok oleh penjajah asing. Namun , sayangnya, masih ada masyarakat yang menganggap mereka sebagai orang yang amanah, bukan pengkhianat. Sebaliknya, yang menyerukan syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang Maha Pengasing dan Penyayang , justru dituduh mengancam negara.<br /><br />Namun yang jelas , maraknya artis maksiat mencalonkan diri menjadi pemimpin , tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi yang kita anut sekarang ini. Inilah yang menjadi pangkal kehancuran sistem politik kita. Dalam sistem demokrasi dimana sekulerisme menjadi asasnya, persoalan agama dianggap merupakan persoalan pribadi. Sehingga syarat-syarat agama, tidak menjadi penting dan tidak bisa jadi ukuran .<br /><br />Ditambah dengan prinsip liberalisme yang memberikan kepada siapapun kebebasan atas nama suara rakyat untuk dipilih menjadi pemimpin. Seperti yang dikatakan Gary Hart, calon presiden AS (1988) yang ketahuan selingkuh : Let the people decide, biarkan rakyat memilih, menjadi slogan demokrasi. Tanpa perlu melihat ketaqwaan dari sang pemimpin. Sampai-sampai Amin Rais mengatakan : meskipun yang terpilih adalah setan gundul.<br /><br />Padahal ketaqwaan menjadi hal yang sangat penting dalam Islam. Hancur atau tidaknya sebuah negara , bangsa, dan rakyatnya tergantung pada ketaqwaan masyarakat , tergantung kepada keterikatan mereka pada syariah Islam. Kalau mereka bertaqwa Allah SWT akan membukakan pintu barakoh dari langit dan bumi (QS al A’raf : 96). Sebaliknya kalau mereka menyimpang dari aturan Allah swt mereka akan ditimpakan dengan kehidupan yang sempit dengan berbagai penderitaan (QS Thoha: 123-126).<br /><br />Ketaqwaan disini bukanlah sekedar ketaqwaan personal dari pemimpin , tapi juga sistem yang dijalankan oleh sang pemimpin. Artinya, kita bukan hanya butuh pemimpin yang terikat pada syariat Islam secara individu, tapi sistem yang diterapkan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berpolitik, ekonomi, pendidikan, dan masalah mua’amalah lainnya haruslah berdasarkan syariah Islam. Jangan berharap itu akan terwujud selama sistem yang diterapkan adalah sistem demokrasi, sistem kufur yang menyerahkan sumber kedaulatan hukum kepada manusia, bukan kepada Allah SWT semata-mata. (Farid Wajdi)<br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-5372235273264834552010-03-19T00:46:00.001-07:002010-03-19T00:52:35.012-07:00Hukum Memuliakan Tamu<img src="http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:62zysSbci7C1sM:http://nababan.files.wordpress.com/2009/11/bertemu.jpg" align="left" width="160" height="115"><br /><br />Barangkali tidak keliru ketika ada yang mengatakan “Tamu adalah Raja !”, sehingga layaknya Raja, tamu harus kita terima dan kita layani dengan sangat istimewa. Dan Syari’at Islam pun secara jelas memang mengajarkan tentang tatacara menyambut tamu. Bahkan perkara ini merupakan salah satu kewajiban yang dibebankan syariat kepada kaum Muslim. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:<br /><span class="fullpost"><br />مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ<br /><br />“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali persahabatan; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau hendaklah dia diam saja.”[HR. Bukhari dan Muslim]<br /><br />مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ<br /><br />“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya pada saat istimewanya. “ Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah saw, apakah saat istimewa itu? Beliau bersabda, “Hari dan malam pertamanya. Bertamu itu adalah tiga hari. Kalau lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah.” [HR. Bukhari dan Muslim]<br /><br />Tamu yang disebut di dalam hadits di atas mencakup tamu Mukmin maupun kafir. Kata “dlaifahu” termasuk dalam lafadz umum, sehingga mencakup semua jenis tamu; baik tamu Mukmin, kafir, laki-laki, maupun perempuan. Semua tamu wajib disambut dan dimulyakan dan dihormati berdasarkan nash-nash hadits di atas. Seorang Muslim juga diperintahkan untuk memenuhi hak-hak tamu, sekadar dengan kemampuannya.<br /><br />Hukum Syara’ Tentang Menerima Tamu dari Kalangan Penguasa Imperialis<br /><br />Lalu, bagaimana jika tamu yang hendak berkunjung adalah penguasa-penguasa kafir imperialis yang telah terbukti mendzalimi, menganiaya, menjajah, membunuhi kaum Muslim, dan berusaha menistakan kesucian agama Islam? Apakah, ketentuan-ketentuan dalam hadits di atas tetap berlaku?<br /><br />Jawabnya jelas, seorang Muslim dilarang (haram) menerima kunjungan, menyambut dan memulyakan tamu dari kalangan penguasa kafir imperialis yang jelas-jelas telah terbukti merampas harta, menciderai kehormatan, dan melenyapkan ribuan jiwa kaum Muslim. Alasannya sebagai berikut;<br /><br />Pertama, larangan menampakkan loyalitas dan kasih sayang kepada orang-orang kafir, lebih-lebih lagi kafir imperialis yang menghisap harta dan darah kaum Muslim. Allah swt berfirman:<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalanKu dan mencari keridhaanKu (janganlah kamu berbuat demikian)”. [TQS Al Mumtahanah (60):1]<br /><br />يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ$ هَا أَنْتُمْ أُولاَءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلاَ يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوْ كُمْ قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ<br /><br />“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”. [TQS. Ali ‘Imran (3): 118-119]<br /><br />Kunjungan Barack Obama –penguasa kafir imperialis yang telah membunuhi ribuan kaum Muslim di Irak, Afghanistan, dan pendukung utama negara teroris Israel–, jelas-jelas harus ditolak, dan jika ia memaksa datang, tidak boleh disambut dengan sambutan mulia dan kasih sayang. Pasalnya, ia adalah musuh Islam dan kaum Muslim. Selain itu, kunjungannya di Indonesia diduga membawa agenda-agenda jahat, semacam liberalisasi ekonomi, demokratisasi, serta pressure politik-pressure politik yang merugikan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Lantas, bagaimana kita akan menerima kunjungannya dan menampakkan rasa hormat dan menyambutnya dengan sambutan kasih sayang –yang sebenarnya ini adalah watak asli umat Islam–, jika orang yang hendak datang adalah penguasa kafir yang dzalim dan lalim terhadap umat Islam?<br /><br />Kedua, larangan menyakiti kaum Muslim. Penerimaan dan penyambutan Barack Obama di negeri ini, tentu saja akan menyebabkan bertambahnya penderitaan dan rasa sakit kaum Muslim yang pada saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina, dan negeri-negeri kaum Muslim lainnya. Padahal, Allah swt dan RasulNya telah melarang kaum Muslim menyakiti saudaranya sendiri, baik dengan ucapan maupun tindakannya. Allah swt berfirman:<br /><br />وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا<br /><br />“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.[TQS Al Ahzab (33):58]<br /><br />Nabi saw melalui lisannya yang suci bersabda:<br /><br />«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»<br /><br />“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan mendzaliminya dan tidak akan menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]<br /><br />Penerimaan kunjungan Barack Obama tidak hanya menyakiti saudara-saudara Muslim di negeri-negeri yang secara langsung didzalimi dan dijajah oleh Amerika Serikat, tetapi juga wujud “menyerahkan saudara-saudara Muslim kita” kepada musuh Islam dan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa penguasa negeri ini menerima kunjungan Barack Obama, dan menyambutnya dengan sambutan kenegaraan? Lantas, seandainya negeri ini dikuasai dan diduduki oleh Amerika –dan faktanya kita sekarang sudah dijajah oleh mereka secara non fisik–, lantas apakah kita akan tetap bersikap manis terhadap mereka? Sungguh, hanya orang-orang munafik yang memiliki kasih sayang dan rasa hormat kepada musuh-musuh Allah dan kaum Muslim.<br /><br />Ketiga, kewajiban membela saudara Muslim yang tidak berada di dekatnya. Nabi Mohammad saw bersabda;<br /><br />مَنْ نَصَرَ أَخَاهُ بِظَهْرِ الْغَيْبِ نَصَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ<br /><br />“Barangsiapa yang membela saudaranya saat tidak ada di dekatnya, maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat”. [HR. Imam Asyi Syihab dari Anas bin Malik ra, dalam Musnad Asy Syuihab]<br /><br />Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap saudara-saudaranya yang pada saat ini dijajah dan dianiaya oleh Amerika Serikat adalah menolak kunjungan mereka, dan tidak menyambutnya dengan keramahan dan kasih sayang. Di dalam hadits-hadits lain, Nabi saw juga bersabda:<br /><br />مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَة<br /><br />“Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya, maka Allah akan menolak api neraka di Hari Kiamat dari wajahnya”. [HR. Imam Tirmidziy dari Abu Darda' ra. Hadits Abu Darda ra ini telah ditakhrij oleh Ahmad. Ia berkata hadits ini sanadnya hasan. Al-Haitsami mengatakan hal yang sama)<br /><br />Hadits riwayat Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma binti Yazid, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw bersabda:<br /><br />مَنْ ذَبَّ عَنْ عَرَضِ أَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ<br /><br />"Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya pada saat tidak berada di dekatnya, maka Allah pasti akan membebaskannya dari api neraka".[HR. Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma' binti Yazid]<br /><br />Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap kaum Muslim di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina yang saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika, adalah menolak kunjungan, kerjasama, maupun intervensi non fisik dari penguasa-penguasa kafir imperialis dan antek-anteknya, semacam Amerika, Inggris, dan Israel.<br /><br />Keempat, perilaku shahabat. Selain nash-nash di atas, perilaku generasi salafush shalih juga menunjukkan kepada kita, bagaimana sikap seharusnya seorang Muslim. Riwayat-riwayat berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku shahabat terhadap orang-orang kafir, lebih-lebih yang memusuhi Islam dan kaum Muslim.<br /><br />Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Salamah bin Al Akwa’ ra, bahwasanya ia berkata;<br /><br />…فَلَمَّا اصْطَلَحْنَا نَحْنُ وَأَهْلُ مَكَّةَ، وَاخْتَلَطَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ، أَتَيْتُ شَجَرَةً، فَكَسَحْتُ شَوْكَهَا، فَاضْطَجَعْتُ فِي أَصْلِهَا، قَالَ: فَأَتَانِي أَرْبَعَةٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ، مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ، فَجَعَلُوا يَقَعُونَ فِي رَسُولِ اللهِ ، فَأَبْغَضْتُهُمْ، فَتَحَوَّلْتُ إِلَى شَجَرَةٍ أُخْرَى<br /><br />“Ketika kami berdamai dengan penduduk Makkah dan sebagian kami bercampur dengan sebagian mereka, aku mendatangi suatu pohon kemudian aku menyingkirkan durinya dan aku merebahkan diriku di akarnya. Kemudian datang kepadaku empat orang kaum Musyrik Makkah. Mereka mulai membicarakan Rasulullah, maka aku pun membenci mereka, hingga aku pindah ke pohon yang lain”.[HR. Imam Muslim]<br /><br />Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Abdullah bin Rawahah berkata kepada Yahudi Khaibar:<br /><br />«يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ، أَنْتُمْ أَبْغَضُ الْخَلْقِ إِلَيَّ، قَتَلْتُمْ أَنْبِيَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ،وَكَذَبْتُمْ عَلَى اللهِ، وَلَيْسَ يَحْمِلُنِي بُغْضِي إِيَاكُمْ عَلَى أَنْ أَحِيفَ وَكَذَبْتُمْ عَلَى اللهِ، وَلَيْسَ يَحْمِلُنِي بُغْضِي إِيَّاكُمْ عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ…»<br /><br />“Wahai kaum Yahudi! Kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci. Kalian telah membunuh para Nabi dan telah mendustakan Allah. Tapi kebencianku kepada kalian tidak akan mendorongku untuk berlaku sewenang-wenang kepada kalian”.[HR. Imam Ahmad]<br /><br />Imam Ahmad, Abdur Razak, Al Hakim, dan Abu Ya’la menuturkan hadits hasan dari Abu Faras, ia berkata; Umar bin Khathab pernah berkhutbah dan berkata:<br /><br />…مَنْ أَظْهَرَ مِنْكُمْ شَرًّا، ظَنَنَّا بِهِ شَرًّا، وأَبْغَضْنَاهُ عَلَيْهِ<br /><br />“Barang siapa di antara kalian menampakan suatu kejahatan, maka kami akan menduganya berlaku jahat, dan kami akan membencinya karena kejahatan itu..” [HR. Imam Ahmad, Abdur Razaq, Al Hakim, dan Abu Ya'la. Imam Al Hakim menyatakan bahwa hadits ini hasan menurut syarat Imam Muslim]<br /><br />Dalil yang Keliru<br /><br />Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah menerima utusan Musailamah Al Kadzdzab, dan Abu Sofyan pemimpin Quraisy. Riwayat-riwayat ini sering dijadikan argumentasi bolehnya seorang Muslim menerima kunjungan dan menyambut tamu dari kalangan orang kafir penjajah. Padahal, dengan pembacaan yang seksama dan teliti dapatlah disimpulkan bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak layak dijadikan hujjah atas argumentasi mereka. Untuk itu, kami perlu memaparkan panjang lebar riwayat tersebut agar tidak ada kesalahan dalam penarikan kesimpulannya.<br /><br />Imam Ahmad dan Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’iy ra bahwasanya ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada dua orang utusan, ketika beliau saw membaca surat Musailamah al-Kadzdzab, “Apa yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab, “Kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Musailamah al-Kadzdzab.” Nabi saw pun bersabda, “Demi Allah, seandainya bukan karena para utusan tidak boleh diutus, niscaya akan kupenggal leher kalian berdua”.[HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud]<br /><br />Di dalam Sunan Abu Dawud dikisahkan bahwasanya, ‘Abdullah bin Mas’ud pernah menjalin pershahabatan dengan seorang Arab, lalu beliau berkehendak untuk mengunjunginya. Dalam perjalanannya, beliau melewati sebuah masjid milik Bani Hanifah, dan disaksikannya bahwa Bani Hanifah telah menjadi pengikut Musailamah al-Kadzdzab. Melihat keadaan itu, ‘Abdullah bin Mas’ud ra diutus menemui mereka untuk menyadarkan mereka. Beliau ra pun menemui mereka dan menyadarkan kesesatan dan kekeliruan mereka. Setelah mendapatkan penjelasan dari beliau, semua penduduk Bani Hanifah kembali ke pangkuan Islam, kecuali Ibnu Nawwahah. Ia tetap bersikukuh menjadi pengikut setia Musailamah al-Kadzdzab. Ibnu Mas’ud ra berkata kepadanya, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Seandainya engkau bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu”. Akan tetapi, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan”. Ibnu Mas’ud segera memerintahkan Qurzah bin Ka’ab untuk memenggal leher Ibnu Nawwahah. Dan akhirnya, Ibnu Nawwahah dipenggal lehernya di pasar. Setelah itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Siapa saja yang ingin mengetahui Ibnu Nawwahah, kini ia telah terbunuh di pasar”.<br /><br />Dari paparan seluruh riwayat di atas dapatlah disimpulkan bahwa seorang utusan yang datang ke dalam Daulah Khilafah Islamiyyah haruslah mendapatkan perlindungan, selama mereka adalah berkedudukan sebagai utusan (delegasi). Dengan demikian, riwayat-riwayat di atas berhubungan dengan dengan hukum melindungi utusan, bukan berkaitan dengan hukum menerima dan menyambut tamu. Bahkan, di dalam riwayat itu jelas sekali ditunjukkan, bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap utusan-utusan kaum kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Sabda beliau, “Seandainya engkau bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu”, menunjukkan bahwa beliau bersikap sangat keras dan tidak menunjukkan penerimaan yang ramah terhadap mereka. Begitu pula sikap seharusnya penguasa Muslim ketika menghadapi penguasa kafir penjajah yang memusuhi umat Islam, yakni menekan, merendahkan, mengancam, dan memerangi mereka jika mereka tidak menghentikan permusuhan dan penganiayaan mereka terhadap umat Islam.<br /><br />Begitu pula riwayat mengenai kunjungan Abu Sofyan kepada Madinah, juga tidak berhubungan dengan penyambutan tamu atau penghormatan tamu dari kalangan penguasa kafir. Kunjungan Abu Sofyan ke Madinah dikarenakan ia ingin memperbarui perjanjian dengan Rasulullah saw setelah sebelumnya orang-orang Quraisy menyerang Bani Khuza’ah yang merupakan sekutu Nabi saw. Penyerangan Quraisy terhadap Bani Khuza’ah tersebut telah membatalkan perjanjian Hudaibiyyah yang ditandatangani antara Kaum Quraisy dan Nabi saw. Oleh karena itu, Abu Sofyan mendatangi Nabi saw di Madinah untuk memulihkan perjanjian damai. Ibnu Hisyam dalam Kitab Sirahnya menceritakan peristiwa ini sebagai berikut, “Ibnu Ishaq berkata, “Setelah itu, Abu Sofyan bin Harb datang ke tempat Nabi saw. Ia berbicara dengan beliau, namun beliau saw tidak menggubrisnya. Lalu, Abu Sofyan pergi ke tempat Abu Bakar ra, dan menyuruhnya berbicara dengan Rasulullah saw, namun Abu Bakar berkata, “Aku tidak mau!”. Kemudian, Abu Sofyan bin Harb mendatangi rumah Umar bin Khaththab dan berbicara dengannya, namun Umar malah berkata, “Aku harus membelamu di hadapan Rasulullah saw? Demi Allah, jika aku hanya mendapatkan semut kecil, aku akan memerangimu bersamanya”. Abu Sofyan keluar dari rumah Umar bin Khaththab ra dan menemui Ali bin Abi Thalib ra yang saat itu sedang bersama dengan isterinya, Fathimah binti Mohammad saw dan anak keduanya, Hasan bin ‘Ali yang sedang merangkak. Abu Sofyan berkata, “Hai, Ali, engkau adalah orang yang paling penyayang. Aku datang kepadamu untuk satu keperluan, oleh karena itu, jangan pulangkan aku dalam keadaan gagal total. Belalah aku di hadapan Rasulullah saw”. Ali bin Abi Thalib berkata, “Celakalah kamu, hai Abu Sofyan! Demi Allah, Rasulullah saw telah bertekad kepada sesuatu dan kita tidak bisa bernegoisasi dengan beliau”. Abu Sofyan menoleh kepada Fathimah binti Mohammad, seraya berkata, “Wahai putri Mohammad, maukah engkau menyuruh anak kecilmu ini melindungi manusia, kemudian ia akan menjadi pemimpin Arab sepanjang zaman? Fathimah menjawab, “Demi Allah, annakku tidak bisa melindungi manusia dan seorangpun tidak bisa melindungi mereka dari Rasulullah saw…. Abu Sofyan menaiki untanya dan pulang ke Makkah. Sesampainya di Makkah, orang-orang Quraisy bertanya kepadanya, “Informasi apa yang engkau bawa? Abu Sofyan bin Harb berkata, “Aku datang kepada Mohammad saw kemudian berbicara dengannya, namun ia tidak menyahut sedikitpun. Kemudian aku datang kepada Abu Bakar, namun aku tidak melihat kebaikan sedikitpun dari dirinya. Lalu, aku menemui Umar bin Khaththab dan mendapatinya orang yang paling keras permusuhannya. Kemudian aku datang kepada Ali bin Abi Thalib dan mendapatinya orang yang paling lembut. Ia menasehatiku untuk melakukan sesuatu, namun demi Allah, aku tidak tahu apakah sesuatu itu bermanfaat bagiku atau tidak. Orang-orang Quraisy berkata, “Apa yang diperintahkan Ali bin Abi Thalib kepadamu? Abu Sofyan bin Harb menjawab, “Aku disuruh untuk melindungi manusia dan aku pun melakukannya”. Orang-orang Quriasy berkata lagi, “Apakah Mohammad membolehkannya? Abu Sofyan menjawab, “Tidak!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Celakalah engkau! Engkau telah dipermainkan oleh Ali bin Abi Thalib. Apa yang engkau katakan tadi sama sekali tidak bermanfaat bagimu”. Abu Sofyan berkata, “Demi Allah, aku tidak memiliki alternatif lain”. [Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyyah, hal.735]<br /><br />Riwayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap Abu Sofyan, beliau saw sama sekali tidak menggubris kedatangannya, bahkan beliau siap menyerang Mekah, karena pengkhianatan kaum Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyyah. Nabi saw tidak pernah menerima dan menyambut Abi Sofyan bin Harb dengan penyambutan kenegaraan yang menunjukkan rasa hormat dan belas kasih, namun beliau saw memperlakukan Abu Sofyan ra dengan sangat keras, hingga harga diri dan kesombongan Abu Sofyan luruh bagaikan sekawanan laron yang tersambar api pelita. Lalu, dari arah mana bisa dinyatakan bahwa para penguasa negeri-negeri Islam wajib menerima, menyambut, dan memulyakan tamu dari kalangan para penguasa kafir yang lalim dan dzalim itu, dengan alasan bahwa Nabi saw pernah menerima dan menyambut Abu Sofyan bin Harb? Padahal, bukankah Nabi saw jelas-jelas menolak dan tidak menggubris kedatangan Abu Sofyan bin Harb, begitu pula sikap para shahabat? Atas dasar itu, menggunakan kisah kedatangan Abu Sofyan ke Madinah adalah istinbath yang keliru dan mengada-ada.<br /><br />Lalu, setelah penjelasan ini, masihkah ada orang yang tetap bersikukuh untuk menerima, menyambut, dan menghormati kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas terbukti menganiaya dan membunuhi ribuan kaum Muslim, serta merampok dan menguras habis kekayaan umat Islam?<br /><br />Kesimpulannya:<br /><br />(1) seorang Muslim, lebih-lebih lagi penguasa Muslim dilarang (haram) menerima dan menyambut kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi Islam dan kaum Muslim,<br /><br />(2) sikap sejati seorang Muslim adalah bersikap keras terhadap orang-orang kafir, dan membela saudara-saudaranya yang saat ini tengah dianiaya oleh orang-orang kafir,<br /><br />(3) jika penguasa Muslim memiliki kemampuan, maka ia wajib membebaskan saudara-saudara Muslimnya dari penjajahan, penganiayaan, serta pembunuhan yang dilakukan oleh kafir imperialis, dengan mencurahkan segenap kemampuan fisik maupun non fisiknya. Wallahul Musta’aan Wa Huwa Waliyut Taufiq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy; Lajnah Tsaqofi Hizbut Tahrir Indonesia]<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-27208597717623211162010-01-05T20:32:00.000-08:002010-01-05T20:36:47.314-08:00Pluralisme Bertentangan dengan Islam, Haram Menyebarkan dan Menerapkannya<img src="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:YaBJf5OZ88hJjM:http://www.longwood.edu/counseling/Menspage/images/PluralismLogo.gif" align="left" width="160" height="115"><br />Oleh : Ust Syamsuddin Ramadhan<br />Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur, isu pluralisme kembali menjadi perbincangan. Presiden SBY pun secara khusus memberikan gelar “Bapak Pluralisme” untuk Gus Dur. Padahal MUI sendiri dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Bagaimana sesungguhnya pluralisme itu dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya ?<br /><span class="fullpost"><br />Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengakui adanya pemikiran beragam -agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain. Kadang-kadang pluralisme juga diartikan sebagai paham yang menyatakan, bahwa kekuasaan negara harus diserahkan kepada beberapa golongan (kelompok), dan tidak boleh dimonopoli hanya oleh satu golongan. Merujuk pada definisi kedua ini, Ernest Gellner menyebut model masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan hak-hak individu sebagai masyarakat sipil (civil society). Gellner juga menyatakan bahwa civil society merupakan ide yang menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang mampu mengimbangi kekuasaan negara.<br /><br />Kemunculan ide pluralisme –terutama pluralisme agama- didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis yang sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Gagasan kelompok kedua ini bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-beda.<br /><br />Inilah gagasan-gagasan penting seputar ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media, misalnya dialog lintas agama, doa bersama, dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan pemerintah yang harus mengacu kepada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru. Setiap orang wajib menjunjung tinggi prinsip kebebasan berfikir dan beragama, seperti yang dicetuskan oleh para penggagas paham pluralisme.