PANDANGAN HIDUP DAN
TUGAS MAHASISWA MUSLIM
Oleh : Sigit Purnawan Jati, S.Si
TUGAS MAHASISWA MUSLIM
Oleh : Sigit Purnawan Jati, S.Si
Pengantar
Manusia harus mempunyai pandangan hidup. Sebab, adanya pandangan hidup menunjukkan adanya proses berpikir, mengingat pandangan hidup itu diperoleh melalui jalan berpikir. Dengan kata lain, orang yang tidak punya pandangan hidup berarti tidak menggunakan akalnya. Dia telah kehilangan ciri utama kemanusiaannya dan anjlok derajatnya menjadi setara dengan binatang. Maka dia tak ubahnya seperti binatang yang tidak berakal, yang hidup hanya memperturutkan hawa nafsunya untuk memuaskan naluri dan tuntutan kebutuhan jasmaninya. Manusia seperti ini akan menjalani kehidupannya tanpa arah dan sikap yang jelas. Allah SWT berfirman :
“Terangkanlah kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS Al Furqan : 43-44)
Namun demikian, bukan berarti orang yang mempunyai pandangan hidup otomatis akan menjalani kehidupan dengan benar. Sebab pandangan hidup itu ada yang benar dan ada yang salah. Bisa saja seseorang mempunyai pandangan hidup, tetapi pandangan hidup sekuler yang cenderung memisahkan urusan agama dengan urusan kehidupan. Tentu saja orang seperti ini bukanlah orang yang hidup dengan benar, melainkan orang yang sesat, karena ide sekulerisme adalah ide kufur yang sangat bertentangan dengan Islam.
Dengan demikian, jelas bahwa manusia memang harus mempunyai pandangan hidup, akan tetapi bukan sembarang pandangan hidup. Pandangan hidup yang dimiliki harus berupa pandangan hidup yang benar.
Bagi seorang muslim, pandangan hidup yang benar hanyalah pandangan hidup Islam semata, karena agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam saja. Agama-agama selain Islam seperti Yahudi dan Nashrani adalah agama kafir, sebagaimana ideologi-ideologi selain Islam seperti Kapitalisme dan Sosialisme adalah ideologi kafir. Semua agama dan ideologi selain Islam tidak akan diterima oleh Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali ‘Imran : 19)
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali ‘Imran : 185)
Seorang muslim wajib berpandangan hidup Islam, yaitu memandang segala sesuatu dari sudut pandang Islam. Kewajiban ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW ketika suatu saat terjadi gerhana matahari yang bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim, putera Rasulullah. Saat itu orang-orang mengatakan bahwa gerhana matahari terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka berkatalah Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah keduanya mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang.” (An Nabhani, 1963)
Dengan sabdanya itu, Rasulullah SAW telah membimbing cara pandang shahabat terhadap suatu fakta, yaitu menjadikan Islam sebagai standar berpikir untuk menilai segala sesuatu fakta. Rasulullah SAW telah mengarahkan pemikiran para shahabat untuk memandang bulan dan matahari serta segala sifat-sifatnya –seperti terjadinya gerhana pada keduanya—sebagai tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, bukan sebagai benda yang dipengaruhi atau mempengaruhi perjalanan nasib seseorang. Dengan kata lain, Rasulullah SAW telah menunjukkan cara memandang fakta (gerhana matahari) menurut sudut pandang Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal" (QS Ali ‘Imran : 190).
Pandangan hidup Islam ini wajib dipahami oleh seorang muslim, lalu direalisasikan secara konkret dalam bentuk berbagai amal shalih dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pandangan hidup Islam, insya Allah seorang muslim akan dapat menjalani kehidupan secara sahih, yakni dapat memahami realitas kehidupan dengan perspektif yang benar, dapat bersikap dan bertindak secara tepat, serta tidak tertipu dengan ide-ide kufur yang merajalela di masyarakat dan tidak larut ke dalam realitas buruk yang tengah mencengkeram masyarakat.
Makna Pandangan Hidup
Pandangan hidup adalah cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang tertentu. Yang dimaksud dengan “cara pandang”, adalah perspektif tertentu atau semacam “kacamata” tertentu yang dipakai untuk memandang realitas. Adapun “kehidupan” yang menjadi sasaran penilaian dari cara pandang itu, adalah segala sesuatu fakta yang ada dalam kehidupan, baik itu berupa sesuatu yang bersifat materi-empirik (al waqi’ al mahsus) –yaitu meliputi perbuatan manusia (af’al) dan segala benda yang dimanfaatkan manusia (asy-ya’)—maupun berupa sesuatu yang bersifat pemikiran, seperti ideologi, paham, dan sebagainya.
