Kamis, 21 Agustus 2008

Kebobrokan Demokrasi (Sebuah Tinjauan Kritis)

Oleh: Farid Wadjdi

Pentingnya demokratisasi Timur Tengah belakangan ini kerap dilontarkan oleh para pejabat AS, termasuk Presiden Goerge W. Bush. Dalam pidatonya pada Kamis, 6/11/2003, di depan The National Endowment for Democracy, pada ulang tahun badan itu yang ke-20, Bush kembali menekankan pentingnya demokratisasi Timur Tengah.

Dalam kesempatan itu, ada beberapa argumentasi yang dilontarkan Bush tentang pentingnya demokratisasi di Timur Tengah. Menurutnya, selama kebebasan (freedom) belum tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu akan tetap menjadi wilayah stagnan (jumud), peng-‘ekskpor’ kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan negara AS. Dengan menyakinkan, Bush mengatakan, “Demokrasi akan menjangkau seluruh negara-negara Arab pada akhirnya.” (Khilafah. Com Journal, 21/11/2003).

Pertanyaannya, benarkah demokrasi akan menjadi solusi atas berbagai persoalan dunia saat ini. Apakah demokrasi memberikan kebaikan pada manusia atau sebaliknya?

Menguji Sistem Demokrasi

Apa yang disebut dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi; baik dalam tataran konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Dari sana diharapkan muncul kesadaran baru bagi kaum Muslim tentang kebobrokan sistem kufur ini. Mereka juga bisa berhenti untuk bermimpi dengan harapan-harapan palsu yang ditawarkan sistem ini. Lebih penting lagi, mereka terhindar dari murka Allah Swt. Sebab, saat mereka berpegang dengan demokrasi yang intinya kedaulatan di tangan rakyat, mereka telah menjadikan tuhan baru sebagai tandingan bagi Allah, yakni suara yang mengatasnamakan rakyat.

(1) Demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah Demokrasi Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya seperti itu?

Faktanya, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Para kapitalis raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapatalis pulalah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat.

Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).

Kritik yang sama muncul dari C. Wright Mills yang memfokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat bahwa meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Merekapun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama. Memang, secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi, dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok tertentu.

Pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga bangsawan, atau dari militer.

Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk mencalonkan diri. Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil, kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen kalau tidak memiliki modal.

Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman Sam tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah Saudi Arabia.

Dalam sejarah Inggris, PM Anthony Eden, misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen. Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan, Sudan, Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota parlemen. Dalam pembuatan UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas mengesahkan rancangan UU yang dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana menteri).

Memang, dalam kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan suara rakyat’ hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksakan, setiap kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka bertanya dulu kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja, cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan Indonesia.

Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini, selain keliru, juga utopis. Pada praktiknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.

(2) Demokrasi dan kebebasan.

Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.

Sebenarnya dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak. Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang kebebasan berpendapat ini.

Tidak mengherankan kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Prancis dan beberapa negara lainya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya atas nama sekularisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi). Kelompok-kelompok Islam, juga atas nama demokrasi, sering dilarang dengan alasan mengancam sekularisme. Untuk memperkuat tuduhan tersebut, kelompok Islam yang dianggap bertentangan dengan sekularisme kemudian dikaitkan dengan tindakan terorisme.

Atas nama perang melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara ataupun oleh kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang diplintir untuk kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang dianggap mengancam kepentingan AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak oleh pemerintah sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan AS) merupakan praktik lain dari kebohongan kebebasan demokrasi.

Fakta lain, kekhawatiran munculnya sistem Islam telah mendorong penguasa sekular dan militer memberangus dan membatalkan kemenangan FIS di Aljazair—sebuah tindakan yang jelas-jelas tidak demokratis. Namun, negara-negara demokrasi seperti Prancis, Inggris, dan AS diam terhadap persoalan ini. Sebab, sistem Islam akan membuat negara-negara imperialis kehilangan kontrol terhadap negara bekas jajahannya itu.

Barat pada umumnya, khususnya AS, juga memuji-muji Turki sebagai model pemerintah ideal bagi umat Islam. Turki dianggap telah mempraktikkan demokrasi Islam. Padahal, di Turki, memakai kerudung saja dilarang dengan alasan bertentangan dengan prinsip sekularisme. Partai Raffah, yang sebenarnya sudah mengakui sekularisme Turki, juga terus ditekan, dan bahkan dibubarkan; lagi-lagi karena dianggap membahayakan sekularisme.

(3) Demokrasi dan kesejahteraan.

Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi, tentu saja termasuk Dunia Islam. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah, Dunia Ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. Kemiskinan terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli parfum mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde Diplomatique, November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak lain adalah sistem Kapitalisme internasional yang dipraktikkan saat ini oleh negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia.

Sementara itu, kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya.

Demokrasi sering dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh mereka untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan demokratisasi. Beberapa negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan alasan melanggar demokrasi dan HAM. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut.

Tidak adanya relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina, ternyata bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam penderitaan. Indonesia, yang sering dipuji lebih demokratis pada masa reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Sebaliknya, banyak negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, atau Brunei. Di sini jelas, demokrasi bukanlah faktor kunci sejahtera-tidaknya sebuah negara.

(4) Demokrasi dan stabilitas.

Mitos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya. Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai penguasa baru. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. Masa reformasi ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur (yang kemudian lepas), Aceh,Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi.

Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh Presiden. Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih oleh DPRD masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal antar masyarakat.

Hal yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok. Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia, sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. Tawaran demokrasi AS ternyata menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama demokrasi ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang disebut dengan stabilitas?

(5) Demokrasi dan kemajuan.

Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan (jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan.

Benarkah dengan kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.

Bandingkan pula dengan masa kejayaan Islam, yang jelas bukan berdasarkan sistem demokrasi. Betapa banyak karya intelektual yang dihasilkan oleh para pemikir Islam saat itu. Jutaan karya intelektual dihasilkan oleh para ulama besar seperti an-Nawawi, Ibn Taimiyah, Ibn hajar al-Asqalani, dan lainnya. Dunia Islam pun dipenuhi dengan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi, yang diakui oleh banyak pihak. Bandingkan dengan sekarang. Sebaliknyalah yang terjadi, negeri-negeri Islam yang sebagian besar menganut sistem demokrasi mundur dalam bidang sains dan teknologi. Lihat pula intelektualitas para penyeru kebebasan di negeri Islam, berapa banyak dan bagaimana mutu tulisan mereka dibandingkan dengan ulama-ulama Islam terdahulu.

Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi (mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif.

Demokrasi: Alat Penjajahan Barat

Propaganda demokratisasi di negeri-negeri Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri dari negara-negara kapitalis itu memang menyebarkan ideologi Kapitalisme mereka, dengan demokrasi sebagai derivatnya. Tersebarnya nilai-nilai Kapitalisme di dunia ini akan menguntungkan negara-negara kapitalis; mereka akan tetap dapat mempertahankan penjajahannya atas negeri-negeri Islam.

Demokrasi digunakan untuk menjauhkan kaum Muslim dari sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia, sementara dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah Swt. Demokrasi pun digunakan untuk memerangi kaum Muslim. Atas nama menegakkan demokrasi dan memerangi terorisme, negeri-negeri Islam diserang dan dijajah, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan.

