Rabu, 03 Desember 2008

MAYSIR DAN UNDIAN

MAYSIR DAN UNDIAN

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi


Makna Bahasa Maisir dan Undian
Maisir dan qimar adalah dua kata dalam bahasa Arab yang artinya sama, dan diindonesiakan menjadi judi. Ibnu Katsir menyatakan bahwa kata maisir dalam QS Al-Maaidah : 90 artinya sama dengan qimar (judi) (Tafsir Ibnu Katsir, II/92). Adapun undian, bahasa Arabnya adalah qur`ah. Artinya secara bahasa adalah as-sahm (bagian) atau an-nashiib (andil, nasib) (Anis, 1972:728; Munawwir, 1984:1194 & 1522)


Makna Istilah Maisir dan Undian
Berikut beberapa definisi judi (Maisir/Qimar). Menurut Ibrahim Anis dkk dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 758, judi adalah setiap permainan (la’b[un]) yang mengandung taruhan dari kedua pihak (muraahanah). Menurut Al-Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifat hal. 179, judi adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang. Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Rawa’i’ Al-Bayan fi Tafsir Ayat Al-Ahkam (I/279), judi adalah setiap permainan yang menimbulkan keuntungan (ribh) bagi satu pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya. Senada dengan ini, Yusuf Al-Qardhawi (1990:417) dalam Halal dan Haram dalam Islam mengatakan, judi adalah setiap permainan yang mengandung untung atau rugi bagi pelakunya.
Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga darinya dapat disimpulkan sebuah definisi judi yang menyeluruh. Jadi, judi adalah segala permainan yang yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dimana pihak pihak yang menang mengambil harta/materi dari pihak yang kalah. Dengan demikian, dalam judi terdapat tiga unsur : (1) adanya taruhan harta/materi (yang berasal dari kedua pihak yang berjudi), (2) ada suatu permainan, yang digunakan untuk menetukan pihak yang menang dan yang kalah, dan (3) pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya/kelipatan) yang menjadi taruhan (murahanah), sedang pihak yang kalah akan kehilangan hartanya. Judi ini bisa dilakukan dengan bandar (penyelenggara) atau tanpa bandar. Baik penyelenggaranya pihak swasta (misal bandar judi di kapal pesiar untuk judi), maupun pemerintah (misal Departemen Sosial). Sama saja apakah dana yang terkumpul untuk tujuan pembangunan, olah raga, sosial, atau yang lainnya. Semuanya secara umum masuk dalam kategori judi yang haram hukumnya (lihat QS Al-Maaidah : 90).
Contoh judi, misalnya, ada empat orang bermain kartu remi (atau domino) dengan mengumpulkan taruhan masing-masing Rp 1000,- . Pihak yang menang mengambil semua uang yang dikumpulkan sejumlah Rp 4000,-. Contoh lainnya, seorang bandar menyediakan alat permainan menebak angka, bagi lima orang yang mengumpulkan taruhan masing-masing Rp 100.000,-. Alatnya misalkan berupa sebuah piringan/lingkaran yang di tepinya tertera angka yang ditebak, misalnya angka 1 sampai 10, yang dilengkapi jarum penunjuk. Piringan itu dapat diputar dan akan berhenti pada angka tertentu yang ditunjuk oleh jarum penunjuk. Lima orang itu misalnya menebak angka 1, 3, 5, 7, dan 9. Ketika angka yang ditunjuk oleh piringan adalah angka 1 (misalkan), maka pejudi yang menebak angka 1 akan mengambil semua uang yang dikumpulkan. Demikian seterusnya.
Jelaslah, bahwa judi memang banyak jenis dan macamnya, namun semuanya pasti memenuhi setidaknya tiga unsur di atas. Dulu pernah populer Lotto (Lotere Totalisator) yang diselenggarakan DKI Jaya untuk keperluan pembangunan; Toto KONI DKI Jaya untuk pembinaan olah raga; Nalo (Nasional Lotere) untuk keperluan sosial, atau PORKAS, SDSB, TSSB, dan sebagainya. Itu semua adalah judi, sama halnya dengan judi yang mewabah saat ini, seperti Togel (Toto Gelap). Semua judi tersebut diharamkan oleh Islam (BKSPP, 1986:66-71; Hasan, 1996:104-106; Uman, 1994:113; Zuhdi, 1993:137-145).
Adapun definisi qur’ah (undian) adalah maa tulqiihi li ta’yiini an-nashiib, yaitu apa yang Anda lemparkan untuk menentukan bagian/nasib (Munawwir, 1984:1194). Pada dasarnya (al-ashl), undian hukumnya adalah boleh (mubah) menurut syara’ untuk menentukan satu orang yang akan mendapatkan hak dari sejumlah orang yang juga sama-sama berhak, tetapi tidak mungkin semuanya mendapatkan hak tersebut. Undian ini mubah karena pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya (Tafsir Al-Qurthubi, XV/125) mengutip ucapan Ibn Al-‘Arabi, bahwa undian (qur’ah) terjadi dalam tiga peristiwa pada masa Nabi SAW. Pertama, jika Rasulullah SAW hendak melakukan perjalanan, maka beliau melakukan undian di antara isteri-isteri beliau. Jika keluar satu nama dalam undian, maka Rasulullah SAW akan bepergian dengannya. Kedua, bahwa pernah ada seorang laki-laki yang sakit menjelang matinya, lalu membebaskan enam orang budak yang dimilikinya, padahal dia tak punya harta lain kecuali enam orang budak itu. Maka Rasulullah SAW melakukan undian untuk menentukan siapa yang boleh dibebaskan, yaitu sepertiganya (dua orang). Maka Rasulullah lalu membebaskan dua orang budak (yang namanya keluar dalam undian) sedang empat budak lainnya tetap menjadi budak laki-laki tersebut. Ketiga, bahwa ada dua orang lelaki yang mengadukan perkaranya kepada Nabi SAW, yaitu masalah warisan berupa suatu harta yang sudah tak bisa lagi dibedakan dengan jelas siapa yang berhak. Maka Nabi SAW lalu memerintahkan keduanya untuk melakukan undian, dan yang namanya keluar berarti dialah yang berhak atas barang warisan itu. Selanjutnya, Imam Al-Qurthubi mengatakan, meskipun undian yang dilakukan Rasulullah SAW hanya dalam tiga perkara tersebut, tetapi undian dapat juga dilakukan pada setiap problem (musykilah) yang di dalamnya harus diputuskan hukum bagi satu pihak saja, sementara yang berhak lebih dari satu pihak (Tafsir Al-Qurthubi, XV/126; lihat juga Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an, I/158). Dalam kitab Al-Fathul Qadir (I/220) Imam Asy-Syaukani menegaskan bahwa tujuan undian adalah untuk ifraazul huquuq, yaitu menyaring atau memilih hak-hak. Maksudnya, ada satu hak yang bisa diperoleh secara bersama oleh sejumlah orang, tetapi tidak mungkin semuanya mendapatkan hak tersebut, kecuali satu atau beberapa orang saja. Maka undian dilakukan untuk memutuskan siapa yang bisa mendapatkan hak tersebut di antara sejumlah orang yang berhak.
Contoh undian, misalkan undian untuk mendapatkan door prize dari sponsor dalam sebuah acara, misalkan seminar atau workshop. Semua peserta seminar pada dasarnya berhak memperoleh hadiah (door prize) dari sponsor. Tapi karena tidak mungkin semua mendapat, dilakukanlah undian. Misalnya dengan menuliskan nama peserta dalam secarik kertas yang digulung, lalu ditaruh dalam sebuah wadah. Kemudian diambil satu gulungan kertas secara acak. Nama yang keluar lalu akan mendapatkan door prize.

Undian yang Boleh dan yang Haram
Untuk menentukan undian mana yang boleh dan yang haram, haruslah dilihat fakta undian secara teliti. Kaidahnya : undian yang boleh, adalah undian yang memang murni untuk menentukan satu orang yang akan memperoleh hak dari sejumlah orang juga berhak. Di dalamnya tak ada unsur taruhan materi/harta, juga tak ada pihak yang menang dan yang kalah, di mana yang menang mengambil harta dari yang kalah. Sedang undian yang haram adalah yang menjadi bagian dari aktivitas judi, yaitu berupa permainan untuk menentukan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Di dalamnya ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang yang mengambil harta/materi dari yang kalah.
Misalkan, mengirim jawaban TTS (Teka-Teki Silang) ke sebuah surat kabar. Lalu setelah memilih jawaban TTS yang benar, surat kabar tersebut mengundi beberapa orang (misalkan lima orang) yang berhak mendapat hadiah. Ini undian yang boleh, sebab hanya untuk menentukan siapa yang berhak mendapat hadiah dari sekian banyak penjawab TTS yang benar, yang tak mungkin semuanya mendapat hadiah. Tak ada taruhan, dan tak ada pihak yang menang atau kalah. Contoh semisal ini misalnya mengirim jawaban sayembara dari produk barang tertentu (misal pasta gigi atau shampo), lalu Anda diminta mengirim jawabannya yang ditulis dalam kemasan produk. Maka undian untuk menentukan peraih hadiah (“pemenang”) sayembara ini adalah mubah. Ini beda dengan kasus andaikan sejumlah orang masing-masing membeli kupon Togel dengan “harga” tertentu dengan menebak empat angka. (Ini sebenarnya tindakan mengumpulkan uang taruhan). Lalu diadakan undian --dengan cara tertentu-- untuk menentukan empat angka yang akan keluar. Maka, ini adalah undian yang haram, sebab undian ini telah menjadi bagian aktivitas judi. Di dalamnya ada unsur taruhan dan ada pihak yang menang dan yang kalah di mana yang menang mengambil materi yang berasal dari pihak yang kalah. Ini tak diragukan lagi adalah karakter-karakter judi yang najis dan merupakan perbuatan syetan terkutuk. Na’uzhu billah min dzalik! [ ]


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. Tanpa Tahun. At-Ta’rifat. (Jeddah : Al-Haramayn).

Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jam Al-Wasith. (Kairo : Darul Ma’arif).

Ash-Shabuni, M. Ali. 1983. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni (Rawa`i’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur`an). Jilid 1. Cetakan I. Alih bahasa Mu`ammal Hamidy & Imron A. Manan. (Surabaya : PT. Bina Ilmu).

