Jumat, 15 Mei 2009

Syariah Tak Laku?


Gegap gempita Pemilu Legislatif usai sudah. Namun, gebyar pesta demokrasi itu belum redup. Masih ada hajatan besar yang gaungnya makin nyaring terdengar, yakni Pemilihan Presiden (Pilpres). Parpol-parpol besar dengan perolehan suara signifikan pada Pemilu Legislatif lalu kini mulai berebut pengaruh untuk menggadang calon presiden dan wakilnya. Parpol berasas Islam tinggal memilih berkoalisi dengan parpol sekular yang mana. Ya, mereka berebut menggandeng parpol sekular untuk menyongsong Pilpres. Maklum, suara parpol Islam tak cukup signifikan untuk mengusung sendiri calon presiden dan wakil presiden. Kalau menghendaki posisi strategis, koalisi mesti ditempuh.

Memang, seperti pada Pemilu yang sudah-sudah, lagi-lagi parpol Islam kalah suara dibandingkan dengan parpol sekular. Hal ini memunculkan anggapan bahwa syariah Islam yang diusung parpol Islam memang tak laku dijual. Masyarakat tidak menyambut seruan parpol Islam.

Tentu saja, kekalahan parpol Islam dari parpol sekular bukan gambaran bahwa Islam tak mendapat tempat di negeri ini. Masalahnya adalah, apakah parpol-parpol Islam yang ada sudah benar-benar memperjuangkan Islam? Benarkah parpol-parpol Islam itu memang memperjuangkan sesuatu yang beda dengan parpol-parpol sekular lainnya?

Nyatanya, meski berasas Islam, tak satu pun parpol atau caleg yang melirik syariah Islam kâffah sebagai platform politiknya. Tidak ada satu parpol pun yang gencar “menjual” syariah Islam kepada masyarakat selama kampanye. Tidak ada yang menawarkan Islam sebagai solusi. Hal ini tentu bukan karena ideologi Islam tak layak, tetapi memang tak ada yang berani ‘menjualnya’. Takut tidak laku. Alasannya, masyarakat belum siap.

Keraguan para tokoh Islam dan elit politik dalam mengusung ideologi Islam tergambar, misalnya, dalam ungkapan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin. Ia bahkan menilai gagasan syariah Islam dan Khilafah sebagai produk yang tidak laku di masyarakat.

Bahkan partai politik berbasis massa kader Islam seperti Partai Keadilan sejahtera (PKS) pun, tidak secara terbuka memperjuangkan syariah Islam. Tokoh Zulkiflimansyah mengatakan PKS tidak jualan syariah. Padahal tadinya banyak umat Islam yang berharap PKS mampu menjadi lokomotif bagi kebangkitan Islam ideologi di Tanah Air.


Terkurung dalam Penjara Sekularisme

Kalau diteliti, hampir semua parpol berasas Islam terjebak dalam penjara sekularisme. Sekalipun tampak “islami”, hal itu cuma sebatas di atas kertas; sebatas tertuang dalam misi dan visi, AD/ART atau platform parpol.

Ada parpol yang memperjuangkan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., berakhlak mulia, sejahtera lahir dan batin, adil dan makmur yang merata serta maju; berkhidmat dan bertanggung jawab bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya dengan penuh ampunan dan ridha Allah SWT.

Sayangnya, tidak ada rincian bagaimana cita-cita mulia di atas bisa diwujudkan, misalnya dengan mengusung konsep-konsep seputar sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem peradilan, dll. Jika parpol tersebut sudah memiliki konsep lengkap, mestinya itu yang ditawarkan secara terbuka kepada masyarakat saat kampanye. Nyatanya, sepanjang kampanye tidak ada yang menawarkan syariah Islam yang komprehensif itu.

Tidak ada tawaran baru mengenai konsep mengelola negara berdasar ideologi Islam secara menyeluruh. Semua tetap sama, berjalan pada koridor lama, yakni melanggengkan sistem demokrasi. Sekadar slogan-slogan bahwa syariah Islam solusi mengatasi berbagai persoalan bangsa pun tak muncul selama kampanye.

Walhasil, Islam lagi-lagi hanya muncul sebatas substansinya. Itulah yang kebanyakan diusung parpol Islam. Dengan kata lain, yang diperjuangkan hanyalah terwujudnya nilai-nilai moral dan kebaikan semata; apapun bentuk negaranya tidak perlu dipersoalkan. Bahkan ada yang menganggap bentuk negara ini sudah final. Yang penting nilai-nilai kebaikan, keadilan, kejujuran dll bisa terwujud.