Untuk menyebarluaskan demokrasi itu, negara-negara kapitalis melakukan berbagai penipuan dan kebohongan. Ide demokrasi pun dikemas sedemikian rupa sehingga tampak bagus dan memberikan harapan kepada kaum Muslim. Alih-alih memberikan solusi terhadap persoalan kaum Muslim, sistem demokrasi justru memperparah kondisi kaum Muslim. Penyebab persoalan kaum Muslim justru adalah penerapan sistem demokrasi yang membuat mereka jauh dari aturan-aturan Allah. Padahal, hanya dengan penerapan aturan Islamlah kaum Muslim terbebas dari berbagai persoalan dan penjajahan.

Selengkapnya...

Investasi Antara Realita dan Idealita

Beberapa hari lalu sebagaimana diberitakan surat kabar harian Linggau Pos, bahwa Pemerintah Kabupaten Musi Rawas dan Barito Pasifik Group (BPG) telah malakukan penandatanganan kesepakatan kerjasama (Memorandum Of Understanding-MOU) dalam membangun Musi Rawas lebih baik. Di mana BPG akan menjadi investor/penanam modal di Bumi Lan Serasan Sekantenan yang tentunya ini merupakan harpan surga bagi Pemerintah Kabupaten karena adanya investasi/masuknya modal ini dikarenakan, pertama, mengurangi jumlah pengangguran sebagai akibat penyerapan tenaga kerja oleh investor. Kedua, mengurangi angka kemiskinan karena adanya peningkatan kekuatan daya beli masyarakat dari hasil kerja pada investor. Dan ketiga, terjadinya transfer ilmu dan teknologi seperti transfer pengetahuan pengoperasian alat canggih dari tenaga profesional dari perusahaan investor kepada tenaga yang tergolong pribumi, ini tentu akan meningkatkan kualitas pendidikan sumber daya manusia pribumi. Jadi menurut Pemerintah Daerah hanya dengan satu langkah maka akan tercapai dua sampai tiga target pembangunan. Jika kita mau meneliti lebih dalam maka yang terjadi justru yang sebaliknya, sebagai contoh keberadaan investasi di bumi Papua oleh PT.Freeport Mc Moran dalam mengeksploitasi tambang emas yang luar biasa banyaknya dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun Kontrak Karya ternyata tetap saja kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia masih menghantui bagi pembangunan bumi Papua, jadi apakah investasi di Kabupaten Musi Rawas ini sebenarnya dapat mensejahterakan masyarakat atau sebaliknya sama seperti di bumi Papua? Lalu bagaimanakah seharusnya mengelola sumber daya alam in?

Keberadaan investasi asing (foreign direct investment) istilah lain dari Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) seolah memang sebuah keharusan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang menghendaki kemajuan dalam bidang ekonomi, apalagi saat Indonesia lebih condong ke arah kebijakan ekonomi terbuka/bebas yang mengajarkan investasi bukan hanya boleh tetapi memang menjadi sebuah keharusan. Sisi positifnya menurut kebijakan ekonomi terbuka adalah terjadi transfer teknologi, penyerapan tenaga kerja local dan meningkatkan kesejahteraan penduduk local, yang mana Indonesia pada Februari 2006 menghadapi tingkat pengangguran 10,4 persen dari jumlah 106,3 juta orang angkatan kerja, maka untuk mengatasinya menurut logika pemerintah adalah dengan cara membuka lebar-lebar kran bagi masuknya arus modal melalui investasi asing pada kegiatan eksploitasi sumber daya alam dan pengelolaan BUMN, seperti UU No.22 tahun 2001 tentang Migas dan UU No.7 tahun 2004 tentang Ketenagalistrikan yang mana kedua UU ini mempersilahkan swasta melakukan kegiatan eksploitasi dan pengelolaan, ditambah lagi UU No.19 tahun 2003 tentang pengelolaan BUMN oleh swasta. Memang ada cara mengatasi tingkat pengangguran ini yaitu mengadakan kegiatan padat karya tetapi ini terlalu memakan daa APBN sehingga terlalu berat bagi pemerintah. Sehingga dengan usaha membuka kran investasi ini ternyata memang dilakukan, di mana sejak kepemimpinan SBY-JK tawaran demi tawaran kepada investor terus digenjot melalui International Infrastructure Summit pada tahun 2005 dan terakhir bulan November 2006 kemarin. Hasil akhir International Infrastrukture Summit menghasilkan keputusan bahwa proyek infrastruktur dibuka bagi investor asing dengan tawaran mendapatkan keuntungan besar tanpa pengecualian. Dan BUMN Summit menghasilkan keputusan bahwa seluruh BUMN akan dijual ke sector privat/perorangan. Dengan kata lain, kelak tidak ada lagi barang dan jasa yang disediakan pemerintah dengan biaya murah karena disubsidi, selanjutnya penyediaan barang dan jasa akan menjadi komersil yang penyediaannya murni berdasarkan motif untuk mendapatkan laba (profit).

Langkah-langkah ini telah cukup menggambarkan kepada kita bahwa sedang ada proses liberalisasi ekonomi di semua sector public dan juga menunjukkan bahwa pemerintah juga begitu tergantung pada Penenaman Modal Asing (PMA) dalam pembangunan sebagai bentuk tidak adanya kemandirian negara. Kadang karena begitu besarnya ketergantungan dan pola pemikiran yang tidak mandiri ini sering berakibat tekanan asing tidak begitu terasa kita terima sehingga tanpa ditekanpun pemerintah pasti akan melepaskan SDA dan BUMN dan kedaulatan negara kepada asing.

Sebagai contoh kasus PT.Freeport di bumi Papua yang penguasaan dan draft kontraknya dibuat sendiri oleh asing dan kasus penjualan Indosat yang dijual obaral kepada Temasec meski indosat memiliki nilai strategis dari sisi politik dan keamanan. Kasus lain adalah dalam pembuatan UU Migas, UU air, RUU Investasi, seharusnya bisa digunakan sebagai senjata penangkal masuknya perusahaan asing menguasai sector-sektor strategis justru juga telah diintervensi oleh asing dalam penyusunan draftnya.

Hasil liberalisasi SDA dan BUMN tersebut juga sudah dapat dirasakan yaitu dengan banyaknya perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, yang mana mereka menguasai asset-asset penting milik public seperti pertambangan minyak dan gas, listrik, transportasi, dan lain sebagainya sehingga kelak setelah mereka menguras habis kekayaan negeri ini berua keuntungan yang besar maka tinggal masyarakat kesulitan mendapatkan hajat hidupnya di mana mereka harus membayar lebih mahal daripada yang seharusnya sebagai contoh listrik yang tidak lain dikarenakan PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri juga membeli dari perusahaan swasta, termasuk juga contoh perusahaan pupuk juga harus membeli gas dari perusahaan swasta untuk produksi pupuk.

Ada beberapa permasalahan yang timbul sebagai dampak negative dari investasi asing ini: pertama, adanya control dari luar negeri yaitu pemerintah di mana investor berasal atau badan internasional seperti IMF, Bank Dunia dalam politik dan ekonomi karena perusahaan mereka berhasil menguasai asset penting negeri ini, sehingga ini akan membuat pemerintah negeri ini mudah dipermainkan dan memiliki ketergantung terhadap mereka.

Kedua, akan terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, di mana biasanya investor asing dan investor dalam negeri akan membuat kontrak sesuai dengan jumlah kandungan di bawah tanah sehingga jika kontrak telah berakhir maka tinggal kerusakan lingkungan yang ditinggalkan dan mereka pergi dengan membawa keuntungan yang besar sehingga pemerintah yang tinggal meremajakan kerusakan dengan dana dari kantong sendiri yang tentu dari pajak yang berasal dari rakyat lagi.