BKSPP (Badan Kerjasama Pondok Pesantren) Jawa Barat. 1986. Fatwa Lengkap Tentang Porkas. (Jakarta : Pustaka Panjimas).

Hasan, M. Ali. 1996. Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan. Cetakan I. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada).

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-1. (Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak).

Syafi’i, Imam. 1994. Hukum Al-Qur`an (Ahkam Al-Qur`an). Cetakan I. Alih bahasa Baihaqi Safiuddin. (Surabaya : PT Bungkul Indah).

Qardhawi, Yusuf. 1990. Halal dan Haram dalam Islam (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam). Alih bahasa Mu`ammal Hamidy. (Surabaya : PT. Bina Ilmu).

Uman, Cholil. 1994. Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern. (Surabaya : Ampel Suci).

Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan IV. (Jakarta : CV Haji Masagung).


Selengkapnya...

Selasa, 02 Desember 2008

MAFAHIM, MAQAYIS, & QANAAT

MAFAHIM, MAQAYIS, & QANAAT

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam beberapa kitabnya acapkali menyinggung 3 (tiga) istilah khas, yaitu mafahim, maqayis, dan qanaat. Misalnya, dalam kitab Dukhul Al-Mujtama’ (1958) beliau menyebutkan istilah-istilah tersebut ketika membicarakan perubahan pemikiran masyarakat yang akan melahirkan sebuah negara (Lihat Terjun ke Masyarakat, 2000:28). Dalam kitabnya yang lain, Muqaddimah Ad-Dustur (1963:5-6), beliau menyebut tiga istilah tersebut dalam konteks definisi negara dan pemikiran-pemikiran yang mendasari lahirnya sebuah negara. Definisi negara dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur ini lalu ditegaskan formulasinya oleh Abdul Qadim Zallum dalam Mitsaqul Ummah (1989:57), yakni bahwa negara, adalah institusi pelaksana bagi sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat yang telah diterima oleh umat. Berikutnya dalam kitab At-Tafkir (1973:121-122) beliau menyinggung tiga istilah tersebut dalam konteks berpikir tentang perubahan. Lalu apa pengertian mafahim, maqayis, dan qanaat itu? Tulisan ini mencoba menjelaskan secara ringkas hakikatnya masing-masing dan sekaligus implikasinya dalam upaya perubahan umat, bertolak dari kitab-kitab tersebut, khususnya dari kitab Dukhul Al-Mujtama’.


Pengertian
Mafahim adalah bentuk jamak dari mafhum, diartikan sebagai persepsi atau konsep. Maqayis adalah jamak dari miqyas, yang artinya standar, kriteria, atau tolok ukur. Sedang qanaat adalah bentuk jamak dari qana`ah, yang bisa diartikan keyakinan (Inggris : conviction, lihat Ilyas, 1962:565), atau penerimaan, atau kepuasan.
Pada dasarnya, mafahim, maqayis, dan qanaat adalah pemikiran-pemikiran (al-afkar). Namun ketiganya bukanlah pemikiran mendasar, yaitu aqidah, melainkan pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun dari suatu aqidah. Dalam kitab At-Tafkir (1973:122-123), Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan bahwa aqidah adalah mafhum asasi (konsep/persepsi dasar) yang akan mendasari semua mafhum (mafahim), miqyas asasi (standar/kriteria dasar) yang akan mendasari semua miqyas (maqayis), dan qanaat asasi (keyakinan/penerimaan dasar) yang akan mendasari semua qanaat. Dalam kitab tersebut, beliau berbicara dalam konteks perubahan individu, keadaan, atau masyarakat, yang dapat terjadi dengan mengubah aqidah masyarakat terlebih dulu, kemudian mengubah segala mafahim, maqayis, dan qanaat yang lahir dari aqidah tersebut.
Meskipun semuanya adalah pemikiran, akan tetapi masing-masingnya memiliki pengertian khusus. Mafahim, adalah pemikiran yang telah dipahami maknanya dan dibenarkan oleh seseorang (Shalih, 1988:24-26; Al-Qashash, 1995:141; Athiyat, 1996:49). Jadi, sebuah pemikiran akan berubah menjadi mafahim bagi seseorang jika memenuhi dua syarat, yaitu : Pertama, orang tersebut telah memahami makna pemikiran (idrak madlul al-fikrah) dengan tepat. Kedua, orang tersebut telah membenarkan pemikiran itu (at-tashdiq bi al-fikrah) (Muqaddimah Ad-Dustur, 1963:5-6). Jika suatu pemikiran hanya dipahami maknanya, tetapi tidak dibenarkan, maka pemikiran itu tidak menjadi mafahim bagi seseorang, melainkan hanya sekedar informasi (al-ma’lumat). Demikian juga jika suatu pemikiran telah dibenarkan, tetapi tidak dipahami maksudnya, pemikiran itu juga belum menjadi mafahim. Misalnya, ada pemikiran bahwa mendirikan Khilafah adalah suatu kewajiban syar’i. Jika seseorang telah memahami apa yang dimaksud dengan Khilafah, telah memahami dalil-dalil yang mewajibkan keberadaannya, lalu dia membenarkannya, berarti pemikiran itu telah menjadi mafahim baginya. Jika seseorang telah paham apa itu Khilafah, tetapi tidak membenarkannya, atau malah menentangnya, maka pemikiran itu hanya menjadi pengetahuan saja baginya, bukan menjadi mafahim. Posisi seperti ini misalnya ada di kalangan para orientalis non-muslim dalam menyikapi pemikiran Islam. Lalu, apa urgensinya membedakan pemikiran dengan mafahim, atau apa urgensinya menjelaskan proses perubahan pemikiran menjadi mafahim? Urgensinya, untuk mengubah perilaku (as-suluk) manusia. Sebab, yang mempengaruhi perilaku manusia bukanlah pemikiran semata, melainkan mafahim yang ada pada dirinya. Kepentingan untuk mengubah perilaku inilah yang menjadi fokus atau penekanan dari istilah mafahim.
Adapun maqayis, ia hakikatnya adalah juga pemikiran dan sekaligus juga mafahim. Hanya saja, maqayis memiliki fungsi khusus untuk menjadi standar atau kriteria, sebab maqayis adalah pemikiran yang digunakan sebagai kriteria/standar untuk menilai berbagai pemikiran dan realitas. Jika kita bicara mafahim, maka penekanannya adalah pada aspek pengaruh pemikiran terhadap perilaku. Sedang jika kita bicara maqayis, penekanannya adalah pada fungsinya sebagai standar atau kriteria untuk menilai, bukan pada fungsinya sebagai suatu faktor yang mempengaruhi perilaku. Misalkan, sudah diketahui, bahwa syara’ mengharamkan penguasa untuk memberikan jalan bagi orang kafir untuk mendominasi umat Islam (lihat QS An-Nisaa` : 141). Maka dengan kriteria ini seorang muslim akan bisa menilai, apakah penguasanya telah menyimpang dari Islam atau tidak. Ketika dia melihat penguasanya meminta bantuan kepada IMF, atau memihak kepada Amerika Serikat dalam propagandanya yang keji untuk memerangi terorisme, maka tahulah dia, penguasanya telah menyeleweng jauh dari Islam. Sebab meminta bantuan IMF dan bekerjasama dengan AS dalam perang melawan terorisme, telah menjadi jalan untuk memperkokoh dominasi kaum penjajah yang kafir atas umat Islam.
Mengenai qanaat, maka ia sesungguhnya juga pemikiran dan juga mafahim. Jadi, karakter dasar dari qanaat adalah pemikiran yang telah dipahami dan dibenarkan oleh seseorang. Namun, qanaat lebih menekankan adanya unsur keyakinan atau penerimaan yang bulat terhadap suatu pemikiran. Qanaat adalah pemikiran yang telah diyakini secara mantap oleh seseorang. Jadi, qanaat, walaupun berupa pemikiran, namun mekanisme pembentukannya dari pemikiran, melibatkan pekerjaan hati, yaitu pembenaran (at-tashdiq). Inilah bedanya dengan mafahim dan maqayis seperti telah disinggung di atas. Qanaat lebih menekankan aspek pembenaran hati terhadap suatu pemikiran, atau, lebih melihat bagaimana suatu pemikiran itu diterima secara meyakinkan dan memuaskan bagi seseorang. Bukan melihat dari segi bagaimana pengaruh pemikiran terhadap perilaku (dalam konteks mafahim), juga bukan melihat fungsi pemikiran sebagai tolok ukur untuk menilai (dalam konteks maqayis).
Selanjutnya, pembenaran terhadap suatu pemikiran, pada dasarnya terwujud karena adanya argumen (dalil). Tidak mungkin ada pembenaran terhadap suatu pemikiran, kecuali didasarkan pada argumen, baik argumen yang berupa fakta (dalil aqli), maupun argumen yang berupa teks (dalil naqli) (Hasan, 2000:2-8). Jika keberadaan suatu argumen (dari suatu pemikiran) telah dipahami dan juga telah dibenarkan oleh seseorang, maka akan terwujudlah penerimaan dan kepuasan yang mantap pada dirinya. Inilah cara pembentukan qanaat. Maka dari itu, kita akan dapat memahami apa yang dimaksudkan Taqiyuddin An-Nabhani ketika beliau menerangkan bagaimana qanaat itu dapat terwujud pada masyarakat (Terjun ke Masyarakat, hal.28-29). Yaitu, bisa karena adanya gambaran yang jelas akan suatu pemikiran, atau karena pemikiran itu mempunyai realitas yang dapat diindera dan dirasakan, atau karena adanya kesesuaian yang sering terjadi antara pemikiran dengan realitasnya, atau karena seringnya terjadi pengulangan (katsrah at-takrar), sehingga akhirnya terwujud pembenaran yang meyakinkan akan suatu pemikiran. Semua ini sebenarnya berfokus pada suatu hal, yaitu adanya argumen/bukti (dalil), untuk melahirkan qanaat.
Contohnya dalam fakta praktis, misalkan si Ahmad sudah dikenal sebagai pedagang yang jujur. Jika seseorang sudah sering kali bermuamalah dengan Ahmad, bukan hanya sekali, lalu ia dapat merasakan dan membuktikan kejujurannya, maka akan terbitlah qanaat padanya, bahwa si Ahmad memang pedagang yang jujur. Contoh lain dalam politik, katakan ada pemikiran bahwa Amerika adalah negara penjajah yang memusuhi Islam dan umat Islam, bukan negara sahabat. Mungkin seseorang pada awalnya apatis atau tidak begitu yakin dengan hal itu. Tapi katakan dia lalu mempelajari sejarah hitam politik AS terhadap Dunia Islam. Dia lalu mengetahui betapa keji perilaku politik AS pada Perang Teluk (1991) yang merekayasa pasukan multinasional untuk mengeroyok bangsa Irak yang muslim. Dia juga mengkaji perilaku politik AS yang mentolerir pembantaian umat Islam di Bosnia dan Chechnya, atau serangan AS yang buas di Afghanistan dan Irak dengan alasan palsu, atau pembelaan AS yang memuakkan kepada Israel yang telah banyak membunuh orang Islam tak berdosa di Palestina, atau politik terorisme AS yang licik untuk menyerang Islam dan kelompok-kelompok Islam, dan sebagainya. Berulang-ulangnya bukti ini akhirnya akan memunculkan suatu qanaat dalam dirinya, bahwa AS memang musuh Islam dan umat Islam. Demikian seterusnya. Dan qanaat tentu juga ada pada pemikiran-pemikiran yang menyangkut nilai (pandangan hidup), yaitu hukum syara’, bukan hanya pemikiran yang menyangkut fakta seperti yang baru saja diuraikan. Misalkan, pemikiran bahwa jihad adalah wajib, dan merupakan metode baku untuk membangun politik luar negeri dari negara Islam (khilafah). Pemikiran ini akan menjadi qanaat pada diri seseorang, setelah dia puas mengkaji dalil-dalil yang mendasari wajibnya jihad, dari Al-Qur`an, Al-Hadits, dan Ijma’ Shahabat. Atau setelah mendapat penjelasan yang gamblang mengenai konsep jihad secara menyeluruh sebagai metode untuk menyebarkan Islam ke luar negeri, termasuk bagaimana prakteknya pada masa Rasulullah, shahabat, tabiin, dan tabi’it tabiiin.