Jadi, yang ada sebatas perjuangan moral dan etika yang dibungkus dengan kemasan Islam. Siapapun pejabat yang memerintah, yang penting bisa merefleksikan nilai-nilai Islam, yaitu amanah dan berakhlaqul karimah. Padahal sudah terbukti, dalam sistem sekular, nilai-nilai di atas tidak pernah tercapai secara hakiki. Pejabat sebersih apapun, kadang tanpa sadar terciprat kotornya sistem.

Ada pula parpol Islam yang menyerukan sebatas diakuinya kembali Piagam Jakarta, yang mencantumkan kewajiban melaksanakan syariah Islam bagi pemeluknya. Syariah apa saja yang dimaksud? Apakah mencakup sistem ketatanegaraan secara menyeluruh? Apakah termasuk sistem ekonomi Islam, peradilan, sosial dll? Tidak ada rincian.

Ironisnya, ada parpol berbasis massa umat Islam yang malah bersifat terbuka; bersifat lintas agama, suku, ras dan lintas golongan. Ini dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan.

Bahkan tak sedikit aktivis parpol seperti ini yang merupakan penganut paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sipilis); paham yang sudah diharamkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu. Mereka, misalnya, para pejuang gender seperti Nursyahbani dan Rieke Diah Pitaloka. Bahkan ada partai berbasis massa Islam yang tanpa sungkan menggagas musisi berhaluan Yahudi, Dhani Prasetyo, sebagai cawapres.

Benar-benar mereka tidak bisa diharapkan untuk kebangkitan umat Islam. Parpol seperti ini,jelas tak mungkin memasarkan syariah Islam karena kadernya sendiri orang yang phobi terhadap syariah Islam.

Parpol Islam lain mengklaim sebagai wadah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang islami, sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik umat Islam dalam upaya memperkuat demokrasi. Ya, lagi-lagi yang diperjuangkan adalah demokrasi. Bahkan dengan sifatnya yang terbuka, calegnya pun ada yang beragama Katolik atau bahkan berhaluan sosialis/kiri seperti Dita Indah Sari. Bagaimana mungkin tokoh seperti ini akan diharapkan menyuarakan syariah Islam?

Asas Islam kerap pula muncul sebatas simbol, seperti gambar lima bintang yang menunjukkan rukun Islam yang lima; gambar Ka’bah sebagai kiblat umat Islam; gambar bulan-bintang yang identik dengan masjid; dan seterusnya. Sejatinya hal itu tidak masalah, asal parpol Islam tetap mengusung syariah Islam sebagai ideologi parpol. Sayangnya itu tidak mencuat.

Ada pula yang hanya istilah-istilahnya saja yang diganti dengan bahasa Arab. Islam masih dianggap kompatibel dengan demokrasi sehingga itulah yang diperjuangkan. Misalnya, DPR dianggap sebagai majelis umat karena ada aspek musyawarah. Presiden tak ubahnya khalifah sebagai pemimpin tertinggi umat hingga keluar fatwa bahwa memilih presiden wajib hukumnya, haram bagi yang golput. Menteri dianggap identik dengan muawin (pembantu) khalifah. Demikian seterusnya.

Lebih aneh lagi, tak sedikit parpol yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sekular. Bahkan karena begitu tingginya keinginan untuk dianggap inklusif, berkolaborasi dengan parpol sekular pun tak masalah. Dalam beberapa Pilkada, misalnya, parpol Islam tak segan menggandeng parpol sekular. Para elit parpol seperti ini selalu mengelak jika ditodong pertanyaan, “Apakah akan menerapkan syariah Islam?”

Bahkan mereka tak segan memberi penghargaan kepada tokoh-tokoh pengusung sipilis. Mereka, misalnya mengganjar award kepada Munir (alm.) dan Nurcholis Madjid. Bahkan tokoh Orde Baru Soeharto yang sangat represif terhadap umat Islam dan anti-syariah disanjung sebagai ‘Bapak Bangsa’. Sungguh sangat melukai umat Islam.

Sikap-sikap seperti ini jelas inkosisten dan makin menjauhkan umat Islam dari parpol Islam. Mengklaim diri sebagai parpol Islam, tetapi mengapa justru berkolaborasi dengan sekularisme?


Pentingnya Edukasi Syariah

Rendahnya dukungan umat Islam terhadap parpol Islam yang tercermin dari kekalahannya atas parpol sekular pada Pemilu lalu bukanlah parameter untuk mengukur bahwa syariah Islam tidak mendapat tempat di hati masyarakat.