Ketiga, investor asing dan dalam negeri biasanya sering bergerak di sector pertambangan dan perkebunan yang banyak menggunakan tenaga mesin dan alat canggih sehingga kebutuhan akan tenaga kerja sebenarnya sangat sedikit dan ini juga sebenarnya mengurangi biaya/cost production, maka dari sini logika pemerintah yang mengatakan investasi asing dapat menyedot tenaga kerja yang banyak itu hanyalah asumsi belaka tanpa fakta karena di manapun tempat dan zamannya tidak ada pengusaha yang berfikiran berani untuk membiarkan biaya/cost production dengan membengkakkan tenaga kasar yang pasti akan memperbesar biaya maka alat berteknologi canggih sebagai alternative adalah sebuah keharusan sebagai gantinya.

Keempat, adanya biaya yang harus ditanggung setelah beroperasi (recovery cost) biasanya ditanggung oleh investor asing tetapi biasanya malah pemerintah yang harus menutupi, sebagai contoh berdasarkan laporan Exxon Mobile di mana pasca operasinya harus mengeluarkan recovery cost sebesar 450 juta dolar AS dan semua ditanggung Exxon Mobile tetapi ternyata menurut laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa pengeluaran Exxon Mobile pada biaya tersebut hanya mengeluarkan sebesar 142 juta dollar AS, ini berarti pemerintah yang harus menutupi kekurangannya.

Kelima, kemungkinan adanya manipulasi data keuangan untuk mengurangi bagian keuntungan kepada pemerintah akan dilakukan oleh investor asing atau investor dalam negeri karena mereka sebagai pengusaha akan selalu mencari untung sebesar-besarnya, ini dapat mereka lakukan karena memang mereka yang memegang data dan walaupun ada pengawasan dari pemerintah tetapi tetap saja itu tidak akan sampai pada masalah dapur perusahaan sebagai contoh kasus manipulasi data oleh Exxon Mobile terkait kapasitas Blok Cepu yang mana mereka mengatakan bahwa cadangan minyak Blok Cepu hanya sebesar 781 juta barrel di mana kapasitas produksi perusahaan sebesar 651 ribu barrel perhari. Dengan demikian jika hitungan di atas kertas maka dengan kapasitas produksi perhari sebesar itu maka untuk mencapai nilai kandungan 781 juta barrel hanya butuh waktu eksploitasi 11 tahun atau 12 tahun saja, tetapi mengapa kontrak Exxon Mobile di Blok Cepu diperpanjang 20 tahun dari tahun 2010 sampai dengan 2030? Ini menunjukkan ada sebuah kebohongan data yang telah dipaparkan investor.

Keenam, investasi asing ini akan menimbulkan dual economic (ekonomi serba dua), maksudnya daerah pusat investasi (utamanya pertambangan) diperlakukan seperti pulau pembangunan yang penuh dengan fasilitas modern, sangat gemerlap, tetapi daerah sekitarnya tetap saja terbelakang bahkan sangat mengenaskan penuh kekumuhan, kemiskinan. Ini jelas sangat mudah memacu benturan social sebagai akibat dari kecemburuan social, yang mana biaya penanganan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah sangat besar, inilah alasan yang sebenarnya juga memacu konflik di bumi Papua pada tahun 2005-2006 yang lalu sehingga menyulut adanya keinginan masyarakat Papua memisahkan diri dari Indonesia karena mereka merasa dijajah karena alam tempat tinggal lahir dan hidup mereka dikeruk tetapi mereka tetap miskin dan terbelakang.

Ketujuh, kemungkinan akan adanya monopoli harga jual hasil alam oleh pengusaha terhadap hasil alam pertanian dari petani masyarakat sekitar, kasus ini banyak terjadi pada investasi pertanian dan perkebunan yang sudah tentu akan merugikan petani dikarenakan biaya yang mereka keluarkan untuk perawatan pertanian dan perkebunan seperti membeli pupuk tidak seimbang dengan harga jualnya karena harga sudah dipatok oleh perusahaan investor yang penuh motif mencari untung sebesar-besarnya karena kuatnya modal dan jaringan pemasaran.

Apakah ini namanya pembangunan, kalau rakyat kecil selalu jadi korban? Haruskah hanya untuk prestasi kerja, penguasa korbankan mereka yang lemah? Maka hendaknya pemerintah negeri ini bisa mandiri mengelola sumber daya alamnya, pemerintah memiliki perusahaan BUMN andalan untuk mengelola kekayaan minyak bumi seperti Pertamina yang pernah beroperasi di Sumur Sukowati Tuban, Tambun dan Pondok Tengah Bekasi, Patrol Jawa Barat, Prabumulih Sumatera Selatan, dan lainnya yang teruji mampu. Jikalau pun alasan teknologi yang kurang memadai, maka pemerintah tidak membeli saja teknologi pengolahan minyak yang paling canggih dari Barat dari hasil swakelola ladang minyak?. Jikalau pun beralasan tidak ada tenaga ahli maka pemerintah tinggal panggil (recall) saja ahli perminyakan putra bangsa ini yang bekerja di perusahaan asing atau anggota PERHAPI (Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia). Dan untuk memperkuat bidang perkebunan dan pertanian, mengapa pemerintah tidak meminjamkan atau memberikan modal dana, teknologi, dan kemampuan enterpreunership kepada petani agar mereka lebih mandiri dan sukses sehingga dalam jangka panjang pemerataan kesejahteraan dan kekuatan pangan negeri ini tercapai?. Sekali lagi mungkin ide ini tidak adak bisa direalisasikan pemeritah jika tidak ada political will dari pemerintah kita dan tidak adanya pergantian system ekonomi nasional dari system ekonomi kapitalisme/neo liberalisme.
Selengkapnya...

Menyoal Budaya Lokal Dan Asing

Penyebaran budaya asing di dalam negeri semakin marak. Mulai dari cara berpikir, berpakaian, gaya bicara, penampilan, sampai pada bentuk kesenian pun hampir semuanya berkiblat kepada budaya Barat. Hal ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, media cetak maupun dalam tayangan televisi. Masyarakatpun prihatin dengan fenomena seperti itu. Berkaitan dengan hal itu, Presiden Abdurrahman Wahid —seperti ditayangkan oleh sebuah TV swasta beberapa hari lalu — menekankan pentingnya menghidupkan budaya lokal untuk dapat membentengi jati diri bangsa dari serbuan budaya asing.

Tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana sebenarnya budaya dilihat dari kaca mata ajaran Islam.

Budaya Asing atau Lokal ?

Allah SWT menjadikan manusia hidup di dunia ini untuk dapat meraih kebahagiaan akhirat tanpa melupakan kenikmatan dunia (lihat QS. Al Qashash 77). Hal ini dapat dicapai hanya dengan menjadikan hidup manusia semata untuk beribadah kepada-Nya. Artinya, hidup manusia itu dalam rangka tunduk , patuh, dan taat kepada aturan Allah. Dia berfirman:

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."(QS. Adz Dzariyat 56).

Dengan demikian hakikat hidup manusia adalah ibadah dan segala hal yang dilakukannya mesti didasarkan kepada Islam. Sebab, orang yang akan berbahagia di sisi Allah SWT hanyalah mereka yang menerapkan Islam secara total baik dalam perkara keyakinan maupun perilakunya, termasuk di dalam berkebudayaan. Tegas sekali perintah Allah SWT di dalam Al Quran :

"Hai orang-orang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kalian" (QS. Al Baqarah 208).