Implikasi
Apa implikasi penting dari pemahaman kita terhadap tiga terminologi di atas, yakni mafahim, maqayis, dan qanaat? Dalam kitab-kitabnya, Taqiyuddin An-Nabhani menyebut tiga istilah tersebut dalam konteks perubahan masyarakat menuju terbentuknya negara Khilafah. Maka, nilai strategis pemahaman tiga konsep tersebut adalah untuk memberikan kesadaran yang lebih mendalam bagi pengemban dakwah mengenai proses-proses yang harus dilakukannya dalam perubahan masyarakat, khususnya yang menyangkut pemikiran.
Dalam kitab Dukhul Al-Mujtama’ diuraikan bahwa tugas partai politik adalah mengemban pemikiran-pemikiran tertentu tentang kehidupan --terrepresentasikan dalam sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat-- untuk disampaikan kepada masyarakat (An-Nabhani, 2000:28). Jadi, semula pemikiran itu ada dalam internal partai, kemudian partai mengintrodusir dan menanamkankannya secara eksternal kepada masyarakat luas. Jika pemikiran ini lalu diterima oleh satu kelompok yang kuat dalam masyarakat, atau kelompok masyarakat yang kuat itu rela dan mendiamkannya, maka secara alami dan pasti akan terwujud sebuah negara baru (An-Nabhani, 2000:29). Itulah secara ringkas gambaran terbentuknya sebuah negara baru, yang akan mengatur berbagai kepentingan (maslahat, interest) berdasarkan pemikiran baru itu. Jadi, negara baru akan muncul dengan adanya seperangkat pemikiran baru tentang kehidupan yang termanifestaikan dalam sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat (Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 5).
Di sinilah bisa dipahami peran strategis peran partai yang hendak mengubah masyarakat, yaitu menyampaikan pemikiran-pemikiran baru kepada masyarakat, lalu memproses pemikiran itu agar menjadi mafahim, maqayis, dan qanaat. Sejumlah proses harus dilakukan, agar pemikiran yang disampaikan tidak mandeg hanya menjadi informasi atau pengetahuan. Pemikiran itu haruslah diproses agar berubah menjadi mafahim, yang pada gilirannya akan mengubah perilaku masyarakat. Caranya, dengan memahamkan maknanya dan menjelaskan argumen-argumennya sehingga terwujud pembenaran (at-tashdiq). Pemikiran itu juga harus diproses agar menjadi maqayis, dengan cara mengajak masyarakat menjadikan pemikiran tersebut sebagai standar untuk menilai segala sesuatu. Dan pemikiran itu juga harus diproses agar menjadi qanaat, dengan cara menunjukkan dan membuktikan argumen-argumennya secara berulang-ulang dan terus-menerus kepada masyarakat, sehingga akhirnya masyarakat dapat menerimanya secara mantap dan yakin. Jika semua proses ini berjalan dengan baik, dan sebuah kelompok kuat dalam masyarakat menerima sekumpulan mafahim, maqayis, dan qanaat yang ditawarkan, maka lahirnya sebuah negara baru hanya tinggal masalah waktu. Atau dengan kata lain, hancurnya negara yang lama juga tinggal masalah waktu. [ ]


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qashash, Ahmad. 1995. Usus An-Nahdhah Ar-Rasyidah. Cetakan I. (Beirut : Darul
Ummah)

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur. (t.tp : t.p)

----------. 1973. At-Tafkir. (t.tp : t.p)

----------. 2001. Terjun ke Masyarakat (Dukhul Al-Mujtama’). Alih bahasa Maghfur Wahid. (Jakarta : Pustaka Thariqul Izzah).

Athiyat, Ahmad. 1996. Ath-Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al-‘Amal li Taghyir
Waqi’ Al-Ummah wa Inhadhiha. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq-Darun Nahdhah al-Islamiyah).

Hasan, Mahmud Abdul Karim. 2000. Metode Perubahan Sosial Politik (At-Taghyir
Hatmiyah Ad-Daulah Al-Islamiyah). Alih bahasa Yahya Abdurrahman. (Jakarta : PSKII Press)

Ilyas, Ilyas Anton. 1962. Al-Qamush Al-‘Ashri. Cetakan IX. (Kairo : Elias’ Modern Press)

Zallum, Abdul Qadim. 1989. Mitsaqul Ummah. (t.tp : t.p)


Selengkapnya...

Siksaan Tidak Hanya Meninpa Orang Zalim

SIKSAAN TIDAK HANYA MENIMPA ORANG ZALIM

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Allah SWT berfirman :

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfaal : 25)


Makna Umum
Ayat di atas merupakan salah satu ayat teragung –sekaligus paling menegakkan bulu roma-- yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar. Banyak kitab dakwah yang menjadikan ayat di atas sebagai pendorong aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Ayat tersebut berisi peringatan untuk berhati-hati (hadzr) akan siksaan (azab) yang tidak hanya menimpa yang zalim saja, tetapi menimpa secara umum baik yang zalim maupun yang tidak zalim. Karena itu secara syar’i, wajib hukumnya bagi orang yang melihat kezaliman/kemunkaran dan mempunyai kesanggupan, untuk menghilangkan kemunkaran itu. Inilah cara menghindarkan diri dari siksaan itu, yakni dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada yang berbuat zalim atau munkar. Yang melakukan kezaliman ini sifatnya umum (bisa siapa saja), baik individu, kelompok, maupun negara (penguasa). Jika kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sini tidak dilaksanakan, maka semuanya berdosa sehingga layak menerima azab Allah yang ditimpakan secara merata baik yang berbuat munkar maupun yang tidak. Inilah salah satu makna bahwa Allah itu amatlah keras siksaan-Nya.

