Minggu, 31 Mei 2009

KAIDAH BERPOLITIK


Menjelang deklarasi capres dan cawapres baru-baru ini kita menyaksikan dagelan politik yang menyedihkan sekaligus memalukan. Setelah mengkritik habis, marah-marah, karena SBY akhirnya memilih Budiono sebagai cawapres, detik-detik akhir sejumlah partai akhirnya tetap bergabung ke kubu SBY. Jelas inkonsisten dan mencerminkan kuatnya magnet kekuasaan dalam politik kita.
Kita mengerti, kekuasaan itu menawarkan segala hal, terutama uang dan jabatan politik. Namun, kalau itu membuat kita plin-plan dan menggandaikan idiologi kita, tentu sangat kita sayangkan. Sebab, sikap Istiqamah untuk berpegang teguh pada kebenaran dan Ideologi Islam adalah hal penting bagi setiap Muslim, sekaligus kunci kemenangan dakwah.


Dengan sikap plin-plan seperti ini partai-partai telah memberikan sebuah edukasi politik terhadap rakyat, bahwa dalam berpolitik yang penting adalah KURSI, persoalan ideology tidak penting. Padahal Ideologi (mabda’) adalah prinsip penting yang menjadi pedoman dasar dan yang mengarahkan partai dan perjuangannya.
Dalam konteks perjuangan penegakan penegakan Syariah Islam, sikap plin-plan ini akan membuat umat bertanya-tanya. Begitu murahnya mabda’ (Ideologi) dibandingkan dengan KURSI? Sungguh berbahaya kalau umat kemudian menjadikan sikap plin-plan partai Islam menjadi sikap mereka. Bagaimana kita menginginkan umat bisa berpegang teguh dan kokoh pada Akidah dan Syariah Islam, sementara partai politik yang mengklaim menyerukan syariat Islam ternyata plin-plan?
Di sinilah, sangat penting untuk menyegarkan kaidah-kaidah berpolitik dalam Islam. Pertama : kaidah as-siyadah li asy syar’I; kedaulatan di tangan hokum syariah (Al Qur’am dan sunnah). Kaidah inilah yang paling utama. Seluruh aktivitas politik kita seharusnya berpedoman pada hukum Syariah. Apa saja yang dilarang Allah Swt harus kita tinggalkan. Sebaliknya, apa yang dia diperintahkan harus dengan segera kita laksanakan.
Terikat dengan hukum hukum syariah adalah prinsip penting, kaidah Ma la yudraku kulluhu la yutraku jalluhu dalam masalah ini tidak bisa digunakan. Kaidah ini tidak boleh membuat kita toleran dengan pelanggaran hukum syariah atau menjadi pembenaran untuk menunda kewajiban. Dala melaksanakan kewajiban dan menjauhkan larangan harus harus sesegera mungkin, tidak boleh ditunda-tunda, atau dilaksankan bertahap (tadarruj).(lihat QS Ali Imran [3]:133; Tafsir Al-Baghawi,II/103).
Apalagi kaidah hukum syariah bukanlah dalil. Yang menjadi dalilhanyalah Al Qur’an, As-Sunnah , Ijmak sahabat dan Qiyas Syar’i. Jadi, kalau sebuah Akidah menyebabkan pelanggaran terhadap hukum syariah (bertentangan dengan dalil Al-Quran dan As-Sunnah) berarti ada yang salah. Bisa jadi kaidahnya salah satu atau pnggunaannya yang keliru.
Kedua, Haytsuma yakunu as-syar’u takunu mashlahah; dimana ada hukum syariah di situ ada ada kemaslahatan. Kemaslahatan (kebaikan) adalah sesuatu yang kita peroleh setelah kita menjalankan hukum syariah. Sebaliknya, kemadaratan (bahaya, keburukan) akan kita peroleh kalau kita peroleh kalau kita melanggar hukum syariah. Bukan sebaliknya.
Sahabat telah memberikan contoh kepada kita. Rafi’ bin Khadij berkata, pamannya berkata ketika Rasul saw melarang mereka dari muzara’ah/mukhabarah, yaitu menyewakan laha pertanian. “Rasulullah saw, telah melarang kami dari satu perkara yang bermanfaat bagi kami, tetapi ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya lebih bermanfaat bagi kami.”(HR.Muslim,Abu Dawud An-Nasa’I dan Ahmad).
Menjadikan kemaslahatan sebagai panglima dalam politik sangat berbahaya. Apapun bisa dibenarkan dengan alasan kemaslahatan meskipun bertentangan dengan hukum syariah. Kalau kita bergabung dengan pemerintah sekular yang tidak menjalankan syariah Islam, ka nada manfaatnya: kita bisa mendapatkan fasilitas ekonomi, beberapa kepentingan umat Islam bisa kita capai, dan lain-lain. Pernyataan seperti ini tertolak dalam pandangan hukum syariah. Imam Ibnu Katsir, saat menafsirkan surat Ali Imran [3]: ayat 104, mengutip riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir, bahwa Rasulullah saw saat membaca ayat tersebut bersabda,” Al-Khayr (kebaukan) adalah mengikuti Al Qur’an dan Sunnahku.
Menjadikan kemaslahatan sebagai panglima politik jugamembuat kita plin-plan dan istiqamah. Sebab, penilaian kemaslahatan politik, kalau berdasarkan akal manusia, pasti berbeda-beda dan berubah-ubah mengikuti perkembangan politik. Inilah yang membuat menapa partai-partai Islam tampak kebingungan untuk megambil sikap dalam politik. Kita akan konsisten dan tegas, tidak bingung kalau kita menjadikan hukum syariah sebagai panglima politik kita.
Ketiga, al-ghayah la tbarriru al-washillah; tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Ini sangat berbeda dengan kaidah berpolitik dalam sistem kapitalis. Dalam prinsip politik kapitalis, segala cara boleh dilakukan asal bisa mencapai tujuan (the end justifies the means). Inilah prinsip rumusan Niccolo Machiaveli dlm karyanya The Prince (abad ke-16). Tidak heran kalau dalam iklim berpolitik seperti ini, tipu-menipu, penghianatan serta saling menjatuhkan dan menghancurkan dalam berpolitik menjadi biasa.
Dalam islam, seluruh perbuatan ita harus terikat dengan hukumsyariah baik dalam hal pemikiran(fikrah), tujuan (ghayah), metode (thariqah) sampai pada tingkat strategi yang teknis (uslub). Pernyataan ,”Ini kan hanya strategi dala politik,” adalah tertolak jika bertentangan dengan syariah atau melanggar yang haram. Karena itu. Tidak boleh membenarkan pemimpin wanita dalam pemerintahan, berkoalisi dengan partai sekuler, menyembunyikan kewajiban menegakkan syariah Islam dan Negara Islam, dengan alasan itu sekedar strategi politik.
Kemenangan dari Allah Swt,hanya akan kita peroleh kalau kita berhukum dengan hukum syariah. Mustahil dengan strategi yang melanggar hukum syariah kemenangan hakiki berupa tegaknya kekuasaan Islam untuk menjalankan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) akan tercapai.
Ya Allah kami telah menyampaikan ajaranmu, berikanlah kepada kami kemudahan/ kekuatan agar ajaran-ajaranmu dapat diterapkan di muka bumi ciptaanmu ini….Ya Allah kabulkan lah permohonan kami sebagaimana mudahnya Engkau mengatur puluhan ribu planet di alam semesta ini……Amien…………….