Imam Ibnu Katsir memaknai ayat tersebut dengan menyatakan bahwa semua orang beriman diperintahkan untuk melaksanakan seluruh cabang iman dan hukum-hukum Islam semaksimal mungkin. Tambahnya lagi ‘Masuklah kalian kedalam syariat agama yang dibawa Muhammad SAW, dan janganlah kalian mengabaikan sedikit pun dari syariat tersebut’ (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, jilid I, hal. 209 – 210).

Jadi, Allah SWT mewajibkan kepada orang yang benar-benar beriman untuk terikat dengan aturan Islam dalam segala hal, termasuk dalam persoalan budaya. Budaya lokal ataupun asing bila bertentangan dengan ajaran Islam wajib disingkirkan. Sebab, seperti disitir dalam ayat tadi, semua itu termasuk jalan yang digariskan syaithan.

Siapapun yang mengamati kebudayaan lokal di negeri ini akan menyimpulkan bahwa tidak sedikit kebudayaan lokal yang bertentangan dengan Islam. Betapa banyak tontonan wayang yang mengajarkan kebudayaan Hindu, tari-tari daerah pun tak jarang mempertontonkan aurat, musik lokal tak lepas dari goyangan ‘hot’ si biduanita yang melantunkannya. Belum lagi tayangan-tayangan produk lokal yang teracuni oleh budaya asing. Jadi, masalahnya bukan produk asing atau lokal. Tetapi terletak pada nilai-nilai yang melandasi dan yang dikandungnya. Apalah artinya budaya lokal kalau ternyata sekedar hasil jiplakan budaya Barat non Islam. Apa pula artinya budaya lokal asli bila bertentangan dengan ajaran Islam. Bila hal ini dipaksakan juga, yang akan terjadi adalah kepedihan dan nestapa di akhirat, serta kerusakan interaksi antar manusia di dunia ini. Budaya apapun yang didasarkan pada aqidah dan aturan bikinan manusia —makhluk yang serba kurang, serba butuh, dan serba lemah dibandingkan dengan Allah SWT Penciptanya— sama saja dengan menempuh jalan syaithan yang membawa kekejian. Firman Allah SWT :

"Syaithan menjanjikan kemiskinan kepada kalian dan menyuruh kalian berbuat kekejian; sedangkan Allah menjanjikan untukmu pengampunan dari-Nya dan karunia. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS. Al Baqarah [2] : 268).

Perlu disadari, sebagai salah satu bentuk perang budaya (ghazwu tsaqafi), Barat tatkala merambah dunia Islam menyebarluaskan konsep budaya —termasuk seni— yang bercorak materialis dan berhalais, memuja kecantikan semu serta ekspresi-ekspresi yang penuh dengan paham keserbabolehan. Di dunia Islam mereka terus berupaya menghidupkan budaya Helenisme Yunani, Romawi Kuno, dan menghidupkan budaya lokal pra Islam. Di Indonesia, budaya pra Islam jaman Majapahit ataupun kejawen, misalnya, terus menerus digali dan dikembangkan.

Budaya: Hadlarah dan Madaniyah

Dalam berbagai literatur kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia atau keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Berdasarkan cara pandang sekularistik, budaya dalam makna tersebut haruslah bersifat anthroposentris. Artinya, segala sesuatunya lahir dari manusia. Seluruh agama —termasuk Islam — pun didudukkan sebagai budaya yang merupakan produk pemikiran manusia.

Berbeda halnya dengan orang yang menjadikan Islam sebagai kepemimpinan ideologis (qiyadah fikriyah) melihat bahwa dalam ‘budaya’ itu ada 2 hal berbeda. Pertama, hadlarah dan kedua madaniyah. Hadlarah dimaknai sebagai kumpulan pemahaman tentang kehidupan, sementara madaniyah merupakan bentuk-bentuk materiil berupa benda-benda hasil karya manusia yang digunakan dalam kehidupannya (Nizhamul Islam, hal. 59). Berdasarkan pengertian tadi, ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan hukum-hukum serta adat istiadat termasuk kedalam hadlarah. Adapun contoh madaniyah adalah seluruh benda-benda yang konkrit dapat dilihat, dirasa, diraba, dan dipergunakan, seperti pabrik, bangunan bertingkat, rumah, mobil, motor, komputer, lampu, candi, masjid, gereja lukisan, kain batik, kancing baju, dll.

Hadlarah akan berbeda-beda sesuai dengan aqidah dan hukum yang melahirkannya. Bila aqidah dan hukum yang melahirkan hadlarah tersebut adalah Islam maka hadlarah tersebut merupakan hadlarah Islam. Sebaliknya bila hadlarah itu lahir dari selain Islam maka hadlarahnya menjadi hadlarah bukan Islam, dan tentu saja bertentangan dengan Islam.

Dalam keyakinan, misalnya, pemahaman bahwa Allah adalah Dzat yang memberi rizki, Maha Pemurah dan Maha Gagah yang dipresentasikan dengan senantiasa memohon rizki kepada-Nya dan berlindung kepada-Nya saja merupakan hadlarah Islam. Sementara, keyakinan bahwa ada kekuatan lain seperti ratu laut selatan atau dewa-dewi hingga perlu pesta laut agar nelayan memperoleh rizki atau ruwatan bagi anak tunggal (dalam tradisi Jawa kuno disebut ontang anting) untuk mendapat keselamatan tergolong hadlarah bukan Islam.

Begitu pula pemikiran bahwa manusia harus menutup aurat merupakan hadlarah Islam. Sebab merupakan perintah Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31. Sementara, pemikiran bahwa manusia itu bebas berperilaku hingga wanita boleh berpakaian mini dalam kehidupan umum di tengah-tengah masyarakat, mengikuti trend mode yang mengundang birahi, berpakaian ketat dan transparan serta berlenggak-lenggok saat bernyanyi di hadapan umum merupakan hadlarah bukan Islam.

Menyangkut ekonomi, hukum bahwa dalam perekonomian tidak boleh sedikit pun mengandung unsur riba merupakan hadlarah Islam. Sebab Allah SWT telah mengharamkannya. Nabi pun menjelaskan betapa besar dosa pelaku riba yang bahkan melebihi dosa seseorang yang berzina dengan ibu kandungnya! Sebaliknya, renten dan riba yang membudaya dilakukan di tengah kehidupan sekarang merupakan hadlarah bukan Islam.

Contoh lain, dalam bidang pergaulan, Allah SWT melarang kaum muslimin mendekati zina (lihat QS. Al Isra 32) dan Nabi melarang seseorang berkhalwat (menyendiri) dengan wanita kecuali disertai mahramnya. Ini menunjukkan bahwa hadlarah Islam yang menyangkut interaksi laki-laki dan perempuan ada aturannya. Jadi, hubungan laki-laki dengan perempuan sebelum menikah, budaya bergaul bebas dan kumpul kebo merupakan hadlarah bukan Islam.

Dalam bidang kenegaraan pun demikian. Gagasan tentang paham kebangsaan (nasionalisme) bukan hadlarah Islam. Islam tidak mengenal paham seperti ini. Malah Rasulullah SAW bersabda :

"Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada ‘ashabiyyah (nasionalisme / sukuisme), orang yang berperang karena ‘ashabiyyah serta orang-orang yang mati karena ‘ashabiyyah" (HR. Abu Dawud).

Walhasil, segala perkara yang menyangkut hadlarah hanya ada dua kemungkinannya, Islam atau bukan. Bila ‘budaya’ yang merupakan hadlarah tersebut berdasarkan aqidah Islam dan digali dari hukum-hukumnya maka itulah yang harus diambil. Sebaliknya, segala hal yang bertentangan dengan Islam dan atau lahir dari aqidah serta hukum bukan Islam, Allah SWT melarang kaum muslimin untuk mengambil maupun menerapkannya. Firman Allah SWT :

"Barang siapa mencari dien (agama dan sistem hidup) selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima apapun darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" (QS. Ali Imran 85).