Pendapat Para Mufassir
Imam Al-Baghawi (w. 510 H) dalam dalam Ma’alim At-Tanzil (II/204) menerangkan makna fitnah dalam ayat tersebut, dengan mengutip pendapat Ibnu Zaid, adalah terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah) dan saling menyelisihi satu sama lain. Makna ayat ialah, peliharalah dirimu dari siksaan yang menimpa orang zalim dan orang yang tidak zalim. Kemudian Al-Baghawi meriwayatkan pendapat para mufassir seperti Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zubair bin al-‘Awwam, As-Sudi, Muqatil, Adh-Dhahhak, dan Qatadah yang mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan suatu kaum di antara shahabat Rasulullah, yang tertimpa cobaan pada Perang Jamal (36 H).” Al-Baghawi juga menukil Ibnu Abbas yang berkata,”Allah SWT telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran di hadapan mereka sehingga Allah meratakan azab kepada mereka yang menimpa orang zalim dan tidak zalim.” Al-Baghawi kemudian meriwayatkan hadits yang mendukung makna ayat, di antaranya, sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan orang-orang tertentu, hingga masyarakat umum melihat kemunkaran di hadapan mereka sedang mereka mampu mengingkarinya tapi mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian, maka Allah akan menyiksa masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu.”(HR. Ahmad dan Ath-Thabrani, dalam Al-Awsath).
Imam Ibnu Al-‘Arabi (w. 543 H) dalam Ahkamul Qur`an (Juz IV/228) menjelaskan, pengertian kata fitnah dalam ayat tersebut artinya adalah al-baliyah yang berarti cobaan/ujian (pendapat Al-Hasan Al-Bashri), atau ada yang mengatakan artinya al-azab (siksaan). Beliau secara umum menafsirkan ayat di atas dengan mengambil perkataan Ibnu Abbas, yakni bahwa Allah telah memerintahkan orang-orang mu`min untuk tidak membiarkan kemunkaran yang terjadi di hadapan mereka, sehingga Allah meratakan azab kepada mereka. Kemudian beliau juga memaparkan beberapa hadits SAW yang menerangkan makna ayat di atas. Diriwayatkan, ada shahabat yang bertanya,”Wahai Rasulullah apakah kami akan binasa, sedang di tengah kami ada orang-orang saleh?’ Nabi menjawab,”Ya, jika keburukan telah meluas.” (HR. Muslim).
Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an (VI/392), menerangkan, arti fitnah yang dimaksud adalah meluasnya kemaksiatan (zhuhur al-ma’ashi), menyebarnya kemunkaran (intisyar al-munkar), dan tidak adanya upaya mengubah kemunkaran (‘adam at-taghyir). Beliau meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas seperti dalam tafsir al-Baghawi. Al-Qurthubi menukil ta`wil Zubair bin Al-Awwam, As-Sudi, dan Al-Hasan Al-Bashri yang menyatakan bahwa ayat itu secara khusus berkenaan dengan Ahl Badr (peserta Perang Badar) yang tertimpa fitnah pada Perang Jamal sehingga saling berbunuhan.
Imam Al-Baidhawi (w. 685 H) dalam kitab tafsirnya Tafsir Baidhawi (III/46), mengartikan fitnah dalam ayat tersebut sebagai dzanbun (dosa). Jadi, makna ayat adalah, peliharalah dirimu dari dosa yang pengaruhnya akan merata mengenai kamu, yaitu seperti dosa mengakui kemunkaran yang nampak di hadapan kamu, bersikap menjilat (mudahanah) dalam amar ma’ruf nahi munkar, terpecah-belahnya kesatuan kata (iftiraq al-kalimah), munculnya bid’ah, dan melalaikan jihad.
Imam As-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas terhadap ayat ini. Sementara dalam kitab Tafsir Jalalain, As-Suyuthi menerangkan bahwa cara menghindarkan diri dari siksaan/azab, adalah dengan mengingkari kemungkaran yang menjadi penyebab siksa.
Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitab Zubdah At-Tafsir min Fath Al-Qadir (hal. 230) –ringkasan tafsir Fathul Qadir karya Asy-Syaukani— karya Al-Asyqar, menerangkan bahwa makna ayat, peliharalah dirimu dari siksaan, yang tidak hanya mengenai orang zalim, sehingga menimpa orang saleh dan tidak saleh. Menurut Asy-Syaukani, orang yang ditimpa siksaan itu ialah yang tidak memenuhi perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak mendukung yang haq dan tidak mengingkari yang batil. Menurut beliau, bahwa di antara kerasnya siksaan Allah, ialah ditimpakannya azab bagi orang-orang yang tidak berbuat zalim. Ini terjadi karena mereka tidak beramar ma’ruf nahi munkar, sehingga kerusakan menjadi luas lalu hukuman ditimpakan secara umum.
Imam Ibnu Katsir (w. 1372 H) dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (II/300), berkata bahwa kata fitnah dalam ayat tersebut artinya ikhtibar (ujian) dan mihnah (cobaan). Ibnu Katsir menerangkan, dalam ayat ini Allah memberi peringatan akan adanya cobaan yang merata yang menimpa orang yang berbuat buruk dan yang tidak berbuat buruk. Cobaan ini tidak hanya menimpa pelaku maksiat atau pelaku dosa, tetapi merata dan tidak dapat dihindari dan dilenyapkan. Beliau selanjutnya menerangkan pendapat Az-Zubair, Al-Hasan Al-Bashri, dan As-Sudi bahwa ayat ini berkaitan dengan sebagian shahabat yang terlibat dalam Perang Jamal. Selanjutnya, beliau menukil penafsiran Ibnu Abbas, yang dikomentarinya sebagai ,”Ini tafsir yang bagus sekali.” (hadza hasan jiddan). Kemudian Ibnu Katsir memaparkan beberapa hadits Nabi SAW yang mendukung makna ayat. Berdasarkan hadits-hadits itu, menurut beliau, peringatan pada ayat ini berlaku umum untuk para shahabat dan selain shahabat, meskipun ayat ini berkenaan dengan shabahat.
Imam Nawawi Al-Jawi dalam Marah Labid (I/350) berkata, arti ayat di atas ialah, berhati-hatilah/waspadalah kamu terhadap fitnah, yang jika menimpa kamu, tidak hanya mengenai orang zalim saja, tetapi akan mengenai kamu semua baik orang yang saleh maupun yang tidak saleh. Berhati-hati terhadap fitnah itu adalah dengan cara melarang kemunkaran. Maka, wajib atas orang yang melihat kemunkaran untuk menghilangkan kemungkaran jika ia mempunyai kesanggupan melakukannya. Jika dia mendiamkan kemunkaran itu, maka semuanya telah berbuat maksiat. Yang melakukan kemunkaran bermaksiat karena perbuatan munkarnya, yang mendiamkan kemunkaran juga bermaksiat karena rela dengan kemunkaran itu. Allah telah menjadikan orang yang rela terhadap kemunkaran sama kedudukannya dengan orang yang melakukan kemunkaran. Maka keduanya disamakan dalam hukumannya. Ciri rela terhadap kemunkaran adalah tidak merasa sedih melihat penyimpangan agama oleh perbuatan maksiat. Jadi, orang tidak dikatakan benci, kecuali jika ia merasa sedih seperti kesedihannya karena kehilangan harta dan anaknya. Maka siapa saja tidak seperti itu, berarti dia telah rela terhadap kemunkaran sehingga hukuman dan musibah akan terjadi secara merata. Demikian menurut Imam Al-Jawi.

Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Ayat di atas menekankan betapa pentingnya umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada siapa saja yang berbuat zalim atau munkar. Sebab jika kewajiban ini ditinggalkan, akan muncul siksaan atau cobaan yang menimpa secara umum, baik menimpa pelaku maksiat maupun orang-orang yang taat.
Pelaku kezaliman ini bisa siapa saja, baik individu, kelompok, atau penguasa. Karena frasa alladzina zhalamu (orang-orang zalim) bersifat umum, sesuai kaidah ushul bahwa isim mawshul (di antaranya alladzina) memberikan arti umum. Mengenai kemunkaran individu, Imam Al-Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin, menjelaskan bermacam-macam kemunkaran berdasarkan tempat, seperti kemunkaran di masjid, di pasar, di jalanan, dan sebagainya. Dalam konteks kekinian, tentunya tempat kemunkaran itu semakin luas dan banyak, seperti kemunkaran di tempat rekreasi, tempat hiburan, hotel, penginapan, salon, kafe, bioskop, kampus, dan sebagainya. Kemunkaran yang dilakukan kelompok, misalkan kemungkaran segerombolan perampok, partai politik nasionalis (sekuler) yang tidak berasaskan Islam, sebagian partai politik Islam yang mempunyai ide, program, atau langkah yang menyalahi Islam, serta kelompok yang mengadopsi ide liberal yang kafir dan menafsirkan Islam agar tunduk pada kaidah-kaidah ideologi kapitalisme yang sekuler. Kemunkaran penguasa, misalnya menjadikan sekularisme sebagai dasar kehidupan bernegara, menjalankan sistem demokrasi dalam bidang politik dan sistem kapitalisme dalam bidang ekonomi.
Semua itu termasuk kemunkaran atau kezaliman yang kita diwajibkan untuk menghilangkannya sesuai kesanggupan yang kita miliki. Jika umat diam saja serta rela terhadap semua itu, serta tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka berhatilah-hatilah dan waspadalah, karena berbagai cobaan, bencana, dan kerusakan akan bisa menimpa kita semua secara merata. Hancurnya kewibawaan umat, amburadulnya kondisi politik, serta porak porandanya kondisi ekonomi, merupakan sekelumit akibat buruk yang kita alami secara bersama-sama akibat kelalaian kita beramar ma’ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang dilakukan sebagian dari kita.
Jelaslah, bahwa Islam adalah dien yang lurus yang mengajarkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap kepentingan dan kebaikan masyarakat, bukan ideologi individualis yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama masyarakat. Itulah dien yang telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai ciri khas yang hanya dimiliki umat Islam, sebagai umat terbaik di antara seluruh umat manusia (QS Ali ‘Imran [3] : 110). Inilah ciri khas yang berbeda dengan ciri khas kaum Bani Israil terlaknat yang tidak melarang kemunkaran yang dilakukan di antara mereka (QS Al-Maaidah [5] : 79), dan berbeda pula dengan ciri khas kaum munafik yang malah melakukan amar munkar dan nahi ma’ruf (QS At-Tawbah [9] : 67). Wallahu a’lam [ ]


Selengkapnya...

Hukum Syara’ Multilevel Marketing

Hukum Syara’ Multilevel Marketing
Oleh: Hafidz Abdurrahman


Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.


Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya.
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) —sebagaimana istilah mereka— yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.

Fakta Umum Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran).
Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi: (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.

Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).
2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.

Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:

“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”*1)

Dalam hal ini, asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:

Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.
2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:

“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)

Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:

“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*4)

Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan).

3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:

“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.”*5)
Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.*6)
Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.
Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai:
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.*7)
Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.
Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya bathil.
Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:

“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”*8)

Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:

”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”*9)

Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:

“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an)— jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)

Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.


Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM

Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:

1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain— disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.

2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk –meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).

3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.

Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran). Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.


Kesimpulan

Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.

Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.

Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.

Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!


Catatan Kaki:

1. Lihat, as-Syawkani, Nayl al-Awthar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, Juz V, hal 248.

2. Lihat, as-Syawkani, Nayl al-Awthar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, Juz V, hal 249.

3. Lihat, al-Haytsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Kitab Al-Arabi, Beiurut, 1973, Juz IV, hal 84.

4. Lihat, al-Haytsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Kitab Al-Arabi, Beiurut, 1973, Juz IV, hal 84.

5. Lihat, al-Asqalani, Talhish al-Habir, ed. Abdullah Hasyim al Yamani, t.p., Madinah, 1964, Juz III, hal. 12.

6. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, Juz XX, hal 166.

7. Ibn al-Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin, Juz II, h. 355, Wahbah az Syhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz IV, hal 2918.

8. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, juz XV, hal 115.

9. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, juz XV, hal 116.

10. Muhammad bin Abi al-Fath, al-Muthalli’, ed. Muhammad Basyir al-Adlabi, al-Maktab al-Islami, Beirut, 1981, hal. 279.


Selengkapnya...

Masa Depan Perekonomian Indonesia

MASA DEPAN PEREKONOMIAN INDONESIA

Oleh: Dwi Condro Triono

I. PENDAHULUAN

Memasuki tahun 2004, perekonomian Indonesia telah mencatat beberapa prestasi gemilang. Prestasi yang cukup menonjol adalah nilai IHSG telah menembus angka psikologis diatas 700, yaitu 725,42 pada Senin, 5 Januari 2004. Merupakan angka tertinggi setelah Indonesia dilanda badai krisis dalam 4 tahun terakhir (Republika, 5 Januari 2004).