Selengkapnya...

Jumat, 15 Mei 2009

Syariah Tak Laku?


Gegap gempita Pemilu Legislatif usai sudah. Namun, gebyar pesta demokrasi itu belum redup. Masih ada hajatan besar yang gaungnya makin nyaring terdengar, yakni Pemilihan Presiden (Pilpres). Parpol-parpol besar dengan perolehan suara signifikan pada Pemilu Legislatif lalu kini mulai berebut pengaruh untuk menggadang calon presiden dan wakilnya. Parpol berasas Islam tinggal memilih berkoalisi dengan parpol sekular yang mana. Ya, mereka berebut menggandeng parpol sekular untuk menyongsong Pilpres. Maklum, suara parpol Islam tak cukup signifikan untuk mengusung sendiri calon presiden dan wakil presiden. Kalau menghendaki posisi strategis, koalisi mesti ditempuh.

Memang, seperti pada Pemilu yang sudah-sudah, lagi-lagi parpol Islam kalah suara dibandingkan dengan parpol sekular. Hal ini memunculkan anggapan bahwa syariah Islam yang diusung parpol Islam memang tak laku dijual. Masyarakat tidak menyambut seruan parpol Islam.

Tentu saja, kekalahan parpol Islam dari parpol sekular bukan gambaran bahwa Islam tak mendapat tempat di negeri ini. Masalahnya adalah, apakah parpol-parpol Islam yang ada sudah benar-benar memperjuangkan Islam? Benarkah parpol-parpol Islam itu memang memperjuangkan sesuatu yang beda dengan parpol-parpol sekular lainnya?

Nyatanya, meski berasas Islam, tak satu pun parpol atau caleg yang melirik syariah Islam kâffah sebagai platform politiknya. Tidak ada satu parpol pun yang gencar “menjual” syariah Islam kepada masyarakat selama kampanye. Tidak ada yang menawarkan Islam sebagai solusi. Hal ini tentu bukan karena ideologi Islam tak layak, tetapi memang tak ada yang berani ‘menjualnya’. Takut tidak laku. Alasannya, masyarakat belum siap.

Keraguan para tokoh Islam dan elit politik dalam mengusung ideologi Islam tergambar, misalnya, dalam ungkapan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Ia bahkan menilai gagasan syariah Islam dan Khilafah sebagai produk yang tidak laku di masyarakat.

Bahkan partai politik berbasis massa kader Islam seperti Partai Keadilan sejahtera (PKS) pun, tidak secara terbuka memperjuangkan syariah Islam. Tokoh Zulkiflimansyah mengatakan PKS tidak jualan syariah. Padahal tadinya banyak umat Islam yang berharap PKS mampu menjadi lokomotif bagi kebangkitan Islam ideologi di Tanah Air.


Terkurung dalam Penjara Sekularisme

Kalau diteliti, hampir semua parpol berasas Islam terjebak dalam penjara sekularisme. Sekalipun tampak “islami”, hal itu cuma sebatas di atas kertas; sebatas tertuang dalam misi dan visi, AD/ART atau platform parpol.

Ada parpol yang memperjuangkan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., berakhlak mulia, sejahtera lahir dan batin, adil dan makmur yang merata serta maju; berkhidmat dan bertanggung jawab bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya dengan penuh ampunan dan ridha Allah SWT.

Sayangnya, tidak ada rincian bagaimana cita-cita mulia di atas bisa diwujudkan, misalnya dengan mengusung konsep-konsep seputar sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem peradilan, dll. Jika parpol tersebut sudah memiliki konsep lengkap, mestinya itu yang ditawarkan secara terbuka kepada masyarakat saat kampanye. Nyatanya, sepanjang kampanye tidak ada yang menawarkan syariah Islam yang komprehensif itu.

Tidak ada tawaran baru mengenai konsep mengelola negara berdasar ideologi Islam secara menyeluruh. Semua tetap sama, berjalan pada koridor lama, yakni melanggengkan sistem demokrasi. Sekadar slogan-slogan bahwa syariah Islam solusi mengatasi berbagai persoalan bangsa pun tak muncul selama kampanye.