Nabi SAW bersabda :

"Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini yang tidak ada dasar daripadanya maka itu tertolak" (HR. Bukhari dan Muslim).

Berbeda dengan hadlarah, realitas madaniyah itu ada yang lahir dari hadlarah dan ada pula yang tidak lahir darinya melainkan lahir dari sains dan teknologi. Contoh madaniyah yang didasarkan pada hadlarah bukan Islam dan lahir darinya adalah lukisan makhluk bernyawa. Sebab Rasulnya melarangnya. Al Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda :

"Siapa saja yang membuat gambar (manusia atau hewan) maka Allah akan menyiksanya karena gambar tersebut di hari kiamat hingga ia meniupkan ruh ke dalamnya, padahal ia sama sekali tidak mampu melakukannya."

Begitu pula kalung salib, pohon natal, simbol zionis, swastika, baju bikini, patung dan merupakan madaniyah yang lahir dari hadlarah bukan Islam.

Bentuk kebudayaan materil atau madaniyah bila lahir dari hadlarah bukan Islam berarti tergolong bagian dari hadlarah tersebut. Dengan demikian, seorang mukmin yang benar-benar takut kepada Allah SWT tidak akan menggunakan ataupun menyebarkannya sebab Allah SWT melarang mengadopsi segala sesuatu yang terkait dengan hadlarah bukan Islam.

Berbeda dengan itu, bentuk kebudayaan materiil yang lahir dari sains dan teknologi serta tidak terkait dengan hadlarah bukan Islam boleh diambil dari siapa saja tanpa lagi membedakan dari Barat maupun Timur, penemunya muslim atau bukan.. Rasulullah SAW bersabda:

"Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian (sains dan teknologi)" (HR. Muslim)

Hadits ini memberikan kebebasan bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, profesi, industri, dan teknologi modern dan apa saja yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan selama tidak bertentangan dengan syara’. Bahkan, Rasulullah SAW pernah mengirim dua orang sahabat yaitu ‘Urwah Ibnu Mas’ud dan Ghailan Ibnu Maslamah ke kota Jarasy di Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata Dabbabah (semacam tank di masa itu) setelah beliau mengetahui bahwa alat tersebut mampu digunakan untuk menerobos benteng lawan (Ath Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, jilid III, hal. 132).

Berdasarkan penjelasan tadi dibolehkan umat Islam mengadopsi kebudayaan materil seperti produk elektronika VCD, radio, TV, komputer, listrik, tilpun, motor, mobil, kain, makanan, minuman halal, dan produk lainnya sekalipun berasal dari orang bukan Islam tanpa memandang berideologi apa. Hanya, tentu saja, penggunaan produk tersebut akan berbeda antara umat Islam yang berpegang teguh pada hadlarah Islam dengan mereka yang tidak.

Khatimah

Dewasa ini umat Islam tengah dilanda perang kebudayaan. Berbagai serbuan budaya begitu deras, sulit dibendung. Bila tidak diselesaikan maka generasi muslim mendatang sangat boleh jadi tidak lagi mengenal ajaran Islam dan jauh dari budaya yang lahir dari Islam. Langkah jangka pendek adalah mempopulerkan budaya yang lahir dari Islam menggantikan budaya yang bertentangan dengan Islam. Namun, kebudayaan Islam akan terlaksana, terjaga, dan lestari dengan diterapkannya seluruh syariat Islam. Sebab itu, perjuangan berbudaya Islam secara individual saat ini dan penegakkannya dalam kehidupan Islam merupakan tanggung jawab semua orang. Itulah jalan keselamatan. Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariiq!.

Selengkapnya...

Kamis, 14 Agustus 2008

Seputar Keterlibatan Dalam Pemilu

soal:

Apa hukumnya bagi kaum Muslim yang turut terlibat—sebagai pemilih—memberikan suara dalam proses pemilihan umum, baik dalam pemilihan anggota-anggota perwakilan rakyat maupun kepala negara?

Jawab:

Di dalam pertanyaan di atas terkandung dua topik yang berbeda, yaitu memilih anggota-anggota wakil rakyat, dan memilih kepala negara.
Pemilu merupakan (akad) wakalah (perwakilan). Agar akad wakalah sempurna maka rukun-rukunnya harus dipenuhi sehingga akadnya sahih, yaitu adanya ijab qabul, pihak yang mewakilkan (muwakkil), pihak yang mewakili (wâkil), perkara yang diwakilkan, serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shigât tawkîl).

Untuk mengetahui hukum syariat dalam masalah ini, wajib—sebelum segala sesuatunya—untuk melakukan tahqîq manâth (mengetahui fakta tentang obyek diterapkannya hukum) atas perkara tersebut. Manâth dalam perkara ini adalah pemilihan anggota ‘majelis legislatif’ (al-majlis at-tasyrî‘) atau yang biasa dikenal dengan ‘majelis perwakilan’ (majlis an-nuwâb), aktivitas yang biasanya dilakukan oleh majelis ini serta wewenang-wewenangnya. Di sinilah ditetapkan hukum syariat atas perkara ini. Begitu pula manâth dalam perkara yang kedua, yaitu pemilihan kepala negara yang mengharuskan mengetahui apa yang menjadi tugas dan kewajiban kepala negara. Dari situ barulah dapat ditentukan hukumnya.

Di dalam sistem Islam, majelis perwakilan rakyat biasa dikenal dengan sebutan majlis syûrâ atau majlis ummah. Tugas dan kegiatan majelis ini adalah menyampaikan suara (aspirasi) kaum Muslim yang diwakilinya kepada Khalifah, tempat Khalifah meminta masukan dalam hal urusan-urusan yang menyangkut kaum Muslim, dan mewakili umat dalam melakukan koreksi (muhâsabah) terhadap para pejabat pemerintah, termasuk Khalifah (an-Nabhani, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, h. 209). Artinya, perkara yang diwakilkan oleh kaum Muslim kepada mereka menyangkut perkara-perkara yang memang diwajibkan atau mubah. Jadi, anggota-anggota majelis umat/majelis syura yang dipilih oleh kaum Muslim harus memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang mencukupi; mereka adalah representasi dari suara kaum Muslim. Bagaimana mungkin kaum Muslim memilih orang-orang tertentu yang tidak dikenalnya—apalagi non Muslim—dan tidak diketahui kredibilitas serta kapabilitasnya?

Selama rukun-rukun dan syarat-syarat akad wakalah tersebut dipenuhi, maka kaum Muslim dibolehkan memilih wakil-wakilnya—sebagai anggota majelis umat—untuk menyampaikan aspirasinya kepada kepala negara (pemerintah), juga untuk menyampaikan kritik/koreksi terhadap para pejabat negara dalam hal pengaturan dan pemeliharaan urusan kaum Muslim.

Apabila salah satu rukun atau syarat akad wakalah tersebut tidak terpenuhi, maka batallah akadnya, dengan kata lain, tidak sah dan tidak diperbolehkan melanjutkan implikasi dari akad wakalah tersebut. Begitu pun apabila manath-nya berbeda, maka hukumnya pun akan berbeda pula. Misalnya, jika pihak yang mewakili (wakil) tidak amanah, tidak menyampaikan aspirasi/suara orang-orang yang mewakilkannya, malahan si wakil hanya menyuarakan aspirasinya pribadi atau partainya yang bertentangan dengan aspirasi orang-orang yang mewakilkannya; atau topik/perkara yang diwakilkan berubah, artinya, manath-nya berbeda, karena—ternyata—aktivitas wakil-wakil rakyat itu bukan lagi menyampaikan aspirasi (ibdâ’ ar-ra’yi) dan menyampaikan kritik (muhâsabah) kepada pemerintah, melainkan juga membuat dan menetapkan perundang-undangan (haqq at-tasyrî‘). Yang terakhir ini bukan lagi menjadi wewenangnya serta menyalahi rukun-rukun dan syarat akad wakalah.