Prestasi lain yang cukup membanggakan adalah keberhasilannya dalam menjaga stabilitas ekonomi makro sepanjang tahun 2003. Sampai pertengahan September 2003, rupiah menguat 5 %, sementara sepanjang 2002 menguat sekitar 20%. Penguatan itu antara lain disebabkan oleh pelemahan dolar AS. Tingkat inflasi sampai September 2003 tercatat sebesar 6,20 %. Diperkirakan sepanjang tahun 2003 inflasi tidak lebih dari 8 %, lebih kecil dari tahun 2002 sebesar 10 % dan 2001 sebesar 12,55 % (Khudori, 2004).

Hingga September 2003, uang primer naik hanya 8,6 % atau kurang dari 2 % secara riil. Tingkat bunga SBI turun ke 8,7 % dalam minggu ketiga September 2003 dibanding 13,5 % pada tahun sebelumnya. Cadangan devisa dalam tempo yang sama naik 11 % menjadi 33,6 miliar dolar AS, atau hampir mencukupi untuk 13 kali impor 2003. Ekspor dan impor total selama 7 bulan pertama 2003 naik masing-masing 10 % dan 12 %, walaupun Agustus dibanding Juli ekspor turun 5,35 % dan impor naik 6,93 % (Khudori, 2004).

Prestasi-prestasi itulah yang membuat tim kabinet Megawati Soekarnoputri mengklaim bahwa perekonomian Indonesia telah mengalami pemulihan. Yang menjadi pertanyaan tentu saja adalah: benarkah perekonomian Indonesia telah mengalami pemulihan?

II. PARADOKSAL EKONOMI

Semua indikator makro ekonomi yang telah dikemukaan di atas memang tidak ada yang menyangkal, bahwa itu semua adalah benar adanya. Akan tetapi, menilai perbaikan ekonomi hanya dari indikator makro sesungguhnya sangat menyesatkan. Semua fakta prestasi itu akan dengan mudah dipatahkan oleh fakta-fakta yang kongkret di lapangan.

Indikator-indikator di sektor riil kondisinya justru sebaliknya. Tingginya tingkat pengangguran dan warga miskin, melorotnya kapasitas industri, semakin banyaknya perusahaan yang bangkrut dan tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat yang semakin jatuh.

Menurut estimasi Bappenas, jumlah angkatan kerja baru tahun 2003 mencapai 2,3 juta orang. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 4 %, jumlah angkatan kerja yang tertampung oleh lapangan kerja hanya 1,4 juta orang. Sisanya 700 ribu menjadi penganggur. Tambahan ini membuat angka pengangguran terbuka tahun 2003 menjadi 9,66 juta jiwa (9,38 %), awal 2004 menjadi 10,5 juta jiwa. Angka itu lebih tinggi dibanding tahun 2002 yaitu 8,96 juta atau 8,88 %. Di negara maju, angka ini sudah masuk lampu merah.

Rentang tahun 1970-1996, proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan turun dari 60 % menjadi 11 %, yaitu berkurang sekitar 28 juta jiwa. Ketika krisis 1999, tingkat kemiskinan mencapai 27 %. Saat ini, dengan menggunakan indikator mereka yang berpendapatan di bawah 2 dolar AS per hari, maka tingkat kemiskinan mencapai sekitar 53 % atau sekir 110 juta jiwa. Jadi, tingkat kemiskinan kita masih jauh, bahkan lebih besar dibandingkan sebelum krisis.

Anomali perekonomian Indonesia juga tampak dari merosotnya indeks kapasitas industri terpakai (IKIT). Pada Oktober 2002, IKIT sebear 51 %, namun Januari 2003 tinggal 41 %. Indeks jumlah produksi industri besar dan sedang juga merosot dari 109,2 tahun 2000 menjadi 100,3 tahun 2002. Hal itu aneh, mengingat konsumsi terus meningkat. Hal itu justru menunjukkan bahwa pasar domestik telah diserbu produk impor.

Hal itu masih ditambah lagi dengan barisan industri dan produk tekstil yang bangkrut, terpuruknya kesejahteraan jutaan rumah tangga petani dan gejala deindustrialisasi dan stagnasi penanaman modal (asing maupun dalam negeri), semakin memperkuat bahwa perekonomian Indonesia sesungguhnya masih bergerak dalam lumpur (Khudori, 2004).

Dari kacamata distribusi pendapatan, sesungguhnya sepanjang 6 tahun krisis, bangun piramida ekonomi Indonesia tidak berubah. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue ekonomi nasional dihuni hanya segelintir manusia. Di dasar piramida, yang kuenya kecil diperebutkan ratusan juta orang.

Bangunan piramida yang njomplang selama ORBA justru kini semakin dalam. Pada tahun 1998, jumlah seluruh perusahaan di Indonesia mencapai 36.816.409 buah. Yang berskala besar berjumlah 1.831 atau 0,01 %, tetapi andilnya dalam pembentukan PDB sebesar 40 %. Sementara yang 99,99 % memberi andil PDB hanya sebesar 60 %.

Ketimpangan juga terjadi dalam andil keduanya untuk memberikan lapangan kerja. Perusahaan kecil menengah menyerap 99,44 % dari seluruh lapangan kerja, sisanya adalah andil perusahaan besar. Padahal, perusahaan besar menyumbang Rp. 238 miliar PDB setiap tahunnya. Perusahaan kecil menengah rata-rata menyumbang Rp. 17 juta per tahunnya. Dengan kata lain, perusahaan besar menyumbang 14.000 kali lipat dari perusahaan kecil menengah terhadap PDB. Karena pembentukan PDB juga mencerinkan pendapatan rata-rata, maka ketimpangan pendapatan rata-rata perusahaan besar dan kecil menengah juga seperti itu (Kwik Kian Gie, 2003).

Indikator lain dari ketimpangan distribusi pendapatan adalah, volume deposito dengan nilai terkecil Rp. 5 miliar meliputi 95 % dari total deposito yang terimpan di perbankan Indonesia. Artinya, jika nilai terkecil diturunkan menjadi Rp. 1 miliar, maka volumenya secara keseluruhan bisa mencapai 99 % dari total deposito (Baswir, 2003). Pertanyannya, berapa banyak rakyat Indonesia yang memiliki deposito di atas Rp. 1 miliar? Mayoritas rakyat Indonesia rasanya sangat sulit untuk memiliki tabungan.

Secara agregat, ketimpangan juga terjadi antar wilayah, antara pusat dan daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimaksudkan untuk mengoreksi sentralisasi ekonomi, praktis tidak merubah sedikitpun perimbangan distribusi penerimaan negara di Indonesia. Pusat tetap memungut 95 %, sedangkan PAD seluruh Indonesia tetap hanya 5 %. Otonomi hanya mengubah sedikit wajah sisi belanja. Sebelum otonomi, pusat membelanjakan 78 %, kini masih 70 %. Jakarta baru berganti nama, tetapi kelakuannya masih seperti Batavia.

Di bidang perbankan, setelah 5 tahun dalam supervisi BPPN dan BI, bank-bank di Indonesia masih sakit. Perbankan yang telah disuntik obligasi rekapitalisasi senilai Rp. 650 triliun, ditambah BLBI sebesar Rp. 144,5 triliun belum menampakkan hasilnya.

Dari sekitar Rp. 850 triliun dana masyarakat yang dihimpun perbankan, hanya 48 % yang disalurkan kembali sebagai kredit. Sisanya menumpuk di BI dalam bentuk SBI dan obligasi rekapitalisasi yang bunganya dibayar (disubsidi) oleh APBN. Pada tahun 2004, subsidi bunga obligasi rekapitalisasi mencapai 48 triliun. Kwik Kian Gie (2003) pernah menghitung, jika obligasi rekapitalisasi itu ditarik dari bank, 10 bank besar (Mandiri,BNI, BRI, Danamon, BTN, BII, Permata, Lippo, Niaga dan BCA) akan rugi Rp. 37,6 triliun. Apalagi bank pemerintah itu sangat mudah dibobol maling.

Kinerja BPPN menjelang penutupan pada Februari 2004, sangat buruk. Tingkat pengembalian (recovery rate) aset sebesar 28 %. Keseluruhan setoran hingga 2004 diperkirakan senilai Rp. 165 triliun dari keseluruhan aset yang dikelola BPPN sebesar Rp. 590 triliun. Jika setoran itu dikurangi biaya yang dikeluarkan negara untuk pembayaran kembali pokok dan bunga obligasi rekapitalisasi dan ongkos operasional BPPN yang supermewah ditambah time value of money, nilainya paling tinggi hanya 5 %. Berarti nilai itu terendah dibanding kinerja badan sejenis di negara lain (Basri, 2003).

Dalam kebijakan privatisasi, restrukturisasi, konsolidasi dan governansi korporat juga bukan untuk memperbaiki kinerja BUMN dan meningkatkan nilai tambah, tetapi lebih sering didorong oleh motif mobilisasi dana sebesar-besarnya untuk kebutuhan pragmatis menutup defisit APBN. Bahkan, kebijakan tersebut seringkali terkait dengan kepentingan dari oknum pejabat publik untuk menumpuk dana pribadi dan politik.

III. WAJAH EKONOMI INDONESIA

Dengan demikian, pasca krisis moneter, memasuki apa yang digembar-gemborkan sebagai era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan boleh dikatakan semakin buruk kinerjanya dan semakin tidak jelas arahnya. Walau demikian, jika kita mau menilai secara cermat atas kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia, ditambah lagi dengan berkhidmat sepenuhnya kepada garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, sebenarnya arah perekonomian Indonesia dapat dikatakan benar-benar sedang bergerak menuju liberalisasi ekonomi secara telanjang. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu (Triono, 2001):

1. Dihapuskannya subsidi dari pemerintah. Dengan dihapuskannya subsidi tersebut, hal itu berarti harga dari barang-barang strategis yang selama ini penentuannya ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya penentuan harga tersebut diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

2. Penentuan nilai kurs rupiah dilakukan secara mengambang bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah harus dilakukan secara mengambang bebas, tidak boleh dilakukan dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.

3. Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan pemerintah akan asset-asset ekonomi (industri). Dengan semakin besarnya porsi privatisasi terhadap BUMN kepada pihak swasta, baik nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia bergerak menuju ke arah ekonomi yang semakin liberal.

4. Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan kesediaannya untuk ikut menandatangani perjanjian GATT, semakin memperjelas komitmen Indonesia dalam memasuki era globalisasi ekonomi dunia, yang merupakan kata lain dari libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.