Walhasil, Islam lagi-lagi hanya muncul sebatas substansinya. Itulah yang kebanyakan diusung parpol Islam. Dengan kata lain, yang diperjuangkan hanyalah terwujudnya nilai-nilai moral dan kebaikan semata; apapun bentuk negaranya tidak perlu dipersoalkan. Bahkan ada yang menganggap bentuk negara ini sudah final. Yang penting nilai-nilai kebaikan, keadilan, kejujuran dll bisa terwujud.

Jadi, yang ada sebatas perjuangan moral dan etika yang dibungkus dengan kemasan Islam. Siapapun pejabat yang memerintah, yang penting bisa merefleksikan nilai-nilai Islam, yaitu amanah dan berakhlaqul karimah. Padahal sudah terbukti, dalam sistem sekular, nilai-nilai di atas tidak pernah tercapai secara hakiki. Pejabat sebersih apapun, kadang tanpa sadar terciprat kotornya sistem.

Ada pula parpol Islam yang menyerukan sebatas diakuinya kembali Piagam Jakarta, yang mencantumkan kewajiban melaksanakan syariah Islam bagi pemeluknya. Syariah apa saja yang dimaksud? Apakah mencakup sistem ketatanegaraan secara menyeluruh? Apakah termasuk sistem ekonomi Islam, peradilan, sosial dll? Tidak ada rincian.

Ironisnya, ada parpol berbasis massa umat Islam yang malah bersifat terbuka; bersifat lintas agama, suku, ras dan lintas golongan. Ini dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan.

Bahkan tak sedikit aktivis parpol seperti ini yang merupakan penganut paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sipilis); paham yang sudah diharamkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu. Mereka, misalnya, para pejuang gender seperti Nursyahbani dan Rieke Diah Pitaloka. Bahkan ada partai berbasis massa Islam yang tanpa sungkan menggagas musisi berhaluan Yahudi, Dhani Prasetyo, sebagai cawapres.

Benar-benar mereka tidak bisa diharapkan untuk kebangkitan umat Islam. Parpol seperti ini,jelas tak mungkin memasarkan syariah Islam karena kadernya sendiri orang yang phobi terhadap syariah Islam.

Parpol Islam lain mengklaim sebagai wadah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang islami, sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik umat Islam dalam upaya memperkuat demokrasi. Ya, lagi-lagi yang diperjuangkan adalah demokrasi. Bahkan dengan sifatnya yang terbuka, calegnya pun ada yang beragama Katolik atau bahkan berhaluan sosialis/kiri seperti Dita Indah Sari. Bagaimana mungkin tokoh seperti ini akan diharapkan menyuarakan syariah Islam?

Asas Islam kerap pula muncul sebatas simbol, seperti gambar lima bintang yang menunjukkan rukun Islam yang lima; gambar Ka’bah sebagai kiblat umat Islam; gambar bulan-bintang yang identik dengan masjid; dan seterusnya. Sejatinya hal itu tidak masalah, asal parpol Islam tetap mengusung syariah Islam sebagai ideologi parpol. Sayangnya itu tidak mencuat.

Ada pula yang hanya istilah-istilahnya saja yang diganti dengan bahasa Arab. Islam masih dianggap kompatibel dengan demokrasi sehingga itulah yang diperjuangkan. Misalnya, DPR dianggap sebagai majelis umat karena ada aspek musyawarah. Presiden tak ubahnya khalifah sebagai pemimpin tertinggi umat hingga keluar fatwa bahwa memilih presiden wajib hukumnya, haram bagi yang golput. Menteri dianggap identik dengan muawin (pembantu) khalifah. Demikian seterusnya.

Lebih aneh lagi, tak sedikit parpol yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sekular. Bahkan karena begitu tingginya keinginan untuk dianggap inklusif, berkolaborasi dengan parpol sekular pun tak masalah. Dalam beberapa Pilkada, misalnya, parpol Islam tak segan menggandeng parpol sekular. Para elit parpol seperti ini selalu mengelak jika ditodong pertanyaan, “Apakah akan menerapkan syariah Islam?”

Bahkan mereka tak segan memberi penghargaan kepada tokoh-tokoh pengusung sipilis. Mereka, misalnya mengganjar award kepada Munir (alm.) dan Nurcholis Madjid. Bahkan tokoh Orde Baru Soeharto yang sangat represif terhadap umat Islam dan anti-syariah disanjung sebagai ‘Bapak Bangsa’. Sungguh sangat melukai umat Islam.

Sikap-sikap seperti ini jelas inkosisten dan makin menjauhkan umat Islam dari parpol Islam. Mengklaim diri sebagai parpol Islam, tetapi mengapa justru berkolaborasi dengan sekularisme?


Pentingnya Edukasi Syariah

Rendahnya dukungan umat Islam terhadap parpol Islam yang tercermin dari kekalahannya atas parpol sekular pada Pemilu lalu bukanlah parameter untuk mengukur bahwa syariah Islam tidak mendapat tempat di hati masyarakat.

Pengkerdilan syariah Islam dengan menuduhnya sebagai komoditi yang tidak laku jelas salah alamat. Ibarat merek, syariah Islam secara kâffah dan rinci memang belum dikenalkan secara sungguh-sungguh kepada mayoritas masyarakat. Masyarakat hanya mendengar sayup-sayup tentang syariah, belum memahaminya 100 persen.