<br /><br />Argumentasi Para Penggagas Pluralisme Agama dan Koreksinya<br /><br />Meskipun ide pluralisme –baik yang beraliran agama global maupun kesatuan transenden — ditujukan untuk meredam konflik akibat adanya keragaman agama, dan truth claim, namun ide ini ujung-ujungnya malah menambah jumlah agama baru dengan truth claim yang baru pula. Wajar saja jika ide ini mendapat tantangan keras dari agama beserta pemeluknya, terutama Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, para pengusung gagasan pluralisme berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini (pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Adapun alasan-alasan yang sering mereka ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut adalah sebagai berikut:<br /><br />a. Surat al-Hujurat Ayat 13<br /><br />Allah swt telah berfirman;<br /><br />يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ<br /><br />“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “(al-Hujurat:13).<br /><br />Menurut kaum pluralis, ayat ini menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme.<br /><br />Koreksi:<br /><br />Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama yang diajarkan oleh kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan bangsa. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam mengakui ‘klaim-klaim kebenaran” (truth claim) dari agama-agama, isme-isme, dan peradaban-peradaban selain Islam. Ayat ini juga tidak mungkin dipahami, bahwa Islam mengakui keyakinan kaum pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama yang ada di dunia ini menyembah Satu Tuhan, seperti Tuhan yang disembah oleh kaum Muslim. Ayat ini juga tidak mungkin diartikan, bahwa Islam telah memerintahkan umatnya untuk melepaskan diri dari identitas agama Islam, dan memeluk agama global (pluralisme). Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.<br /><br />Agar kita bisa memahami makna ayat tersebut di atas, ada baiknya kita simak kembali penjelasan para mufassir yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketaqwaan.<br /><br />Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, “Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as. Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggkan nenek moyang mereka. Kemudian Allah swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih. Mujahid berkata, “Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu’. Syekh Zadah berkata, “Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang lain….Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa menempuhnya ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada Allah.”<br /><br />Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa surat Hujurat ayat 13 hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku, bangsa, agama, dan lain-lain. Adanya keragaman suku, bangsa, bahasa, dan agama merupakan perkara alami. Hanya saja, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bahkan, Islam menolak klaim kebenaran yang dikemukakan oleh penganut-penganut agama selain Islam, dan menyeru seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam Islam, jika mereka ingin selamat dari siksa api neraka. Perhatikan ayat-ayat berikut ini;<br /><br />لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ(٦٧)وَإِنْ جَادَلُوكَ فَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُونَ(٦٨)اللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(٦٩)أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(٧٠)وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ(٧١)<br /><br />“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu. Mereka adalah orang-orang dzalim yang tidak mempunyai pembela.” (al-Hajj:67-71).<br /><br />Ayat ini dengan tegas menyatakan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) agama. Hanya saja, Islam tidak pernah mengakui kebenaran (truth claim) agama-agama selain Islam. Tidak hanya itu saja, ayat ini juga menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah swt. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya, dan menyembah kepada Tuhan yang sama?<br /><br />Di ayat yang lain, al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah swt hanyalah agama Islam.<br /><br />إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ<br /><br />“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imron:19).<br /><br />وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ<br /><br />“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).<br /><br />Pada tempat yang lain, Allah swt menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya. Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas.<br /><br />وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ<br /><br />“Dan diantara manusia ada yang mendewa-dewakan selain daripada Allah, dan mencintainya sebagaimana mencintai Rabb, lain dengan orang yang beriman, mereka lebih mencintai Allah. Kalau orang lalim itu tahu waktu melihat adzab Allah niscaya mereka sadar sesungguhnya semua kekuatan itu milik Allah, dan Allah amat pedih siksaNya.”(al-Baqarah:165).<br /><br />وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ<br /><br />“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (al-Taubah:30)<br /><br />اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ<br /><br />“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31)<br /><br />وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ<br /><br />“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah:18)<br /><br />لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ<br /><br />“Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan, “Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera Maryam.”(al-Maidah:72)<br /><br />Ayat-ayat di atas –dan masih banyak ayat yang lain– menyatakan dengan sangat jelas (qath’iy), bahwa Islam telah menolak truth claim semua agama selain Islam. Islam juga menyatakan dengan tegas, bahwa konsepsi Ketuhanan Islam berbeda dengan agama selain Islam yang ada pada saat ini, alias tidak sama. Sedangkan agama Yahudi dan Nashraniy sebelum disimpangkan oleh penganutnya, dahulunya masih memiliki konsepsi ketuhanan yang sama dengan agama Islam, yakni tauhid. Hanya saja, karena keculasan para penganutnya, akhirnya dua agama menyimpang jauh dari konsepsi tauhid. Dari sini bisa dipahami, bahwa Islam tidak sama dengan agama yang lain yang ada pada saat ini, baik dari sisi cara penyembahan (bentuk empirik), maupun konsepsi ketuhanannya (aspek gnosis). Fakta nash telah menunjukkan kesimpulan ini dengan sangat jelas. Oleh karena itu, menyamakan Islam dengan agama selain Islam jelas-jelas keliru dan menyesatkan, bahkan terkesan dipaksakan.<br /><br />Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang masuk ke neraka dan kekal di dalamnya. Padahal, al-Quran telah menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum Musyrik, tidak mungkin masuk ke surganya Allah, akan tetapi mereka kekal di dalam neraka. Perhatikan ayat berikut ini.<br /><br />وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ<br /><br />“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (al-Baqarah:111)<br /><br />Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Hujurat ayat 13 bukanlah pembenar bagi ide pluralisme agama. Ayat tersebut hanya berbicara pada konteks pluralitas suku, bangsa, dan agama, dan sama sekali tidak berbicara pada konteks gagasan pluralisme, seperti yang diklaim para pengusung ide pluralisme. Bahkan, nash-nash al-Quran jelas-jelas telah menyatakan pertentangan Islam dengan ide pluralisme.<br /><br />Demikianlah, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme, baik ide agama global maupun kesatuan transenden. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan keyakinan, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui kebenaran (truth claim) agama selain Islam.<br /><br />Adapun untuk memecahkan masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap dan pandangan yang jelas; yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan membiarkan pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan melenyapkan identitas agama-agama selain Islam, seperti gagasan kelompok pluralis pertama (global religion).<br /><br />Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan ‘aqidah Islam. Siapapun yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nashrani masuk ke surga, maka dia telah murtad dari Islam.<br /><br />b. Islam Tidak Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam<br /><br />Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat;<br /><br />لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ<br /><br />“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah:256)<br /><br />Surat al-Baqarah ayat 256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam, bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan, bahwa Islam mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar mengakui pluralitas (keragaman) agama.<br /><br />Koreksi:<br /><br />Sesungguhnya, ayat ini tidak bisa digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme. Ayat ini hanya berbicara pada konteks “tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk masuk Islam”. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Oleh karena itu, Islam tidak akan memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Islam membenarkan keyakinan dan ajaran agama selain Islam. Bahkan, ayat ini telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di dalam agama Islam, sedangkan agama yang lain jelas-jelas bathilnya. Hanya saja, kaum Muslim tidak diperbolehkan memaksa penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.<br /><br />Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-diin pada ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mu’taqid wa al-millah (keyakinan dan agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.<br /><br />Ayat ini tidak berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme yang diusung oleh kaum pluralis. Bahkan, ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak adanya pemaksaan atas penganut agama lain untuk masuk Islam hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui identitas agama mereka. Akan tetapi, Islam tidak mengakui sama sekali truth claim agama mereka. Bahkan, kaum Muslim diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam dengan hujjah dan hikmah.<br /><br />لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ<br /><br />“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” (al-Hajj:67)<br /><br />c. Surat al-Maidah : 69 dan Surat al-Baqarah: 62<br /><br />Dua ayat ini juga sering digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah:<br /><br />إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ<br /><br />“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(al-Maidah:69)<br /><br />إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ<br /><br />“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah:62).<br /><br />Sesungguhnya, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabi’un, yang taat kepada ajaran agamadan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Akan tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama-agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain).<br /><br />Untuk menafsirkan surat al-baqarah ayat 62, ada baiknya kita simak penuturan ahli tafsir berikut ini:<br /><br />Menurut al-Sudiy, ayat ini (al-Baqarah: 62) turun berkenaan dengan shahabat-shahabatnya (pendeta-pendeta) Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan mereka. Salman ra bercerita kepada Nabi saw, “Mereka mengerjakan sholat, berpuasa, dan beriman kepada kenabian Anda, dan bersaksi bahwa Anda akan diutus oleh Allah swt sebagai seorang Nabi.” Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”<br /><br />Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85]. Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan (agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.” Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.<br /><br />Dari uraian di atas jelaslah, dua ayat di atas ditujukan kepada umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Topiknya sangat jelas, bahwa umat-umat terdahulu yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten pada zaman itu; semisal umat Yahudi yang konsisten mengikuti kitab Taurat, menyakini dan menjalankan isinya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Adapun setelah Nabi Mohammad saw diutus di muka bumi ini, maka tidak ada satupun agama –selain Islam—yang mampu menyelamatkan pemeluknya dari kekafiran, kecuali jika mereka mau memeluk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa ahlul kitab dan kaum musyrik –setelah diutusnya Mohammad saw—terkategori muslim, dan berhak memperoleh pahala dari Allah swt.<br /><br />Selain itu, pemelintiran makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayat-ayat itu [al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja akan bertolak belakang dengan sabda Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi, dan Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka.” [HR. Muslim dan Ahmad]<br /><br />Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada nabi, di antara aku dan ia, yakni ‘Isa as, sesungguhnya ia adalah tamu. Bila kalian melihatnya, maka kalian akan mengenalnya sebagai seorang laki-laki yang mendatangi sekelompok kaum yang berwarna merah dan putih, seakan kepalanya turun hujan, bila ia tidak menurunkan hujan, maka akan basah, Dan ia akan memerangi manusia atas Islam, menghancurkan salib, membunuhi babi, mengambil jizyah, saat itu Allah menghancurkan seluruh agama kecuali Islam, sedangkan ‘Isa as menghancurkan Dajjal. Dan ia berada di muka bumi selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin mensholatkannya.” (HR. Abu Dawud)<br /><br />Al-Quran sendiri telah memberikan predikat Ahli Kitab –Yahudi dan Nashrani—sebagai orang-orang musyrik. Allah swt berfirman: “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31). Redaksi sebelumnya dinyatakan, bahwa orang-orang Yahudi berkata, “‘Uzair adalah putera Allah” dan orang Nashrani berkata,” Al Masih putera Tuhan”.<br /><br />Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani terkategori kaum musyrik, bukan Muslim. Lantas, bagaimana bisa disimpulkan; kaum Yahudi dan Nashrani yang ada sekarang ini terkategori Muslim dan berhak mendapatkan pahala dari Allah swt, sementara itu mereka telah kafir dan musyrik? Bukankah Allah swt telah berfirman di dalam al-Quran:<br /><br />“Oleh karena itu, siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia tidak diperkenankan oleh Allah masuk surga, dan tempat kembalinya adalah neraka.”(al-Maidah:72).<br /><br />“Sungguh telah kafir mereka yang mengatakan bahwa Tuhan itu ketiga dari yang ke tiga, padahal Tuhan itu hanya satu. Jika mereka belum berhenti berkata demikian, tentulah mereka yang kafir itu, akan mendapat siksa yang sangat pedih.” (al-Maidah:73)<br /><br />“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.”(Ali Imron:19)<br /><br />“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).<br /><br />Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Baqarah ayat 62 dan surat al-Maidah ayat 59 sama sekali tidak berhubungan dengan paham pluralisme.<br /><br />d. Ayat Tentang Kalimatun Sawa’<br /><br />Para pengusung ide pluralisme juga menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kalimatun sawa’.<br /><br />قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ<br /><br />“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali Imron:64])<br /><br />Para pengusung gagasan pluralisme mengatakan, bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama langit yang memiliki prinsip-prinsip ketuhanan dan berasal dari Tuhan yang sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan, bahwa umat Islam, Yahudi, dan Kristen berasal dari keturunan Ibrahim as; sehingga ketiga pemeluk agama besar itu memiliki akar kesejarahan dan nasab yang sama. Mereka pun menyimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nashraniy dalam masalah ketuhanan. Semua menyembah kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kalimat sawa’. Dengan kata lain, Islam pun pada dasarnya mengakui kebenaran konsep ketuhanan agama Yahudi dan Kristen sekarang ini. Akhirnya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama-sama benarnya dan sama-sama punya kans masuk ke surganya Allah swt. Sesungguhnya, penafsiran kaum pluralis tersebut, benar-benar telah menyimpang jauh dari makna sebenarnya.<br /><br />Untuk mengetahui makna hakiki dari frase kalimat sawa’, kita dapat merujuk kepada ulama tafsir yang lebih kredibel dan netral dari kepentingan barat, diantaranya adalah Imam Ibnu Katsir.<br /><br />Menurut Ibnu Katsir, frase “kalimat” di dalam surat Ali Imron ayat 64 tersebut dipakai untuk menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu adalah “sawaa’ bainanaa wa bainakum” (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dengan kalian). Frase ini merupakan sifat yang menjelaskan kata “kalimat” yang memiliki makna dan pengertian tertentu. Adapun makna hakiki yang dituju oleh frase “kalimatun sawaa’ sawaa’ bainanaa wa bainakum” adalah kalimat tauhid, yaitu “allaa na’budu illaa Al-Allah” (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah). Inilah makna sesungguhnya dari kalimat sawa’, yaitu kalimat Tauhid; yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (ilah) yang berhak untuk disembah kecuali Allah swt; bukan patung, rahib, api, dan sebagainya. Kalimat ini (kalimat tauhid) adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh Rasul yang diutus oleh Allah swt, termasuk di dalamnya Musa as dan Isa as. Allah swt berfirman:<br /><br />وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ<br /><br />“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.” (al-Nahl:36)<br /><br />وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ<br /><br />“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (al-Anbiyaa’:25)<br /><br />Dari sini dapat disimpulkan, bahwa surat Ali Imron ayat 64 di atas sama sekali tidak menyerukan kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain Islam. Sebaliknya, ayat tersebut justru berisikan ajakan kepada ahlul kitab (baik Yahudi dan Nashraniy) untuk kembali mentauhidkan Allah swt, sebagaimana yang telah diajarkan pertama kali oleh Musa as dan Isa as. Sebab, kaum Yahudi dan Nashrani telah menyimpang jauh dari konsepsi Tauhid. Mereka telah menjadikan ahbar (pendeta-pendeta) dan ruhban (rahib-rahib) sebagai sesembahan selain Allah swt. Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Quran dengan sangat jelas. Allah swt berfirman:<br /><br />اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ<br /><br />“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31)<br /><br />Walaupun ayat ini tidak menyatakan, bahwa ahbar itu ditujukan khusus untuk kaum Yahudi, dan ruhban untuk kaum Nashrani, akan tetapi konsensus pengguna bahasa Arab telah memahami, bahwa dua kata tersebut khusus untuk orang Yahudi dan Nashrani.<br /><br />Dari sinilah bisa dipahami, bahwa ayat ini merupakan seruan kepada orang Yahudi dan Nashrani agar mereka kembali ke jalan Tauhid, setelah mereka menyimpang jauh dari jalan tersebut (tauhid); yaitu ketika orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah, dan tatkala orang Nashrani mengatakan bahwa Isa as adalah putera Tuhan. Surat Ali Imron di atas tidak lain tidak bukan adalah ajakan agar orang Yahudi dan Nashraniy meninggalkan kemusyrikannya dan kembali menyembah kepada Allah swt semata, dan mengikuti ajaran Mohammad saw.<br /><br />Demikianlah, ayat ini sama sekali tidak berbicara pada konteks kesatuan dan kesamaan agama seperti yang dinyatakan oleh kaum pluralis. Ayat ini sama sekali juga tidak menunjukkan, bahwa Islam mengakui gagasan pluralisme yang dijajakan di negeri kaum Muslim. Sebaliknya, ayat ini merupakan ajakan dan seruan kepada ahlul kitab agar mereka kembali kepada jalan yang lurus, yakni agama Tauhid seperti yang telah diajarkan oleh Musa dan Isa as. WaLlâh a’lam bi al-shawâb<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-56000787927868720782009-11-10T01:33:00.000-08:002009-11-10T01:39:20.014-08:00MAFIOSO PERADILAN; BUKTI BOBROKNYA SISTEM PERADILAN SEKULER<img src="http://hadiguna.files.wordpress.com/2009/08/korupsi1.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Oleh : Ust. Harist Abu Ulya<br />Masyarakat luas telah mengikuti pemutaran rekaman sebagian dari episode kisruh “cicak-buaya” yang disiarkan langsung oleh televisi selama kurang lebih 4,5 jam pada tanggal 3 November 2009. Ini menjadi sebuah jejak rekam potret peradilan di Indonesia makin buruk dan jatuh pada titik paling nadzir.Seolah ini juga menjadi jawaban atas dugaan dan kegelisahan masyarakat luas selama ini atas sebab minimnya nilai keadilan bagi mereka.<br /><span class="fullpost"><br />Ibarat gunung es, rekaman pembicaraan tadi hanyalah menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya, yakni adanya mega korupsi yang sangat luar biasa telah terjadi di negeri ini, baik dari segi jumlah uang yang dikorup, kecanggihan praktik sampai jumlah orang dan pihak yang terlibat di dalamnya. Berlanjut pasca di publikasikannya rekaman telpon hasil penyadapan KPK di depan MK tersebut, menjadi titik balik gugatan masyarakat terhadap seluruh instrumen penegak hukum dan peradilan serta terhadap penguasa yang selama ini merasa legitimate.<br /><br />Mereka mengekspresikan dalam berbagai bentuk, dari demonstrasi, senam sehat hingga seni parodi (sindiran dan ejekan) dari kecaman didunia maya (internet) hingga di dunia nyata. Dan fenomena oposisi jalanan makin menguat, Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum sangat rendah, bahkan dari berbagai jajak pendapat 89,8% masyarakat percaya keputusan hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang. (Jajak pendapat Kompas,9/11/09).<br /><br />Bahkan masyarakat dibuat jenggah dan bingung ketika semua pihak yang terkait dalam kasus ini merasa menjadi yang paling benar dengan berbagai argumentasi. Sebagian masyarakat semakin kecewa ketika sekelompok orang yang mengatas namakan wakil rakyat (DPR) hilang sikap kritisnya bahkan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat, dan mendorong kemungkinan, “oposisi jalanan semakin menguat” seperti yang dikatakan Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid, (kompas, 9/11/09). Masyarakat seperti meraba obyek diruang gelap dan sangat bisa tertipu dan mendapatkan jawaban akhir dari kasus ini diluar dugaan. Karena bisa jadi penjahat negara dia tampil dalam balutan sosok kesatria, para begundal mafioso yang memporakporandakan kebenaran dan keadilan dalam wajah pengak-penegak hukum yang dibanggakan, menjadi pembela nafsu konglomerat tapi tampil seperti sang pembela rakyat.<br /><br />Akhirnya masyarakat sekarang seolah menjadi masyarakat yang terdidik, melek hukum, dan sadar politik.Respon penguasa dengan mencanangkan program “ganyang Mafia” peradilan/hukum pada tanggal 5/11/09 sebagai bagian dari agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, tidak menjadikan otomatis masyarakat percaya.Karena seperti pepatah nasi telah menjadi bubur, juga sekalipun pemerintah kembali membuka PO Box 9949 berikut dengan kode GM (Ganyang Mafia) untuk menerima laporan masyarakat yang menjadi korban. Tapi dari peristiwa pemutaran rekaman diatas telah membuka mata semua warga negara, betapa mafia peradilan telah berurat akar di negeri Indonesia. Kasus suap menyuap dan korupsi sudah menjadi perkara lazim dalam wilayah peradilan.