Wewenang membuat dan menetapkan undang-undang (haqq at-tasyrî‘) ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia (rakyat). Yang berhak mengeluarkan undang-undang hanyalah Allah semata. Tidak berhak seorang pun bersekutu dengan Allah dalam perkara tasyrî‘. Allah Swt. berfirman:

﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ﴾

Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (QS Yusuf [12]: 40).

﴿وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ﴾

Janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS an-Nahl [16]: 116).

Berdasarkan hal ini maka kaum Muslim tidak boleh memilih wakil yang akan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.

Adapun pemilihan kepala negara, di dalam sistem Islam terdapat prinsip bahwa kekuasaan itu berada di tangan umat (as-sulthah li al-ummah). Kemudian umat menyerahkan kekuasaan untuk mengatur dan memelihara segala urusannya tersebut kepada Khalifah (kepala negara yang terpilih) melalui akad baiat, bukan akad wakalah, yaitu penyerahan kekuasaan yang dimiliki umat kepada Khalifah agar Khalifah mengatur dan memelihara urusan umat dengan sistem (hukum) Islam, dan umat wajib menaatinya. Proses yang mendahului akad baiat ini hingga terpilihnya seorang Khalifah bermacam-macam. Pada masa terpilihnya Abu Bakar r.a. melibatkan kaum Anshar dan beberapa orang dari kaum Muhajirin di Saqifah Bani Sa’idah. Pada masa terpilihnya Umar bin al-Khaththab r.a. melibatkan seluruh kaum Muslim di kota Madinah. Pada masa terpilihnya Utsman bin Affan r.a. pemilihannya diserahkan kepada beberapa orang sahabat saja (yang dikenal kemudian dengan istilah ahl halli wa al-‘aqd). Keterlibatan kaum Muslim dalam proses pemilihan Khalifah adalah fardhu kifayah. Artinya, tidak harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat atau mewajibkan setiap Muslim untuk memberikan suaranya dalam pemilihan Khalifah (kepala negara). Bahkan pada masa terpilihnya Utsman bin Affan r.a. dan Ali bin Abi Thalib r.a., keduanya hanya dipilih oleh beberapa orang dan sekelompok kecil kaum Muslim; sedangkan pada masa terpilihnya Umar bin Khaththab r.a. tidak melibatkan kaum Muslim di kota-kota lain selain kota Madinah.

Masalahnya akan berbeda jika manath-nya (fakta tentang obyek diterapkannya hukum) berbeda, selain beberapa rukun dan syarat akad baiat yang juga berubah. Hal itu dapat dilihat antra lain:

1. Format pemilihan kepala negara saat ini didasarkan pada sistem demokrasi Barat yang kufur, sedangkan pemilihan Khalifah di dasarkan pada sistem (hukum) Islam.

2. Fakta tentang orang yang dibaiat (Khalifah atau kepala negara) adalah orang yang bersedia untuk menjalankan seluruh pengaturan dan pemeliharaan urusan umat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sebaliknya, dalam sistem demokrasi, kepala negara dipilih untuk menjalankan garis-garis besar haluan negara yang ditentukan oleh rakyat (dalam hal ini parlemen).

3. Khalifah tidak boleh dipilih dari orang kafir, kaum wanita, orang zalim atau fasik, dan tidak memiliki kemampuan. Sebaliknya, kepala negara dalam sistem demokrasi bisa terpilih dari kalangan orang-orang kafir, kaum wanita, orang yang zalim atau fasik, bahkan orang yang bodoh (tidak memiliki kemampuan) dan para penjahat; asalkan ia memperoleh mayoritas suara terbanyak dalam pemilihan.

4. Masa jabatan Khalifah (melalui akad bai’at) tidak ditentukan batasnya; bisa sehari, bisa juga seumur hidup, bergantung pada apakah ia menjalankan pengaturan dan pemeliharaan urusan kaum Muslim berdasarkan sistem hukum Islam dengan konsisten atau tidak. Sebaliknya, jabatan kepala negara menurut sistem demokrasi dibatasi maksimal empat atau lima tahun; bisa diperpanjang jika rakyat dan peraturannya menghendaki.

5. Khalifah diangkat melalui akad baiat. Khalifah menjalankan aktivitasnya 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tidak ada waktu libur. Sebaliknya, kepala negara dalam sistem demokrasi diangkat berdasarkan akad ijârah, yaitu sebagai ajir (orang yang diupah/digaji) oleh musta’jir (dalam hal ini rakyat) untuk menjalankan apa yang diinginkan oleh rakyat. Karena itu, ia berhak memperoleh gaji yang ditetapkan oleh rakyat (parlemen), memiliki waktu kerja, hari dan jam libur, cuti, dan lain-lain sebagaimana para pekerja lainnya.

Karena manath-nya dan rukun-rukun serta syarat-syaratnya berbeda dengan proses pemilihan Khalifah, maka hukum pemilihan kepala negara—dalam sistem demokrasi—juga berbeda. Ditinjau dari perkara yang diakadkan, sifat-sifat orang yang dipilih dan lain-lain (sebagaimana dipaparkan pada lima poin diatas) maka proses pemilihan kepala negara dalam format sistem demokrasi sekular, sama artinya dengan mengokohkan sebuah sistem yang bertentangan dengan sistem Islam secara diametral; berarti pula meratifikasi suatu akad yang menyangkut pengaturan dan pemeliharaan urusan kaum Muslim berdasarkan hukum buatan manusia (dalam hal ini yang ditetapkan oleh parlemen, dan itulah makna dari demokrasi, yaitu kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, termasuk hak untuk menetapkan hukum), bukan hukum yang di dasarkan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Hal ini jelas haram.

]أَفَغَيْرَ دِينِ اللهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ[

Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (QS Ali Imran [3]: 83).

Ya Allah, saksikanlah kami telah menyampaikan. [AF]

Selengkapnya...

Rabu, 13 Agustus 2008

Meretas Ideologi Mencari Penyebab Krisis Ekonomi Nasional

Tulisan ini didedikasikan bagi politikus, akademisi, dan kaum miskin kota yang berharap adanya perbaikan di negeri ini menggantikan masa kelam yang begitu menyesakkan dada. Tulisan in juga ingin mengarahkan perdebatan antara legislative, eksekutif, aktivis, pengusaha, dan kaum miskin tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap kondisi Indonesia.

Carut marutnya ekonomi Indonesia kian hari kian parah, terlebih lagi pasca kenaikan harga BBM pertengahan tahun 2005 lalu yang mencapai 200 % lebih sehingga membuat kemiskinan meningkat drastic akibatnya harapan hidup layak di negeri ini sangat tidak memungkinkan. Tercatat posisi hutang Indonesia sebesar US$ 1,3 Trilyun, dan di sisi kepemilikan asset Negara seperti BUMN dan SDA semakin berkurang karena berpindah tangan pengelolaan dan kepemilikannya kepada swasta asing. Melihat kondisi Indonesia di atas sebenarnya juga dialami oleh banyak negara lainnya seperti Zimbagwe, Afrika Selatan, dan negara dunia ketiga lainnya yang menerapkan ekonomi liberal bahkan Amerika Serikat sekalipun sebagai negara maju dan lokomotif ekonomi liberal.