Di kalangan awam, syariah Islam kerap diidentikkan dengan hukum potong tangan, rajam atau qishâsh. Di kalangan pengusaha atau pelaku ekonomi, syariah Islam berarti perbankan syariah yang tanpa riba. Di kalangan pekerja sosial, syariah Islam sekadar mengurusi zakat, infak dan sedekah guna pemberdayaan umat. Di kalangan perempuan, syariah Islam identik dengan kewajiban jilbab dan kebolehan poligami. Itu saja. Akhirnya, tak sedikit masyarakat yang masih salah kaprah dengan syariah Islam. Bahkan sebagian dari mereka malah phobi terhadap syariah Islam. Itulah yang menjadi salah satu alasan parpol Islam enggan mengusung syariah Islam.

Jadi, ibarat pepatah: ‘tak kenal maka tak sayang’. Edukasi syariah Islam belum tuntas dan belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Pemahaman masyarakat terhadap syariah Islam belum tuntas. Karena itu, menjadi tugas para kader parpol yang mengklaim dirinya berasas Islam untuk meningkatkan edukasi tentang syariah kepada masyarakat. Para ulama, kiai, pimpinan parpol Islam dan kadernya serta para pengemban dakwah di manapun berada agar secara sungguh-sungguh memahamkan masyarakat dengan Islam ideologis.

Upaya itu tentu tidak cukup dilakukan lima tahun sekali menjelang Pemilu saja, yakni saat kampanye. Apalagi bagi parpol yang baru berdiri. Sangat tidak cukup waktu untuk menjajakan syariah Islam kepada masyarakat. Bahkan kadernya sendiri belum tentu kâffah pemahaman Islamnya. Karena itu, edukasi syariah ini idealnya dilakukan terus-menerus, setiap hari dan kepada siapa saja, baik Muslim maupun non-Muslim.

Bisa dibayangkan, jika parpol-parpol di atas, ditambah para pengemban dakwah, berlomba-lomba mengkampanyekan syariah Islam, proses penyadaran akan sistem Islam yang ideal dan rinci akan cepat dipahami masyarakat.

Dijamin, jika masyarakat paham mendetail tentang Islam ideologis, insya Allah tidak akan ada yang antipati terhadap syariah Islam. Bahkan dengan kesadaran penuh mereka akan menjadi pejuang syariah secara ikhlas dan sukarela, kecuali yang di hatinya memang sudah tertanam syariahphobia dan virus anti-Islam sejenisnya.


Khatimah

Saat ini, parpol-parpol Islam umumnya enggan menawarkan sistem Islam kâffah karena khawatir tidak mendapat dukungan masyarakat. Tanpa mengusung syariah Islam saja suaranya kalah dibandingkan dengan parpol sekular, apalagi jika mengusung syariah Islam. Begitu logika mereka.

Padahal mestinya dibalik, tanpa mengusung syariah parpol Islam kurang mendapat dukungan umat, pastinya jika mengusung syariah Islam akan mendapat apresiasi luas.

Yakinlah, selama ini umat Islam sejatinya menunggu-nunggu parpol berasas Islam yang benar-benar murni memperjuangkan aspirasi Islam. Jika mereka kemudian melihat parpol-parpol Islam tak mengusung sesuatu yang beda dibanding parpol sekular, untuk apa memberikan dukungan? Toh pilihannya sejatinya sama saja. Jadi, jangan salahkan umat jika parpol sekular kembali berkibar.

Lagipula sudah menjadi tabiat sistem demokrasi untuk tidak membiarkan syariah Islam eksis. Sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa memperjuangkan Islam melalui parpol dalam hiruk-pikuk pesta demokrasi tak mengantarkan umat pada tujuan terwujudnya sistem Islam secara kâffah. Inilah yang menjadi pangkal persoalan terbesar umat Islam yang harusnya menjadi bahan introspeksi semua pihak

Selengkapnya...

Rabu, 06 Mei 2009

HIDAYAT PROMOSI PKS KE PENGUSAHA TIONGHOA


Seorang tetua komunitas Tionghoa lantas menanyakan apakah PKS akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam jika PKS menang Pemilu. Hidayat tegas menjawab, "Tidak,".

Anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, mempromosikan partainya di kalangan pengusaha etnis tionghoa.

Para pengusaha itu bertanya beragam hal, mulai dari peluang Hidayat menjadi calon wakil presiden, hingga apakah PKS ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.

‘Pemilu di Indonesia tidak seharusnya membuat pilu. Tidak boleh ada diskriminasi suku, agama, maupun ras,’ kata Hidayat, Ahad (3/4) siang dalam acara Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia (Sakti).

Hidayat menyampaikan pidatonya selama 30 menit di depan ratusan pengusaha. Usai berpidato, sejumlah pengusaha mengangkat tangannya, ingin bertanya pada mantan presiden PKS itu.

Ada yang bertanya komposisi kabinet, jika PKS menjadi cawapres. PKS mengincar kursi menteri apa saja. Hidayat tidak menjawab pertanyaan ini. Ia berdalih, PKS tidak dalam posisi menentukan kabinet.

‘Tapi tentu kalau 2014 PKS memenangi Pemilu, saya akan jawab pertanyaan itu,’ katanya.

Seorang tetua komunitas Tionghoa lantas menanyakan apakah PKS akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam jika PKS menang Pemilu. Hidayat tegas menjawab, ‘Tidak,’.

‘PKS adalah organisasi politik yang bersifat nasional. Kami mengikuti hukum di Indonesia yaitu UU Partai Politik dan UUD 1945,’ sambungnya.

Hidayat lalu menceritakan perjumpaannya dengan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew beberapa waktu lalu. Lee ternyata menanyakan hal serupa pada Hidayat.

Hidayat menjawab, apakah Lee melihat ada hal-hal diskriminatif di DKI Jakarta sejak 2004 - 2009? Sebab di lima tahun lalu PKS menang Pemilu Legislatif di DKI Jakarta.