<br /><br />Hukum tunduk kepada pemilik modal (uang), hukum tidak berpihak bagi masyarakat miskin.Keadilan di takar dengan tumpukan uang, dan hukum bisa diperjual belikan serta dinego. Seolah penguasa negeri ini, baru bangun tersadar setelah semua penyakit kronis ini disorot dengan tajam oleh masyarakat dengan rasa “geram” luar biasa. Dan fakta bahwa problem korupsi tidak hanya di ranah peradilan, tapi menyangkut para pejabat eksekutif mulai dari menteri, gubernur, bupati, walikota hingga seorang lurah, yang memegang kuasa kelola berbagai proyek strategis kepentingan masyarakat menjadi pelaku dan kasusnya banyak mengendap begitu saja.<br /><br />Fakta-fakta yang meruntuhkan kepercayaan Masyarakat<br /><br />Sebuah pelajaran berharga, dari peristiwa diatas menjadi indikasi kuat betapa amburadulnya perihal hukum di Indonesia, tepatnya aparat hukum dan lembaga-lembaga hukum yang ada serta Undang-Undang yang dijadikan acuan lahirnya keadilan bagi masyarakat dalam berbagai kasus sengketa. Undang-Undang yang ada belum bisa mencover seluruh persoalan sengketa masyarakat yang butuh keadilan, hingga masih membutuhkan tim atau kepanitian baru setiap kasus yang menemui jalan buntu. Adanya Tim Pencari Fakta berbagai kasus peradilan di negeri ini sering kali terjadi, terakhir dalam kisruh KPK melahirkan Tim 8 yang sebagian pihak berpendapat makin menjadikan masalah hukum dan peradilan menjadi blunder, dan menimbulkan kontraksi pada setiap institusi penegak hukum.<br /><br />Global Corruption Report melansir sekitar US$ 40 miliar atau setara Rp 400 triliun digunakan dunia usaha untuk menyuap pejabat publik setiap tahun. Pemberian suap itu bertujuan untuk memudahkan bisnis dan bahkan ada yang bermotif politik mempertahankan pemerintahan yang korup. Suap, sepertinya sudah bukan hal yang asing terdengar dalam berbagai macam urusan apapun di negeri ini, “dengan suap itu kemudian bisa menyulap suatu kebijakan publik yang memberi kemudahan bisnis,” dan semua itu modus operandinya dilakukan sangat terorganisisr, kata Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis, pada peluncuran Global Corruption Report 2009, di Jakarta, Rabu (7/10).<br /><br />Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.<br /><br />Kasus korupsi yang ditangani KPK sejak Januari 2008-Agustus 2009 didominasi oleh modus suap. Sesuai data ICW (Indonesia Coruption Watch) terungkap, dari 95 kasus, ada 34 kasus atau 35,79 persen modusnya suap. Menyusul mark up 19 kasus atau 20 persen, penggelapan atau pungutan 18 kasus (18,95 persen), penyalahgunaan anggaran 15 kasus (15,79 persen), penunjukan langsung 8 kasus atau 8,42 persen, dan 1 kasus pemerasan. “Modus korupsi terbanyak yang diungkap KPK adalah suap. Ini merupakan salah satu cara memutus rantai akar korupsi,” kata Febri Diansyah, peneliti hukum ICW, di Jakarta, Jumat (28/8). Sedangkan dilihat dari latar belakangan profesi, tersangka korupsi paling dominan swasta.<br /><br />Dari 95 tersangka, 19 di antaranya adalah swasta, disusul anggota DPR/DPRD 18 orang, pejabat eselon dan pimpro 17 orang. Duta besar, pejabat konsulat, dan imigrasi ada 13 orang yang jadi tersangka, kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) 12 orang, dewan gubernur/pejabat Bank Indonesia 7 orang, pejabat BUMN 5 orang, dan komisi negara 2 negara. Untuk aparat hukum dan BPK masing-masing 1 orang. “Penyelenggara negara maupun swasta yang terkait korupsi itu karena merugikan keuangan negara, suap, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan konflik kepentingan,”.<br /><br />Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak tepat sasaran. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.<br /><br />Tentu tidak salah dari data diatas masyarakat sampai pada sebuah kesimpulan, mafioso peradilan betul-betul telah mengakar dan meruntuhkan sistem peradilan di negeri ini. Dan menyebabkan jalannya roda pemerintahan terganggu, karena para birokrat tidak bekerja secara optimal.Yang pasti efek dominonya adalah masyarakat semakin menderita dan menggantang asap keadilan, karena hukum tidak bisa diraih dengan tangan yang hampa uang dan harta. Bila keadaan ini terus berlanjut, akan meniscayakan runtuhnya sebuah pemerintahan, apalagi jika kepentingan asing ikut bermain seperti yang sudah menggejala di Indonesia.<br /><br />Apakah umat ini akan terus mempertahankan produk hukum peradilan dari sistem sekuler seperti hari ini? Lantas seperti apa peradilan dalam Islam sebagai solusi atas bobroknya sistem peradilan sekuler ini?<br />Solusi Islam mengeliminir korupsi dan mafia peradilan<br />Sebagai sistem hidup, Islam memiliki sejumlah cara yang sangat gamblang untuk menanggulangi masalah yang untuk negeri ini sudah demikan kronis, diantaranya adalah:<br /><br />1. Sistem penggajian yang layak. Salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah kurangnya gaji yang diterima para pegawai pemerintah. Sebagai manusia biasa, para birokrat tentu juga memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, kepada mereka diberikan gaji dan fasilitas yang layak. Berkenaan dengan soal ini, Rasul berkata,”Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah: jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya<br />diberi. Dan barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”(HR.Abu Dawud).<br /><br />2. Larangan penerimaan suap dan hadiah. Tentang suap, Rasulullah SAW berkata, ”Laknat Allah<br />terhadap penyuap dan penerima suap“ (HR.Abu Dawud). Suap menyebabkan penyimpangan kebijakan diskriminasi dan merusak mental birokrat .<br /><br />3. Penghitungan kekayaan. Untuk menjaga dari berbuat curang, Khalifah Umar menghitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai pegawai negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan tidak wajar, Umar memerintahkan segera menyerahkan kelebihan itu kepada negara.<br /><br />4. Teladan dari pemimpin. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan juga tidak sulit dilakukan. Khalifah Umar misalnya, menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan itu bersama beberapa unta lain digembalakan di padang rumput milik negara. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara. Demi agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada rakyatnya.<br /><br />5. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima resiko yang akan mencelakakan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berfikir sekian kali untuk melakukan kejahatan. Dalam Islam, tindak korupsi merupakan jarimah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuk bisa berupa hukuman tasyhir (perwartaan dulu diarak, sekarang mungkin bisa ditayangkan di tv) atau hukuman kurungan.<br /><br />6. Pengawasan masyarakat. Masyarakat jelas turut berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Bila didalam masyarakat tumbuh budaya anti korupsi, bukannya malah memancing timbulnya korupsi, maka insya Allah, masyarakat akan berperan efektif dalam mengawasi setiap tindakan para birokrat. Akhirnya korupsi bisa ditekan.<br /><br />7. Pengendalian diri yang bersumber dari iman yang teguh. Korupsi atau tidak, pada akhirnya memang berpulang pada kekuatan iman dan kontrol diri para birokrat itu sendiri. Dengan iman yang teguh, ia akan merasa selalu diawasi Allah dan takut untuk melakukan penyelewengan. Takut rizki yang diterimanya selain tidak berkah, juga akan membawanya kepada adzab neraka. Dan terlebih lagi, ia takut akan murka Allah.<br /><br /><br /><br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-55820969841123946642009-11-09T15:44:00.000-08:002009-11-09T15:55:03.789-08:00SELAMATKAN INDONESIA DENGAN SYARIAH, BERSIHKAN INDONESIA DARI SISTEM DAN BIROKRAT YANG KORUP!!<img src="http://elections.thinkaboutit.eu/wp-content/uploads/2009/02/corruption.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Diperdengarkannya rekaman berdurasi sekitar 4,5 jam pembicaraan telepon antara Anggodo (adik buron koruptor Anggoro) dengan dan atau tentang sejumlah pihak, baik dari kalangan kepolisian, kejaksaan, pengacara maupun instansi lain di depan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa 3 November lalu, menguak bukan saja tentang adanya rekayasa kriminalisasi KPK, khususnya terhadap dua pimpinannya, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, tapi juga menunjukkan dengan sangat gamblang betapa praktik korupsi sudah demikian merasuk ke relung jantung dan sumsum negeri ini, sekaligus juga menunjukkan betapa korupnya birokrat negeri ini. Sampai-sampai birokrat kepolisian dan kejaksaan yang semestinya menjadi benteng paling kokoh dalam penegakan hukum justru menjadi pihak yang paling telanjang mempermaikan hukum.<br /><span class="fullpost"><br />Tapi Hizbut Tahrir Indonesia menilai, kenyataan tadi hanyalah sekadar mengkonfirmasikan apa yang telah menjadi omongan banyak pihak tentang betapa parahnya korupsi di negeri ini. Ibarat gunung es, rekaman pembicaraan tadi hanyalah menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya, yakni adanya mega korupsi yang sangat luar biasa telah terjadi di negeri ini, baik dari segi jumlah uang yang dikorup, kecanggihan praktik sampai jumlah orang dan pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus Anggodo, korupsi dalam bentuk penyuapan, melibatkan oknum kepolisian, kejaksaan dan pengacara. Dalam kasus yang lain, misalnya alih fungsi hutan, pemilihan pejabat BI dan kasus lainnya, melibatkan pejabat daerah atau pimpinan BI dan anggota DPR. Sementara, dalam kasus seperti BLBI yang telah merugikan negara ratusan triliun rupiah, melibatkan oknum pejabat BI, pejabat bank, pejabat tinggi pemerintahan, bahkan pada tahap lanjut juga melibatkan anggota DPR, kepolisian, kejaksaan, pengacara, kalangan pers dan lainnya. Dan korupsi bukan hanya terjadi di tingkat pusat tapi juga berlangsung di level lebih rendah, baik di tingkat provinsi, kota kabupaten juga di kecamatan bahkan kelurahan.<br /><br />Maka, korupsi di Indonesia sungguh telah menjadi persoalan yang amat akut. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.<br /><br />Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Berapa kerugian negara akibat korupsi? Sangat besar. Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak tepat sasaran. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.<br /><br />Melihat kenyataan di atas, maka Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:<br /><br />1. Korupsi tidak bisa tidak harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Bila tidak, ia akan makin merusak perikehidupan bangsa dan negara baik dari sisi politik, ekonomi, sosial dan akhlaq. Beberapa langkah menurut syariat Islam yang harus ditempuh untuk memberantas korupsi adalah:<br /><br />a. Penetapan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Itu sulit berjalan dengan baik, bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarganya. Maka, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, kepada mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.<br /><br />b. Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena untuk apa memberi sesuatu bila tanpa maksud, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak sesuai dengan harapan pemberi hadiah. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar – separo untuk kaum Muslim dan sisanya untuk orang Yahudi – datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi. Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR. Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.<br /><br />c. Perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang tepat untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi Khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini justru ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.<br /><br />d. Teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terutama pemimpin tertinggi sebuah negara terlebih dahulu harus bersih dari korupsi. Dengan ketakwaannya, seorang pemimpin bisa menjalankan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan ketakwaannya pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungan jawab. Di sinilah perlunya keteladanan dari para pemimpin itu. Dengan keteladanan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bila korupsi justru dilakukan oleh para pemimpin, praktek busuk ini tentu akan cenderung ditiru oleh bawahannya, hingga semua upaya apa pun dalam memberantas korupsi menjadi tidak ada artinya sama sekali.<br /><br />e. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.<br /><br />f. Pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.<br /><br />2. Tapi korupsi sesungguhnya hanya merupakan buah dari sistem yang korup, yaitu sistem Kapitalisme, dengan akidah Sekularisme dan asas manfaatnya. Sistem ini mendorong orang menjadi berpandangan materialistik. Semua hal dihitung dan diletakkan dalam konteks materi, serta untung dan rugi. Tak heran, bila semua hal baik itu jabatan, kewenangan, ijin, lisensi, keputusan hukum, kebijakan pemberitaan, peraturan perundang-undangan dan sebagainya, juga mestinya harus bisa dibuat agar memberikan keuntungan materi. Dari sinilah sesungguhnya hasrat korupsi itu timbul. Karena itu, bila benar-benar ingin menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia, maka selain harus dibersihkan dari birokrat yang korup, negeri ini juga harus dibersihkan dari sistem yang korup, yaitu sistem Sekuler – Kapitalistik ini. Sebagai gantinya adalah sistem syariah yang secara pasti senantiasa akan mengkaitkan semua derap hidup manusia di semua aspek kehidupan dengan keimanan kepada Allah SWT, dzat Maha Melihat dan Maha Mendengar<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-48623846294524682002009-10-19T16:28:00.000-07:002009-10-19T16:32:22.937-07:00Al Quds Tidak Bisa Dibebaskan Hanya Dengan Demonstrasi<img src="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:lFO97bGlLhe3DM:http://www.knrp.or.id/files/image/berita/pembagian_aqsa.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />بسم الله الرحمن الرحيم<br /><br />هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ<br /><br />Ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya (TQS Ibrahim [14]: 52)<br /><br />Al-Quds, dengan Protes dan Demonstrasi … Tidak Bisa Kembali<br /><br />Dan Akan Kembali ke Pangkuan Kaum Muslim<br /><br />Hanya dengan Mobilisasi Tentara untuk Mencabut Entitas Yahudi!<br /><span class="fullpost"><br />Yahudi memprovokasi kaum Muslim di masjid al-Aqsa pagi dan petang. Kadang kala dengan menggali bagian di bawah masjid atau di lain waktu dengan merusak bagian atasnya. Pada kesempatan yang lain dengan mempersulit orang-orang yang melaksanakan shalat, sehingga Yahudi kadang memberi izin kadang yang lain melarang. Dan di waktu yang lain dengan menaruh peci-peci mereka untuk mendeklarasikan ritual-ritual mereka… Jika kaum Muslim menghadang mereka, maka orang-orang Yahudi melempari mereka dengan peluru, sehingga kaum Muslim ada yang terbunuh, terluka dan ditangkap. Sedangkan para penguasa di negeri-negeri kaum Muslim, mereka hanya menghitung korban tewas, terluka dan yang ditangkap. Sikap terbaik dari mereka hanyalah “memberikan karunia” kepada masyarakat dengan mengizinkan mereka melakukan aksi protes, mengajukan keberatan, dan berteriak menentang Yahudi dan begundalnya tanpa melakukan penguntitan atau penangkapan!<br /><br />Semua itu tidak bisa membuat bulu kuduk Yahudi berdiri sehelai pun. Juga tidak bisa membuat Yahudi mundur satu langkah pun. Sesungguhnya Yahudi bersama dengan para penguasa itu memiliki catatan hitam atas masjid al-Ibrahimi di al-Khalil. Yahudi telah membagi dengan penduduknya dengan pembagian yang tidak adil: pihak musuh yang menduduki tanah al-Khalil (Yahudi) boleh pergi dan bersenang-senang pagi dan petang kapan saja ia mau. Sedangkan bagi penduduk al-Khalil tempat di mana masjid al-Ibrahimi berada, pihak musuh –Yahudi- “membuat undang-undang” yang mengatur bagaimana dan kapan penduduk al-Khalil boleh masuk masjid al-Ibrahimi!<br /><br />Wahai Kaum Muslim<br /><br />Bisa jadi merupakan perkara yang agung dan mulia, yang layak dicatat di lembaran putih, kalau orang-orang yang ada di bawah pendudukan melakukan protes dan penolakan untuk membela masjid al-Aqsa… Tetapi bukan perkara yang besar dan bukan upaya mulia yang layak dicatat di dalam pembaran-lembaran putih, melainkan dicatat di lembaran-lembaran asing nan hitam, jika kaum Muslim yang ada di luar tanah yang diduduki mencukupkan diri dengan aksi protes dan demonstrasi… dan dengan protes melalui pidato-pidato yang membakar di berbagai lapangan…!<br /><br />Dahulu Palestina telah diduduki oleh kaum salibis. Mereka membuat kerusakan dan merusak di masjid al-Aqsa. Darah para syuhada kaum Muslim menggenang di area masjid sampai di atas lutut! Kaum salibis menghancurkan mimbar al-Aqsa. Mereka merubah masjid menjadi tempat menambatkan kuda-kuda mereka… Akan tetapi kaum Muslim tidak menyibukkan diri melakukan aksi protes dan penolakan untuk membebaskan al-Aqsa. Mereka juga tidak menyibukkan diri membangun mimbar yang mereka buat di bawah pendudukan untuk memakmurkan al-Aqsa. Akan tetapi misi mereka siang dan malam adalah menyiapkan pasukan, memobilisasi tentara mukmin yang benar dengan kepemimpinan Shalahuddin, wali Mesir dan Syam di bawah khilafah yang memerintah menurut apa yang diturunkan oleh Allah dan berjihad di jalan Allah.<br /><br />Dahulu protes-protes kaum Muslim adalah lompatan-lompatan tentara terhadap benteng-benteng kaum salibis. Penolakan-penolakan mereka adalah berupa pukulan-pukulan yang menghantam kepala-kepala orang-orang yang melampaui batas itu. Pidato-pidato membakar kaum Muslim adalah teriakan takbir di medan pertempuran. Dan dimasukannya mimbar ke masjid al-Aqsa adalah pada saat pembebasannya, bukan di bawah pendudukan. Mereka menolong Allah maka Allah menolong mereka.<br /><br />إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ<br /><br />Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS al-Hajj [20]: 40)<br /><br />Begitulah kaum Muslim dahulu. Mereka mulia dengan agama mereka dan kuat karena pertolongan Rabb mereka. Mereka menyibukkan diri dalam menyiapkan pasukan untuk membebaskan al-Aqsa dari najis kaum salibis dan menerangi al-Aqsa dengan cahaya para tentara yang memekikkan takbir berkat pertolongan dan kemenangan yang nyata. Untuk semisal itulah hendaknya para aktivis berjuang. Sesungguhnya metode membela al-Aqsa dan sekitarnya bukannya tidak diketahui, akan tetapi hal itu sangat jelas di atas pengetahuan, lebih terang dari pada api:<br /><br />Yaitu memobiliasi tentara kaum Muslim dan menghimpun orang-orang yang mampu menjadi tentara bergabung di dalam pasukan kaum Muslim itu untuk mencabut entitas Yahudi dari akar-akarnya dan mengembalikan al-Aqsa bebas mulia dan bersih dari kotoran Yahudi dan siapa yang ada di belakang Yahudi…<br /><br />Sesungguhnya itulah perlakuan bagi Palestina sebagai satu kesatuan dari sungai hingga lautnya, tanpa memecah-mecahnya antara bagian yang diduduki pada tahun 1948 dan yang diduduki pada tahun 1967. Siapa saja yang menarik diri dari sebagian kecil tanah Palestina maka ia pasti akan mundur dari bagian yang lain dan bagian yang lainnya lagi. Dan siapa saja yang menghinakan diri maka itu mempermudah kehinaan terhadapnya…<br /><br />Sesungguhnya metode membela al-Aqsa adalah dengan menginjak-injakkan kaki pada rencana perundingan dengan Yahudi berupa peta jalan menuju pembentukan dua negara… bahkan menginjak-injakkan pada bagian atas dan bawahnya dan huruf-hurufnya diulang-ulang dan oleh para pengusung panjinya. Palestina tidak menerima pembagian menjadi dua bagian. Palestina adalah tanah yang diberkahi, semuanya adalah tanah Islami, tidak ada satu jengkal pun yang kosong dari darah para mujahid atau debu kuda-kuda para mujahid.<br /><br />Sesungguhnya metode membela al-Aqsa adalah umat berdiri di hadapan para penguasanya agar para penguasa itu memobilisasi pasukan untuk berperang. Jika mereka tidak mau melakukanya, maka umat akan menindak mereka dan mengangkat seorang penguasa yang mukmin dan benar. Yaitu seorang Khalifah ar-rasyid, yang umat berperang di belakangnya, yang menjual dirinya demi mendapatkan keridhaan Allah. Seorang Khalifah yang tidak akan menempatkan pasukan tetap berdiam di barak hanya untuk perhiasan dan perayaan. Akan tetapi adalah untuk meraih salah satu dari dua kebaikan dan pembebasan kiblat pertama di antara dua kiblat.<br /><br />Wahai Kaum Muslim<br /><br />Musuh-musuh Islam dan antek-antek mereka telah berhasil memutuskan Palestina dari pokok dan akarnya. Mereka telah “mengkerdilkanya” dari masalah Islam menjadi masalah Arab, kemudian menjadi masalah Palesina “nasionalisme”. Kemudian mereka membaginya di antara Gaza dan Tepi Barat! Kemudian menjadi masalah pemukiman. Mereka “menyelam” di kedalaman kata-kata: Apakah pemukiman akan dihentikan, dibekukan, dibatasi, diatur… semuanya atau total?! Dan terjadilah diskusi, dan diskusi. Sementara entitas Yahudi tidak mengacuhkan semua itu. Akan tetapi berlawanan dengan semua diskusi tentang pemukiman, meninggikan pondasi, pilar atau dinding… Entitas Yahudi meninggikan bangunan dan membungkusnya dengan marmer. Mereka meninggikan suara dengan kata-kata gurauan!<br /><br />Begitulah, musuh-musuh Islam berhasil menurunkan masalah dari ketinggiannya. Mereka membebaskan siapa saja yang menjadi pengikut mereka dari kesalahan … Sehingga masalah itu menjadi masalah Palestina atau lebih kecil dari itu! Para penguasa hanya melihatnya dari kejauhan. Para penguasa itu hanya bersikap netral atau malah lebih dekat kepada musuh, maka dilaknati Allah lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Akan tetapi yang lebih menyakitkan adalah bahwa di antara penduduk Palestina ada yang mendapatkan kemuliaan dengan perbuatan dosa. Dia berteriak: “Wahai para penguasa , kami tidak menginginkan tentara Anda, kami cukup! Padahal semua orang yang berakal bisa memahami, bahwa menghilangkan entitas Yahudi dan mengembalikan Palestina ke pangkuan negeri Islam tidak akan sempurna kecuali oleh sebuah negara yang memobilisasi tentara yang mengalahkan entitas Yahudi. Dengan selain itu pelenyapan entitas Yahudi tidak akan terealisir dan Palestina tidak akan bisa dikembalikan secara total ke pangkuan negari-negeri Islam. Sesungguhnya setiap orang Muslim di dalam negeri Palestina atau di luar negeri, baik individu maupun kelompok, menasehati para penguasa agar tidak memobilisasi pasukan untuk menyelamatkan Palestina dan agar menyerahkan pembebasan Palestina kepada penduduknya yang berada di bawah pendudukan. Siapa saja yang demikian sungguh telah mengkhianati Allah, RasulNya dan kaum Mukmin. Karena dengan itu mereka telah mempertahankan Palestina di bawah pendudukan…<br /><br />Wahai Kaum Muslim<br /><br />Wahai Bapak-bapak dan Saudara-saudara Pasukan Kaum Muslim…<br /><br />Wahai Tentara-tentara Mujahid<br /><br />Sungguh al-Aqsa berteriak memanggil Anda dan Palestina meminta pertolongan Anda. Para wanita kaum Muslim menyeru Anda. Maka apakah Anda tidak menjawab mereka dan mencari salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau syahid; bahkan keduanya sekaligus dengan izin Allah, sehingga wajah-wajah orang Yahudi menjadi buruk, dan Anda memasuki masjid al-Aqsa sebagaimana para pembebas memasukinya pertama kali, dan membersihkan kotoran yang melekat pada Yahudi di al-Aqsa dan sekitarnya. Tidakkah Anda semua memenuhinya?