Karena pandangan hidup itu berupa sudut pandang tertentu, maka dengan sendirinya satu fakta yang sama mungkin saja akan dinilai secara berbeda sesuai perbedaan sudut pandang yang dipakai. Orang Islam tentu akan menolak mengkonsumsi daging babi, karena sudut pandang yang dipakainya adalah hukum syara’, yang menyatakan keharaman daging babi. Tapi bagi orang non-Islam, makan babi bukanlah masalah, karena sudut pandang yang dipakai adalah aspek kemanfaatan (utility). Orang Islam pasti tidak akan setuju seks di luar nikah, karena dalam pandangannya, itu adalah zina yang jelas-jelas haram. Tapi bagi kaum sekuler yang liberal, kebebasan seks sah-sah saja karena dia telah menerima kebebasan (freedom/liberalism) sebagai standar penilaian perbuatan manusia. Bagi seorang muslim, ide demokrasi adalah ide kafir, karena demokrasi ide dasarnya adalah kedaulatan di tangan rakyat, atau dengan kata lain, hak membuat hukum adalah di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan. Sedang bagi kaum sekuler, demokrasi sama sekali bukan ide keliru, karena dia memandang bahwa peran Tuhan memang hanya dalam hubungan pribadi antara manusia dengan Tuhan, sementara membuat hukum untuk mengatur kehidupan, menjadi hak manusia.
Bagaimana bentuk konkret dari pandangan hidup itu dan bagaimanakah sebuah pemikiran dapat menjadi pandangan hidup seseorang, atau dengan kata lain, bagaimana cara penanaman pandangan hidup pada jiwa seseorang ?
Bentuk konkret dari pandangan hidup adalah pemikiran-pemikiran tentang kehidupan yang telah menjadi persepsi (mafahim) bagi penganutnya. Pemikiran-pemikiran seperti ini adalah pemikiran yang telah mengalami 2 (dua) proses : Pertama, adanya pemahaman terhadap fakta suatu pemikiran (idrak waqi’ al fikrah).
Kedua, adanya pembenaran (tashdiq) terhadap pemikiran tersebut (at tashdiq bi al fikrah) (An Nabhani, 1963).
Bila suatu pemikiran hanya dimengerti faktanya, tetapi tidak dibenarkan (tidak dianggap benar), maka ia hanya akan menjadi pengetahuan / informasi (ma’lumat) yang selanjutnya tidak akan memberikan dampak apa pun terhadap sikap dan perilaku seseorang. Lain halnya kalau setelah suatu pemikiran dimengerti faktanya lalu dibenarkan, maka pemikiran itu akan menjadi persepsi yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang. Misalnya, seorang orientalis non-muslim yang mempelajari hukum-hukum Islam (misalnya hukum sholat), tentu tidak akan menjadikan hukum-hukum Islam itu sebagai persepsinya, karena dia hanya akan mencoba mengerti bagaimana hukum-hukum Islam itu, tanpa melakukan pembenaran terhadapnya. Jadi bagi orientalis ini, hukum-hukum Islam hanya menjadi pengetahuan, bukan persepsi. Dia tetap akan pergi ke gereja, bukan ke masjid.
Lain cerita kalau yang mempelajari hukum Islam itu adalah seorang santri. Hukum-hukum Islam yang dikajinya bukan sekedar pengetahuan baginya, tetapi juga menjadi persepsinya. Setelah dia mempelajari hukum seputar sholat, misalnya, dia akan benar-benar mempraktikkannya, bukan sekedar dihafalkan. Ini dapat terjadi jika dia memberikan pembenaran terhadap hukum Islam yang dikajinya, setelah dia mengerti fakta hukum Islam itu..
Dengan demikian, jelas bahwa pandangan hidup bentuk konkretnya adalah berupa persepsi-persepsi (mafahim), yaitu pemikiran yang telah dijangkau faktanya dan dibenarkan oleh hati. Jelas pula bahwa cara penanaman pandangan hidup adalah dengan memahami fakta suatu pemikiran apa adanya, kemudian melakukan proses pembenaran terhadap pemikiran tersebut.