IV. MASA DEPAN EKONOMI INDONESIA

Apabila indikator-indikator tersebut benar, maka Indonesia benar-benar akan memasuki kancah perekonomian yang sangat membahayakan. Dapat diprediksikan Indonesia tidak akan mampu bertahan lama menghadapi percaturan ekonomi global yang sangat liberal. Sangat dikhawatirkan perekonomian Indonesia malah semakin hancur tidak mampu menahan gelombang serangan ekonomi dunia secara bertubi-tubi. Mengapa hal itu akan dapat terjadi? Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa perekonomian Indonesia akan dihadapkan pada tantangan ekonomi dunia yang memiliki hambatan secara berlapis-lapis, yaitu:

1. Lapis pertama

Memasuki perekonomian global yang bebas, ibarat masukkan seorang petinju dalam sebuah ring tinju untuk menghadapi berbagai jenis musuh tanpa ada batasan kelas. Petinju kelas ‘nyamuk’ akan bebas untuk berhadapan dengan petinju kelas berat atau bahkan super berat. Begitulah yang akan terjadi. Industri-industri Indonesia yang baru punya pengalaman seumur jagung harus bersaing secara bebas dengan berbagai produk dari industri-industri raksasa Amerika, Eropa maupun Jepang yang siap untuk membanjiri pasaran Indonesia. Produk-produk yang mempunyai kualitas sangat tinggi dengan harga yang sangat murah karena dihasilkan dari industri yang sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun, dengan peralatan yang super canggih serta dengan tingkat efisiensi yang mendekati sempurna. Jangankan untuk bersaing di arena internasional, untuk bisa bertahan di dalam negeripun akan sangat berat.

2. Lapis kedua

Untuk menyelamatkan sekaligus memenangkan pertarungan globalnya, negara-negara adidaya ekonomi telah menyiapkan seperangkat persyaratan bagi industri-industri yang ingin memasuki pasar global, terutama untuk ‘memproteksi’ barang maupun jasa yang akan memasuki negara-negara mereka. Mereka akan mencegatnya dengan berbagai persyaratan yang mereka sebut sebagai sertifikat ISO 9000, ISO 14000 dsb. Untuk dapat memperoleh sertifikat tersebut, telah ditentukan persyaratan standar mutu maupun standar manajemen yang sangat berat, dengan prosedur untuk mendapatkannya ke negara mereka yang prosesnya tidak sederhana, serta biaya untuk memperolehnya yang tidak murah. Sesuatu yang masih terlalu jauh diangan-angan bagi industri-industri Indonesia yang kebanyakan adalah industri kelas ‘tempe’.

Berbeda dengan perusahaan-perusahaan di negeri mereka yang begitu mudahnya memasarkan produknya di negeri mereka sendiri tanpa harus bersusah payah menggunakan sertifikat tersebut. Sedangkan untuk dipasarkan di negeri kita, tentunya dengan atau tanpa sertifikat tersebut, produk mereka akan dengan leluasa dapat memasuki pasar kita, mengingat kondisi rakyat kita yang tidak pernah peduli dengan sebuah sertifikat untuk mengkonsumsi suatu produk. Yang penting bagi rakyat kita, asal itu buatan luar negeri pasti bagus dan lebih bagus dari buatan dalam negeri.

3. Lapis ketiga

Kita akan dihadapkan pada ketentuan adanya hak paten atas suatu produk ataupun hak intelektual atas suatu temuan ilmiah. Adanya ketentuan yang telah mereka tetapkan dengan berbagai perangkat hukum yang telah menaungi, terutama adanya sangsi denda (perdata) maupun pidana yang sangat berat bagi pelanggarnya, akan semakin membuat ciut bagi nyali kita untuk dapat berkiprah dalam arena pasar global. Para pengusaha maupun ilmuwan barat yang sedemikian rakus dan agresifnya untuk berlomba-lomba mematenkan berbagai produk maupun temuan, baik yang ditemukan sendiri maupun produk-produk khas dari bebagai belahan di dunia ini, akan membuat semakin sempitnya arena persaingan global tersebut.

Khabarnya berbagai produk khas Indonesia sudah banyak yang dipatenkan oleh ilmuwan termasuk pengusaha di Jepang maupun Amerika, seperti produk tempe. Jika aturan itu benar-benar secara ketat mulai diterapkan, maka pengusaha tempe Indonesia jangankan untuk memasuki pasar ekspor global, untuk memproduksi tempe untuk pasar domestikpun tidak dapat dilakukan, kecuali harus dengan seijin dan dengan membayar sejumlah royalty kepada pihak yang telah mematenkan produk tempe tersebut. Jika ijin dan royalty tidak diindahkan, maka denda yang sangat besar akan dapat menimpa pengusaha tempe Indonesia.

4. Lapis keempat.

Adanya potensi ketidakstabilan dari nilai mata uang rupiah, akibat sistem kurs mata uang bebas. Nilai mata uang rupiah yang hanya disandarkan pada mata uang asing, khususnya Dollar AS, sangat rentan terhadap goncangan, baik dalam skala nasional maupun global, baik berkaitan dengan persoalan ekonomi maupun non ekonomi. Nilai mata uang yang mudah berubah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap segala proses transaksi perdagangan, khususnya ekspor dan impor. Jika volume ekspor kita bagus dan tengah mengalami peningkatan, secara cepat akan mudah anjlok bersamaan dengan merosotnya nilai mata uang Dolar AS, demikian juga sebaliknya. Jika kebutuhan industri dalam negeri kita sangat tergantung pada komponen impor, maka secara mendadak industri kita bisa langsung gulung tikar, apabila secara tiba-tiba nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan. Demikian seterusnya.

Dengan tidak stabilnya nilai mata uang, maka dalam era kompetisi global yang sangat liberal ini, bukan tidak mungkin “permainan” nilai kurs mata uang dapat digunakan sebagai senjata yang kasad mata untuk menhancurkan industri-industri lawan yang dianggap akan menjadi pesaing yang membahayakan. Terlebih lagi nilai mata uang rupiah yang sangat lemah dan sangat rentan terhadap goncangan dibanding mata uang lainnya di dunia ini.

5. Lapis kelima

Besarnya beban hutang luar negeri Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia yang sudah mencapai 165 miliar US Dollar, atau setara dengan 1.650 Triliun rupiah (dengan asumsi kurs 10.000 rupiah per US Dollar) akan senantiasa membebani APBN Indonesia.Padahal kewajiban untuk membayar cicilan hutang luar negeri tersebut akan kembali kepada rakyat Indonesia sendiri. Untuk dapat selalu menutup cicilan hutang ditambah bunganya, pemasukan yang senantiasa menjadi andalan APBN adalah dari sektor pajak. Jika individu, perusahaan maupun industri-industri yang ada di negeri ini senantiasa terbebani pajak yang senantiasa meninggi, maka itu berarti akan menimbulkan ekonomi beaya tinggi (high cost economic). Keadaan itu akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan industri dalam negeri untuk mampu berkompetisi secara bebas dalam kancah ekonomi pasar bebas yang telah mengglobal ini, yang sangat menuntut efifisiensi dan efektifitas yang tinggi untuk dapat memenangkannya.

V. SOLUSI KE DEPAN

Berbicara solusi, perbincangan yang paling santer menjelang pemilu 2004 di Indonesia ini selalu di muarakan kepada keinginan kuat akan terjadinya pergantian rejim atau kepemimpinan politik di Indonesia. Logika itu tentunya muncul akibat adanya anggapan bahwa sumber segala kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat buruknya perilaku pemimpin negeri ini dalam menjalankan amanahnya. Anggapan ini memang tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, bila indikator-indikator yang telah dipaparkan di atas benar-benar dicermati, maka kerusakan ekonomi Indonesia sesungguhnya lebih berat dibanding sekedar persoalan manusianya. Kerusakan yanng lebih parah tersebut tidak lain adalah telah terseretnya perekonomian Indonesia ke arah ekonomi liberal yang telah semakin mengglobal. Sehingga nyaris Indonesia sudah tidak memiliki identitas perekonomian yang jelas, mandiri dan berdaulat.

Dengan demikian solusi yang lebih mendasar yang dibutuhkan oleh negara ini adalah adanya keberanian untuk mendesain ulang tata perekonomian yang akan dianut dan diejawantahkan di negeri ini. Dan solusi yang ditawarkan oleh penulis adalah: memilih dan menerapkan sistem ekonomi Islam. Insya Allah membawa rahmah. Mari kita diskusikan!

Selengkapnya...

Pandangan hidup dan tugas mahasiswa muslim

PANDANGAN HIDUP DAN
TUGAS MAHASISWA MUSLIM
Oleh : Sigit Purnawan Jati, S.Si


Pengantar
Manusia harus mempunyai pandangan hidup. Sebab, adanya pandangan hidup menunjukkan adanya proses berpikir, mengingat pandangan hidup itu diperoleh melalui jalan berpikir. Dengan kata lain, orang yang tidak punya pandangan hidup berarti tidak menggunakan akalnya. Dia telah kehilangan ciri utama kemanusiaannya dan anjlok derajatnya menjadi setara dengan binatang. Maka dia tak ubahnya seperti binatang yang tidak berakal, yang hidup hanya memperturutkan hawa nafsunya untuk memuaskan naluri dan tuntutan kebutuhan jasmaninya. Manusia seperti ini akan menjalani kehidupannya tanpa arah dan sikap yang jelas. Allah SWT berfirman :

“Terangkanlah kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS Al Furqan : 43-44)

Namun demikian, bukan berarti orang yang mempunyai pandangan hidup otomatis akan menjalani kehidupan dengan benar. Sebab pandangan hidup itu ada yang benar dan ada yang salah. Bisa saja seseorang mempunyai pandangan hidup, tetapi pandangan hidup sekuler yang cenderung memisahkan urusan agama dengan urusan kehidupan. Tentu saja orang seperti ini bukanlah orang yang hidup dengan benar, melainkan orang yang sesat, karena ide sekulerisme adalah ide kufur yang sangat bertentangan dengan Islam.
Dengan demikian, jelas bahwa manusia memang harus mempunyai pandangan hidup, akan tetapi bukan sembarang pandangan hidup. Pandangan hidup yang dimiliki harus berupa pandangan hidup yang benar.
Bagi seorang muslim, pandangan hidup yang benar hanyalah pandangan hidup Islam semata, karena agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam saja. Agama-agama selain Islam seperti Yahudi dan Nashrani adalah agama kafir, sebagaimana ideologi-ideologi selain Islam seperti Kapitalisme dan Sosialisme adalah ideologi kafir. Semua agama dan ideologi selain Islam tidak akan diterima oleh Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT :

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali ‘Imran : 19)

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali ‘Imran : 185)

Seorang muslim wajib berpandangan hidup Islam, yaitu memandang segala sesuatu dari sudut pandang Islam. Kewajiban ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW ketika suatu saat terjadi gerhana matahari yang bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim, putera Rasulullah. Saat itu orang-orang mengatakan bahwa gerhana matahari terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka berkatalah Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah keduanya mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang.” (An Nabhani, 1963)

Dengan sabdanya itu, Rasulullah SAW telah membimbing cara pandang shahabat terhadap suatu fakta, yaitu menjadikan Islam sebagai standar berpikir untuk menilai segala sesuatu fakta. Rasulullah SAW telah mengarahkan pemikiran para shahabat untuk memandang bulan dan matahari serta segala sifat-sifatnya –seperti terjadinya gerhana pada keduanya—sebagai tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, bukan sebagai benda yang dipengaruhi atau mempengaruhi perjalanan nasib seseorang. Dengan kata lain, Rasulullah SAW telah menunjukkan cara memandang fakta (gerhana matahari) menurut sudut pandang Islam, sesuai firman Allah SWT :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal" (QS Ali ‘Imran : 190).