<br /><br />Bukankah Anda melihat al-Aqsa ditawan, dilukai, bahkan dibunuhi. Sementara Anda akan diam saja memenuhi perintah para thaghut yang zalim? Tidakkah Anda takut akan ditimpa apa yang telah menimpa kaum yang bermaksiyat kepada Allah dan malah mentaati pemimpin mereka, sehingga mereka disesatkan dan dijerumuskan ke dalam neraka Jahannam<br /><br />يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاَ * وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ<br /><br />Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (QS al-Ahzâb [33]: 66-67)<br /><br />Bukankah Anda adalah pemilik kekuatan dan kekuasaan yang di tangan Anda lah penghancuran mahkota orang-orang zalim jika mereka menghalangi Anda untuk memerangi musuh-musuh Anda? Tidakkah pendengaran Anda digelitik oleh ayat-ayat Allah SWT<br /><br />إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا<br /><br />Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih (QS at-Tawbah [9]: 39)<br /><br />Wahai Kaum Muslim<br /><br />Wahai Bapak-bapak dan Saudara-saudara Pasukan Kaum Muslim…<br /><br />Wahai Tentara-tentara yang Terikat di Baraknya:<br /><br />Tidak adakah di antara Anda orang yang cerdas, sehingga menuntut balas untuk al-Aqsa kiblat pertama di antara dua kiblat? Tidak adakah di antara Anda orang cerdas, yang menuntut balas atas apa yang diderita oleh orang-orang tua, anak-anak yatim, dan wanita-wanita kaum Muslim?<br /><br />Tidak adakah di antara Anda orang cerdas, yang berani berdiri di hadapan para penguasa zalim dan komprador, yang menghalangi Anda untuk meraih satu dari dua kebaikan dan menyelamatkan kiblat pertama di antara dua kiblat? Tidak adakah di antara Anda seorang cerdas yang melengserkan thaghut-thaghut itu dan memimpin pasukan sebagai mujahid di jalan Allah dan penguasa yang memerintah menggunakan apa yang telah diturunkan oleh Allah, mengingat Allah di dalam kekuasaan yang berasal dari sisi-Nya dan membuat iri orang-orang pilihan dan para malaikat langit?<br /><br />Tidak adakah di antara Anda seorang cerdas, yang memahami firman Allah SWT tentag Yahudi:<br /><br />}لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلاَّ أَذًى وَإِنْ يُقَاتِلُوكُمْ يُوَلُّوكُمُ الأَدْبَارَ ثُمَّ لاَ يُنْصَرُونَ {<br /><br />Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan. (QS Ali Imran [3]: 111)<br /><br />Dan memahami sabda Rasulullah saw:<br /><br />«لَتُقَاتِلُنَّ الْيَهُودَ فَلَتَقْتُلُنَّهُمْ حَتَّى يَقُولَ الْحَجَرُ يَا مُسْلِمُ هَذَا يَهُودِيٌّ فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ»<br /><br />Sungguh Engkau akan memerangi Yahudi sehingga Engkau membunuh mereka sampai bebatuan pun berkata “hai Muslim ini Yahudi kemarilah bunuh dia”<br /><br />Tidak adakah di antara Anda seorang cerdas, yang suka dimuliakan oleh Allah yang Mahaperkasa dengan kepemimpinan para tentara untuk melenyapkan entitas Yahudi dan membebaskan al-Aqsa tujuan Isra’ dan tempat awal Mi’raj Rasul Saw ke langit yang tinggi?<br /><br />Dimanakah tentara-tentara Mesir tanah Kinanah? Dimana tentara negeri Syam ibukota Khilafah? Dimana tentara Irak tanah kaum rafidhin? Dimana rudal-rudal Iran, Turki, dan Pakistan?<br /><br />Bukankah lelucon mereka mengelilingi entitas Yahudi seperti gelang melingkari pergelangan tangan. Kemudian mereka tidak cenderung untuk menyerang entitas Yahudi itu sebagai satu kekuatan dan melenyapkannya serta mengembalikan Palestina secara total ke negeri Islam, meninggikan suara adzan dari menara al-Aqsa; adzan yang bebas dan mulia, lepas dari kotoran Yahudi, sehingga mereka akan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat?<br /><br />}قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ{<br /><br />Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman (QS at-Tawbah [9]: 14)<br /><br />Wahai Kaum Muslim<br /><br />Sesungguhnya pemimpin tidak akan mendustai penduduknya. Sungguh Hizbut Tahrir telah memberikan penjelasan yang benar kepada Anda, memurnikan nasehat dan peringatan kepada Anda … Hizbut Tahrir sekali lagi memperingatkan Anda:<br /><br />Siapa saja yang mencintai Palestina, al-Quds dan al-Aqsa; siapa saja yang mencintai tempat Isra’ dan Mi’raj Rasul Saw dan tanah yang diberkahi; siapa saja yang rambut kepalanya berdiri karena kejahatan-kejahatan Yahudi di al-Aqsa; siapa saja yang darah di nadinya mendidih karena tindakan Yahudi yang brutal terhadap orang-orang yang sedang beri’tikaf di al-Aqsa … maka hendaklah berjuang membelanya; dan dia seorang mukmin, hendaknya ia berjuang sungguh-sungguh bersama para aktivis dan pejuang untuk memobilisasi pasukan kaum Muslim ke medan perang. Jika para penguasa itu enggan maka hendaklah ia merubah mereka dan mewujudkan penguasa mukmin mujahid, seorang Khalifah ar-Rasyid, yang orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung… Mobilisasi pasukan kaum Muslim untuk memerangi Yahudi dan menghimpun orang-orang yang mampu untuk menjadi bagian dari tentara itu, merupakan jalan satu-atunya, tidak ada jalan lain untuk melenyapkan entitas Yahudi, menyelamatkan al-Quds dan mengembalikan Palestina secara total ke pangkuan negeri-negeri Islam.<br /><br />هَذَا بَلاَغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الأَلْبَابِ<br /><br />Ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (QS Ibrahim [14]: 52)<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-59959682389265731402009-10-13T15:54:00.000-07:002009-10-13T15:58:21.323-07:00Jihad Untuk Kemuliaan Hidup<img src="http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:4-M8d9zO1qTU_M:http://jurnal-ekonomi.org/wp-content/uploads/2008/05/jubir-hti-ismail-yusanto.jpg " align="left" width="160" height="115"><br />Oleh : M. Ismail Yusanto<br /><br />[ Opini Jawa Pos Selasa, 13 Oktober 2009 ]<br /><br />Seiring dengan keberhasilan aparat keamanan menangkap sejumlah orang yang diyakini terlibat aksi terorisme di Indonesia, slogan isy kariman au mut syahidan ramai dibicarakan. Semestinya, tidak ada yang salah dengan slogan atau doktrin tersebut. Sebagaimana tidak ada yang salah dengan kewajiban jihad bahwa yang terbunuh di jalan jihad fi sabilillah disebut syahid.<br /><span class="fullpost"><br />Dalam Islam, kewajiban jihad dalam pengertian perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimatullah adalah perkara yang mulia. Para imam mazhab dan ulama pengikutnya sepakat tentang kewajiban jihad dalam pengertian perang di jalan Allah SWT.<br /><br />Kalaupun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, itu bukanlah tentang kewajiban jihadnya. Namun, dalam perkara apakah hukum wajibnya, apakah fardu kifayah atau fardu ain. Atau, berhubungan dengan perkara teknis turunan dari kewajiban ini.<br /><br />Imam Nawawiy menjelaskan, ”Mazhab kami berpendapat, hukum jihad sekarang ini adalah fardu kifayah, kecuali jika kaum kafir menyerang negeri kaum muslim, seluruh kaum muslim diwajibkan berjihad (fardu ain). Jika penduduk negeri itu tidak memiliki kemampuan (kifayah untuk mengusir mereka), seluruh kaum muslim wajib berjihad hingga kewajiban itu tersempurnakan (mengusir orang kafir) (Syarah Shahih Muslim, juz 8/63-64).”<br /><br />Ulama juga sepakat bahwa pengertian syahid adalah yang terbunuh di jalan Allah SWT. Di dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah, Imam al-Raziy menyatakan bahwa al-syahiid bermakna al-qatiil fi sabilillah (orang yang gugur di jalan Allah). Termasuk, tidak ada perbedaan tentang kemuliaan orang-orang syahid.<br /><br />Karena itu, slogan atau doktrin yang memuliakan seseorang yang syahid tentu bukanlah sebuah kesalahan. Slogan, doktrin, atau perkataan ulama selama tidak bertentangan dengan hukum syara’ tentu bisa digunakan. Slogan atau doktrin terkadang diperlukan untuk lebih menanamkan semangat atau pemahaman yang dimaksud dalam doktrin tersebut. Hal seperti itu biasa digunakan siapa pun, termasuk perusahaan, organisasi massa, dan militer.<br /><br />Dalam sejarah perjuangan Indonesia, juga muncul slogan atau doktrin yang mirip dengan isy kariman au mut syahidan, yakni slogan merdeka atau mati. Slogan atau doktrin tersebut terbukti telah mendorong semangat perjuangan melawan negara penjajah saat itu.<br /><br />Pilihan untuk syahid di jalan Allah dalam medan perperangan bukanlah sikap sia-sia, seakan cerminan orang yang berputus asa, frustrasi, atau bosan hidup. Pilihan syahid justru dilakukan untuk memuliakan hidup itu sendiri meski dia harus mengorbankan diri sendiri. Sebab, jihad dilakukan dalam rangka memerangi musuh yang hendak menguasai dan menjajah negeri-negeri Islam.<br /><br />Sikap itulah yang dipilih umat Islam di Palestina, Iraq, dan Afghanistan sekarang. Mereka berjihad memerangi pasukan imperialis Amerika Serikat dan sekutunya yang membunuh rakyat sipil, menjajah, dan merampok kekayaan alam negerinya. Meski, mereka harus menempuh risiko mati di medan perperangan. Jelas itu bukanlah terorisme.<br /><br />Hal yang sama diserukan KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan saat itu. Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, fatwa itu telah mendorong puluhan ribu muslim untuk bertempur melawan Belanda yang berlindung di balik tentara Inggris. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat jihad melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Itulah salah satu jasa pesantren dalam membela negara Indonesia. Sayang sekali, dalam buku sejarah saat di SMP dan SMA, peristiwa itu tidak dicantumkan.<br /><br />Adalah hal yang tidak relevan menggugat slogan, doktrin, atau kewajiban jihad dalam pengertian perang di jalan Allah hanya karena ada yang salah dalam mempraktikkan kewajiban jihad (seperti pengeboman JW Marriott dan Ritz-Carlton). Atau, ada yang menyalahgunakan doktrin jihad untuk kepentingan lain. Sebagaimana para pembela demokrasi atau penegak HAM tidak akan setuju demokrasi atau HAM disalahkan hanya karena sikap AS di masa Bush yang memerangi negara lain dan membunuh rakyat sipil dengan mengatasnamakan penegakan HAM dan demokrasi.<br /><br />Perang Ideologi<br /><br />Mengaitkan konsep jihad dengan terorisme membuat kita masuk dalam jebakan perang pemikiran/ideologi yang dijalankan AS (American War) untuk kepentingan negara imperialis itu. Dalam pandangan Barat (American War), perang melawan terorisme tidak hanya merupakan perang fisik, tapi juga menyangkut perang pemikiran (war on idea). Pada 2002 Sekretaris Menteri Pertahanan AS saat itu Paul Wolfowitz mengatakan, ”Saat ini kita sedang bertempur dalam perang melawan teror -perang yang akan kita menangkan. Perang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran -jelas suatu tantangan, tetapi sesuatu yang juga harus kita menangkan.”<br /><br />Ideologisasi perang melawan terorisme itu tampak pada upaya mengaitkan terorisme dengan sikap anti imperialisme Amerika, penegakan syariah, atau khilafah. Stigmatisasi itu kemudian menjadi berbahaya karena digunakan sebagai alat generalisasi. Siapa pun kelompok Islam yang menentang penjajahan Amerika atau ingin mendirikan syariah dan khilafah kemudian dicap atau dikesankan sebagai teroris. Padahal, tidak semua kelompok Islam yang ingin mendirikan syariah dan khilafah setuju dengan jalan pengeboman atau angkat senjata terhadap rezim pemerintahan sekuler.<br /><br />Karena itu, selain meluruskan pemahaman aplikasi jihad yang keliru, pemerintah dan ulama perlu berperan aktif untuk membela negeri-negeri Islam yang ditindas tersebut. Termasuk, berperan aktif meminta agar Amerika, Inggris, dan negara-negara sekutunya menarik diri dari Iraq dan Afghanistan. Juga, menghentikan dukungan mereka terhadap rezim-rezim penindas di negeri Islam seperti Palestina. Sebab, faktor ketidakadilan global merupakan salah satu penyebab utama serangan terhadap target-target Barat.<br /><br />Walhasil, meluruskan aplikasi jihad yang keliru tanpa menyinggung motif perlawanan kelompok-kelompok itu tidak akan menyelesaikan masalah. Bisa-bisa pemerintah, termasuk para ulama, dicap sebagai pengkhianat karena telah melegalkan penjajahan negara-negara Barat. (*)<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-28704274309064484322009-08-12T18:40:00.000-07:002009-08-13T01:50:10.372-07:00Propaganda Anti Islam Dibalik Perang Melawan Terorisme<img src="http://tbn3.google.com/images?q=tbn:ZNpbO_PnlL1ZuM:http://www.inilah.com/data/berita/foto/17306.jpg " align="left" width="160" height="115"><br /> Oleh Farid Wadjdi<br /><br />Penjajah Barat kapitalis tidak berhenti melakukan melakukan evaluasi dan studi tentang kaum Muslimin dan Islam. Mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa kekuatan Islam dan umatnya ada pada akidah Islam dan pemikiran-pemikiran yang lahir darinya. Karena itu, mereka tetap berkepentingan untuk memusnahkan Islam. Caranya adalah dengan menghapuskan Islam sebagai akidah siyâyisah (dasar sistem politik) dan menggantikannya dengan akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Mereka pun gencar mengembangkan ide-ide yang muncul dari aqidah sekularisme ini seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, HAM, kebebasan, dan politik pasar bebas. <br /><span class="fullpost"><br />Di samping itu, untuk menjauhkan keinginan kaum Muslim untuk kembali ke Islam, mereka secara sistematis melakukan pendiskreditan Islam dengan predikat-predikat seperti teroris, fundamentalis, konservatif, ekstremis, dan sebutan-sebutan penghinaan lainnya. Mereka juga melakukan perang propaganda seperti melakukan obfuskasi (pembingungan), disformasi (pemberian informasi yang tidak benar), desepsi, deversi, dan cara-cara propaganda lainnya. Intinya, mereka melakukan penyesatan opini terhadap kaum Muslim. Semuanya itu, sekali lagi, bermuara pada satu hal: memberangus Islam sebagai kekuatan politik dan ideologis sekaligus menghalangi tegaknya Daulah Islamiyah dan penerapan Islam yang kâffah.<br /><br />Propaganda yang Sistematis<br /><br />Penyesatan opini, dalam berbagai bentuknya, sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah propaganda. Propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalu simbol-simbol verbal, tulisan, dan perilaku; dengan menggunakan media seperti buku-buku, pamflet, film, ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan salah satu metode standar yang digunakan negara untuk mengamankan, memelihara, dan menerapkan power (kekuasaan) dalam rangka memajukan kepentingan nasionalnya. (Columbus dan Wolf, Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 184).<br /><br />Melihat defenisi di atas, propaganda merupakan perkara yang ‘wajib’ ada dalam sebuah negara, apalagi negara yang ideologis. Di sinilah penguasa atau rakyat sebuah negara harus benar-benar mampu menilai mana yang merupakan propaganda mana yang tidak. Penguasa atau rakyat sebuah negara yang gagal memahami propaganda negara lain akan mengakibatkan perubahan sikap, pendapat, dan perilakunya justru sejalan dengan kepentingan musuh.<br /><br />Umat Islam sebagai umat yang ideologis harus benar-benar menyadari bahwa propaganda itu benar-benar ada. Propaganda bisa dilakukan secara sistematis untuk mendapat kemanfaatan jangka pendek atau bisa juga untuk kemanfaatan jangka panjang. Untuk jangka pendek, misalnya, melegalisasi serangan ke sebuah negara dan menjatuhkan sebuah rezim atau pemerintahan di sebuah negara; seperti propaganda AS untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein, Soekarno, dan Soeharto, termasuk Taliban di Afganistan. Sebagai contoh, saat hendak menyerang Irak dalam Perang Teluk II, AS melancarkan propaganda dengan melakukan pembohongan informasi kepada kongres dan publik AS.<br /><br />Terungkap kebohongan Nariyah yang katanya merupakan saksi kekejaman tentara Irak. Namun ternyata, gadis ini tidak pernah bekerja di Kuwait dan saat peristiwa ada di Paris. Atas dasar laporan bohong itulah, kongres menyetujui serangan ke Irak. (Lihat: ZA Maulani, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 9). Untuk menjatuhkan rezim Taliban, AS dalam propagandanya mendaftar pengkhianatan Taliban terhadap rakyat Afganistan seperti pembantaian, pelanggaran hak asasi wanita dan anak perempuan, perilaku korup, dan menggunakan Islam sebagai selubung pembantaian etnis. (Jaringan Teroris, Deparlu AS, hlm 13).<br /><br />Propaganda bisa dilakukan juga untuk kepentingan jangka panjang. Propaganda seperti ini biasanya lebih bersinggungan dengan nilai-nilai ideologis yang ingin disebarkan di pihak lawan dan, sebaliknya, menanamkan ‘citra jelek’ terhadap nilai-nilai ideologis yang dianut oleh negara musuh. Tipe propaganda seperti ini biasa lebih membutuhkan waktu yang panjang, namun secara sistematis dan kontinu terus dilakukan. Sebagai contoh, bagaimana AS dengan gencar menyebarkan nilai-nilai ideologisnya seperti sekularisme, demokrasi, HAM, kebebasan, dan pasar bebas. Sesungguhnya ini merupakan propaganda jangka panjang AS. Tujuannya jelas, yakni untuk kepentingan AS sendiri. Sebaliknya, AS membuat citra jelek terhadap lawan ideologinya seperti tuduhan teroris, ekstrimis, konservatif, dan pencitraan jelek lainnya. Metode utama propaganda jangka panjang ini yang dilakukan oleh AS adalah disinformasi, yakni melakukan penyesatan opini. Inilah yang sekarang ini sedang dilakukan oleh AS kepada musuh utama ideologisnya, yakni Islam.<br /><br />Teknis Khusus ‘Penyesatan Opini’<br /><br />KJ Holsti, dalam Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm 220, dengan mengutip buku The Fine Art of Propaganda: A Study of Father Coughlin’n Speeches, mengemukakan beberapa teknis propaganda yang sering dilakukan untuk melakukan penyesatan opini.<br /><br />Pertama, nama julukan.<br /><br />Propagandis mencantelkan lambang yang dibebani emosi pada seseorang atau suatu negeri. Sasaran diharapkan akan menanggapi cap tersebut tanpa memeriksa bukti. Sebagai contoh, Saddam Hussain diberi julukan ‘Pembantai dari Baghdad’. Selama Perang Teluk II, media massa AS menyebut Presiden Irak ini dengan sebutan ‘Binatang Buas’ (Mary McGroriy, Washington Post, 7/8/90) atau ‘Monster’ (Newsweek, 20/8/90). Orang-orang Arab (yang jelas sangat berhubungan dengan Islam) dalam budaya populer Barat digambarkan sebagai orang yang licik, tidak bisa dipercaya, jalang, bernafsu seks besar, dan kejam. Rasulullah saw. dijuluki ‘si Maniak Seks’ atau ‘sang Teroris’. Perusahaan kartun a Doaug Marlette membuat headline dengan judul, “What Would Mohammed Drive?” Digambarkan di sana, Rasulullah mengendrai truk yang berisi bom nuklir-laden yang mirip dengan truk yang digunakan oleh Timothi McVeigh dalam pengeboman di Oklahoma City 1995. Pejuang Hamas diberi gelar teroris. Para penegak syariat Islam dilabeli secara sistematis dengan julukan ‘kaum skriptualis’, kaum tekstualis’, atau ‘kaum ortodoks dan konservatif’. Iran diberi gelar ‘negeri para mullah’ (tentu dengan konotasi negatif). Istilah ‘Muslim garis keras’, sebagai lawan dari ‘Muslim moderat’, digunakan untuk memberikan kesan negatif pada pelaku penegak syariat Islam. Negara yang tidak sejalan dengan AS di Timur Tengah dicap sebagai ‘negara militan’, sementara negara yang sejalan dengan AS disebut ‘negara sahabat’ atau ‘negara moderat’.<br /><br />Dalam teknis propaganda ini, para propagandis biasanya menggunakan istilah-istilah emosional dan stereotif yang telah melekat di telinga pendengar. Seperti kata ‘buas’, ‘maniak’, garis keras’, biasanya merupakan istilah yang sudah melekat dianggap ‘jahat’. Berbeda dengan kata ‘moderat’, ‘pejuang’, dan ‘substansialis’; merupakan kata-kata yang dianggap ‘baik’. Kata-kata tersebut kemudian dilekatkan pada seseorang atau negara tanpa diperiksa lagi kebenarannya.<br /><br />Kedua, generalitas gemerlapan.<br /><br />Kalau yang pertama lebih berkaitan dengan individu atau suatu negeri, yang kedua ini digunakan untuk gagasan atau kebijakan. Istilah ‘dunia bebas’, ‘dunia beradab’, atau ‘dunia yang makmur’ adalah generalitas yang paling disukai oleh Barat untuk mendukung ide kapitalismenya.<br /><br />Ketiga, pengalihan.<br /><br />Pelaku propaganda berupaya mengidentifikasikan suatu gagasan, seseorang, suatu negara, atau kebijakan dengan mengalihkannya pada gagasan atau kebijakan yang bertolak belakang. Hal ini untuk menimbulkan citra jelek pada gagasan atau kebijakan pihak musuh. Khilafah Islamiyah atau negara Islam dijuluki sebagai ‘negara pada zaman batu’, ‘sistem abad kegelapan’, ‘dunia jumud dan tidak beradab’, ‘sistem utopis’, ‘sistem penuh darah’, serta julukan-julukan negatif lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Israel di Palestina dialihkan dengan gagasan lain seperti ‘anti Semith’ atau ‘anti negara demokrasi’.<br /><br />Saat Irak diserang oleh AS dalam Perang Teluk II, untuk menutupi maksud AS sebenarnya, dipropagandakan bahwa hal itu demi membebaskan Kuwait. Demikian juga saat sekarang; untuk menutupi tujuan AS sebenarnya, yakni menguasai minyak Irak, dipropagandakan bahwa penyerangan atas Irak adalah bukan untuk menyerang umat Islam, tetapi untuk menjatuhkan diktator Saddam Hussein. Pada faktanya, saat AS menyerang Irak dalam Perang Teluk II, 200.000 orang Irak meninggal dunia. Pemerintah dan media massa AS mengabaikan hal ini. Bahkan, Colin Powel, saat ditanya jumlah korban sipil di Irak yang meninggal sejak tahun 1991 dalam tersebut, dengan arogan menjawab, tidak peduli dengan angka-angka korban tersebut, “It’s really not a number I am terribly interested in.”<br /><br />Kalaulah AS memang bermaksud baik menjatuhkan diktator Saddam Hussein, mengapa Raja Fahd, Musharaf, Husni Mubarak, dan Islam Karimov yang juga diktator tidak diserang. Mengapa pula Ariel Sharon, yang jelas-jelas membantai umat Islam Palestina, tidak diserang AS?<br /><br />Keempat, ‘orang sederhana’.<br /><br />Setiap pelaku propaganda sadar bahwa masalah bertambah rumit jika ia tampak pada pendengarnya sebagai ‘orang asing’. Karena itu, mereka berupaya mengidentifikasikan diri sedekat mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran dengan menggunakan logat, aksen, dan ungkapan setempat. Untuk itu, para propagandis biasanya lebih suka menggunakan penduduk ‘pribumi’ untuk menyuarakan kepentingan mereka. Cara yang paling efektif adalah merekayasa seseorang untuk menjadi tokoh, sumber rujukan, atau ilmuwan yang kompeten. Hal ini dilakukan lewat proses pendidikan, rekayasa media dengan menampilkan tokoh tersebut secara terus-menerus, atau dengan memberinya gelar/penghargaan. Tentu saja dengan kesan wah dan go internasional. Jadi, umat Islam harus waspada, kalau ada calon tokoh atau tokoh, yang idenya bertentangan dengan Islam bahkan menyerang Islam, tetapi mendapat banyak penghargaan dari Barat.<br /><br />Kelima, kesaksian.<br /><br />Di sini propagandis menggunakan seseorang atau lembaga yang dihargai untuk mendukung atau mengecam suatu gagasan atau kesatuan politik. Diharapkan sasaran mempercayainya karena hal ini disampaikan oleh yang ‘berwenang’. Propagandis, misalnya, menggunakan narasumber yang diberi gelar ‘pakar’, ‘ahli’, ‘ilmuwan’, ‘yang berpengalaman’, atau ‘saksi langsung’ untuk menambah keyakinan para pendengarnya.<br /><br />Untuk menambah keyakinan pembaca tentang adanya jaringan Jamaah Islamiyah atau Jaringan al-Qaedah di Asia Tenggara, media massa Barat merujuk pada pendapat orang yang mereka sebut sebagai ‘pakar teroris’ seperti Rohan Gunaratma. Dia disebut ‘pakar’ antaralain karena melakukan studi tentang terorisme atau mengarang buku tentang terorisme. Di sini tidak dipersoalkan, apakah buku yang dikarangnya memberikan bukti-bukti ilmiah atau tidak. Demikian juga untuk menambah keyakinan pendengar tentang ‘pemahaman Islam yang benar’—maksudnya yang sejalan dengan kepentingan Barat, media massa Barat merujuk pada orang yang mereka sebut dengan ‘pakar Islam’ atau ‘cendekiawan Muslim. Padahal, yang dirujuk sering merupakan antek Barat yang dicangkokkan di tubuh umat. Di sini umat Islam penting untuk tetap melihat argumentasi dari ‘sumber-sumber’ tersebut, bukan terpesona dengan gelar-gelarnya.<br /><br />Di samping itu, untuk menambah percaya pendengarnya, propagandis juga merujuk pada lembaga-lembaga swasta yang dikesankan independen. Padahal, pada praktiknya, lembaga ini merupakan lembaga pesanan yang menjalankan proyek-proyek penelitian berskala besar dengan biaya pemerintah. Banyak studi-studi tentang Islam atau Timur Tengah yang disponsori oleh pemerintah AS atau organasisi donor yang berafiliasi kepada pemerintah AS. Lembaga-lembaga yang terkesan independen ini kemudian memperkuat pandangan pemerintah AS dan mereka kemudian menjadi rujukan media massa. Di Indonesia, sudah diketahui umum, pada imasa Orde Baru, untuk memperkuat kebijakan pemerintah yang otoriter dan korup, penguasa sering merujuk pada CSIS. Padahal, CSIS adalah lembaga thinktank yang diketahui berhubungan dengan penguasa Orba pada waktu itu. Dalam kampanye AS sekarang ini juga banyak lembaga-lembaga yang mendapat bayaran dari Barat untuk mendukung propaganda Barat. Di AS beberapa lembaga ‘independen’ diketahui memiliki hubungan erat dengan pemerintah seperti Heritage Foundation.