Bagaimana proses pembenaran dapat terjadi ? Proses pembenaran oleh hati akan terjadi, manakala akal telah mendapatkan dan menerima dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) yang mendasari suatu pemikiran. Proses pembenaran yang tidak didasarkan pada pemahaman dalil / argumentasi, hakikatnya adalah pembenaran yang semu atau pembenaran yang tidak mantap. Pemikiran yang hanya disertai dengan pembenaran semu ini, tidak akan kokoh tertancap dalam jiwa seseorang dan sangat mudah diguncang atau dicabut untuk digantikan dengan pemikiran-pemikiran lain.
Pandangan Hidup Islam dan Aqidah Islamiyah
Pandangan hidup muslim adalah pandangan hidup Islam, yaitu cara pandang terhadap kehidupan menurut sudut pandang Islam. Pandangan hidup ini bentuk konkretnya adalah persepsi-persepsi Islam yang berupa pemikiran-pemikiran (afkar) dan hukum-hukum (ahkam) Islam, yang terlahir dari Aqidah Islamiyah. Disebut “terlahir dari Aqidah Islamiyah”, maksudnya adalah terlahir dari wahyu Allah berupa Al Qur`an dan As Sunnah, dimana masalah wahyu merupakan satu masalah dalam Aqidah Islamiyah. Dengan kata lain, jika suatu pemikiran atau hukum bersumberkan Al Qur`an dan As Sunnah, berarti pemikiran atau hukum itu dikatakan telah lahir atau terpancar dari Aqidah Islamiyah.
Ini adalah hubungan antara pandangan hidup Islam dengan Aqidah Islamiyah secara konseptual. Paralel dengan hubungan ini, secara faktual ada pula hubungan konkret dalam diri seorang muslim antara pandangan hidup Islam dengan Aqidah Islamiyah yang diyakininya. Keterikatan seorang muslim dengan pandangan hidup Islam tergantung pada kualitas pemahamannya terhadap Aqidah Islamiyah. Muslim yang memahami Aqidah Islamiyah dengan benar, cenderung akan kuat berpegang teguh dengan pandangan hidup Islam. Sementara muslim yang memahami Aqidah Islamiyah secara tidak benar, cenderung tidak berpegang teguh dengan pandangan hidup Islam. Mereka yang menerima Aqidah Islamiyah secara taqlid, atau yang mencampur-adukkan aqidahnya dengan paham-paham batil atau filsafat-filsafat kafir, cenderung meremehkan hukum-hukum Islam. Orang-orang Jawa abangan yang pikirannya campur baur antara ajaran kejawen dengan ajaran Islam, misalnya, seringkali enggan mengerjakan sholat. Ini berbeda dengan kalangan santri yang lebih baik pemahamannya terhadap Aqidah Islamiyah. Mereka sholat dengan taat.
Karena itu, Aqidah Islamiyah wajib dipahami dengan benar. Yaitu dengan menjadikan Aqidah Islamiyah itu sebagai persepsi (mafahim) bukan sekedar pengetahuan (ma’lumat). Prosesnya sama persis dengan proses mengubah pemikiran menjadi persepsi seperti telah diterangkan sebelumnya.
Jadi, Aqidah Islamiyah ini wajib dipahami secara akli, yakni melalui proses berpikir yang mendalam terhadap dalil-dalilnya. Setelah itu, wajib terjadi proses pembenaran secara pasti (tashdiq jazim) terhadap Aqidah Islamiyah yang telah dikaji, agar aqidah ini menjadi persepsi (mafhum), bukan semata pengetahuan (ma’lumat).
Aqidah yang demikian, akan efektif dan fungsional sebagai dasar pandangan hidup. Tanpa proses pemahaman akli (al idrak) dan pembenaran (tashdiq) ini, Aqidah Islamiyah hanya akan menjadi pengetahuan belaka yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap cara pandang dan perilaku seorang muslim.
Misalnya, keimanan bahwa “Muhammad adalah Rasulullah / utusan Allah” haruslah diperoleh secara akli, dengan menelusuri dalil akli yang mendasarinya, yaitu keberadaan mu’jizat Al Qur`an yang dibawanya. Mu’jizat merupakan bukti kenabian seseorang. Jika tak ada seorang pun yang dapat membuat semisal Al Qur`an, berarti benar Al Qur`an itu dari Allah. Benar bahwa Al Qur`an itu mu’jizat. Tidak ada yang membawa mu’jizat selain nabi. Berarti Muhammad itu adalah nabi dan rasul.