‘Apakah pemprov menerbitkan perda yang membuat masyarakat Islam menjadi ekslusif? Tidak! Apakah pemprov menerbitka perda yang membuat seluruh pengusaha etnis tionghoa tak boleh berusaha di Jakarta? Tidak!’.

Lee tampak belum puas. Ia kembali bertanya, bagaimana kebijakan PKS di tingkat nasional maupun eksekutif. Hidayat membalas, dirinya adalah Ketua MPR. Apakah sejak dirinya menjabat terbit aturan MPR yang diskriminatif? Tidak. Begitu pula soal tiga menteri PKS di Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Menpera, Menpora, dan Mentan. ‘Apakah ada perumahan yang dijual hanya ke orang Islam? Apakah olahraga hanya memprioritaskan atlet muslim? Apakah bantuan pertanian hanya ke petani-petani beragama Islam? Kan tidak. Semua golongan mereka layani dengan terbuka,’ kata Hidayat disambut tepuk tangan. evy/fif (Republika, 4 Mei 2009).

Sumber : http://republika.co.id/berita/47980/Hidayat_Promosi_PKS_ke_Pengusaha_Tionghoa
Berita di atas adalah bukti yang sangat jelas, yang menunjukkan bahwa :

1. Hidayat Nur Wahid hanya menawarkan PKS, bukan menawarkan Islam, atau menawarkan Syariah Islam.

2. Hidayat Nur Wahid dan partainya (PKS) tidak memperjuangkan Islam, tidak memperjuangkan Syariah Islam, dan tidak memperjuangkan Khilafah (negara Islam). Hidayat Nur Wahid hanya ingin melestarikan sistem demokrasi-sekuler yang ada. Padahal sistem demokrasi-sekuler ini secara normatif adalah sistem kufur, yang sangat bertolak belakang dengan Islam. Secara empiris-implementatif, sistem ini terbukti bobrok dan gagal.

3. Hidayat Nur Wahid semestinya menjelaskan Syariah Islam apa adanya, menerangkan bagaimana perlakuan Syariah Islam terhadap warga negaranya, baik muslim maupun non muslim. Seharusnya itu yang dilakukan Hidayat, agar non muslim paham dan tidak takut terhadap Syariah Islam. Tapi Hidayat malah tidak berani melakukannya.

4. Hidayat Nur Wahid lebih takut kepada pengusa non muslim daripada takut kepada Allah, dengan tidak menjelaskan wajibnya penerapan Syariah Islam dan wajibnya Khilafah kepada non muslim.

5. Hidayat Nur Wahid secara tidak langsung mengakui bahwa kalau berdiri negara Khilafah (negara Islam), maka akan terjadi diskriminasi terhadap non muslim.
Selengkapnya...

Jumat, 01 Mei 2009

Apa Itu KHILAFAH? Dalil-dalilnya ada gak Sich....!


Definisi Khilafah

Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam).

Dari definisi ini, jelas bahawa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia. Kerana nas-nas syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.

Apa Hukumnya Mendirikan Khilafah?

Kewajiban tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:

"Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…" (TMQ. Ali-’Imran [3]: 103).

Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda: "Barangsiapa mendatangi kalian - sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah) - dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jemaah kalian, maka bunuhlah dia!" [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya." [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksima mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].

Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin - Anshar dengan Yahudi: "Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad - Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib - serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka - bahawa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain..." (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).

Nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajipan bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam (hablullah) - bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang dicipta penjajah yang kafir - di bawah satu kepemimpinan, iaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’ie bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, iaitu hukuman mati.

Selain al-Quran dan as-Sunnah, Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata,"Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam)." Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’ di kalangan mereka.

Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas 'sumber hukum keempat' untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata,"Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang…Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!"

Ertinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)

Jelaslah bahawa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajipan syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Kerana itu, tidak menghairankan bila para imam-imam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahawa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah saja, tidak boleh lebih:

"...para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- bersepakat pula bahawa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat mahupun tidak." (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416) Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbezaan pendapat di kalangan imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.

Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah

Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’ie dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’ie yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut :

Dalil Al-Quran

Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian." (TMQ. An-Nisaa` [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, bererti perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk mentaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk mentaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.

Maka menjadi jelas bahawa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, bererti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, iaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’ie).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

"Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 48).

"Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (TMQ. Al-Ma’idah [5]: 49).

Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahawa, perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khithabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.

Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, iaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.

Dalil As-Sunah

Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, nescaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." [HR. Muslim].

Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajipan mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.

Rasulullah SAW bersabda: "Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]

Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak." Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajipan mereka." [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].

Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.

Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Bererti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.

Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].

Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini bererti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.

Dalil Ijma’ Sahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahawa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.

Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajipan menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajipan dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajipan menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajipan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbezaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW mahupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh kerana itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajipan mengangkat Khalifah.

Dalil Dari Kaedah Syar’iyah

Ditilik dari analisis kaedah fiqih , mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fiqh dikenal kaedah syar’iyah yang disepakati para ulama yang berbunyi :

maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib

"Sesuatu kewajipan yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya." Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaedah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.

Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahawa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.

Pendapat Para Ulama

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 362 :

"Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahawa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."

Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah 'termasuk Khawarij dan Mu’tazilah' tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoriti Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)."

Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib bukan haram apalagi bid’ah - dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja rujukan yang menunjukkan kewajiban Khilafah :

Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5,

Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19,

Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161,

Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62,

Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97,

Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,

Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264,

Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17,

Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,

Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205,

Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99,

Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26,

Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124,

Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248,

Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75,

Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61,

dan masih banyak lagi yang lainnya.

Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah --seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholis Madjid-- sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nas-nas syara’ yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya sampah yang kotor yang merupakan penyambung lidah kaum kafir penjajah dan agen-agennya yaitu para penguasa muslim yang zalim yang selalu memaksakan sekularisme kepada umat Islam dengan berbagai argumentasi palsu yang berkedok studi "ilmiah" atau studi "sosiohistori-objektif", dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Allah dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut. [ ]

Selengkapnya...