<br /><br />Keenam, pilihan.<br /><br />Hampir semua propaganda biasanya melakukan pilihan fakta; meskipun aktual, namun jarang rinci. Kalaupun rinci, propagandis menggunakan ‘fakta-fakta’ yang diperlukan saja untuk membuktikan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dulu. Pilihan ini biasanya digunakan untuk melakukan generalisasi. Perjuangan syariat Islam diidentikkan dengan kekerasan. Kesimpulan ini dibangun dengan memilih fakta adanya aksi kekerasaan yang dilakukan oleh sekelompok kaum Muslim yang ingin menegakkan syariat Islam (itu pun sering tanpa bukti hukum). Sementara itu, adanya fakta lain berupa perjuangan syariat Islam tanpa kekerasaan—seperti yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di Uzbekistan, Yordania, Mesir, dan belahan dunia lainnya—cendrung ditutupi. Akibatnya, ada kesan kuat bahwa perjuangan syariat Islam identik dengan teror dan kekerasan.<br /><br />Pemerintah AS mengeluarkan propaganda khusus untuk membantah diskriminasi Muslim di AS pasca Serangan 11 Septermber. Dalam iklan propaganda yang disiarkan di hampir seluruh Dunia Islam, dipilih fakta-fakta tertentu untuk mendukung tujuan tersebut. Empat orang warga AS yang berasal dari Arab bicara tentang kebebasan dan kesempatan hidup di Negeri Paman Sam itu. Padahal, banyak fakta lain di AS yang bertolak belakang dengan iklan tersebut diabaikan; seperti kewajiban cap jari bagi orang-orang dari Arab, Pakistan, dan negeri-negeri Islam lainnya; perusakan masjid dan Islamic Centre; gangguan terhadap wanita Muslimah di Amerika.<br /><br />Di samping pilihan fakta, pilihan kata yang digunakan oleh media massa juga berperan dalam propaganda. Jika yang melakukan penyerangan adalah Muslim Palestina, serangan itu disebut sebagai serangan dari kelompok militan, fundamentalis, garis keras, bahkan teroris. Sebaliknya, jika yang melakukan penyerangan dan pembantaian adalah Israel atau Amerika Serikat, kata yang sering digunakan adalah serangan balasan (retaliation), serangan untuk mendahului (preempative strike), atau tindakan hukuman (punitive action). Pilihan kata itu tentu saja lebih baik dari istilah teroris, bahkan bisa dijadikan pembenaran tindakan. Hamas yang ingin membebaskan diri dari penjajah Israel disebut teroris. Sebaliknya, sebutan pejuang pro kemerdekaan diberikan kepada kelompok Fretelin di Timor Timur yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Jika yang tertangkap adalah tentara AS, mereka disebut sandera atau hostage (berkonotasi tidak bersalah). Sebaliknya, pejuang al-Qaedah yang tertangkap disebut tahanan atau detainer (yang berkonotasi jahat dan sudah bersalah).<br /><br />Ketujuh, ikut pihak yang banyak.<br /><br />Teknik ini memanfaatkan keinginan pendengar untuk ‘menjadi bagian’ atau ‘satu sikap’ dengan orang banyak. Propaganda AS dan sekutunya sering menggunakan ungkapan ‘masyarakat internasional’, ‘sahabat-sahabat AS’, dsb. Dengan teknik ini akan terbangun suatu anggapan: siapa yang menentang propaganda tersebut akan menjadi minoritas dan terkucil.<br /><br />Teknis ini paling sering digunakan oleh AS dalam kampanye ‘Perang Melawan Terorisme’-nya saat ini. AS dan sekutunya sering menyatakan bahwa terorisme adalah serangan terhadap dunia.<br /><br />Sama halnya dengan ungkapan para penolak syariat Islam yang sering menggunakan ungkapan, ‘mayoritas umat Islam Indonesia adalah moderat’, ‘organisasi Islam terbesar di Indonesia saja menolak syariat Islam’, ‘mereka itu hanya minoritas…’, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Padahal jelas, kebenaran tidaklah bergantung pada suara mayoritas.<br /><br />Kedelapan, kambing hitam frustasi.<br /><br />Salah satu cara untuk menciptakan kebencian dan melepaskan frustasi adalah menciptakan kambing hitam. Propaganda kapitalis acapkali menuduh terorisme sebagai pengacau kemakmuran dunia, penyebab kemelaratan dan kemiskinan, dan pengganggu kebebasan dunia dan demokrasi. Padahal semua itu justru merupakan buah dari sistem kapitalisme yang keji. Syariat Islam dituduh merendahkan wanita dan menjadi pangkal kemunduran wanita, padahal sistem kapitalismelah penyebabnya. Tuduhan ‘pemecah-belah’ sering dilontarkan terhadap pejuang syariat Islam. Padahal pada faktanya, justru ide nasionalisme, kebebasan menentukan nasib sendiri, dan ide-ide kapitalisme lainnyalah yang menyebabkan terpecahbelahnya kaum Muslim. Bukankah ini terjadi pada Timor Timur yang melakukan referandum untuk memisahkan diri? Alasannya, kebebasan menentukan nasib sendiri.<br /><br />Merangkul Media Massa<br /><br />Hubungan antara propagaganda dengan media massa dan para intelektual adalah hal yang lumrah. Sebab, propaganda untuk mengubah pemikiran dan sikap sasarannya membutuhkan media massa sebagai alat yang efektif. Sementara itu, para intelektual sering dimanfaatkan sebagai narasumber yang dipercaya oleh masyarakat untuk memperkuat sebuah propaganda. Coulombus dan Wolf menulis, bahwa salah satu fungsi bisnis propaganda adalah memonitor, mengklasifikasi, mengevaluasi, dan mempengaruhi media massa. Para wartawan, kolumnis, komentator, dan pembuat opini yang dianggap bersahabat biasanya diundang ke kedutaan besar. Pihak kedutaan besar biasanya memberikan informasi ekslusif, bila perlu menawarkan bonus. Di negara-negara Barat, peran dinas propaganda luar negeri sangat besar. Hal ini mengingat opini publik, kelompok penekan, dan media massa terlibat terus-menerus untuk mempengaruhi kebijakan sebuah negara. (Pengantar Hubungan Internasional, hlm., 186-187).<br /><br />Pemerintah AS saat dipimpin oleh Presiden Eisenhower pernah membentuk Badan Informasi Amerika Serikat (U.S.I.A) untuk menjalankan fungsi propaganda ini. Badan yang kemudian berganti nama ini menjalankan program-program radio multi bahasa pada Radio Voice of America (VOA); Radio Free Europe, telivisi, film dan media berita; serta program khusus seperti pertukaran mahasiswa dan sarjana, pidato keliling, konferensi-konferensi artistik, keilmuan, dan ilmiah. (Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 186).<br /><br />Pemerintah AS juga melakukan propaganda lewat media massa ‘swasta’ yang mengklaim diri independen. Dalam kasus isu terorisme, misalnya, sebagian besar media massa AS menggunakan pemerintah sebagai sumber utama berita mereka. Dari sebuah riset yang dilakukan oleh Edward Herman dan Gerry O’Sulivan, terbukti bahwa sumber-sumber media massa yang digunakan sebagian besar adalah pejabat pemerintah (42,3%).(Lihat: Satrio Arismunandar, Jurnal Ilmu Politik no. 12, hlm. 69). Tentu saja, informasi itu akan sangat bias, karena dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah, dan biasanya, tanpa pengujian.<br /><br />Keterlibatan pemerintah AS, dengan memanfaatkan wartawan sebagai agen intelijen mereka, sudah terjadi sejak Perang Dingin. Seperti yang ditulis surat kabar New York Times, “Sejak berakhirnya Perang Dunia II, lebih dari 30 atau bahkan 100 wartawan Amerika dari sejumlah organisasi berita dilibatkan sebagai pekerja operasi intelijen yang dibayar sementara menjalankan tugas-tugas reportasenya.”<br /><br />Pada pertemuan dengan serikat redaktur surat kabar bergengsi, American Society of Newspaper Editors, pada April 1980, Direktur CIA Marsekal Stansfeild Truner mengatakan, “Bila dibutuhkan, ia tak akan ragu-ragu merekrut jurnalis.”<br /><br />Agen CIA juga memiliki, mensubsidi, dan mempengaruhi banyak surat kabar, kantor berita, dan media lainnya. (Ade Armando, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 78-79). Dalam era Perang Dingin, Badan Propaganda Amerika Serikat (ICA) sering mendukung penulis atau editor surat kabar asing yang menulis secara baik mengenai AS dan kebijakannya. (K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm 222). Tidak aneh jika kemudian media massa Barat sangat miring dalam memberitakan perjuangan umat Islam. Di Indonesia, bahkan ada TV yang dengan tegas menyatakan visinya sekularisme dan anti syariat Islam. Kalaupun membuat talkshow tentang syariat Islam dan menghadirkan pembicara yang pro dan yang kontra, biasanya acaranya direkasaya sedemikian rupa, baik dari segi waktu maupun moderatornya.<br /><br />Perhatikan perubahan istilah ‘pejuang’ menjadi ‘teroris’ yang digunakan untuk kaum mujahidin Afganistan. Media massa Barat menggunakan istilah pejuang, karena saat itu AS memiliki kepentingan untuk mengusir pengaruh komunis di negeri itu. Setelah kepentingan AS berubah, yakni ingin menguasai Afganistan, dan istilah ‘pejuang’ kemudian menjadi ‘teroris’.<br /><br />Para Intelektual Pengkhianat<br /><br />Kaum intelektual Islam juga digunakan sebagai alat propaganda AS, baik sadar maupun tidak. Karena itu, AS sangat getol memberikan beasiswa kepada para pelajar di seluruh dunia. Pemerintah AS sangat sadar bahwa para pelajar yang sudah dibina oleh mereka akan menjadi corong-corong propaganda kepentingan Amerika di negara asal mereka masing-masing.<br /><br />Mereka pun sangat jeli memilih siapa pelajar yang mereka beri beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Mereka biasanya adalah para aktivis serta para pelajar yang cerdas dan unggul namun lemah secara ideologis atau mereka yang berasal dari organisasi, etnis, atau agama yang berpengaruh di sebuah negara. Tidak mengherankan, untuk Indonesia, beasiswa luar negeri sering diberikan kepada para pelajar dari organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tentu saja, mereka berharap, para pelajar yang bisa dipengaruhi akan menjadi corong mereka dengan legitimasi yang kuat, yakni dari organisasi Islam yang besar di Indonesia; meskipun tidak semua kemudian ‘berhasil’ mereka jadikan corong. (Lebih jelas, lihat: Holsty, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm. 223).<br /><br />Dunia Islam saat ini dipenuhi oleh para intelektual pengkhianat semacam di atas. Mereka menyebarkan ide-ide kapitalis seperti sekularisme, demokrasi, individualisme, HAM, pluralisme, dll. Mereka juga menjadi pembela sejati ‘yang dibiayai’ oleh pemerintah kapitalis. Tujuannya adalah untuk merusak akidah umat dan menjauhkan mereka dari syariat Islam. Dua perkara ini, akidah dan syariat Islam, memang menjadi sumber kekuatan umat Islam yang utama.<br /><br />Lihat saja, bagaimana para alumnus universitas Barat pengkhianat itu membela habis-habisan kebijakan ekonomi kapitalis di Indonesia; membela IMF dan Bank Dunia. Mulut mereka juga berbusa-busa membela privatisasi, penghapusan utang konglomerat, pencabutan subsidi, dan mengikuti arahan tuan kapitalis mereka. Mereka tidak mau tahu, bagaimana penderitaan rakyat yang semakin terpuruk akibat diterapkan sistem ekonomi kapitalis tersebut.<br /><br />Perhatikan pula pengusung ide libelisme yang ingin menghancurkan akidah umat dan syariat Islam. Mereka getol menyerukan ‘dialog antarumat beragama’ untuk menyatakan semua agama itu sama. Sekularisme juga mereka ajarkan kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Islam itu adalah masalah individual; tidak ada hubungannya dengan masalah publik seperti ekonomi dan politik; juga tidak ada urusannya dengan negara. Seruan-seruan mereka ini kemudian melanggengkan sistem sekularisme di Dunia Islam yang berarti melanggengkan penjajahan kapitalis Barat. <br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-358168617741361222009-08-09T18:40:00.000-07:002009-08-09T19:12:49.772-07:00Terorisme dan Stigmatif Negatif Perjuangan Syariah dan Khilafah<img src="http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2009/08/terorism.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Mantan Kepala BIN A.M Hendropriyono kembali mengundang kontroversi. Dalam wawancara dengan TV One 29/7/2009) Hendropriyono berusaha mengkaitkan antara terorisme dengan apa yang dia sebut sebagai wahabi radikal. Menurutnya wahabi radikal merupakan lingkungan yang cocok (habitat) bagi terorisme. Tidak hanya itu, Hendropriyono juga mengkaitkan wahabi radikal dengan Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin. <br /><span class="fullpost"><br />Pernyataan ‘ngawur’ seperti ini disamping banyak yang tidak berdasarkan fakta juga berbahaya. Meskipun tentu harus diakui memang ada kelompok Islam memilih jalan kekerasan tujuannya. Namun melakukan generalisasi dengan menyatakan itu setiap kekerasan adalah terorisme adalah keliru. Beberapa kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir telah menegaskan ketidaksetujuannya bahkan pengecaman terhadap pemboman yang salah seperti pemboman di Jakarta baru-baru ini .<br /><br />Tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok mujahidin Islam di Palestina, Irak, dan Afghanistan, tidaklah bisa disebut tindakan teroris. Apa yang dilakukan oleh umat Islam disana adalah jihad memerangi penjajah yang telah menduduki, merampas, dan membunuh umat Islam. Sudah tidak terhitung berapa nyawa umat Islam terbunuh akibat penjajahan ini. Hal yang sama pernah dilakukan oleh ulama Indonesia ketika bersama-sama rakyat berjihad memerangi penjajah Belanda. Tindakan memerangi penjajah tentu bukan terorisme. Justru para penjajah AS, Inggris itulah yang melakukan tindakan terorisme negara dengan korban yang massif. Namun sayangnya, fakta yang sangat jelas ini tidak banyak disinggung.<br /><br />Termasuk mengkaitkan terorisme dengan wahabi dengan dibumbui kata radikal apalagi mengkaitkan dengan Hizbut Tahrir jelas adalah kedustaan disamping berbahaya. Siapapun yang membaca dengan teliti buku-buku Hizbut Tahrir bisa menyimpulkan bahwa tidak benar Hizbut Tahrir adalah wahabi. Hizbut Tahrir adalah partai Islam yang bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan syariah Islam di bawah institusi Khilafah Islam.<br /><br />Dalam kitab Kaifa Hudimat al Khilafah (Bagaimana Khilafah Runtuh) yang ditulis oleh Amir Hizbut Tahrir yang kedua Syekh Abdul Qadim Zallum mengkritik Gerakan Wahhabi yang berkerjasama dengan Abdul Aziz bin Muhmmad bin Saud yang ditelah dimanfaatkan oleh Inggris untuk memberontak kepada Daulah Khilafah Ustmaniyah dan mendorong timbulnya perang antar Madzhab saat itu.<br /><br />Hizbut Tahrir juga dengan tegas dalam buku-bukunya yang menjadi rujukan amal perjuangannya telah menegaskan jalan memperjuangkan syariah Islam bukanlah dengan jalan angkat senjata. Upaya mengkaitkan Hizbut Tahrir dengan terorisme jelas merupakan upaya membangun stigma negatif yang didasarkan kepada kedustaan. Opini ini memang sengaja dibangun oleh musuh-musuh Islam yang ingin menjauhkan Hizbut Tahrir dari ummat. Seperti yang dilakukan oleh Zeyno Baran dari The Nixon Centre atau Ariel Cohen.<br /><br />Laporan Ariel Cohen –yang pernah tinggal di Israel selama sebelas tahun dan lulusan Bar Ilan University Law School di Tel Aviv– dipublikasikan oleh the Heritage Foundation yang dikenal luas sebagai think-tank Konservatif yang dekat dengan kelompok neo-Konservatif. Sementara Zeyno Baran –Direktur Program Energi dan Keamanan Internasional Nixon Centre– ternyata memiliki hubungan yang dekat dengan perusahan-perusahan minyak AS yang beroperasi di Asia Tengah dan rezim otoriter di Asia Tengah (lihat, Who is Zeyno Baran, www.khilafah.com) .Wajar kalau kemudian banyak muncul ketidakakuratan, inkonsistensi, generalisasi keliru, bahkan kebohongan dalam tulisan-tulisan tersebut<br /><br />Hizbut Tahrir telah menegaskan garis perjuangannya untuk menegakkan syariah Islam yang tidak menggunakan kekerasaan/angkat senjata (non violence). Hal ini bisa dilihat secara terbuka dalam buku-buku rujukan HT, seperti kitab Ta’rif (Mengenal HT) atau Manhaj Hizbut Tahrir fi Taghyir (Strategi Hizbut Tahrir Untuk Melakukan Perubahan). Hizbut Tahrir dalam hal ini berkeyakinan, bahwa perubahan yang dicita-citakan harus dimulai dari pemikiran, serta menyakini bahwa masyarakat tidak dapat dipaksa untuk berubah dengan kekerasan dan teror. Karena itu, garis perjuangan Hizbut Tahrir sejak berdiri hingga hari Kiamat bersifat tetap, yaitu bersifat fikriyah (pemikiran), siyasiyah (politik) dan la madiyah wa la unfiyyah (non fisik dan kekerasan).<br /><br />Terbukti, dalam aktivitasnya lebih dari 50 tahun sejak didirikan HT tidak pernah sekalipun menggunakan kekerasan meskipun banyak penguasa yang bersikap refresif dan kejam terhadap HT. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, 17 Mei 2005, Craig Murray, mantan Duta Besar Inggris untuk Uzbekistan, mengatakan, “Hizbut Tahrir merupakan organisasi yang betul-betul tanpa kekerasan.” (http://www.English.aljzeera.net).<br /><br />Bill Rammell mengatakan, “Kami belum menemukan bukti yang kuat bahwa Hizbut Tahrir adalah organisasi yang menyerukan kekerasan atau terorisme. Kita juga belum pernah melihat adanya hubungan kerjasama antara Hizbut Tahrir dan al-Qaida (UK FCO Minister Bill Rammell, Hansard, 19/4/04). ICG juga menyatakan hal yang sama tentang perbedaan HT yang melarang penggunaan aktivitas kekerasan dengan kelompok jihad (International Crisis Group, 2/3/05).<br /><br />Dengan demikian, upaya mengkaitkan Hizbut Tahrir dengan terorisme adalah upaya pelacuran intelektual, yang penuh dengan kepentingan, khususnya kepentingan negara-negara besar, seperti AS dan Inggris. Penyebabnya tidak lain, karena HT dianggap merupakan ancaman potensial terhadap hegomoni Kapitalisme global yang telah menyengsarakan umat manusia. HT juga merupakan ancaman bagi AS, karena menyerukan syariah Islam dan Khilafah yang akan menggantikan sistem tirani global Kapitalisme ini. Sebab Hizbut Tahrir memang menjadikan Kapitalisme menjadi penyebab penderitaan manusia.<br /><br />Tentu saja sangat menyedihkan, kalau ada intelektual, atau kelompok yang menjalankan agenda pihak asing ini, sebagai agendanya, yang sekaligus membuktikan kemiskinan intelektualitasnya. Menyebar kebohongan dan memprovokasi untuk mengelompokkan HT ke dalam kelompok terorisme.<br /><br />Cap terorisme juga sering digunakan oleh Barat dan kelompok pendukungnya legitimasi untuk melakukan kedzoliman terhadap umat Islam. Pada gilirannya siapapun yang melakukan perjuangan melawan penjajahan Barat akan dicap teroris dan mereka berhak ditangkap tanpa bukti, disiksa bahkan dibunuh. Seperti yang dialami oleh umat Islam diberbagai kawasan dunia termasuk Indonesia. Dimasa Orde Baru, sangat banyak aktifis Islam yang dizolimi, dibantai dan dibunuh seperti yang terjadi dalam peristiwa Tanjung Priok dan tentu saja Talangsari Lampung ketika Hendropriyono menjadi Danrem Garuda Hitam disana. Peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh umat Islam dan tentu saja harus dipertanggungjawabkan oleh pelakunya dihadapan Allah SWT di Hari Akhir nanti.<br /><br />Generalisasi kelompok Islam yang memperjuangkan syariah Islam dan Khilafah adalah teroris jelas bermaksud untuk menjauhkan umat dari perjuangan syariah Islam dan Khilafah. Padahal disamping merupakan kewajiban syari’ syariah dan Khilafah adalah solusi tuntas bagi umat Islam untuk mengakhiri penjajahan kapitalisme yang menjadi pangkal penderitaan umat Islam dan umat manusia di dunia saat ini. <br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-23326421540826770962009-07-08T20:11:00.000-07:002009-07-08T20:16:35.902-07:00Renungan Pemilu Di Indonesia......?<img src="http://tbn1.google.com/images?q=tbn:8RWFYEY3JloVGM:http://media.vivanews.com/images/2009/01/31/64395_simulasi_pemilu_di_tps_04__kelurahan_kadu_agung__tigaraksa__tangerang.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Pada 8 Juli kemaren diselenggarakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009. Pemilihan presiden dan wakilnya, dalam Islam termasuk dalam pasal pengangkatan kepada negara (nashb al-ra’is), yang hukumnya terkait dengan dua konteks, yaitu person dan sistem.<br /><br />Dalam kaitannya dengan person, Islam menetapkan bahwa seorang kepala negara harus memenuhi syarat-syarat pengangkatan (syurutul in’iqadz), yaitu sejumlah keadaan yang akan menentukan sah dan tidaknya orang menjadi kepala negara. Syarat-syarat itu adalah (1) Muslim; (2) Baligh; (3) Berakal; (4) Laki-laki; (5) Merdeka; (6) Adil atau tidak fasik; dan (7) Mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kepala negara. Tidak terpenuhinya salah satu saja dari syarat-syarat di atas, cukup membuat pengangkatan seseorang menjadi kepala negara menjadi tidak sah.<br /><span class="fullpost"><br />Adapun kaitannya dengan sistem, harus ditegaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi kepala negara wajib menerapkan sistem Islam. Ini adalah konsekuensi akidah dari seorang kepala negara yang Muslim. Selain itu, dalam Islam, tugas utama kepala negara adalah untuk menjalankan syariat Islam dan memimpin rakyat dan negaranya dengan syariat tersebut. Hanya dengan cara itu sajalah, segala tujuan mulia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan tercapai. Memimpin dengan sistem yang lain, selain Islam sudah terbukti tidak pernah menghasilkan kebaikan, malah kerusakan dan bencana. Lebih jauh al-Qur’an menyatakan:<br /><br />﴾وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَاۤ أَنْزَلَ اﷲُ فَأُ وْ لٰئِكَ هُمُ الْكَٰفِرُونَ﴿<br /><br />”Dan, siapa saja yang tidak memerintah berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Q.s. al-Maidah [05]: 44)<br /><br />﴾وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَاۤ أَنْزَلَ اﷲُ فَأُ وْ لٰئِكَ هُمُ الظَّٰلِمُونَ﴿<br /><br />”Dan, siapa saja yang tidak memerintah berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (Q.s. al-Maidah [05]: 45)<br /><br />﴾وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَاۤ أَنْزَلَ اﷲُ فَأُ وْ لٰئِكَ هُمُ الْفٰسِقُونَ﴿<br /><br />”Dan, siapa saja yang tidak memerintah berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (Q.s. al-Maidah [05]: 47)<br /><br />Nas-nas tersebut merupakan peringatan yang keras dari Allah kepada siapa saja yang berkuasa dan memerintah bukan dengan hukum Allah.<br /><br />Selain itu, al-Quran surah an-Nisa ayat 59, Allah SWT memerintahkan orang beriman untuk taat kepada ulil Amri. Ayat itu juga menegaskan, adanya waliyul amri tidak lain adalah demi tegaknya syariat Islam. Sebab, perintah taat kepada ulil amri tersebut mengiringi perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, mewujudkan ulil amri yang menegakkan syariat Islam hukumnya wajib. Meninggalkannya jelas maksiat, dan berdosa. Sebaliknya, mewujudkan ulil amri yang menghalangi tegaknya syariat Islam, atau justru menegakkan sistem sekuler, berarti keberadaannya itu membawa masyarakat dan negara untuk maksiat, bukan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini jelas haram. Karena tindakan tersebut nyata-nyata melakukan apa yang justru dilarang oleh Allah.<br /><br />Kerahmatan Islam sebagaimana dijanjikan oleh Allah juga hanya mungkin bila syariat Islam tersebut dilaksanakan secara kaffah, menyeluruh dan konsisten. Kepala negara yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, pasti akan memimpin negara dan masyarakatnya dengan melaksanakan syariat-Nya dengan penuh taat pula. Dia juga akan mendorong setiap Muslim untuk tekun beribadah, menjaga makanan dan minuman halal, menutup aurat dan berakhlak mulia serta bermuamalah secara Islami. Dengan syariat, dia akan memimpin negara untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang berakhlak mulia, aman, damai, sejahtera; menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur transportasi dan komunikasi, air dan listrik kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya melalui aparat birokrasi pemerintah yang bertindak jujur, sungguh-sungguh dan amanah sehingga apa yang disebut good governance dan clean government benar-benar dapat diwujudkan. Disamping itu, dengan syariat pula kepala negara akan menyelesaikan berbagai persoalan di tengah masyarakat. Dia dengan tegas melarang pornografi, pornoaksi dan perjudian; menghukum setimpal para koruptor dan para penjahat lain; mengatasi kemiskinan dengan menumbuhkan ekonomi, menggiatkan sektor usaha dan investasi sehingga lapangan kerja terbuka, melarang penimbunan uang dan praktek ribawi dalam segala jenisnya agar uang terus berputar dan ekonomi juga terus tumbuh.