Jadi keimanan kepada kenabian Muhamad di sini lahir dari proses penalaran yang sahih, tidak diperoleh secara taklid buta, misalnya dengan berpikir bahwa pokoknya Muhammad itu Nabi. Titik. Dalil “pokoknya” bukan cara berpikir yang benar.
Keimanan yang mantap akan kenabian Muhammad ini --yang muncul karena proses berpikir—akan membuat seorang muslim merasa mantap pula menerima apa saja risalah Islam dari Rasulullah SAW, walaupun itu tidak sesuai dengan selera atau kepentingan pribadinya. Di antara risalah itu adalah firman Allah SWT :
“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah itu. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS Al Hasyr : 7)
Dari sinilah, seorang muslim akan menerima dan melaksanakan dengan ridha apa saja hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dia akan menerima kewajiban shaum sebagaimana dia menerima kewajiban jihad, akan menerima kewajiban zakat sebagai dia menerima kewajiban potong tangan bagi pencuri, akan menerima kewajiban menegakkan sholat sebagaimana dia menerima kewajiban menegakkan Khilafah Islamiyah (Negara Islam).
Dari sini pula, seorang muslim akan dengan mantap menolak (mengingkari) segala macam pandangan hidup yang tidak dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena jika “apa saja” yang dibawa oleh Nabi harus kita terima, maka kebalikannya (mafhum mukhalafah), “apa saja” yang tidak dibawa oleh Nabi SAW, maka harus kita tolak, tidak boleh kita terima.
Maka seorang muslim akan menolak agama Yahudi sebagaimana dia menolak ideologi Sosialisme-Komunisme. Dia pun akan menolak agama Kristen sebagaimana dia menolak ideologi Kapitalisme-Demokrasi. Semua ideologi dan paham kafir ini wajib ditolak karena tidak dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Tugas Mahasiswa Muslim
Pandangan hidup muslim antara lain terwujud secara konkret dalam bentuk berbagai tugas (kewajiban) yang harus dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Tugas-tugas itu hakikatnya adalah hukum-hukum syara’ yang diambil dari nash-nash syara’, yang berkaitan dengan kenyataan sehari-hari yang dijumpai dalam berbagai interaksi yang dilakukan seorang muslim.
Memahami hukum syara’ yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, adalah fardhu ‘ain bagi seorang muslim. Adapun mempelajari hukum syara’ yang tidak berkaitan dengan yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, adalah fardhu kifayah. (An Nabhani, 1953). Seorang petani harus memahami hukum-hukum syara’ tentang tanah, tentang penyewaan lahan, tentang musaqat, dan sebagainya. Seorang dokter wajib memahami hukum syara’ tentang berobat, bedah mayat, abortus, cangkok organ tubuh, kondisi darurat, definisi hidup dan mati, dan sebagainya. Seorang tentara harus memahami hukum tentang jihad, tawanan, perdamaian, perjanjian, harta rampasan perang, dan seterusnya.
Demikian pula seorang mahasiswa, dia harus memahami hukum syara’ yang berkaitan dengan kegiatannya sehari-hari sebagai mahasiswa. Disamping itu, seorang mahasiswa muslim adalah seorang muslim, maka dia harus memahami kewajibannya yang utama dalam kedudukannya sebagai muslim.
Atas dasar itu, bagi seorang mahasiswa muslim, tugas utama yang wajib diembannya setidaknya ada 3 (tiga) :
Pertama, menuntut ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai mahasiswa yang aktivitas utamanya sehari-hari adalah belajar.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim.” (HR Abu Dawud).
Lafazh “al ‘ilmu” di atas bersifat umum, meliputi ilmu-ilmu syar’i, seperti ulumul Qur`an, ulumul hadits, ushul fiqih, maupun ilmu-ilmu non syar’i, seperti ilmu alam dan ilmu-ilmu keprofesionalan lainnya yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan, yang wajib ada demi berputarnya roda kehidupan.
Jelaslah, sebagai mahasiswa, maka tugasnya yang utama adalah belajar dalam rangka meraih ilmu sebagai bekal hidup. Hendaklah tugas ini dilaksanakan semaksimal mungkin sehingga menghasilkan manfaat dunia dan akhirat setinggi-tingginya.
Kedua, mengkaji Tsaqofah Islamiyah (ilmu-ilmu keislaman). Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang muslim yang wajib mempunyai pandangan hidup Islam. Tanpa kajian Tsaqofah Islamiyah yang mendalam, sulit dibayangkan seorang muslim akan mempunyai pandangan hidup Islami; sulit pula dibayangkan dia akan dapat berpikir secara Islami dan berperilaku secara Islami.