Penulis mengajak pembaca untuk menelaah kembali ideology sekulerisme yang selama ini oleh para pemikir dinilai sebagai dasar dari ekonomi liberalisme atau kapitalisme. Berbicara masalah ideology ini seharusnya kita menyamakan definisi dahulu, pertama, ideology adalah ajaran dasar yang akan melahirkan sebuah system hidup dan banyak aturan atau undang-undang. Kedua, sekulerisme adalah pemikiran yang memisahkan antara agama dari kehidupan manusia. Sehingga dapat dijabarkan ideology sekulerisme secara menyeluruh adalah ajaran dasar yang berisi pemikiran memisahkan agama dari kehidupan manusia dan akan melahirkan sebuah system kehidupan dan melahirkan banyak aturan atau undang-undang. Ideologi sekulerisme ini lahir setelah adanya penindasan pemikiran atau pemasungan berfikir oleh gereja pada abad pertengahan (abad 16 M), di mana ideology ini masih mengakui eksistensi agama, namun tidak dibenarkan mengatur kehidupan manusia. Agama hanya diberi kebenaran untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan seperti masalah ibadah, sedangkan masalah kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, social dan lainnya diserahkan 100% pada kebebasan akal manusia. Maka ideology ini memiliki pandangan bersifat pragmatic yaitu melakukan atau meninggalkan sesuatu karena pertimbangan untung dan rugi menurut akal, sehingga apabila ada keuntungan maka akan dilakukan namun apabila rugi akan ditinggalkan. Inilah asas dari tindakan manusia yang berideologi sekulerisme, sehingga metode untuk merealisasikannya harus dengan menerapkan kebebasan (liberalisme). Adapun liberalisme ini digunakan untuk merealisasikan empat hak asasi manusia yang antara lain: kebebasan bertingkah laku maka dikenal dengan system social hedonisme, kebebasan kepemilikan maka dikenal system ekonomi kapitalisme, kebebasan beragama maka dikenal dengan system kehidupan beragama pluralisme, dan kebebasan berbicara maka dikenal dnenga system politik demokrasi. Di atara keempat metodenya yang paling masyhur adalah kapitalisme sehingga ideology sekulerisme biasa juga dikenal dengan ideology kapitalisme. Maka dari itu pembahasan materi ini ini dimulai dari pembahasan system ekonomi kapitalisme, yang mana Adam Smith dalam bukunya “The Wealth Of Nations” memberikan ajaran dasar yang popular yaitu “Laisses Faire Laisses Passer” (biarkan itu terjadi biarkan itu berlalu)yang menyatakan bahwa setiap orang diberi kebebasan oleh negara untuk memiliki menurut kemampuannya dan negara harus memfasilitasi dan menjaga kebebasan tersebut agar tidak mengganggu kebebasan orang lain, dan kemampuan seseorang dalam ekonomi dinilai dari daya beli terhadap harga yang dimiliki barang ekonomi di mana harga itu distandarkan pada mekanisme pasar yaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand), serta harga ini juga yang mendasari pola distribusi barang di masyarakat yang paling adil yaitu orang yang memiliki daya beli tinggi mendapatkan harga barang yang tinggi dengan mutu barang terbaik sedangkan orang yang memiliki daya beli rendah akan mendapatkan barang yang rendah dengan mutu barang rendah, dengan kata lain membeli sesuai kemampuan dan ini juga akan memicu orang yang berpendapatan rendah untuk berusaha lebih keras lagi.

Kebebasan ini diharapkan mampu memicu pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga orang bebas memaksimalkan kemampuan modal, skill, dan tenaga dalam bersaing dan ini telah terbukti pada revolusi industri yang terjadi di Inggris pasca renaissance Eropa. Sehingga bentuk tindakan pemerintah dalam memberikan kebebasan ekonomi adalah sekali lagi dengan membuka akses kepada swasta asing atau domestic terhadap bahan baku yaitu dengan membuatkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) seperti UU No.11 tahun 1965 tentang PMA dan PMDN, maka PT.Freeport Mc Moran menguasai tambang emas di bumi Papua, PT.Exxon Mobile menguasai minyak bumi dan gas di Riau dan Blok Cepu. Dan pemerintah juga membuka akses untuk mendapatkan modal cepat maka didirikanlah bank, dan dibuka juga akses perluasan usaha maka didirikanlah pasar modal sehingga swasta asing bisa membeli setengah atau bahkan seluruh saham kepemilikan BUMN seperti PT. Pertamina, PT. PLN, PT. KAI dan Indosat. Dan terakhir pemerintah juga membuka akses masuk untuk perluasan pasar dengan cara menghilangkan barried to entry (halangan masuk) seperti mengurangi pajak, beacukai dan retribusi. Tolak ukur yang dapat digunakan unuk mengukur pertumbuhan ekonomi ini adalah dengan ukuran GNP (Gross National Product)/ Pendapatan Nasional Bruto yaitu tingkat produktifitas nasional agregat yang dicapai dalam periode waktu tertentu, di mana pertumbuhan ekonomi hanay didasari pada berapa besar output barang yang dihasilkan oleh perusahaan dan rumah tangga bukan berapa banyak individu yang mendapatkan barang ekonomi, maka GNP bisa dikatakan tinggi hanya dengan adanya sebuah perusahaan yang mampu menghasilkan barang output yang tinggi.

Saat ini dapat kita lihat bahwa masyarakat dibiarkan memenuhi kehidupannya sendiri di tengah harga barang pokok yang tinggi sedangkan subsidi sedikit demi sedikit dikurangi tiap tahun sampai titik jenuh subsidi sihilangkan sama sekali. Bagi pemerintah ini adalah sebuah kewajaran dan sesuai dengan ajaran yang didapatkan oleh pejabat negeri ini saat menimba ilmu ekonomi yang mana ekonomi kapitalisme mengajarakan aga pemerintah harus lepas tangan dan hanya menjaga kebebasan bersaing saja, sebagai contoh subsidi BBM dicabut sehingga harga jual di masyarakat menjadi sangat mahal. Dan tidak mengherankan pula saat asset Negara seperti tambang emas, minyak bumi, gas dan BUMN-BUMD dilepas atau dijual kepada pihak asing yang berakibat pemasukan pemerintah pun berkurang dan hanya mengandalkan pajak bukan dari hasil pengelolaan SDA secar mandiri. Maka semakin lengkapnya problem di masyarakat, sudah barang-barang pokok mahal dan tidak terjangkau dilengkapi lagi dengan pemerintah pun tak membantu karena kekurangan dana.

Kesimpulannya adalah pemerintah negeri ini tidak dapat dipungkiri sesuai dengan alur di atas ternyata memang menerapkan ekonomi kapitalisme, dan kian hari kian bertambah liberal sehingga dapat diprediksi demi klimaks kesuksesan penerapan ekonomi kapitalisme ini harus ditebus dengan berbagai kasus kemiskinan seperti busung lapar, kriminalitas, kualitas SDM rendah semakin bertambah. Dan proses perubahan ini tidak mungkin kecuali hanya dengan satu kata yaitu revolusi system yang diawali dengan revolusi pemikiran atau pemahaman. Siapakah orang atau organisasi yang akan menjadi satrio piningit tersebut?

Oleh :

Fadli Hudaya, SEI

Contact person

081368637633

Selengkapnya...

Parpol Islam, Apa yang engkau cari ?