<br /><br />Karena itu, kepala negara di dalam Islam jelas berbeda dengan kepala negara dalam sistem sekuler. Meski sama-sama dipilih rakyat, dalam sistem sekuler kepala negara dipilih rakyat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dalam arti rakyatlah yang berhak membuat undang-undang, maka kepala negara wajib melaksanakan undang-undang yang sudah dibuat oleh para wakil rakyat itu meski itu bertentangan dengan syariat. Dengan kata lain, kepala negara dalam sistem sekuler berkewajiban memimpin negara dan mengurusi urusan rakyat dengan hukum sekuler, bukan dengan syariat Islam.<br /><br />Dalam Islam, karena yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT, bukan rakyat ataupun kepala negara. Maka, kepala negara yang dipilih rakyat berkewajibang melaksanakan hukum Allah dengan cara mengadopsi syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang dinilai sebagai pendapat terkuat untuk dijadikan undang-undang negara, dan dengan undang-undang itu kepala negara mengurus segala kepentingan masyarakat.<br /><br />Dengan demikian, kepala negara dalam sistem politik Islam merupakan perwujudan dari kekuasaan di tangan rakyat guna mewujudkan kedaulatan syariat, bukan kedaulatan rakyat. Di sini, umat atau rakyat melalui momen Pilpres ini sebenarnya ikut menentukan, apakah hukum yang diterapkan nantinya adalah hukum Islam ataukah hukum thaghut? Apakah kedaulatan tetap berada di tangan manusia, seperti selama ini? Ataukah akan berubah di tangan syariat, sebagaimana yang dituntut oleh Allah?<br /><br />Berangkat dari kenyataan di atas, maka dalam memilih kepala negara, setiap Muslim harus memperhatikan hal berikut:<br /><br />1. Memilih kepala negara yang memenuhi syarat-syarat pengangkatan (surutu al-in’iqadz), yakni Muslim (haram mengangkat kepala negara non-Muslim), laki-laki (haram mengangkat kepala negara wanita), baligh, berakal, adil (konsisten dalam menjalankan aturan Islam), merdeka dan mampu melaksanakan amanat sebagai kepala negara. Selain syarat-syarat tadi, diutamakan kepala negara memiliki syarat afdhaliyah (keutamaan) seperti mujtahid, pemberani dan politikus ulung.<br /><br />2. Bersedia mengubah sistem sekuler yang ada, dan melaksanakan syariat Islam secara kaffah, menyeluruh dan konsisten. Kepala negara memiliki seluruh otoritas yang diperlukan untuk melaksanakan hukum, maka tidak alasan untuk menunda apalagi menolak melaksanakan syariat Islam.<br /><br />3. Memilih kepala negara yang mampu menjamin kekuasaan atas negeri ini tetap independen (merdeka), dan hanya bersandar kepada kaum Muslim dan negeri-negeri Muslim, bukan kepada salah satu negara Kafir imperialis atau di bawah pengaruh orang-orang Kafir. Dengan kata lain, kepala negara mampu mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan justru sebaliknya membiarkan negeri ini tetap dalam cengkeraman kekuatan penajajah, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan keamanan.<br /><br />Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia sebagai pemegang kekuasaan dalam momentum pemilihan kepala negara saat ini, hendaknya betul-betul menyadari hal ini. Sebab jika tidak, maka mereka tidak saja berdosa di sisi Allah, tetapi telah nyata-nyata menjerumuskan negeri ini dalam kemiskinan, kemunduran, keterpurukan, dan membiarkannya terus-menerus dikuasai penjajah. <br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-60452072521840426562009-06-28T23:18:00.000-07:002009-06-28T23:40:41.859-07:00Memilih yang Terbaik diantara Yang Buruk<img src="http://tbn1.google.com/images?q=tbn:Us2x3aYW-Yy9iM:https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWRnsuadMqKc7vHcPEeBjrJ_krLnTWVzjNSvJBlgIPA2v41K6By9CiqxUe_gmqor4tb4AMwwl7rgHVeoqjnZqbzOtkI3MtnH0NUzvh2WtXlfpntBhKSif7mdBUs8beE-MNMp6e_RsVIUk/s320/1095453865_ab10385996.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />“Memang tidak ada yang ideal, semuanya buruk, tapi paling tidak kita memilih presiden yang terbaik diantara yang buruk”, ujar sang pengamat politik nasional yang sedang naik daun dalam sebuah forum diskusi. Argumentasi seperti ini juga cukup popular dikalangan gerakan Islam. Dalam bahasa kaedah ushul dikenal dengan ahwanusy-syarrain atau akhofudh-dhororoin : mencari syar’(keburukan) yang lebih ringan atau yang dhoror(bahaya)nya lebih ringan. <br /><span class="fullpost"><br />Kita tentu setuju bahwa dalam Islam terhadap kewajiban untuk mengangkat Imam (kepala Negara). Jangankah kepala Negara , tiga orang yang melaku perjalanan (safar) harus ada seorang yang diangkat menjadi amir (pemimpin), apalagi ini urusan masyarakat yang lebih banyak dan lebih kompleks.<br /><br />Namun, kewajiban mengangkat kepala Negara, bukanlah sekedar adanya pemimpin. Tapi juga berhubungan dengan sistem apa yang akan diterakan oleh sang kepala Negara. Imam (Kepala Negara) diangkat untuk mengurus urusan kaum muslim baik urusan dunia maupun agama. Dan kaum muslim diurus bukan dengan sembarang hukum, tapi wajib dengan hukum Allah SWT. Karena itu kewajiban mengangkat pemimpin tidak bisa dipisahkan dengan sistem yang dijalankan sang pemimpin. Umat Islam wajib memilih pemimpin tentunya pemimpin yang akan menjalankan syariah Islam , bukan yang hukum lain.<br /><br />Dalam kitab Nizhamul Hukm fi Al Islam, dijelaskan tentang tugas kepala negara (Kholifah): “Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”<br /><br />Hal senada disebutkan oleh Imam Al Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah “Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[, Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289]<br /><br /><br />Sementara saat ini, siapapun kepala negaranya dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang oleh Indonesia, jelas bukan untuk menjalankan syariat Islam, tapi hukum (konstitusi) sekuler yang dibuat oleh manusia atas prinsip suara terbanyak di parlemen.<br /><br />Dalam kondisi sekarang yang wajib kita lakukan adalah mempersiapkan sistem negara yang berdasarkan syariah Islam, yang dikenal dengan sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah yang berlaku adalah syariah Islam. Jadi siapapun pemimpin yang terpilih nanti wajib menjalankan syariah Islam yang menjadi hukum resmi negara.<br /><br />Rosulullah saw sendiri mencontohkan saat fase Mekkah , ketika sistem Islam memang belum siap karena kekuasaan dan keamanan belum sepenuhnya ditangan umat Islam , Rosulullah saw tidak terlibat sama sekali dalam sistem hukum dan kepemimpinan jahiliyah saat itu. Bahkan saat dibujuk dengan kekuasan (tahta) untuk menjadi pemimpin oleh kafir Quraisy, Rosulullah saw menolak.<br /><br />Sebab beliau tahu kekuasaan yang diberikan itu bukan untuk menjalankan sistem Islam secara penuh, tetapi sekedar kompromi politik. Rosulullah saw tahu persis konsekuensi menerima bujukan itu berarti mencampurkan antar hak dan batil, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam.<br /><br />Sikap Rosulullah SAW sekaligus mencerminkan penolakan terhadap sikap pragmatisme yang hanya memikirkan bagaimana kekuasaan dapat diraih. Padahal kalau menggunakan logika pragmatisme sekarang, apa salahnya Rosulullah mengambil kekuasaan saat itu, bukankah ada gunanya walaupun sedikit ? Bukankah dengan kekuasan itu, kaum muslim sedikit terlepas dari siksaan ? Bukankah dakwahnya akan lebih lapang ?<br /><br />Sekali lagi Rosulullah SAW tetap berpegang pada prinsip perjuangan yang tidak mengenal kompromi dan tidak mau terlibat dalam sistem kufur yang ada . Meskipun Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya kemudian harus menghadapi ujian yang berat, berupa hinaan, cercaan, siksaan, hingga pembunuhan.<br /><br />Penggunaan kaedah ahwanusysyarain maupun akhofudhdhororoin tidak bisa dijadikan alasan membenarkan bergabung dengan sistem kufur. Apa yang disebut syar atau dhoror haruslah berdasarkan syariah Islam bukan semata-mata hawa nafsu kita. Yang disebut dhoror dalam Islam misalnya kalau memang mengancam nyawa. Itupun kalau kondisinya harus memilih dan tidak ada pilihan lain (deadlock).<br /><br />Menurut pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,di antara dalil kaidah ini adalah QS al-Baqarah:173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai. Itupun tentunya kalau tidak ada pilihan lain.<br /><br />Sementara kalau sekarang kita tidak memilih apakah itu akan mengancam nyawa ? Apakah sekarang kita sudah tidak ada pilihan lain (deadlock). Tentu saja tidak. Kita tidak dalam kondisi terpaksa (sehingga terancam nyawa ) sehingga harus memilih para calon yang semuanya buruk(berdasarkan syariah Islam). Ini bukan pula kondisi deadlock. Ada hal yang sekarang bisa kita lakukan sesegera dan secepat mungkin , yakni berjuang mewujudkan Khilafah Islam. Semakin cepat kita berjuang dan mewujudkan , tentu saja makin baik..<br /><br />Apakah kalau kita tidak memilih berarti apatis dan tidak berarti? Tentu saja tidak. Kalaupun kita tidak memilih, bukan berarti diam. Kita justru terus memperjuangkan syariah Islam dengan sungguh-sungguh dan secepat mungkin . Yang salah , kalau sudah tidak memilih kemudian kita bersikap diam tidak melakukan apa-apa.<br /><br />Pilihan untuk tidak memilih bukan pula tidak berarti. Dihadapan Allah SWT kalau kita tidak memilih karena menghindarkan diri dari keharaman , jelas akan mendapat pahala yang besar. Disamping itu, tidak memilih adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap sistem kufur yang ada dan upaya menghilangkan legitimasinya. Sebab kalau seluruh umat Islam tidak memilih , karena pemimpin yang ada tidak menerapkan syariah Islam, tentu saja demokrasi akan kehilangan legitimasinya. Hal ini justru akan mempercepat keruntuhan sistem sekuler yang rusak.<br /><br />Sebaliknya, dengan partisipasi umat Islam dalam pemilihan ini meskipun sudah tahu pemimpinnya tidak akan menerapkan syariah Islam, justru akan memperkokoh dan memperpanjang umur dari sistem sekuler yang sebenarnya sudah bangkrut.<br /><br />Seharusnya kita berjuang sekuat tenaga secara maksimal. Yang terjadi sekarang, malah bersikap minimalis . Memilih untuk mendapat sedikit keuntungan , namun sebaliknya telah mengorbankan hal yang prinsip dalam perjuangan yakni sikap istiqomah dan berpegang teguh pada dinul haq (Islam) . Belum lagi , bagaimana bentuk pertanggungjawaban kita dihadapan Allah SWT kelak. Apa jawaban kita kalau Allah SWT bertanya kepada kita nanti : kenapa anda memiliki pemimpin yang tidak menjalankan sistem Islam padahal anda bisa menolaknya ?<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-80094144980156671152009-06-28T22:22:00.000-07:002009-06-28T22:23:00.794-07:00Jika Hidup Tidak Untuk DakwahJika Hidup Tidak untuk Dakwah<br />Terus engkau mau ngapain?<br /><br />Ente pergi pagi<br />Dengan semangat mencari duniawi<br />Jika angkot macet, langsung berganti sewa taksi<br />Agar harta buruan tidak beralih dari sisi<br /><br />Ente pulang malam<br />Dengan jasad yang kelelahan<br />Nyampe di rumah mendekam sampai pagi datang<br /><br /><span class="fullpost"><br />Lupakah engkau<br />Rasulullah saw bagaikan rahib di malam hari<br />Dan menjadi singa di siang hari<br />Sementara kamu<br />Tak peduli siang tak peduli malam<br />Yang penting dunia dalam genggaman<br /><br />Sahabat cobalah engkau renungkan<br />Apa sih yang ingin kugapai sampai harus membanting tulang<br />Apa sih yang ingin kubangun hingga pagi datang<br />Apa sih yang ingin kuraih hingga tubuh begitu letih<br /><br />Jujur saja, untuk urusan perutmu bukan<br />Buat beli martabak atau nasi<br />Masuk perut dan kemudian raib menjadi kotoran<br /><br />Jujur saja, untuk urusan rumah tempat kau tinggal bukan<br />Buat beli keramik, AC ataupun busa<br />Dinikmati, rusak, ganti lagi tak berkesudahan<br /><br />Jujur saja, untuk urusan kesenangan anak-anak yang kau rindukan bukan<br />Buat pakaian, mainan, ataupun poster-poster idaman<br />Dinikmati, menghilang dari pandangan<br /><br />Jika engkau hidup hanya untuk itu semuanya<br />Maka harga dirimu<br />Nilainya sama dengan apa yang kamu makan<br />Nilainya sama dengan apa yang kamu keluarkan dari perut hitam<br />Nilainya sama dengan apa yang kamu rindukan<br /><br />Karena jasadmu tak ubahnya tembolok karung<br />Tempat penyimpanan semua makan yang kamu makan<br />Karena jasadmu tak ubahnya perekat<br />Tempat semua kesenangan dunia melekat<br /><br />Sepekan, setahun, sewindu kau bangun sejuta pundi uang<br />Engkau lupa bahwa kelak yang kau bangun itu pasti kau tinggalkan<br />Engkau lupa bahwa tempat tinggalmu sesudahnya adalah istana masa depan<br /><br />Tapi sahabat<br />Jika engkau hidup untuk dakwah<br />Tidak ada setitik harapan pun yang kelak dirugikan<br />Tiada seberkas amal pun yang tiada mendapat balasan<br /><br />Tapi di dalamnya penuh ujian dan batu karang<br />Dan engkau harus yakin penuh akan janji Allah<br />Tapi di dalamnya tidak lekas kau dapatkan keindahan<br />Dan engkau harus yakin bahwa inilah jalan kebaikan<br /><br />Sahabat<br />Janganlah terlena dengan kesenangan fana<br />Janganlah terlena dengan gemerlapnya dunia<br />Itulah yang Allah berikan sebagai hak para musyrikin di dunia<br />Tiada usah kamu iri dan berpikir tuk hanyut bersamanya<br />Karena kau tahu kehidupan mereka sesudahnya adalah neraka<br />Dan mereka kekal di dalamnya<br /><br />Sahabat<br />Jangan sia-siakan hidup di dunia<br />Bangun rumah dakwah<br />Jika kau diluaskan harta, kembalikan di jalan dakwah<br />Jika kau diluaskan waktu, hibahkan di jalan dakwah<br />Jika kau diluaskan tenaga, berikan untuk lapangnya jalan dakwah<br />Jika kau diluaskan pikiran, gunakan untuk merenungi ayat-ayat-Nya<br />Jika kau diluaskan usia, maksimalkan berikan yang terbaik untuk-Nya<br /><br />Jangan jadikan dakwah sebagai kegiatan sampingan<br />Jangan jadikan dakwah sebagai hiburan<br />Jangan jadikan dakwah sebagai ajang gaul sesama teman<br />Jangan jadikan dakwah sebagai pengisi waktu luang<br />Jangan jadikan dakwah sebagai sarana memburu uang<br />Karena kelak yang kau dapatkan adalah jahanam<br />Sebagai balasan atas kemusyrikan yang kau jalankan<br /><br />Sahabat<br />Jadikan dakwah sebagai ruh kalian di dunia<br />Jadikan dakwah sebagai rumah tinggal kalian di dunia<br />Jadikan dakwah sebagai tugas utama kalian di dunia<br />Jadikan bahwa hanya dengan dakwah diri kalian begitu bahagia<br />Jadikan bahwa tanpa dakwah kalian begitu menderita<br /><br />Sahabat<br />Jalan dakwah inilah yang membedakan kita<br />Dengan para pendusta ayat-ayat-Nya<br />Dan jika engkau hidup di dunia ini tidak untuk tegakkan risalah-Nya Itu<br />artinya engkau pun sama dengan mereka<br />Yang lebih menyukai neraka ketimbang surga<br />Dan jika engkau hidup di dunia ini sebagai tujuan<br />Ingatlah bahwa tak lama lagi ruhmu bakal dicabut dari badan<br /><br />Jika hidup tidak untuk dakwah<br />Trus ente mo ngapain?<br /><br />Mau jadi ayam?<br />Yang pergi pagi pulang petang<br />Kurang petang tambahin nyampe tengah malam<br /><br />Tapi masih mendingan ayam<br />Karena ia rutin bangun sebelum azan<br />Dan teriakkan lagu keindahan<br />Tapi kamu<br />Rutin subuh setengah delapan<br />Apalagi kalo akhir pekan<br />Bisa jadi subuh hengkang dari pikiran<br /><br />Tapi masih mendingan ayam<br />Karena ia berani pilih makanan yang ia inginkan<br />Tapi kamu<br />Elo embat semua yang ada di hadapan<br />Tidak peduli daging, tumbuhan, ataupun batu hitam<br />Sementara kamu dikaruniai pikiran <br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-66183165742351619132009-06-23T18:12:00.000-07:002009-06-23T18:45:46.396-07:00KEUNGGULAN MANIFESTO HTI<img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcmrv3BKeMINYCbBheWLsCT1u2nvGZEG3R-VpHQsAy8HYMLAvAlCPcMAF5fQ1FnNJd2-dVGevjtCZtqOWuGzpnNhX-RDqsi58A4MkVZ3BJLTlitybYZn_K0lc1MIoqO68-LKPPBActL4M/s320/KKI+ani+128x160+C.gif" align="left" width="160" height="115"><br /> Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi<br />Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (Manifesto HTI) lahir di tengah-tengah situasi politik Indonesia yang sedang mabuk akibat pesta demokrasi, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2009. Pada masa-masa ini, tak sedikit partai yang menyodorkan platform politiknya kepada publik. Partai Gerindra, misalnya, meluncurkan Manifesto Gerindra. PKS menggagas Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS. Jadi, suasana batin publik kini adalah sedang mempelajari tawaran-tawaran konseptual mengenai pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.<br /><span class="fullpost"><br />Dalam suasana batin seperti itulah lahir Manifesto HTI. Tujuan peluncurannya adalah untuk mensosialisasikan konsep HTI mengenai pengaturan kehidupan dalam negara Khilafah nantinya dalam berbagai bidang; pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Diharapkan umat Islam dapat memahami, bahwa Manifesto HTI adalah jalan baru untuk masa depan yang lebih baik, sebagai ganti dari jalan lama (yaitu Kapitalisme-sekular) yang sudah gagal dan hanya menimbulkan kehancuran dan kerusakan dalam berbagai bidang.<br /><br />Sebagai tawaran konseptual mengenai kehidupan bernegara, Manifesto HTI sebenarnya dapat dimasukkan dalam kategori yang sama dengan tawaran-tawaran serupa, seperti Manifesto Gerindra. Namun, dengan mencermati isinya, akan dapat ditangkap keunggulan-keunggulan yang tidak terdapat dalam tawaran konseptual sejenis. Tulisan ini berusaha menunjukkan beberapa keunggulan tersebut.<br /><br />Ideologi Islam<br /><br />Keunggulan ideologis merupakan keunggulan yang tampak jelas sekali dari Manifesto HTI. Pada saat partai-partai yang ada menawarkan ideologi Kapitalisme-sekular, atau menawarkan ideologi Islam yang kurang begitu jelas, Manifesto HTI menegaskan ideologinya, yaitu Islam bukan yang lain. Partai Gerindra, misalkan, meski menawarkan ekonomi kerakyatan, tetap saja tidak anti Kapitalisme, sebagaimana ungkapan Prabowo Subianto di sebuah media nasional.<br /><br />PKS sebenarnya menunjukkan penyikapan yang positif terhadap syariah, misalnya mendukung Perda syariah atau perbankan syariah. (Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS, hlm. 11 dan 34). Akan tetapi, sikap PKS kurang begitu jelas terhadap ideologi Islam, yaitu pengamalan Islam secara utuh (kâffah) dalam kehidupan bernegara. Dalam platform-nya, PKS masih mempercayai demokrasi. PKS menyatakan tujuannya adalah membentuk masyarakat madani. Ini kurang jelas. Sikapnya terhadap konsep bernegara dalam Islam juga kurang begitu jelas, sebagaimana tampak dalam statemen resmi mereka. Dikatakan bahwa dalam konteks hubungan Islam dan negara, pilihannya bukan negara Islam yang menerapkan syariah atau negara sekular yang menolak syariah, tetapi realisasi ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal (ibid., hlm. 37).<br /><br />Dibandingkan dengan Manifesto HTI, dengan tegas Hizbut Tahrir menyatakan hanya memperjuangkan ideologi Islam, yang berakar pada prinsip kedaulatan di tangan syariah (as-siyâdah li asy-syar'i). Sebaliknya, Hizbut Tahrir menentang keras berbagai ideologi lainnya seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Hizbut Tahrir juga menentang keras konsep-konsep yang lahir dari paham sekularisme seperti demokrasi, nasionalisme atau isme-isme lain. Dalam penentangannya, Hizbut Tahrir tidak menggunakan cara-cara kompromis atau langkah-langkah penyesuaian diri. Meski demikian, Hizbut Tahrir tidak menggunakan aktivitas kekerasan (fisik) dalam perjuangannya. (Manifesto HTI, hlm. 46).<br /><br />Lebih tegas lagi, Hizbut Tahrir menekankan bahwa ideologi Islam itu hanya dapat diwujudkan dengan institusi negara Khilafah. (Manifesto HTI, hlm. 46). Penegasan ini tentu merupakan keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan pandangan berbagai partai atau atau ormas Islam yang ada. Mereka umumnya menganggap sistem demokrasi-sekular yang ada sudah final dan dianggap harga mati. Sayangnya, anggapan ini sejalan dengan kehendak skenario Kapitalisme global di bawah pimpinan AS. Padahal sistem demokrasi adalah sistem kufur, najis serta thâghût yang wajib dibuang ke tong sampah peradaban.<br /><br />Sistem Pemerintahan<br /><br />Sistem pemerintahan Islam yang digagas HTI adalah negara Khilafah, yaitu sebuah negara yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan mempunyai misi menyebarkan dakwah Islam ke seluruh umat manusia. Mengapa Khilafah dan bukan sistem yang lain, semisal republik atau monarki? Sebab, sistem pemerintahan Islam inilah yang secara genuine (asli) lahir dari rahim ideologi Islam. Sistem republik atau monarki tidak berasal dari ideologi Islam, melainkan berasal dari ideologi Barat.<br /><br />Dengan Khilafah, diharapkan dapat muncul beberapa keunggulan, yaitu adanya kemandirian serta partisipasi rakyat yang tinggi. Kemandirian akan terwujud karena Khilafah memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi negara-negara imperialis-kolonialis. Pada saat Indonesia merdeka, sebenarnya ideologi yang diterapkan adalah ideologi kaum penjajah, yaitu sekularisme. Penjajah diusir, tetapi ideologinya diadopsi. Inilah yang menyebabkan Indonesia selalu menjadi subordinat dari negara-negara imperialis Barat melalui agen-agennya yang duduk dalam posisi kunci di tengah masyarakat ataupun di tubuh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam konteks kekinian, bukti nyata untuk itu adalah lahirnya berbagai UU yang pro negara penjajah seperti UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU SDA (Sumber Daya Air), UU Penanaman Modal, UU Badan Hukum Pendidikan, dan sebagainya. (Manifesto HTI, hlm. 12).<br /><br />Khilafah yang berasaskan ideologi Islam akan melegislasi UU hanya dari al-Quran dan as-Sunnah. Segala perundang-undangan yang ada tidak dapat lagi didikte oleh siapapun khususnya agen-agen imperialis. Dengan demikian, secara politik Khilafah akan mewujudkan kemandirian dan mengakhiri penjajahan.<br /><br />Partisipasi politik yang tinggi juga akan dapat diwujudkan dalam negara Khilafah nanti. Tidak seperti sekarang, partisipasi politik hanya tampak dalam Pemilu lima tahunan yang sayangnya juga tidak lepas dari manipulasi dan eliminasi aspirasi rakyat, misalnya lewat manipulasi DPT. Dalam negara Khilafah, partisipasi politik antara lain terwujud dalam kontrol rakyat yang kuat kepada pemerintah. Kontrol kepada penguasa dapat dilakukan melalui empat jalur: melalui individu, partai politik, Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim. (Manifesto HTI, hlm. 13). Ini akan sangat berbeda dengan sistem pengawasan sekarang yang dirancang untuk meminimalkan akses publik untuk dapat mengontrol pemerintah. Contoh mutakhir adalah RUU Kerahasiaan Negara, yang menentukan bahwa sejumlah informasi penting yang menyangkut publik tidak dapat diungkapkan untuk publik; atau RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), yang menyatakan para pejabat sektor keuangan tidak dapat dijerat hukum terkait kebijakan mereka, yaitu bantuan likuiditas guna menghadapi krisis finansial global.