Pengkerdilan syariah Islam dengan menuduhnya sebagai komoditi yang tidak laku jelas salah alamat. Ibarat merek, syariah Islam secara kâffah dan rinci memang belum dikenalkan secara sungguh-sungguh kepada mayoritas masyarakat. Masyarakat hanya mendengar sayup-sayup tentang syariah, belum memahaminya 100 persen.

Di kalangan awam, syariah Islam kerap diidentikkan dengan hukum potong tangan, rajam atau qishâsh. Di kalangan pengusaha atau pelaku ekonomi, syariah Islam berarti perbankan syariah yang tanpa riba. Di kalangan pekerja sosial, syariah Islam sekadar mengurusi zakat, infak dan sedekah guna pemberdayaan umat. Di kalangan perempuan, syariah Islam identik dengan kewajiban jilbab dan kebolehan poligami. Itu saja. Akhirnya, tak sedikit masyarakat yang masih salah kaprah dengan syariah Islam. Bahkan sebagian dari mereka malah phobi terhadap syariah Islam. Itulah yang menjadi salah satu alasan parpol Islam enggan mengusung syariah Islam.

Jadi, ibarat pepatah: ‘tak kenal maka tak sayang’. Edukasi syariah Islam belum tuntas dan belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Pemahaman masyarakat terhadap syariah Islam belum tuntas. Karena itu, menjadi tugas para kader parpol yang mengklaim dirinya berasas Islam untuk meningkatkan edukasi tentang syariah kepada masyarakat. Para ulama, kiai, pimpinan parpol Islam dan kadernya serta para pengemban dakwah di manapun berada agar secara sungguh-sungguh memahamkan masyarakat dengan Islam ideologis.

Upaya itu tentu tidak cukup dilakukan lima tahun sekali menjelang Pemilu saja, yakni saat kampanye. Apalagi bagi parpol yang baru berdiri. Sangat tidak cukup waktu untuk menjajakan syariah Islam kepada masyarakat. Bahkan kadernya sendiri belum tentu kâffah pemahaman Islamnya. Karena itu, edukasi syariah ini idealnya dilakukan terus-menerus, setiap hari dan kepada siapa saja, baik Muslim maupun non-Muslim.

Bisa dibayangkan, jika parpol-parpol di atas, ditambah para pengemban dakwah, berlomba-lomba mengkampanyekan syariah Islam, proses penyadaran akan sistem Islam yang ideal dan rinci akan cepat dipahami masyarakat.

Dijamin, jika masyarakat paham mendetail tentang Islam ideologis, insya Allah tidak akan ada yang antipati terhadap syariah Islam. Bahkan dengan kesadaran penuh mereka akan menjadi pejuang syariah secara ikhlas dan sukarela, kecuali yang di hatinya memang sudah tertanam syariahphobia dan virus anti-Islam sejenisnya.


Khatimah

Saat ini, parpol-parpol Islam umumnya enggan menawarkan sistem Islam kâffah karena khawatir tidak mendapat dukungan masyarakat. Tanpa mengusung syariah Islam saja suaranya kalah dibandingkan dengan parpol sekular, apalagi jika mengusung syariah Islam. Begitu logika mereka.

Padahal mestinya dibalik, tanpa mengusung syariah parpol Islam kurang mendapat dukungan umat, pastinya jika mengusung syariah Islam akan mendapat apresiasi luas.

Yakinlah, selama ini umat Islam sejatinya menunggu-nunggu parpol berasas Islam yang benar-benar murni memperjuangkan aspirasi Islam. Jika mereka kemudian melihat parpol-parpol Islam tak mengusung sesuatu yang beda dibanding parpol sekular, untuk apa memberikan dukungan? Toh pilihannya sejatinya sama saja. Jadi, jangan salahkan umat jika parpol sekular kembali berkibar.

Lagipula sudah menjadi tabiat sistem demokrasi untuk tidak membiarkan syariah Islam eksis. Sejarah mengajarkan kepada kita, bahwa memperjuangkan Islam melalui parpol dalam hiruk-pikuk pesta demokrasi tak mengantarkan umat pada tujuan terwujudnya sistem Islam secara kâffah. Inilah yang menjadi pangkal persoalan terbesar umat Islam yang harusnya menjadi bahan introspeksi semua pihak

Comments :

0 komentar to “Syariah Tak Laku?”

 

Copyright © 2009 by Tiada Kemulian Tanpa Islam