Pandangan hidup Islam ini wajib dipahami oleh seorang muslim, lalu direalisasikan secara konkret dalam bentuk berbagai amal shalih dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pandangan hidup Islam, insya Allah seorang muslim akan dapat menjalani kehidupan secara sahih, yakni dapat memahami realitas kehidupan dengan perspektif yang benar, dapat bersikap dan bertindak secara tepat, serta tidak tertipu dengan ide-ide kufur yang merajalela di masyarakat dan tidak larut ke dalam realitas buruk yang tengah mencengkeram masyarakat.

Makna Pandangan Hidup
Pandangan hidup adalah cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang tertentu. Yang dimaksud dengan “cara pandang”, adalah perspektif tertentu atau semacam “kacamata” tertentu yang dipakai untuk memandang realitas. Adapun “kehidupan” yang menjadi sasaran penilaian dari cara pandang itu, adalah segala sesuatu fakta yang ada dalam kehidupan, baik itu berupa sesuatu yang bersifat materi-empirik (al waqi’ al mahsus) –yaitu meliputi perbuatan manusia (af’al) dan segala benda yang dimanfaatkan manusia (asy-ya’)—maupun berupa sesuatu yang bersifat pemikiran, seperti ideologi, paham, dan sebagainya.
Karena pandangan hidup itu berupa sudut pandang tertentu, maka dengan sendirinya satu fakta yang sama mungkin saja akan dinilai secara berbeda sesuai perbedaan sudut pandang yang dipakai. Orang Islam tentu akan menolak mengkonsumsi daging babi, karena sudut pandang yang dipakainya adalah hukum syara’, yang menyatakan keharaman daging babi. Tapi bagi orang non-Islam, makan babi bukanlah masalah, karena sudut pandang yang dipakai adalah aspek kemanfaatan (utility). Orang Islam pasti tidak akan setuju seks di luar nikah, karena dalam pandangannya, itu adalah zina yang jelas-jelas haram. Tapi bagi kaum sekuler yang liberal, kebebasan seks sah-sah saja karena dia telah menerima kebebasan (freedom/liberalism) sebagai standar penilaian perbuatan manusia. Bagi seorang muslim, ide demokrasi adalah ide kafir, karena demokrasi ide dasarnya adalah kedaulatan di tangan rakyat, atau dengan kata lain, hak membuat hukum adalah di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan. Sedang bagi kaum sekuler, demokrasi sama sekali bukan ide keliru, karena dia memandang bahwa peran Tuhan memang hanya dalam hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan, sementara membuat hukum untuk mengatur kehidupan, menjadi hak manusia.
Bagaimana bentuk konkret dari pandangan hidup itu dan bagaimanakah sebuah pemikiran dapat menjadi pandangan hidup seseorang, atau dengan kata lain, bagaimana cara penanaman pandangan hidup pada jiwa seseorang ?
Bentuk konkret dari pandangan hidup adalah pemikiran-pemikiran tentang kehidupan yang telah menjadi persepsi (mafahim) bagi penganutnya. Pemikiran-pemikiran seperti ini adalah pemikiran yang telah mengalami 2 (dua) proses : Pertama, adanya pemahaman terhadap fakta suatu pemikiran (idrak waqi’ al fikrah).
Kedua, adanya pembenaran (tashdiq) terhadap pemikiran tersebut (at tashdiq bi al fikrah) (An Nabhani, 1963).
Bila suatu pemikiran hanya dimengerti faktanya, tetapi tidak dibenarkan (tidak dianggap benar), maka ia hanya akan menjadi pengetahuan / informasi (ma’lumat) yang selanjutnya tidak akan memberikan dampak apa pun terhadap sikap dan perilaku seseorang. Lain halnya kalau setelah suatu pemikiran dimengerti faktanya lalu dibenarkan, maka pemikiran itu akan menjadi persepsi yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang. Misalnya, seorang orientalis non-muslim yang mempelajari hukum-hukum Islam (misalnya hukum sholat), tentu tidak akan menjadikan hukum-hukum Islam itu sebagai persepsinya, karena dia hanya akan mencoba mengerti bagaimana hukum-hukum Islam itu, tanpa melakukan pembenaran terhadapnya. Jadi bagi orientalis ini, hukum-hukum Islam hanya menjadi pengetahuan, bukan persepsi. Dia tetap akan pergi ke gereja, bukan ke masjid.
Lain cerita kalau yang mempelajari hukum Islam itu adalah seorang santri. Hukum-hukum Islam yang dikajinya bukan sekedar pengetahuan baginya, tetapi juga menjadi persepsinya. Setelah dia mempelajari hukum seputar sholat, misalnya, dia akan benar-benar mempraktikkannya, bukan sekedar dihafalkan. Ini dapat terjadi jika dia memberikan pembenaran terhadap hukum Islam yang dikajinya, setelah dia mengerti fakta hukum Islam itu..
Dengan demikian, jelas bahwa pandangan hidup bentuk konkretnya adalah berupa persepsi-persepsi (mafahim), yaitu pemikiran yang telah dijangkau faktanya dan dibenarkan oleh hati. Jelas pula bahwa cara penanaman pandangan hidup adalah dengan memahami fakta suatu pemikiran apa adanya, kemudian melakukan proses pembenaran terhadap pemikiran tersebut.
Bagaimana proses pembenaran dapat terjadi ? Proses pembenaran oleh hati akan terjadi, manakala akal telah mendapatkan dan menerima dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) yang mendasari suatu pemikiran. Proses pembenaran yang tidak didasarkan pada pemahaman dalil / argumentasi, hakikatnya adalah pembenaran yang semu atau pembenaran yang tidak mantap. Pemikiran yang hanya disertai dengan pembenaran semu ini, tidak akan kokoh tertancap dalam jiwa seseorang dan sangat mudah diguncang atau dicabut untuk digantikan dengan pemikiran-pemikiran lain.

Pandangan Hidup Islam dan Aqidah Islamiyah
Pandangan hidup muslim adalah pandangan hidup Islam, yaitu cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang Islam. Pandangan hidup ini bentuk konkretnya adalah persepsi-persepsi Islam yang berupa pemikiran-pemikiran (afkar) dan hukum-hukum (ahkam) Islam, yang terlahir dari Aqidah Islamiyah. Disebut “terlahir dari Aqidah Islamiyah”, maksudnya adalah terlahir dari wahyu Allah berupa Al Qur`an dan As Sunnah, dimana masalah wahyu merupakan satu masalah dalam Aqidah Islamiyah. Dengan kata lain, jika suatu pemikiran atau hukum bersumberkan Al Qur`an dan As Sunnah, berarti pemikiran atau hukum itu dikatakan telah lahir atau terpancar dari Aqidah Islamiyah.
Ini adalah hubungan antara pandangan hidup Islam dengan Aqidah Islamiyah secara konseptual. Paralel dengan hubungan ini, secara faktual ada pula hubungan konkret dalam diri seorang muslim antara pandangan hidup Islam dengan Aqidah Islamiyah yang diyakininya. Keterikatan seorang muslim dengan pandangan hidup Islam tergantung pada kualitas pemahamannya terhadap Aqidah Islamiyah. Muslim yang memahami Aqidah Islamiyah dengan benar, cenderung akan kuat berpegang teguh dengan pandangan hidup Islam. Sementara muslim yang memahami Aqidah Islamiyah secara tidak benar, cenderung tidak berpegang teguh dengan pandangan hidup Islam. Mereka yang menerima Aqidah Islamiyah secara taqlid, atau yang mencampur-adukkan aqidahnya dengan paham-paham batil atau filsafat-filsafat kafir, cenderung meremehkan hukum-hukum Islam. Orang-orang Jawa abangan yang pikirannya campur baur antara ajaran kejawen dengan ajaran Islam, misalnya, seringkali enggan mengerjakan sholat. Ini berbeda dengan kalangan santri yang lebih baik pemahamannya terhadap Aqidah Islamiyah. Mereka sholat dengan taat.
Karena itu, Aqidah Islamiyah wajib dipahami dengan benar. Yaitu dengan menjadikan Aqidah Islamiyah itu sebagai persepsi (mafahim) bukan sekedar pengetahuan (ma’lumat). Prosesnya sama persis dengan proses mengubah pemikiran menjadi persepsi seperti telah diterangkan sebelumnya.
Jadi, Aqidah Islamiyah ini wajib dipahami secara akli, yakni melalui proses berpikir yang mendalam terhadap dalil-dalilnya. Setelah itu, wajib terjadi proses pembenaran secara pasti (tashdiq jazim) terhadap Aqidah Islamiyah yang telah dikaji, agar aqidah ini menjadi persepsi (mafhum), bukan semata pengetahuan (ma’lumat).
Aqidah yang demikian, akan efektif dan fungsional sebagai dasar pandangan hidup. Tanpa proses pemahaman akli (al idrak) dan pembenaran (tashdiq) ini, Aqidah Islamiyah hanya akan menjadi pengetahuan belaka yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap cara pandang dan perilaku seorang muslim.
Misalnya, keimanan bahwa “Muhammad adalah Rasulullah / utusan Allah” haruslah diperoleh secara akli, dengan menelusuri dalil akli yang mendasarinya, yaitu keberadaan mu’jizat Al Qur`an yang dibawanya. Mu’jizat merupakan bukti kenabian seseorang. Jika tak ada seorang pun yang dapat membuat semisal Al Qur`an, berarti benar Al Qur`an itu dari Allah. Benar bahwa Al Qur`an itu mu’jizat. Tidak ada yang membawa mu’jizat selain nabi. Berarti Muhammad itu adalah nabi dan rasul.
Jadi keimanan kepada kenabian Muhamad di sini lahir dari proses penalaran yang sahih, tidak diperoleh secara taklid buta, misalnya dengan berpikir bahwa pokoknya Muhammad itu Nabi. Titik. Dalil “pokoknya” bukan cara berpikir yang benar.
Keimanan yang mantap akan kenabian Muhammad ini --yang muncul karena proses berpikir—akan membuat seorang muslim merasa mantap pula menerima apa saja risalah Islam dari Rasulullah SAW, walaupun itu tidak sesuai dengan selera atau kepentingan pribadinya. Di antara risalah itu adalah firman Allah SWT :