<br /><br />Sistem Ekonomi<br /><br />Sistem ekonomi yang diterapkan sekarang adalah Kapitalisme dengan mazhab neoliberalisme. Ciri-ciri utama neoliberalisme antara lain: (1) pengurangan subsidi, seperti subsidi BBM, pendidikan, kesehatan dan sebagainya; (2) privatisasi, yaitu penjualan BUMN kepada asing, misalnya penjualan PT Indosat kepada Temasek Holding Singapura; (2) liberalisasi sektor keuangan, industri dan perdagangan; misalnya masuknya retail raksasa semisal Carefour dan Wallmart ke pasar retail Indonesia yang akhirnya menghancurkan pasar tradisional dan usaha kecil dan mikro.<br /><br />Dalam Manifesto HTI ditegaskan bahwa sistem Kapitalisme seperti ini adalah sistem yang menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi. Pihak yang kuat akan untung, sementara rakyat banyak yang lemah akan buntung, yang pada gilirannya akan melambungkan jumlah kemiskinan. Kesejahteraan tidak untuk semua, tetapi untuk golongan yang kuat saja. (Manifesto HTI, hlm. 15).<br /><br />Manifesto HTI akan makin tampak keunggulannya, karena berusaha menggagas sistem ekonomi Islam sebagai alternatif dari sistem Kapitalisme-neoliberal yang zalim dan eksploitatif ini. Gagasan HTI antara lain adalah negara harus memastikan bahwa kegiatan ekonomi baik yang menyangkut produksi, distribusi maupun konsumsi dari barang dan jasa berlangsung sesuai dengan ketentuan syariah; di dalamnya tidak ada pihak yang menzalimi ataupun dizalimi. Karena itu, Islam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi (produksi, industri, pertanian, distribusi dan perdagangan), investasi, mata uang, perpajakan, dll yang memungkinkan setiap orang mempunyai akses untuk mendapatkan kekayaan tanpa merugikan atau dirugikan oleh orang lain. Selain itu, negara juga menggunakan pola distribusi non ekonomi guna mendistribusikan kekayaan kepada pihak-pihak yang secara ekonomi tetap belum mendapatkan kekayaan melalui instrumen seperti zakat, sedekah, hibah dan pemberian negara. Dengan cara ini, pihak yang secara ekonomi tertinggal tidak semakin tersisihkan. (Manifesto HTI, hlm. 16).<br /><br />Dalam sistem Kapitalisme sekarang, SDA (Sumber Daya Alam) berada dalam cengkeraman korporasi swasta, misalnya tambang tembaga dan emas Papua yang dikuasai PT Freeport Indonesia, tambang migas di Cepu yang dikuasai PT Exxon-Mobil, dan sebagainya. Akhirnya, sebagian besar hasil SDA dinikmati oleh asing, bukan dinikmati rakyat Indonesia. Sebagai contoh, keuntungan perusahaan migas AS PT Exxon-Mobil di Indonesia tahun 2007 adalah sebesar 40,6 miliar USD (Rp 373 triliun), dari pendapatan kotor sebesar 114,9 miliar USD (Rp 1.057 triliun). Dari keuntungan Rp 373 triliun itu, bagi hasilnya yang nisbahnya 85:15 bagi Pemerintah dan perusahaan asing, baru dilakukan setelah dipotong "cost recovery" yang ditetapkan perusahaan asing. Jika tidak tersisa, Indonesia tidak dapat. Di Blok Natuna, setelah dipotong "cost recovery", PT Exxon-Mobil mendapat 100% dan pemerintah mendapat 0% (nol persen). (Kompas, 13/10/2006). Walhasil, swasta makin kaya dan Indonesia menjadi fakir-miskin.<br /><br />Di sinilah Manifesto HTI menggugat dan mendobrak sistem zalim dan eksploitatif ini. SDA ditegaskan sebagai milik umum (milkiyah 'âmmah) sehingga wajib dikelola oleh negara saja sebagai wakil dari umat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta. Hasil dari SDA itu, misalnya BBM, akan didistribusikan kepada pemiliknya, yaitu seluruh rakyat, dengan gratis atau dengan harga murah yang dijangkau oleh rakyat; misalnya dijual pada harga yang sama dengan ongkos produksi. Kwik Kian Gie pernah menghitung, biaya produksi satu liter bensin hanya Rp 540,- (Kompas, 3/2/2005). Dengan cara ini, hasil SDA tidak lagi dijarah oleh kaum imperialis, namun justru akan dinikmati oleh seluruh rakyat (Manifesto HTI, hlm. 16).<br /><br />Utang luar negeri juga menjadi salah satu perhatian dalam Manifesto HTI. Indonesia dalam pandangan HTI telah terjerumus dalam jebakan hutang (debt trap) sehingga tidak memiliki kemandirian dalam menentukan kebijakan ekonomi dan politiknya. Manifesto HTI menegaskan, utang luar negeri haram hukumnya karena mengandung bunga (riba) (QS al-Baqarah [2]: 275) dan menimbulkan dominasi asing terhadap Indonesia (QS An-Nisa’ [4]: 141). (Manifesto HTI, hlm. 18).<br /><br />Polugri<br /><br />Konsepsi Polugri (politik luar negeri) dalam negara Khilafah berbasiskan satu prinsip yang tetap dan tidak berubah-ubah sampai Hari Kiamat, yakni jihad fi sabilillah. Jihad fi sabilillah tujuannya bukanlah untuk membunuh manusia, atau memaksa manusia masuk Islam, atau merusak bangunan dan pepohonan, melainkan untuk menyebarkan Islam kepada seluruh manusia (QS al-Anbiya’ []: 207) dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi sampainya dakwah Islam.<br /><br />Prinsip jihad fi sabilillah inilah yang akan melandasi seluruh kebijakan polugri negara Khilafah, seperti kebijakan dalam mengatur hubungan dengan negara lain, kebijakan mengadakan perjanjian dengan negara lain dan kebijakan menyikapi organisasi internasional seperti PBB. Maka dari itu, Manifesto HTI menegaskan, Khilafah nantinya akan mengambil kebijakan menolak politik "Minimum Deterrence" yang meminimalkan kekuatan senjata Dunia Islam, dan sebaliknya Khilafah akan mengupayakan kekuatan militer secara penuh. Khilafah tidak akan menandatangani perjanjian NPT (Non-Proliferation Treaty) dan perjanjian lain yang semisal. Khilafah tidak akan meminta bantuan AS, Inggris ataupun negara-negara penjajah lainnya untuk menyelesaikan masalah umat Islam. Khilafah juga tidak akan menjadi anggota lembaga-lembaga internasional yang menjadi alat penjajahan seperti PBB, Bank Dunia, IMF dan yang semisalnya.<br /><br />Semua kebijakan ini jelas merupakan suatu keunggulan tersendiri, yang berbeda dengan garis politik luar negeri saat ini yang amat lemah dan tidak mandiri. Kebijakan yang ada saat ini justru menempatkan Indonesia sebagai subordinat dari kepentingan negara penjajah, khususnya AS.<br /><br />Kesimpulan<br /><br />Inilah sekilas beberapa keunggulan Manifesto HTI yang ditawarkan kepada umat Islam di Indonesia. Tampak jelas, berbagai keunggulan ini berpangkal dari keunggulan ideologisnya, yaitu ideologi Islam. Keunggulan ini kemudian diturunkan dalam berbagai konsep dan rencana kebijakan yang Islami, yang sesungguhnya amat layak menggantikan ideologi sekarang yang sudah lapuk, gagal dan mau tumbang. Wallâhu a'lam.<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-52557455211798130772009-06-01T19:26:00.000-07:002009-06-01T19:28:56.825-07:00Negara Islam Bukan Ilusi<img src="http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2009/05/ilusidlm2.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Ide lama yang basi menyerang ideology Islam, penegakan syariah Islam, Khilafah kembali muncul. Kelompok liberal Sabtu malam (18/05 ) meluncurkan buku berjudul “Ilusi Negara Islam”: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Buku setebal 322 halaman yang diterbitkan atas kerja sama Gerakan Bhineka Tunggal Ika, the Wahid Institute dan Maarif Institute .<br /><span class="fullpost"><br />Menurut Gus Dur studi dalam buku ini dilakukan dan dipublikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen bangsa khususnya para elit dan media massa tentang bahaya ideologi dan paham Islam garis keras yang di bawa ke Tanah Air oleh gerakan transnasional Timur Tengah. memperjuangkannya.<br /><br />Buku ini sendiri patut dipertanyakan baik secara metodelogi, substansi, maupun pengusungnya (lihat keterangan pers Jubir HTI) . Inkonsistensi, kebohongan dan generalisasi kelirupun bertebaran dalam buku ini. Ada aroma kebencian dan kemarahan dari buku ini. Anehnya , Negara Islam dianggap ilusi, namun harus harus diwaspadai secara serius sampai pada tingkat rekomendasi aksi. Padahal ilusi itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya angan-angan , khayalan dan palsu. Lho, kenapa yang angan-angan dan khayalan harus disikapi serius seperti itu ?<br /><br />Tentu juga bukan kebetulan kalau opini yang ingin dibangun bahwa syariah dan khilafah itu mengancam, sejalan dengan opini yang disampaikan oleh Bush – Sang Pembantai Kaum Muslimin. Pada tanggal 5 September 2006 Presiden George W. Bush mengatakan:“They hope establish a violent political utopia across the Middle East, which they call Caliphate, where all would be ruled according to their hateful ideology”. [“Mereka berangan-angan untuk membangun utopia-politik kekerasan di sepanjang Timur Tengah, yang mereka sebut dengan Khilafah, dimana semua akan diatur berdasar pada ideologi yang penuh kebencian.”]<br /><br />Sebenarnya perdebatan transnasional tidak relevan. Persentuhan Indonesia dengan ideologi transnasional adalah hal yang tak terelakan. Bukan hanya ideologi, Indonesia juga bersentuhan dengan hal lain baik itu berupa agama, seni, budaya, bahasa, bahkan juga makanan yang bersifat transnasional. Lima agama yang diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha) juga Konghu Cu, semuanya berasal dari luar Indonesia. Termasuk pula gagasan-gagasan sistem politik seperti demokrasi, bahkan istilah republik juga berasal dari Barat.<br /><br />Masuknya Islam ke Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari watak ‘transnasional’ Islam. Adalah Sultan Muhammad I dari kekhilafahan Utsmani yang pada tahun 808H/1404M pertama kali mengirim para ulama (kelak dikenal sebagai Walisongo) untuk berdakwah ke pulau Jawa seperti Maulana Malik Ibrahim (Turki), Maulana Ishaq (Samarqand) yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra (Mesir), Maulana Muhammad al-Maghrabi (Maroko) Maulana Malik Israil (Turki), Maulana Hasanuddin (Palestina),Maulana Aliyuddin (Palestina) dan Syekh Subakir dari Persia.<br /><br />Keberadaan ormas-ormas Islam besar di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, juga tidak bisa dilepaskan dari persinggungan dengan dunia Islam internasional. Watak transnasional ini wajar saja mengingat Islam memang agama bagi seluruh manusia di dunia (rahmatan lil ‘alamin). Tokoh-tokoh pendiri ormas itu sebagian besar belajar di Timur Tengah dan menyebarkan pemikiran-pemikiran ulama dari Timur Tengah yang menjadi pusat Islam saat itu.<br /><br />Penyakit Islamophobia dan Syariahphobia sepertinya telah membutakan mata hati dan sikap rasional kelompok liberal dan pengusungnya ini. Kenapa hanya Ideologi Islam dan kelompok Islam yang mereka anggap sebagai ancaman dari luar dan bersifat transnasionalisme. Sementera itu, ide-ide liberal dan sekuler seperti demokrasi , HAM, pluralisme, ide gender, yang mereka usung yang sesungguhnya merupakan ide import (dari Barat) dan juga berwatak transnasional, tidak dianggap ancaman.<br /><br />Padahal ide liberal dan sekuler ini bukan hanya mengancam, tapi telah menjadi penyebab kehancuran Indonesia dan dunia Islam. Bukankah penerapan ekonomi yang neo liberal di Indonsia dengan progam pengurangan subsidi, privataisasi , investasi asing dan pasar bebas telah menyebabkan kemiskinan dan perampokan kekayaan alam Indonesia.<br /><br />Atas nama HAM, kebebasan bertingkah laku mereka merusak moralitas menjerumuskan para pemuda dalam kemaksiatan. Dengan alasan HAM,mereka minta pornografi dan pornaaksi, pengakuan terhadap kelompok gay dan lesbian dilegalkan. Sementara perda yang mewajibkan busana muslimah dianggap melanggar HAM.<br /><br />Atas nama HAM juga mereka meracuni aqidah umat Islam. Dengan dalih kebebasan beragama, kelompok liberal ini meminta agar Ahmadiyah jangan dilarang. Pelarang sholat dua bahasa yang jelas-jelas bid’ah, oleh kelompak liberal dianggap pelanggaran HAM. Tidak hanya itu ‘tafsir’ liberal yang mereka usung telah menghancurkan sendi-sendi Islam yang mendasar yang menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al Qur’an dan as Sunnah.<br /><br />Kelompok liberal ini menganggap kelompok yang ingin menegakkan syariah Islam sebagai garis keras. Sementara AS dan sekutunya yang dengan alasan HAM dan penyebaran demokrasi, serta perang melarang terorisme membunuh jutaan umat Islam di Irak, Afghanistan, Somalia, Sudan, dan Palestina, tidak secara intensif mereka kritik . Bukankah dengan dalih HAM (kebebasan menentukan nasib sendiri) Timor Timur lepas, dan hal yang sama sedang mengancam Aceh dan Papua ? Jadi ideologi mana yang sebenarnya berbahaya bagi bangsa ini ?<br /><br />Yang jelas kewajiban penegakan syariah Islam dan Khilafah adalah perintah Allah SWT. Tidak mungkin hukum yang berasal dari NYA akan mencelakakan manusia. Syariah Islam akan membebaskan Indonesia dari penjajahan ideologi negara imperialis dan mensejahterakan rakyat . Hal ini bukanlah perkara mimpi atau ilusi, tapi bisa dibuktikan secara normatif maupun secara historis-empiris.<br /><br />Untuk membuktikan itu, cukuplah kita kutipkan surat Surat Raja Inggris Goerge II kepada Kholifah Hisyam III : Keunggulan pendidikan di masa Khilafah , membuat banyak pihak mempercayai keluarganya untuk dididik dalam sistem pendidikan Khilafah. Termasuk Raja di Eropa yang mengirim keluarganya untuk belajar di Daulah Khilafah, seperti yang tampak dalam surat dari George II, Raja Inggeris, Swedia dan Norwegia, kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia Spanyol. Kutipan surat tersebut antara lain : ” Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia, bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, dimana berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia, yang metropolit itu. Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.”<br /><br />Syariah Islam akan menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat yang menjadi tanggung jawab negara. Berdasarkan syariah Islam pendidikan dan kesehatan wajib gratis. Syariah Islam juga melarang barang-barang yang merupakan pemilikan umum (al milkiyah al ‘amah) seperti emas, perak, minyak, batu bara diserahkan kepada swasta apalagi asing . Milik rakyat yang harus dikelola untuk kemaslahatan umat.<br /><br />Syariah juga akan mencegah setiap intervensi asing yang mengancam disintegrasi umat dan negara. Sementara negara Islam Khilafah Islam adalah instutisi yang menerapkan syariah Islam dan menyatukan umat Islam sehingga menjadi negara adidaya global yang mensejahterakan manusia. Sekali lagi kita pantas bertanya, apa yang sebenarnya mengancam Indonesia : syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT yang ar Rahman dan ar Rohim atau ideology liberal dari penjajah yang rakus ?<br /><br />Tentang kepastian tegaknya kembali Khilafah tentu kita lebih percaya kepada hadist Rosulullah saw yang memberikan kabar gembira kepada kita : “Masa kenabian akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Kemudian akan ada (masa) Khilafah Rasyid (yang mendapat petunjuk) yang berjalan selaras dengan kenabian. Khilafah itu akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Setelah itu akan ada (masanya) banyak pemimpin, dan itu akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Setelah itu akan ada (masa) pemerintahan tirani, dan akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Kemudian, akan muncullah (masa) Khilafah Rasyid (kembali) yang berjalan selaras dengan kenabian.” Kemudian beliau (Rasulullah) terdiam.” (Musnad Imam Ahmad (v/273)).<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-89369246165248349052009-05-31T21:29:00.000-07:002009-05-31T21:35:59.919-07:00KAIDAH BERPOLITIK<img src="http://tbn1.google.com/images?q=tbn:H-iBuQ9UX6zPqM:http://paringgonan.files.wordpress.com/2009/03/63892.jpg" align="left" width="160" height="115"><br /> Menjelang deklarasi capres dan cawapres baru-baru ini kita menyaksikan dagelan politik yang menyedihkan sekaligus memalukan. Setelah mengkritik habis, marah-marah, karena SBY akhirnya memilih Budiono sebagai cawapres, detik-detik akhir sejumlah partai akhirnya tetap bergabung ke kubu SBY. Jelas inkonsisten dan mencerminkan kuatnya magnet kekuasaan dalam politik kita.<br /> Kita mengerti, kekuasaan itu menawarkan segala hal, terutama uang dan jabatan politik. Namun, kalau itu membuat kita plin-plan dan menggandaikan idiologi kita, tentu sangat kita sayangkan. Sebab, sikap Istiqamah untuk berpegang teguh pada kebenaran dan Ideologi Islam adalah hal penting bagi setiap Muslim, sekaligus kunci kemenangan dakwah.<br /><br /><span class="fullpost"><br />Dengan sikap plin-plan seperti ini partai-partai telah memberikan sebuah edukasi politik terhadap rakyat, bahwa dalam berpolitik yang penting adalah KURSI, persoalan ideology tidak penting. Padahal Ideologi (mabda’) adalah prinsip penting yang menjadi pedoman dasar dan yang mengarahkan partai dan perjuangannya.<br /> Dalam konteks perjuangan penegakan penegakan Syariah Islam, sikap plin-plan ini akan membuat umat bertanya-tanya. Begitu murahnya mabda’ (Ideologi) dibandingkan dengan KURSI? Sungguh berbahaya kalau umat kemudian menjadikan sikap plin-plan partai Islam menjadi sikap mereka. Bagaimana kita menginginkan umat bisa berpegang teguh dan kokoh pada Akidah dan Syariah Islam, sementara partai politik yang mengklaim menyerukan syariat Islam ternyata plin-plan?<br /> Di sinilah, sangat penting untuk menyegarkan kaidah-kaidah berpolitik dalam Islam. Pertama : kaidah as-siyadah li asy syar’I; kedaulatan di tangan hokum syariah (Al Qur’am dan sunnah). Kaidah inilah yang paling utama. Seluruh aktivitas politik kita seharusnya berpedoman pada hukum Syariah. Apa saja yang dilarang Allah Swt harus kita tinggalkan. Sebaliknya, apa yang dia diperintahkan harus dengan segera kita laksanakan.<br /> Terikat dengan hukum hukum syariah adalah prinsip penting, kaidah Ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu dalam masalah ini tidak bisa digunakan. Kaidah ini tidak boleh membuat kita toleran dengan pelanggaran hukum syariah atau menjadi pembenaran untuk menunda kewajiban. Dala melaksanakan kewajiban dan menjauhkan larangan harus harus sesegera mungkin, tidak boleh ditunda-tunda, atau dilaksankan bertahap (tadarruj).(lihat QS Ali Imran [3]:133; Tafsir Al-Baghawi,II/103).<br /> Apalagi kaidah hukum syariah bukanlah dalil. Yang menjadi dalilhanyalah Al Qur’an, As-Sunnah , Ijmak sahabat dan Qiyas Syar’i. Jadi, kalau sebuah Akidah menyebabkan pelanggaran terhadap hukum syariah (bertentangan dengan dalil Al-Quran dan As-Sunnah) berarti ada yang salah. Bisa jadi kaidahnya salah satu atau pnggunaannya yang keliru.<br /> Kedua, Haytsuma yakunu as-syar’u takunu mashlahah; dimana ada hukum syariah di situ ada ada kemaslahatan. Kemaslahatan (kebaikan) adalah sesuatu yang kita peroleh setelah kita menjalankan hukum syariah. Sebaliknya, kemadaratan (bahaya, keburukan) akan kita peroleh kalau kita peroleh kalau kita melanggar hukum syariah. Bukan sebaliknya.<br /> Sahabat telah memberikan contoh kepada kita. Rafi’ bin Khadij berkata, pamannya berkata ketika Rasul saw melarang mereka dari muzara’ah/mukhabarah, yaitu menyewakan laha pertanian. “Rasulullah saw, telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya lebih bermanfaat bagi kami.”(HR.Muslim,Abu Dawud An-Nasa’I dan Ahmad).<br /> Menjadikan kemaslahatan sebagai panglima dalam politik sangat berbahaya. Apapun bisa dibenarkan dengan alasan kemaslahatan meskipun bertentangan dengan hukum syariah. Kalau kita bergabung dengan pemerintah sekular yang tidak menjalankan syariah Islam, ka nada manfaatnya: kita bisa mendapatkan fasilitas ekonomi, beberapa kepentingan umat Islam bisa kita capai, dan lain-lain. Pernyataan seperti ini tertolak dalam pandangan hukum syariah. Imam Ibnu Katsir, saat menafsirkan surat Ali Imran [3]: ayat 104, mengutip riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir, bahwa Rasulullah saw saat membaca ayat tersebut bersabda,” Al-Khayr (kebaukan) adalah mengikuti Al Qur’an dan Sunnahku.<br /> Menjadikan kemaslahatan sebagai panglima politik jugamembuat kita plin-plan dan istiqamah. Sebab, penilaian kemaslahatan politik, kalau berdasarkan akal manusia, pasti berbeda-beda dan berubah-ubah mengikuti perkembangan politik. Inilah yang membuat menapa partai-partai Islam tampak kebingungan untuk megambil sikap dalam politik. Kita akan konsisten dan tegas, tidak bingung kalau kita menjadikan hukum syariah sebagai panglima politik kita.<br /> Ketiga, al-ghayah la tbarriru al-washillah; tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Ini sangat berbeda dengan kaidah berpolitik dalam sistem kapitalis. Dalam prinsip politik kapitalis, segala cara boleh dilakukan asal bisa mencapai tujuan (the end justifies the means). Inilah prinsip rumusan Niccolo Machiaveli dlm karyanya The Prince (abad ke-16). Tidak heran kalau dalam iklim berpolitik seperti ini, tipu-menipu, penghianatan serta saling menjatuhkan dan menghancurkan dalam berpolitik menjadi biasa.<br /> Dalam islam, seluruh perbuatan ita harus terikat dengan hukumsyariah baik dalam hal pemikiran(fikrah), tujuan (ghayah), metode (thariqah) sampai pada tingkat strategi yang teknis (uslub). Pernyataan ,”Ini kan hanya strategi dala politik,” adalah tertolak jika bertentangan dengan syariah atau melanggar yang haram. Karena itu. Tidak boleh membenarkan pemimpin wanita dalam pemerintahan, berkoalisi dengan partai sekuler, menyembunyikan kewajiban menegakkan syariah Islam dan Negara Islam, dengan alasan itu sekedar strategi politik.<br /> Kemenangan dari Allah Swt,hanya akan kita peroleh kalau kita berhukum dengan hukum syariah. Mustahil dengan strategi yang melanggar hukum syariah kemenangan hakiki berupa tegaknya kekuasaan Islam untuk menjalankan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) akan tercapai. <br /> Ya Allah kami telah menyampaikan ajaranmu, berikanlah kepada kami kemudahan/ kekuatan agar ajaran-ajaranmu dapat diterapkan di muka bumi ciptaanmu ini….Ya Allah kabulkan lah permohonan kami sebagaimana mudahnya Engkau mengatur puluhan ribu planet di alam semesta ini……Amien…………….<br /><br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-25012991770678763632009-05-15T18:05:00.000-07:002009-05-15T18:34:39.186-07:00Syariah Tak Laku?<img src="http://tbn2.google.com/images?q=tbn:vYg6Rwf7OYy4uM:http://cokiehti.files.wordpress.com/2008/04/partai-islam.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Gegap gempita Pemilu Legislatif usai sudah. Namun, gebyar pesta demokrasi itu belum redup. Masih ada hajatan besar yang gaungnya makin nyaring terdengar, yakni Pemilihan Presiden (Pilpres). Parpol-parpol besar dengan perolehan suara signifikan pada Pemilu Legislatif lalu kini mulai berebut pengaruh untuk menggadang calon presiden dan wakilnya. Parpol berasas Islam tinggal memilih berkoalisi dengan parpol sekular yang mana. Ya, mereka berebut menggandeng parpol sekular untuk menyongsong Pilpres. Maklum, suara parpol Islam tak cukup signifikan untuk mengusung sendiri calon presiden dan wakil presiden. Kalau menghendaki posisi strategis, koalisi mesti ditempuh.<br /><span class="fullpost"><br />Memang, seperti pada Pemilu yang sudah-sudah, lagi-lagi parpol Islam kalah suara dibandingkan dengan parpol sekular. Hal ini memunculkan anggapan bahwa syariah Islam yang diusung parpol Islam memang tak laku dijual. Masyarakat tidak menyambut seruan parpol Islam.<br /><br />Tentu saja, kekalahan parpol Islam dari parpol sekular bukan gambaran bahwa Islam tak mendapat tempat di negeri ini. Masalahnya adalah, apakah parpol-parpol Islam yang ada sudah benar-benar memperjuangkan Islam? Benarkah parpol-parpol Islam itu memang memperjuangkan sesuatu yang beda dengan parpol-parpol sekular lainnya?<br /><br />Nyatanya, meski berasas Islam, tak satu pun parpol atau caleg yang melirik syariah Islam kâffah sebagai platform politiknya. Tidak ada satu parpol pun yang gencar “menjual” syariah Islam kepada masyarakat selama kampanye. Tidak ada yang menawarkan Islam sebagai solusi. Hal ini tentu bukan karena ideologi Islam tak layak, tetapi memang tak ada yang berani ‘menjualnya’. Takut tidak laku. Alasannya, masyarakat belum siap.