Meski Pemilu masih beberapa bulan lagi, atmosfir negeri ini sudah dipenuhi asap kampanye. Berbagai parpol mencoba mencuri-curi start, meskipun dikemas dalam bentuk yang tidak menyerupai bentuk kampanye; entah itu temu kader, konvensi partai, rapat koordinasi, sampai ke bakti sosial dan sumbangan-sumbangan ke daerah miskin atau pun daerah bencana. Praktis, seluruh parpol—terutama yang lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu—sudah pasang kuda-kuda dan jurus-jurus pamungkas menghadapi masa kampanye partai dan Pemilu.

Hajatan besar lima tahunan itu diongkosi triliunan rupiah dari uang rakyat dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Sebenarnya, apa sih yang menjadi tujuan Pemilu sehingga seluruh negeri gegap-gempita menyambutnya? Namanya juga pesta rakyat, walaupun yang menuai hasil adalah para politisi dan pejabat.

Menurut para pakar politik, Pemilu itu adalah pesta demokrasi, pestanya rakyat; karena demokrasi merupakan cerminan dari aspirasi rakyat untuk memilih para wakilnya yang duduk di parlemen, sekaligus untuk memilih pemimpin yang diidam-idamkannya. Wakil-wakil rakyat itulah, katanya, yang menjadi penyambung lidah rakyat; dan pemimpin yang terpilih itu pula yang menjalankan kehendak dan keinginan rakyat menuju masyarakat dan negara yang demokratis. Lalu, apa benar bahwa para wakil rakyat itu menjadi lidah penyambung aspirasi rakyat? Apa benar juga sang pemimpin yang terpilih itu menjalankan kehendak rakyatnya? Kenyataannya justru berbicara lain. Alih-alih membela kepentingan rakyat, para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih selama ini justru lebih banyak mengagendakan kepentingan pribadi, keluarga, atau paling banter partainya. Rakyat sendiri, habis manis sepah dibuang.

Akan tetapi, apa itu alasannya sehingga kita berlepas diri? Tentu saja bukan. Kita yang mengaku Muslim—yang menaati Allah Swt. dan Rasul-Nya, serta yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah itu sebagai rujukan dalam seluruh aspek kehidupan—harus memperhatikan beberapa kenyataan-kenyataan berikut ini:

Pertama, demokrasi merupakan sistem kufur yang dibangun berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan. Seluruh perkara di dalam demokrasi itu berasal dari—dan ditujukan pada—manusia, bukan dari dan bagi Allah Swt. Manusia dianggap sebagai sumber tasyrî‘ (perundang-undangan). Merekalah yang mengeluarkan peraturan terhadap seluruh urusan kehidupan mereka, dengan metode yang mereka pilih. Hal ini merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan bertentangan dengan akidah Islam secara total. Allah Swt. berfirman:

]أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ[

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam. (QS al-A‘raf [7]: 54).

Demokrasi sama artinya dengan mengabaikan otoritas Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagai Syâri‘ (Pembuat hukum), dan digantikan oleh manusia (rakyat) sebagai pihak yang berdaulat. Ini sesuai dengan prinsip sekularisme (pemisahan agama dengan urusan kehidupan; pemisahan agama dengan arena politik; pemisahan agama dengan urusan-urusan dunia) yang selama ini dipropagandakan dan dijalankan oleh peradaban Barat yang kafir. Wajar jika negara-negara Barat selalu men-support jargon-jargon demokrasi dan mendorong Pemilu yang demokratis (menurut mereka). Dengan demikian, pesta demokrasi hakikatnya adalah pesta kekufuran yang melibatkan rakyat seluruh negeri.

Kedua, sebagian parpol Islam yang terlibat dalam Pemilu mengatakan bahwa kaum Muslim mampu mencapai penerapan hukum Islam melalui jalan usulan untuk penerapan syariat di parlemen. Pandangan semacam ini tidak bisa diterima. Sebab, hal itu berarti tidak menjadikan Islam sebagai asas karena Islam adalah dîn yang wajib kita terapkan, tetapi karena diterima oleh mayoritas masyarakat. Apakah seorang Muslim dibolehkan menjadikan dîn Allah sebagai sasaran dari hawa nafsu manusia dan bergantung pada apakah manusia mau menerima atau menolaknya? Itu jika pandangan orang-orang yang mempropagandakan penerapan Islam untuk menjadi mayoritas di parlemen bisa ditoleransi. Namun, kenyataannya, sistem (pemerintahan) kufur di Dunia Islam tidak mentoleransi hal itu. Sistem demokrasi memang menghendaki adanya orang-orang yang mengangkat syiar-syiar Islam di parlemen sebagai bentuk permainan peran oposisi, untuk menyempurnakan pentas demokrasi, dan menampakkan adanya pluralitas seluruh kelompok-kelompok politik dalam setiap keputusan yang mereka ambil. Seandainya parpol Islam berhasil seluruhnya di dalam pemilihan, mereka tetap tidak akan berhasil mencapai jumlah yang diminta untuk menerapkan Islam di suatu negeri. Bagaimana mungkin hal itu terjadi, sementara mereka sendiri telah bersumpah sebelum masuk (menjadi anggota) parlemen untuk menjaga undang-undang dasar yang ada?! Kenyataan-kenyataan yang ada, dengan keberhasilan partai-partai politik yang mengangkat syiar-syiar Islam, seperti yang ada di Turki, hal itu berhasil setelah mereka memberikan jaminan (garansi) terhadap para penguasa untuk tetap menjaga sekularisme di negara itu. Jika hal itu tidak dilakukan, tentu saja mereka tidak diizinkan untuk mengikuti Pemilu. Bukti nyata atas hal itu adalah apa yang terjadi di Aljazair.

Ketiga, banyak parpol Islam yang bersemangat untuk terlibat dalam Pemilu membenarkan perbuatan mereka, dengan dalih, kita tidak ingin membiarkan lapangan ini untuk orang-orang yang tidak bertakwa; dan kami memilih orang yang lebih baik (salih) untuk aktivitas tersebut. Apa jadinya, menurut mereka, apabila pemerintahan dan kekuasaan dikuasai oleh orang-orang kafir, orang-orang zalim, munafik, dan fasik? Kami mengatakan kepada mereka, yang mengatakan itu, bahwa memilih yang lebih baik bisa dilakukan terhadap perbuatan yang direstui oleh Islam. Namun, jika perbuatan itu diharamkan, bahkan keharamannya amat besar di sisi Allah, yaitu bersandar pada selain syariat Allah, maka tidak dibolehkan memilih yang baik (salih) atau pun yang tidak baik untuk itu. Orang-orang yang salih lagi bertakwa tidak akan mengajukan diri mereka menjadi wakil dari manusia dalam hal pembuatan hukum-hukum selain Allah!

Jika demikian kenyataannya, apa sebenarnya yang dicari oleh kaum Muslim? Lalu, bagi parpol Islam, apa yang sebenarnya yang Anda cari?
Selengkapnya...


Sabda Rasulullah SAW :

"Di tengah-tengah kalian terdapat masa KENABIAN yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa KEKHILAFAHAN yang mengikuti Manhaj Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya Kemudian akan ada masa KEKUASAAN YANG ZALIM yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa KEKUASAAN DIKTATOR (kuku besi) yang menyengsarakan yang berlangsung selama Allah mengkehendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Selanjutnya akan muncul kembali masa KEKHILAFAHAN yang mengikut MANHAJ KENABIAN." Setelah itu Beliau diam. (HR Ahmad).

Friends

 

Copyright © 2009 by Tiada Kemulian Tanpa Islam