Tsaqofah Islamiyah adalah berbagai pengetahuan keislaman yang dasar pembahasannya adalah Aqidah Islamiyah. Di antaranya adalah pembahasan Aqidah Islamiyah, ilmu tauhid, tafsir, hadits, bahasa Arab, dan sebagainya.
Tugas kedua ini tak kalah pentingnya dengan tugas pertama.Sebab tugas kedua ini sebenarnya sebenarnya adalah tugas dasar seorang muslim, baik mahasiswa atau bukan. Setiap muslim wajib mempunyai pengetahuan keislaman yang memadai agar dapat menjalani hidup dengan benar sesuai Islam. Jadi, jika tugas pertama di atas tujuannya adalah : saya dapat hidup, maka tugas kedua ini tujuannya adalah : saya dapat hidup dengan benar. Camkan ini !
Ketiga, mengemban dakwah Islamiyah. Tugas ini berkaitan dengan posisinya sebagai seorang muslim sebagai bagian dari keseluruhan umat Islam. Dia harus mempunyai kepedulian terhadap keadaan umat dan harus berjuang untuk mengubah keadaan umat menuju keadaan yang lebih baik.
Mahasiswa muslim harus sadar bahwa ia adalah bagian dari umat Islam seluruh dunia. Dia tak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri, sebab sikap egois seperti ini sangat jauh dari nilai-nilai Islam yang menghendaki adanya kepedulian kepada manusia lain. Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka dia tidak termasuk golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
Di samping itu, Islam telah menuntut setiap muslim untuk melakukan upaya perubahan (taghyir) bila dia melihat suatu penyimpangan atau kemungkaran. Tidak boleh dia hanya berdiam diri atau berpangku tangan, apalagi pasrah dan menyerah.
Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya (dengan kekuatan fisik). Jika tidak mampu, hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya (dengan perkataan). Jika tidak mampu, hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya (tidak ridha / tidak setuju). Dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).
Karena itu, mahasiswa muslim wajib ikut turut memikul tanggung jawab perubahan ini yang terwujud dalam bentuk aktivitas mengemban dakwah Islam, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika beliau mengemban dakwah Islam sebagai upaya untuk mengubah masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat Islamiyah.
Saat ini, upaya perubahan seperti ini harus pula dilakukan, karena saat ini pun kita hidup dalam sebuah masyarakat yang tidak Islami, yakni masyarakat sekuler yang memisahkan urusan kehidupan dengan agama. Kita wajib mendobrak dan merombak total masyarakat sekuler saat ini menuju masyarakat Islam yang menerapkan Islam secara keseluruhan tanpa kompromi.
Karenanya, tidak pantas seorang mahasiswa muslim berdiam diri menyaksikan kekafiran dan kemaksiatan menggila di seantero jagat. Tidak pantas mahasiswa muslim diam saja menyaksikan ideologi kapitalisme yang kafir menguasai dunia. Nabi SAW mencela orang yang hanya berpangku tangan dan diam sebagai syaitan yang bisu. Sekali lagi, syaitan yang bisu. Sudah syaitan, bisu lagi ! Na’uzhu billah min dzalik !
Nabi SAW bersabda :
“Orang yang berdiam diri dari kebenaran (tidak mau mengingatkan / melakukan upaya perubahan), adalah seperti syaitan yang bisu.” (HR. Al Hakim)
Dikaitkan dengan tugas kedua, maka tugas ketiga ini akan mempunyai benang merah sebagai berikut : jika tugas kedua tujuannya adalah : saya dapat hidup dengan benar, maka tugas ketiga ini tujuannya adalah : saya dan saudara-saudara saya umat Islam dapat hidup dengan benar. Camkan pula ini !
Penutup
Mahasiswa muslim yang berpandangan hidup Islam adalah generasi harapan umat. Di pundak merekalah –bersama lapisan umat yang lain— terpikul tanggung jawab perubahan masyarakat menuju masyarakat yang diridhai Allah.
Bukan saatnya lagi bersikap kekanak-kanakan dengan bersikap egois hanya memperhatikan diri sendiri, sementara umat Islam dibiarkan begitu saja terseok-seok hidup nelangsa dan hina dina di bawah hegemoni ideologi kapitalisme yang kafir.
Tugas-tugas berat namun mulia menunggu di depan. Mari singsingkan lengan baju dan berbenah diri menyongsong kejayaan Islam ! [ ]
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.