<br /><br />Keraguan para tokoh Islam dan elit politik dalam mengusung ideologi Islam tergambar, misalnya, dalam ungkapan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Ia bahkan menilai gagasan syariah Islam dan Khilafah sebagai produk yang tidak laku di masyarakat.<br /><br />Bahkan partai politik berbasis massa kader Islam seperti Partai Keadilan sejahtera (PKS) pun, tidak secara terbuka memperjuangkan syariah Islam. Tokoh Zulkiflimansyah mengatakan PKS tidak jualan syariah. Padahal tadinya banyak umat Islam yang berharap PKS mampu menjadi lokomotif bagi kebangkitan Islam ideologi di Tanah Air.<br /><br /><br />Terkurung dalam Penjara Sekularisme<br /><br />Kalau diteliti, hampir semua parpol berasas Islam terjebak dalam penjara sekularisme. Sekalipun tampak “islami”, hal itu cuma sebatas di atas kertas; sebatas tertuang dalam misi dan visi, AD/ART atau platform parpol.<br /><br />Ada parpol yang memperjuangkan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., berakhlak mulia, sejahtera lahir dan batin, adil dan makmur yang merata serta maju; berkhidmat dan bertanggung jawab bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya dengan penuh ampunan dan ridha Allah SWT.<br /><br />Sayangnya, tidak ada rincian bagaimana cita-cita mulia di atas bisa diwujudkan, misalnya dengan mengusung konsep-konsep seputar sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem peradilan, dll. Jika parpol tersebut sudah memiliki konsep lengkap, mestinya itu yang ditawarkan secara terbuka kepada masyarakat saat kampanye. Nyatanya, sepanjang kampanye tidak ada yang menawarkan syariah Islam yang komprehensif itu.<br /><br />Tidak ada tawaran baru mengenai konsep mengelola negara berdasar ideologi Islam secara menyeluruh. Semua tetap sama, berjalan pada koridor lama, yakni melanggengkan sistem demokrasi. Sekadar slogan-slogan bahwa syariah Islam solusi mengatasi berbagai persoalan bangsa pun tak muncul selama kampanye.<br /><br />Walhasil, Islam lagi-lagi hanya muncul sebatas substansinya. Itulah yang kebanyakan diusung parpol Islam. Dengan kata lain, yang diperjuangkan hanyalah terwujudnya nilai-nilai moral dan kebaikan semata; apapun bentuk negaranya tidak perlu dipersoalkan. Bahkan ada yang menganggap bentuk negara ini sudah final. Yang penting nilai-nilai kebaikan, keadilan, kejujuran dll bisa terwujud.<br /><br />Jadi, yang ada sebatas perjuangan moral dan etika yang dibungkus dengan kemasan Islam. Siapapun pejabat yang memerintah, yang penting bisa merefleksikan nilai-nilai Islam, yaitu amanah dan berakhlaqul karimah. Padahal sudah terbukti, dalam sistem sekular, nilai-nilai di atas tidak pernah tercapai secara hakiki. Pejabat sebersih apapun, kadang tanpa sadar terciprat kotornya sistem.<br /><br />Ada pula parpol Islam yang menyerukan sebatas diakuinya kembali Piagam Jakarta, yang mencantumkan kewajiban melaksanakan syariah Islam bagi pemeluknya. Syariah apa saja yang dimaksud? Apakah mencakup sistem ketatanegaraan secara menyeluruh? Apakah termasuk sistem ekonomi Islam, peradilan, sosial dll? Tidak ada rincian.<br /><br />Ironisnya, ada parpol berbasis massa umat Islam yang malah bersifat terbuka; bersifat lintas agama, suku, ras dan lintas golongan. Ini dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan.<br /><br />Bahkan tak sedikit aktivis parpol seperti ini yang merupakan penganut paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sipilis); paham yang sudah diharamkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu. Mereka, misalnya, para pejuang gender seperti Nursyahbani dan Rieke Diah Pitaloka. Bahkan ada partai berbasis massa Islam yang tanpa sungkan menggagas musisi berhaluan Yahudi, Dhani Prasetyo, sebagai cawapres.<br /><br />Benar-benar mereka tidak bisa diharapkan untuk kebangkitan umat Islam. Parpol seperti ini,jelas tak mungkin memasarkan syariah Islam karena kadernya sendiri orang yang phobi terhadap syariah Islam.<br /><br />Parpol Islam lain mengklaim sebagai wadah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang islami, sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik umat Islam dalam upaya memperkuat demokrasi. Ya, lagi-lagi yang diperjuangkan adalah demokrasi. Bahkan dengan sifatnya yang terbuka, calegnya pun ada yang beragama Katolik atau bahkan berhaluan sosialis/kiri seperti Dita Indah Sari. Bagaimana mungkin tokoh seperti ini akan diharapkan menyuarakan syariah Islam?<br /><br />Asas Islam kerap pula muncul sebatas simbol, seperti gambar lima bintang yang menunjukkan rukun Islam yang lima; gambar Ka’bah sebagai kiblat umat Islam; gambar bulan-bintang yang identik dengan masjid; dan seterusnya. Sejatinya hal itu tidak masalah, asal parpol Islam tetap mengusung syariah Islam sebagai ideologi parpol. Sayangnya itu tidak mencuat.<br /><br />Ada pula yang hanya istilah-istilahnya saja yang diganti dengan bahasa Arab. Islam masih dianggap kompatibel dengan demokrasi sehingga itulah yang diperjuangkan. Misalnya, DPR dianggap sebagai majelis umat karena ada aspek musyawarah. Presiden tak ubahnya khalifah sebagai pemimpin tertinggi umat hingga keluar fatwa bahwa memilih presiden wajib hukumnya, haram bagi yang golput. Menteri dianggap identik dengan muawin (pembantu) khalifah. Demikian seterusnya.<br /><br />Lebih aneh lagi, tak sedikit parpol yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sekular. Bahkan karena begitu tingginya keinginan untuk dianggap inklusif, berkolaborasi dengan parpol sekular pun tak masalah. Dalam beberapa Pilkada, misalnya, parpol Islam tak segan menggandeng parpol sekular. Para elit parpol seperti ini selalu mengelak jika ditodong pertanyaan, “Apakah akan menerapkan syariah Islam?”<br /><br />Bahkan mereka tak segan memberi penghargaan kepada tokoh-tokoh pengusung sipilis. Mereka, misalnya mengganjar award kepada Munir (alm.) dan Nurcholis Madjid. Bahkan tokoh Orde Baru Soeharto yang sangat represif terhadap umat Islam dan anti-syariah disanjung sebagai ‘Bapak Bangsa’. Sungguh sangat melukai umat Islam.<br /><br />Sikap-sikap seperti ini jelas inkosisten dan makin menjauhkan umat Islam dari parpol Islam. Mengklaim diri sebagai parpol Islam, tetapi mengapa justru berkolaborasi dengan sekularisme?<br /><br /><br />Pentingnya Edukasi Syariah<br /><br />Rendahnya dukungan umat Islam terhadap parpol Islam yang tercermin dari kekalahannya atas parpol sekular pada Pemilu lalu bukanlah parameter untuk mengukur bahwa syariah Islam tidak mendapat tempat di hati masyarakat.<br /><br />Pengkerdilan syariah Islam dengan menuduhnya sebagai komoditi yang tidak laku jelas salah alamat. Ibarat merek, syariah Islam secara kâffah dan rinci memang belum dikenalkan secara sungguh-sungguh kepada mayoritas masyarakat. Masyarakat hanya mendengar sayup-sayup tentang syariah, belum memahaminya 100 persen.<br /><br />Di kalangan awam, syariah Islam kerap diidentikkan dengan hukum potong tangan, rajam atau qishâsh. Di kalangan pengusaha atau pelaku ekonomi, syariah Islam berarti perbankan syariah yang tanpa riba. Di kalangan pekerja sosial, syariah Islam sekadar mengurusi zakat, infak dan sedekah guna pemberdayaan umat. Di kalangan perempuan, syariah Islam identik dengan kewajiban jilbab dan kebolehan poligami. Itu saja. Akhirnya, tak sedikit masyarakat yang masih salah kaprah dengan syariah Islam. Bahkan sebagian dari mereka malah phobi terhadap syariah Islam. Itulah yang menjadi salah satu alasan parpol Islam enggan mengusung syariah Islam.<br /><br />Jadi, ibarat pepatah: ‘tak kenal maka tak sayang’. Edukasi syariah Islam belum tuntas dan belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Pemahaman masyarakat terhadap syariah Islam belum tuntas. Karena itu, menjadi tugas para kader parpol yang mengklaim dirinya berasas Islam untuk meningkatkan edukasi tentang syariah kepada masyarakat. Para ulama, kiai, pimpinan parpol Islam dan kadernya serta para pengemban dakwah di manapun berada agar secara sungguh-sungguh memahamkan masyarakat dengan Islam ideologis.<br /><br />Upaya itu tentu tidak cukup dilakukan lima tahun sekali menjelang Pemilu saja, yakni saat kampanye. Apalagi bagi parpol yang baru berdiri. Sangat tidak cukup waktu untuk menjajakan syariah Islam kepada masyarakat. Bahkan kadernya sendiri belum tentu kâffah pemahaman Islamnya. Karena itu, edukasi syariah ini idealnya dilakukan terus-menerus, setiap hari dan kepada siapa saja, baik Muslim maupun non-Muslim.<br /><br />Bisa dibayangkan, jika parpol-parpol di atas, ditambah para pengemban dakwah, berlomba-lomba mengkampanyekan syariah Islam, proses penyadaran akan sistem Islam yang ideal dan rinci akan cepat dipahami masyarakat.<br /><br />Dijamin, jika masyarakat paham mendetail tentang Islam ideologis, insya Allah tidak akan ada yang antipati terhadap syariah Islam. Bahkan dengan kesadaran penuh mereka akan menjadi pejuang syariah secara ikhlas dan sukarela, kecuali yang di hatinya memang sudah tertanam syariahphobia dan virus anti-Islam sejenisnya.<br /><br /><br />Khatimah<br /><br />Saat ini, parpol-parpol Islam umumnya enggan menawarkan sistem Islam kâffah karena khawatir tidak mendapat dukungan masyarakat. Tanpa mengusung syariah Islam saja suaranya kalah dibandingkan dengan parpol sekular, apalagi jika mengusung syariah Islam. Begitu logika mereka.<br /><br />Padahal mestinya dibalik, tanpa mengusung syariah parpol Islam kurang mendapat dukungan umat, pastinya jika mengusung syariah Islam akan mendapat apresiasi luas.<br /><br />Yakinlah, selama ini umat Islam sejatinya menunggu-nunggu parpol berasas Islam yang benar-benar murni memperjuangkan aspirasi Islam. Jika mereka kemudian melihat parpol-parpol Islam tak mengusung sesuatu yang beda dibanding parpol sekular, untuk apa memberikan dukungan? Toh pilihannya sejatinya sama saja. Jadi, jangan salahkan umat jika parpol sekular kembali berkibar.<br /><br />Lagipula sudah menjadi tabiat sistem demokrasi untuk tidak membiarkan syariah Islam eksis. Sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa memperjuangkan Islam melalui parpol dalam hiruk-pikuk pesta demokrasi tak mengantarkan umat pada tujuan terwujudnya sistem Islam secara kâffah. Inilah yang menjadi pangkal persoalan terbesar umat Islam yang harusnya menjadi bahan introspeksi semua pihak<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-85033702857731961342009-05-06T20:17:00.000-07:002009-05-06T20:27:54.994-07:00HIDAYAT PROMOSI PKS KE PENGUSAHA TIONGHOA<img src="http://tbn0.google.com/images?q=tbn:8LXYVsQ8yVwkgM:http://pemilu.detiknews.com/images/content/2009/03/20/700/Hidayat-Nurwahid-dalam.jpg" align="left" width="160" height="115"><br />Seorang tetua komunitas Tionghoa lantas menanyakan apakah PKS akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam jika PKS menang Pemilu. Hidayat tegas menjawab, "Tidak,".<br /><span class="fullpost"><br />Anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, mempromosikan partainya di kalangan pengusaha etnis tionghoa.<br /><br />Para pengusaha itu bertanya beragam hal, mulai dari peluang Hidayat menjadi calon wakil presiden, hingga apakah PKS ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.<br /><br />‘Pemilu di Indonesia tidak seharusnya membuat pilu. Tidak boleh ada diskriminasi suku, agama, maupun ras,’ kata Hidayat, Ahad (3/4) siang dalam acara Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia (Sakti).<br /><br />Hidayat menyampaikan pidatonya selama 30 menit di depan ratusan pengusaha. Usai berpidato, sejumlah pengusaha mengangkat tangannya, ingin bertanya pada mantan presiden PKS itu.<br /><br />Ada yang bertanya komposisi kabinet, jika PKS menjadi cawapres. PKS mengincar kursi menteri apa saja. Hidayat tidak menjawab pertanyaan ini. Ia berdalih, PKS tidak dalam posisi menentukan kabinet.<br /><br />‘Tapi tentu kalau 2014 PKS memenangi Pemilu, saya akan jawab pertanyaan itu,’ katanya.<br /><br />Seorang tetua komunitas Tionghoa lantas menanyakan apakah PKS akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam jika PKS menang Pemilu. Hidayat tegas menjawab, ‘Tidak,’.<br /><br />‘PKS adalah organisasi politik yang bersifat nasional. Kami mengikuti hukum di Indonesia yaitu UU Partai Politik dan UUD 1945,’ sambungnya.<br /><br />Hidayat lalu menceritakan perjumpaannya dengan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew beberapa waktu lalu. Lee ternyata menanyakan hal serupa pada Hidayat.<br /><br />Hidayat menjawab, apakah Lee melihat ada hal-hal diskriminatif di DKI Jakarta sejak 2004 - 2009? Sebab di lima tahun lalu PKS menang Pemilu Legislatif di DKI Jakarta.<br /><br />‘Apakah pemprov menerbitkan perda yang membuat masyarakat Islam menjadi ekslusif? Tidak! Apakah pemprov menerbitka perda yang membuat seluruh pengusaha etnis tionghoa tak boleh berusaha di Jakarta? Tidak!’.<br /><br />Lee tampak belum puas. Ia kembali bertanya, bagaimana kebijakan PKS di tingkat nasional maupun eksekutif. Hidayat membalas, dirinya adalah Ketua MPR. Apakah sejak dirinya menjabat terbit aturan MPR yang diskriminatif? Tidak. Begitu pula soal tiga menteri PKS di Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menpera, Menpora, dan Mentan. ‘Apakah ada perumahan yang dijual hanya ke orang Islam? Apakah olahraga hanya memprioritaskan atlet muslim? Apakah bantuan pertanian hanya ke petani-petani beragama Islam? Kan tidak. Semua golongan mereka layani dengan terbuka,’ kata Hidayat disambut tepuk tangan. evy/fif (Republika, 4 Mei 2009).<br /><br />Sumber : http://republika.co.id/berita/47980/Hidayat_Promosi_PKS_ke_Pengusaha_Tionghoa<br />Berita di atas adalah bukti yang sangat jelas, yang menunjukkan bahwa :<br /><br />1. Hidayat Nur Wahid hanya menawarkan PKS, bukan menawarkan Islam, atau menawarkan Syariah Islam.<br /><br />2. Hidayat Nur Wahid dan partainya (PKS) tidak memperjuangkan Islam, tidak memperjuangkan Syariah Islam, dan tidak memperjuangkan Khilafah (negara Islam). Hidayat Nur Wahid hanya ingin melestarikan sistem demokrasi-sekuler yang ada. Padahal sistem demokrasi-sekuler ini secara normatif adalah sistem kufur, yang sangat bertolak belakang dengan Islam. Secara empiris-implementatif, sistem ini terbukti bobrok dan gagal.<br /><br />3. Hidayat Nur Wahid semestinya menjelaskan Syariah Islam apa adanya, menerangkan bagaimana perlakuan Syariah Islam terhadap warga negaranya, baik muslim maupun non muslim. Seharusnya itu yang dilakukan Hidayat, agar non muslim paham dan tidak takut terhadap Syariah Islam. Tapi Hidayat malah tidak berani melakukannya.<br /><br />4. Hidayat Nur Wahid lebih takut kepada pengusa non muslim daripada takut kepada Allah, dengan tidak menjelaskan wajibnya penerapan Syariah Islam dan wajibnya Khilafah kepada non muslim.<br /><br />5. Hidayat Nur Wahid secara tidak langsung mengakui bahwa kalau berdiri negara Khilafah (negara Islam), maka akan terjadi diskriminasi terhadap non muslim.<br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3657969892856654771.post-52126604283985771612009-05-01T01:48:00.000-07:002009-05-01T01:55:49.759-07:00Apa Itu KHILAFAH? Dalil-dalilnya ada gak Sich....!<img src="http://tbn1.google.com/images?q=tbn:Us2x3aYW-Yy9iM:http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2009/03/umat-ingin-khilafah.jpg" align="left" width="160" height="115"><br /><span style="font-weight:bold;">Definisi Khilafah</span><br /><br />Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam).<br /><br />Dari definisi ini, jelas bahawa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Kerana nas-nas syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.<br /><span class="fullpost"><br />Apa Hukumnya Mendirikan Khilafah?<br /><br />Kewajiban tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:<br /><br />"Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…" (TMQ. Ali-’Imran [3]: 103).<br /><br />Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda: "Barangsiapa mendatangi kalian - sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) - dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jemaah kalian, maka bunuhlah dia!" [HR. Muslim].<br /><br />Rasulullah SAW bersabda: "Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." [HR. Muslim].<br /><br />Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksima mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].<br /><br />Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin - Anshar dengan Yahudi: "Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib - serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka - bahawa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain..." (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).<br /><br />Nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajipan bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) - bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang dicipta penjajah yang kafir - di bawah satu kepemimpinan, iaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’ie bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, iaitu hukuman mati.<br /><br />Selain al-Quran dan as-Sunnah, Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata,"Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam)." Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’ di kalangan mereka.<br /><br />Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas 'sumber hukum keempat' untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,"Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!"<br /><br />Ertinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)<br /><br />Jelaslah bahawa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajipan syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Kerana itu, tidak menghairankan bila para imam-imam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahawa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih:<br /><br />"...para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- bersepakat pula bahawa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat mahupun tidak." (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416) Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbezaan pendapat di kalangan imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.<br /><br />Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah<br /><br />Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’ie dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’ie yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut :<br /><br />Dalil Al-Quran<br /><br />Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:<br /><br />"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian." (TMQ. An-Nisaa` [4]: 59).<br /><br />Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.<br /><br />Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, bererti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’ie).<br /><br />Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:<br /><br />"Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 48).<br /><br />"Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 49).<br /><br />Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahawa, perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khithabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.<br /><br />Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.<br /><br />Dalil As-Sunah<br /><br />Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].<br /><br />Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajipan mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.<br /><br />Rasulullah SAW bersabda: "Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]<br /><br />Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak." Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajipan mereka." [HR. Muslim].<br /><br />Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].<br /><br />Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.<br /><br />Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.<br /><br />Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].<br /><br />Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.<br /><br />Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.<br /><br />Dalil Ijma’ Sahabat<br /><br />Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.<br /><br />Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajipan menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajipan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajipan menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajipan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.<br /><br />Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbezaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh kerana itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah.<br /><br />Dalil Dari Kaedah Syar’iyah<br /><br />Ditilik dari analisis kaedah fiqih , mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fiqh dikenal kaedah syar’iyah yang disepakati para ulama yang berbunyi :<br /><br />maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib<br /><br />"Sesuatu kewajipan yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya." Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaedah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.<br /><br />Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.<br /><br />Pendapat Para Ulama<br /><br />Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 362 :<br /><br />"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."<br /><br />Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu’tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.<br /><br />Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoriti Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."<br /><br />Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib bukan haram apalagi bid’ah - dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja rujukan yang menunjukkan kewajiban Khilafah :<br /><br />Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5,<br /><br />Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19,<br /><br />Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161,<br /><br />Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62,<br /><br />Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97,<br /><br />Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,<br /><br />Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264,<br /><br />Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17,<br /><br />Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,<br /><br />Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205,<br /><br />Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99,<br /><br />Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26,<br /><br />Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124,<br /><br />Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248,<br /><br />Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75,<br /><br />Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61,<br /><br />dan masih banyak lagi yang lainnya.<br /><br />Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah --seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholis Madjid-- sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nas-nas syara’ yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya sampah yang kotor yang merupakan penyambung lidah kaum kafir penjajah dan agen-agennya yaitu para penguasa muslim yang zalim yang selalu memaksakan sekularisme kepada umat Islam dengan berbagai argumentasi palsu yang berkedok studi "ilmiah" atau studi "sosiohistori-objektif", dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Allah dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut. [ ]<br /><br /> </span>Hidayathttp://www.blogger.com/profile/11722797544103709336noreply@blogger.com0