KOALISI PARPOL ISLAM DAN PARPOL SEKULER DALAM PANDANGAN ISLAM


Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi**

Pendahuluan
Pemilu legislatif telah digelar 9 April 2009 lalu dan hasilnya sudah diketahui, walau hanya berdasarkan quick count atau hasil rekapitulasi sementara KPU. Hasil pemilu ini lalu dijadikan dasar untuk membentuk koalisi antar parpol menuju Pemilu Presiden, baik koalisi sesama parpol sekuler maupun antara parpol sekuler dengan parpol Islam.

Koalisi sesama parpol sekuler mungkin bukan hal aneh. Tapi menjadi tidak wajar jika ada parpol Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Misalnya saja, koalisi PKS dengan Partai Demokrat, yang telah diresmikan Ahad lalu (26/04/09) (Koran Tempo, 27/04/09). Sebelumnya, Prof. Dr. Iberamsjah, Guru Besar Ilmu Politik UI, telah mengkritik tajam rencana koalisi PKS-Demokrat yang disebutnya aneh ini. Iberamsjah mempertanyakan dengan kritis,"PKS mewakili aspirasi umat Islam yang fanatik mendukung perjuangan rakyat Palestina dan sangat anti Zionis. Tiba-tiba berpelukan dengan Partai Demokrat yang sangat pro Amerika yang melindungi Zionis Yahudi. Bagaimana bisa?" (Sabili, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009, hal. 28).

Maka dari itu, sangat relevan umat Islam memahami dengan baik norma-norma ajaran Islam terkait dengan koalisi parpol seperti ini. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hukum syara' tentang koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler.

Pengertian dan Fakta Koalisi
Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121).

Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).

Dalam bahasa Arab, koalisi politik disebut dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu'ahadah) atau kesepakatan (mu'aqadah). Literatur yang sering ditunjuk untuk membahas tema koalisi politik dalam Islam antara lain kitab berjudul At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam, karya Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban (ulama Ikhwanul Muslimin).

Adapun koalisi yang dimaksud dalam tulisan ini, dibatasi pada koalisi antar parpol Islam dan parpol sekuler. Dengan mengamati realitas politik praktis, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler dapat didefinisikan secara umum sebagai penggabungan atau kerjasama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik, seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4) menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.

Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (partai sekuler) dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi - PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi - PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005; Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).

Pada masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga sering terjadi, seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar (Jurdi, 2009). Bahkan di Papua, PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).

Koalisi pragmatis model PKS itu mengingatkan orang pada koalisi Ikhwanul Muslimin dengan beberapa partai sekuler di Mesir. Ikhwanul Muslimin di Mesir pernah berkoalisi dengan Partai Wafd, yang merupakan gabungan partai komunis dan partai sekuler di Mesir. Ikhwan juga pernah berkoalisi dengan Partai Asy-Sya'ab, yaitu partai buruh dalam pemilu anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan unsur kekuatan nasionalis Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan dakwah Yaman juga pernah berkoalisi dengan partai berkuasa dan kemudian membentuk lembaga kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan dakwah Islam di Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk menjalankan urusan kenegaraan. (Anonim, 2004).

Inilah sekilas pengertian dan fakta koalisi parpol Islam dan parpol sekuler.

Hukum Koalisi Parpol Islam & Parpol Sekuler
Dengan meneliti fakta (manath) koalisi partai Islam dan partai sekuler yang ada, dapat diketahui bahwa tujuan utama koalisi tersebut secara garis besar ada 3 (tiga); Pertama, untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Kedua, untuk menentukan menteri-menteri dalam kabinet. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen.

Faktanya, dalam menjalankan sistem pemerintahan sekuler sekarang (republik), semua lembaga politik seperti presiden, menteri, dan parlemen, tidak menggunakan Syariah Islam sebagai hukum positif (yang berlaku), melainkan menggunakan hukum-hukum buatan manusia (hukum kufur/thaghut/jahiliyah).

Presiden dan para menteri, misalnya, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bukanlah menjalankan Syariah Islam, melainkan menjalankan UU buatan manusia (produk lembaga legislatif). Parlemen, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi UU yang tidak merujuk kepada wahyu sebagai sumber hukumnya, melainkan menjadikan manusia sebagai sumber hukumnya. Kalau ada legislasi atau penerapan Syariah, hanyalah sedikit atau parsial saja, dan merupakan perkecualian.

Padahal, Islam di satu sisi telah mewajibkan umatnya untuk menerapkan Syariah Islam, secara menyeluruh/kaffah dan bukan secara parsial. (Lihat QS An-Nisaa : 58; QS Al-Maaidah : 48-49; QS Al-Baqarah : 208; QS Al-Baqarah : 85).

Di sisi lain Islam telah mengharamkan umatnya untuk menerapkan hukum kufur, yaitu hukum selain Syariah Islam. (Lihat QS Al-Maaidah : 44, 45, 47; QS Al-Maaidah : 50; QS An-Nisaa` : 60; QS An-Nisaa` : 65).

Maka dari itu, mempertimbangkan tujuan-tujuan koalisi yang telah disebutkan di atas, dan pertentangannya yang nyata dengan syara', maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram secara syar'i.

Dalil-dalil keharamannya adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan qaidah syar'iyah. Rinciannya sebagai berikut :

Pertama, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler merupakan tolong menolong dalam perkara yang haram, yaitu tolong menolong yang mengarah kepada penerapan hukum-hukum kufur (bukan Syariah Islam), baik dalam kekuasaan eksekutif (presiden dan menteri) maupun legislatif (parlemen). Tolong menolong semacam ini telah dilarang oleh Allah SWT dengan firman-Nya :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS Al-Maaidah [5] : 2)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas :

يأمر تعالى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل الخيرات، وهو البر، وترك المنكرات وهو التقوى، وينهاهم عن التناصر على الباطل. والتعاون على المآثم والمحارم...

"Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (al-taqwa). Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-ma-atsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim)." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/12-13).

Berdasarkan keumuman ayat di atas, yaitu adanya larangan untuk tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim), maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini mengarah pada penerapan hukum kufur yang jelas-jelas haram.

Kedua, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam kepada aktivis parpol sekuler yang zalim. Padahal sikap cenderung ini dilarang oleh Allah SWT :

وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS Huud [11] : 113)

Kalimat "janganlah kamu cenderung" (wa laa tarkanuu), ada beberapa penafsiran. Kata Qatadah, bahwa maksudnya adalah janganlah kamu mencintai (laa tawadduuhum) dan janganlah kamu mentaati mereka (laa tuthii'uuhum). Kata Ibnu Juraij, maksudnya janganlah kamu condong kepada mereka (laa tumiilu ilaihim). Kata Abul 'Aliyah, maksudnya janganlah kamu rela dengan perbuatan mereka (laa tardhou a'maalahum). Mengomentari beberapa penafsiran ini, Imam Qurthubi menyimpulkan,"Semua penafsiran ini hampir sama maknanya." (Kulluha mutaqaaribah). (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).

Imam Al-Qurthubi selanjutnya menerangkan :

وأنها دالة على هجران أهل الكفر والمعاصي من أهل البدع وغيرهم، فإن صحبتهم كفر أو معصية، إذ الصحبة لا تكون إلا عن مودة...

"Ayat ini menunjukkan [keharusan] menjauhi orang kafir atau para pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid'ah dan yang lainnya, karena bersahabat dengan mereka adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan, mengingat persahabatan tak mungkin ada kecuali karena kecintaan…" (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).

Berdasarkan penafsiran ini, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler haram hukumnya. Sebab para aktivis parpol sekuler hakikatnya adalah orang-orang zalim atau para pelaku maksiat (ahlul ma'ashi), karena tidak menjadikan ajaran Islam sebagai asas dan pedoman dalam berparpol. Orang-orang sekuler ini mestinya dijauhi, bukan didekati atau malah diajak koalisi. Karena itu, berkoalisi dengan mereka, berarti melanggar perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu perintah untuk menjauhi para pelaku maksiat dengan cara tidak berkawan atau bersahabat dengan mereka.

Ketiga, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang. Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar bersegera --bukan berlambat-lambat-- dalam meninggalkan kebatilan dan melaksanakan ketaatan. Allah SWT berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS Ali 'Imraan [3] : 133).

Kata saari'uu (bersegaralah) artinya baadiruu (bercepat-cepatlah) atau saabiquu (berlomba-lombalah). (Tafsir Al-Baghawi, 2/103). Maka koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler haram karena bertentangan dengan perintah Allah ini, sebab koalisi seperti itu justru akan memperlama eksistensi sistem sekuler dan menunda semakin lama penerapan Syariah Islam yang menyeluruh.

Keempat, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan mengantarkan orang-orang mereka dalam jabatan-jabatan pemerintahan dalam sistem sekuler. Padahal telah ada hadis sahih yang melarang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan (penguasa) dalam sebuah pemerintahan yang menyalahi Syariah, seperti sistem demokrasi-sekuler sekarang. Sabda Nabi SAW :

ليأتين على الناس زمان يكون عليكم أمراء سفهاء يقدمون شرار الناس ، ويظهرون بخيارهم ، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن أدرك ذلك منكم ، فلا يكونن عريفا ولا شرطيا ولا جابيا ولا خازنا

"Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada atas kalian adalah pemimpi-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang mengutamakan manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang baik di antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat ('ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau menjadi penyimpan [harta]." (Musnad Abu Ya'la, 3/121; Ibnu Hibban no 4669; Kata Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah hadis no 360,"Hadis ini isnadnya sahih dan para perawinya tsiqat.").

Terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas, misalnya sabda Nabi SAW :
يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا

"Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fuqaha yang pendusta. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, atau menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka." (HR Thabrani, dalam Al-Mu'jam Al-Kabir, hadis no 156, 19/67).

Muhammad Syakir Al-Syarif menjelaskan pengertian kata "ariif" dan "jaabi" dalam hadis di atas sebagai berikut :

العريف : القيم الذي يتولى مسئولية جماعة من الناس...والجابي : الذي يتولى جباية الإموال من الناس كالمكوس ونحوها

"Yang dimaksud "ariif" adalah orang yang memegang tanggung jawab masyarakat umum [pejabat pemerintahan], sedang "jaabi" adalah orang yang bertugas memungut harta masyarakat seperti bea cukai dan yang semisalnya [petugas pajak]." (Muhammad Syakir Al-Syarif, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah, hlm. 181).

Berdasarkan hadis di atas, jelas koalisi parpol Islam dan parpol sekuler haram hukumnya. Karena koalisi ini di antaranya tujuannya adalah menempatkan kader-kader mereka untuk menjadi para pejabat publik, seperti presiden dan menteri, dalam sistem sekarang yang tidak menjalankan Syariah Islam. Posisi jabatan publik dalam sistem kufur seperti ini dilarang berdasarkan hadis di atas.

Kelima, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :

لا حِلْفَ فِي الإِسْلام

"Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam." (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).

Kata "hilfun" dalam bahasa Arab arti asalnya adalah perjanjian (mu'ahadah) atau kesepakatan (mu'aaqadah; ittifaaq) untuk saling memperkuat (at-ta'adhud) atau menolong (at-tasaa'ud). (Catatan kaki dalam Al-Mustadrak 'ala ash-Shahihain, Al-Hakim, 6/497).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan berkata :

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

"Yang dimaksud dengan "hilfun" yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syara'." (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 3/302).

Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini hakikatnya merupakan perjanjian yang dilarang oleh syara', karena bertujuan untuk menempatkan para kader mereka sebagai presiden dan/atau menteri (yang akan menjalankan hukum-hukum kufur).

Keenam, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian batil karena mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan syara'. Nabi SAW telah bersabda :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

"Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat." (HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).

Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam Fathul Bari berkata :

أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ

"Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara' adalah batil, meski banyak jumlahnya." (Ibnu Hajar Al-'Asqalani, Fathul Bari, 8/34).

Jadi, hadis di atas melarang setiap syarat yang bertentangan dengan syara'. Padahal suatu perjanjian termasuk koalisi antar parpol tidak akan terlepas dari syarat-syarat yang diajukan kedua belah pihak. Misalnya siapa yang akan menjadi calon presiden, siapa yang akan menduduki kementerian tertentu, dan sebagainya. Padahal syarat-syarat koalisi ini terkait dengan kekuasaan dalam sistem sekuler yang tidak menjalankan hukum Syariah Islam.

Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler hukumnya haram, karena koalisi ini merupakan suatu perjanjian dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan syara', yaitu memperoleh kedudukan dalam kekuasaan yang tidak menjalankan Syariah Islam.

Ketujuh, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan perantaraan (wasilah) kepada sesuatu yang haram, yaitu duduknya para kader mereka sebagai pejabat publik (seperti presiden dan menteri) dalam sistem demokrasi-sekuler, yang akan menjalankan hukum-hukum kufur. Kaidah syara' dalam masalah ini menetapkan :
الْوَسِيلَةُ إلى الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ
"Segala perantaraan yang akan membawa kepada yang haram, hukumnya haram." (Anwar Al-Buruq fi Anwa' Al-Furuq, 3/46)

Berdasarkan ketujuh dalil yang telah diuraikan di atas, maka hukum koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya adalah haram secara syar'i.

Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koalisi antara parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram. Karena koalisi seperti ini mengarah pada legislasi dan/atau penerapan hukum kufur, baik oleh eksekutif (Presiden dan para menteri dalam kabinet) maupun oleh legislatif (parlemen). Wallahu a'lam. [ ]

= = = =
*Makalah disampaikan dalam Dirosah Syar'iyah dengan tema "Pandangan Islam Terhadap Koalisi Parpol Islam dan Parpol Sekuler", diselenggarakan oleh Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, hari Rabu 29 April 2009, di Gedung Dakwah Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia, Crown Palace, Jl Prof Soepomo, Tebet, Jakarta.
**Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 1981, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).

Al-Ja'bah, Abdul Hamid, Al-Ahzab fi Al-Islam, (t.,tp : t.p)

Al-Mahmud, Ahmad, 1995, Ad-Da'wah ila Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah)

Al-Qaradhawi, Yusuf, 2000, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur`an dan Sunnah (Min Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam), Penerjemah Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar)

Al-Syarif, Muhammad Syakir, 1411 H, Haqiqah Al-Dimuqrathiyyah, (Tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit)

----------, 1428 H, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah : 'Ardh wa Naqd, (Riyadh : tanpa penerbit).

Anonim, 2004, Era Koalisi, mhttp://nurdpcpkssapeken.blogspot.com/2009/01/era-koalisi.html

Echols, John M. & Hassan Shadily, 1983, Cetakan XII, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).

Hilal, Iyad, 2002, Perjanjian-Perjanjian Internasional dalam Pandangan Islam (Al-Mu'ahadat al-Dauliyah fi al-Syariah al-Islamiyah), Penerjemah Mahbubah, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah).

Jurdi, Fajlurahman, 2009, Aib Politik Islam : Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan, (Yogyakarta : Antonylib).

Kiswanto, Heri, 2008, Gagalnya Peran Politik Kyai Dalam Mengatasi Krisis Multi Dimensional, (Yogyakarta : Nawesea Press).

Mashad, Dhurorudin, 2008, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar).

Mufti, Muhammad Ahmad, 2002, Naqdh Al-Judzur Al-Fikriyah li Al-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, (Tanpa tempat penerbit : Maktabah Al-Malik Fahad).

Murdiati, Dini, 1999, Faktor Determinan Koalisi Partai Politik, http://kampusciamis.com/content/view/71/1/

Poerwadarminta, W.J.S., 1982, Kamus Umum Bahasa Indinesia, (Jakarta : PN Balai Pustaka).

Ricklefs, M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (A History of Modern Indonesia Sinve 1200), (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta).

Sabili, "KPU Makin Tidak Cerdas", No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009

Thabib, Hamd Fahmi, Al-Mu'ahadat fi Asy-Syari'ah Al-Islamiyah, (t.p : Baitul Maqdis), 2002

Zallum, Abdul Qadim, 1990, Al-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, (Tanpa tempat penerbit : Hizbut Tahrir).

Selengkapnya...


Sabda Rasulullah SAW :

"Di tengah-tengah kalian terdapat masa KENABIAN yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa KEKHILAFAHAN yang mengikuti Manhaj Kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya Kemudian akan ada masa KEKUASAAN YANG ZALIM yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada masa KEKUASAAN DIKTATOR (kuku besi) yang menyengsarakan yang berlangsung selama Allah mengkehendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu saat Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Selanjutnya akan muncul kembali masa KEKHILAFAHAN yang mengikut MANHAJ KENABIAN." Setelah itu Beliau diam. (HR Ahmad).

Friends

 

Copyright © 2009 by Tiada Kemulian Tanpa Islam