“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah itu. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS Al Hasyr : 7)

Dari sinilah, seorang muslim akan menerima dan melaksanakan dengan ridha apa saja hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dia akan menerima kewajiban shaum sebagaimana dia menerima kewajiban jihad, akan menerima kewajiban zakat sebagai dia menerima kewajiban potong tangan bagi pencuri, akan menerima kewajiban menegakkan sholat sebagaimana dia menerima kewajiban menegakkan Khilafah Islamiyah (Negara Islam).
Dari sini pula, seorang muslim akan dengan mantap menolak (mengingkari) segala macam pandangan hidup yang tidak dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena jika “apa saja” yang dibawa oleh Nabi harus kita terima, maka kebalikannya (mafhum mukhalafah), “apa saja” yang tidak dibawa oleh Nabi SAW, maka harus kita tolak, tidak boleh kita terima.
Maka seorang muslim akan menolak agama Yahudi sebagaimana dia menolak ideologi Sosialisme-Komunisme. Dia pun akan menolak agama Kristen sebagaimana dia menolak ideologi Kapitalisme-Demokrasi. Semua ideologi dan paham kafir ini wajib ditolak karena tidak dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Tugas Mahasiswa Muslim
Pandangan hidup muslim antara lain terwujud secara konkret dalam bentuk berbagai tugas (kewajiban) yang harus dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Tugas-tugas itu hakikatnya adalah hukum-hukum syara’ yang diambil dari nash-nash syara’, yang berkaitan dengan kenyataan sehari-hari yang dijumpai dalam berbagai interaksi yang dilakukan seorang muslim.
Memahami hukum syara’ yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, adalah fardhu ‘ain bagi seorang muslim. Adapun mempelajari hukum syara’ yang tidak berkaitan dengan yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, adalah fardhu kifayah. (An Nabhani, 1953). Seorang petani harus memahami hukum-hukum syara’ tentang tanah, tentang penyewaan lahan, tentang musaqat, dan sebagainya. Seorang dokter wajib memahami hukum syara’ tentang berobat, bedah mayat, abortus, cangkok organ tubuh, kondisi darurat, definisi hidup dan mati, dan sebagainya. Seorang tentara harus memahami hukum tentang jihad, tawanan, perdamaian, perjanjian, harta rampasan perang, dan seterusnya.
Demikian pula seorang mahasiswa, dia harus memahami hukum syara’ yang berkaitan dengan kegiatannya sehari-hari sebagai mahasiswa. Disamping itu, seorang mahasiswa muslim adalah seorang muslim, maka dia harus memahami kewajibannya yang utama dalam kedudukannya sebagai muslim.
Atas dasar itu, bagi seorang mahasiswa muslim, tugas utama yang wajib diembannya setidaknya ada 3 (tiga) :
Pertama, menuntut ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai mahasiswa yang aktivitas utamanya sehari-hari adalah belajar.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda :

“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim.” (HR Abu Dawud).

Lafazh “al ‘ilmu” di atas bersifat umum, meliputi ilmu-ilmu syar’i, seperti ulumul Qur`an, ulumul hadits, ushul fiqih, maupun ilmu-ilmu non syar’i, seperti ilmu alam dan ilmu-ilmu keprofesionalan lainnya yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan, yang wajib ada demi berputarnya roda kehidupan.
Jelaslah, sebagai mahasiswa, maka tugasnya yang utama adalah belajar dalam rangka meraih ilmu sebagai bekal hidup. Hendaklah tugas ini dilaksanakan semaksimal mungkin sehingga menghasilkan manfaat dunia dan akhirat setinggi-tingginya.
Kedua, mengkaji Tsaqofah Islamiyah (ilmu-ilmu keislaman). Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang muslim yang wajib mempunyai pandangan hidup Islam. Tanpa kajian Tsaqofah Islamiyah yang mendalam, sulit dibayangkan seorang muslim akan mempunyai pandangan hidup Islami; sulit pula dibayangkan dia akan dapat berpikir secara Islami dan berperilaku secara Islami.
Tsaqofah Islamiyah adalah berbagai pengetahuan keislaman yang dasar pembahasannya adalah Aqidah Islamiyah. Di antaranya adalah pembahasan Aqidah Islamiyah, ilmu tauhid, tafsir, hadits, bahasa Arab, dan sebagainya.
Tugas kedua ini tak kalah pentingnya dengan tugas pertama.Sebab tugas kedua ini sebenarnya sebenarnya adalah tugas dasar seorang muslim, baik mahasiswa atau bukan. Setiap muslim wajib mempunyai pengetahuan keislaman yang memadai agar dapat menjalani hidup dengan benar sesuai Islam. Jadi, jika tugas pertama di atas tujuannya adalah : saya dapat hidup, maka tugas kedua ini tujuannya adalah : saya dapat hidup dengan benar. Camkan ini !
Ketiga, mengemban dakwah Islamiyah. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang muslim sebagai bagian dari keseluruhan umat Islam. Dia harus mempunyai kepedulian terhadap keadaan umat dan harus berjuang untuk mengubah keadaan umat menuju keadaan yang lebih baik.
Mahasiswa muslim harus sadar bahwa ia adalah bagian dari umat Islam seluruh dunia. Dia tak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri, sebab sikap egois seperti ini sangat jauh dari nilai-nilai Islam yang menghendaki adanya kepedulian kepada manusia lain. Nabi SAW bersabda :

“Barangsiapa pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka.” (HR. Al Hakim)

Di samping itu, Islam telah menuntut setiap muslim untuk melakukan upaya perubahan (taghyir) bila dia melihat suatu penyimpangan atau kemungkaran. Tidak boleh dia hanya berdiam diri atau berpangku tangan, apalagi pasrah dan menyerah.
Nabi SAW bersabda :

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya (dengan kekuatan fisik). Jika tidak mampu, hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya (dengan perkataan). Jika tidak mampu, hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya (tidak ridha / tidak setuju). Dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).

Karena itu, mahasiswa muslim wajib ikut turut memikul tanggung jawab perubahan ini yang terwujud dalam bentuk aktivitas mengemban dakwah Islam, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika beliau mengemban dakwah Islam sebagai upaya untuk mengubah masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat Islamiyah.
Saat ini, upaya perubahan seperti ini harus pula dilakukan, karena saat ini pun kita hidup dalam sebuah masyarakat yang tidak Islami, yakni masyarakat sekuler yang memisahkan urusan kehidupan dengan agama. Kita wajib mendobrak dan merombak total masyarakat sekuler saat ini menuju masyarakat Islam yang menerapkan Islam secara keseluruhan tanpa kompromi.
Karenanya, tidak pantas seorang mahasiswa muslim berdiam diri menyaksikan kekafiran dan kemaksiatan menggila di seantero jagat. Tidak pantas mahasiswa muslim diam saja menyaksikan ideologi kapitalisme yang kafir menguasai dunia. Nabi SAW mencela orang yang hanya berpangku tangan dan diam sebagai syaitan yang bisu. Sekali lagi, syaitan yang bisu. Sudah syaitan, bisu lagi ! Na’uzhu billah min dzalik !
Nabi SAW bersabda :

“Orang yang berdiam diri dari kebenaran (tidak mau mengingatkan / melakukan upaya perubahan), adalah seperti syaitan yang bisu.” (HR. Al Hakim)

Dikaitkan dengan tugas kedua, maka tugas ketiga ini akan mempunyai benang merah sebagai berikut : jika tugas kedua tujuannya adalah : saya dapat hidup dengan benar, maka tugas ketiga ini tujuannya adalah : saya dan saudara-saudara saya umat Islam dapat hidup dengan benar. Camkan pula ini !

Penutup
Mahasiswa muslim yang berpandangan hidup Islam adalah generasi harapan umat. Di pundak merekalah –bersama lapisan umat yang lain— terpikul tanggung jawab perubahan masyarakat menuju masyarakat yang diridhai Allah.
Bukan saatnya lagi bersikap kekanak-kanakan dengan bersikap egois hanya memperhatikan diri sendiri, sementara umat Islam dibiarkan begitu saja terseok-seok hidup nelangsa dan hina dina di bawah hegemoni ideologi kapitalisme yang kafir.
Tugas-tugas berat namun mulia menunggu di depan. Mari singsingkan lengan baju dan berbenah diri menyongsong kejayaan Islam ! [ ]
Selengkapnya...


Sabda Rasulullah SAW :

"Di tengah-tengah kalian terdapat masa KENABIAN yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa KEKHILAFAHAN yang mengikuti Manhaj Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya Kemudian akan ada masa KEKUASAAN YANG ZALIM yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa KEKUASAAN DIKTATOR (kuku besi) yang menyengsarakan yang berlangsung selama Allah mengkehendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Selanjutnya akan muncul kembali masa KEKHILAFAHAN yang mengikut MANHAJ KENABIAN." Setelah itu Beliau diam. (HR Ahmad).

Friends

 

Copyright © 2009 by Tiada Kemulian Tanpa Islam