Kamis, 21 Agustus 2008

Investasi Antara Realita dan Idealita

Beberapa hari lalu sebagaimana diberitakan surat kabar harian Linggau Pos, bahwa Pemerintah Kabupaten Musi Rawas dan Barito Pasifik Group (BPG) telah malakukan penandatanganan kesepakatan kerjasama (Memorandum Of Understanding-MOU) dalam membangun Musi Rawas lebih baik. Di mana BPG akan menjadi investor/penanam modal di Bumi Lan Serasan Sekantenan yang tentunya ini merupakan harpan surga bagi Pemerintah Kabupaten karena adanya investasi/masuknya modal ini dikarenakan, pertama, mengurangi jumlah pengangguran sebagai akibat penyerapan tenaga kerja oleh investor. Kedua, mengurangi angka kemiskinan karena adanya peningkatan kekuatan daya beli masyarakat dari hasil kerja pada investor. Dan ketiga, terjadinya transfer ilmu dan teknologi seperti transfer pengetahuan pengoperasian alat canggih dari tenaga profesional dari perusahaan investor kepada tenaga yang tergolong pribumi, ini tentu akan meningkatkan kualitas pendidikan sumber daya manusia pribumi. Jadi menurut Pemerintah Daerah hanya dengan satu langkah maka akan tercapai dua sampai tiga target pembangunan. Jika kita mau meneliti lebih dalam maka yang terjadi justru yang sebaliknya, sebagai contoh keberadaan investasi di bumi Papua oleh PT.Freeport Mc Moran dalam mengeksploitasi tambang emas yang luar biasa banyaknya dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun Kontrak Karya ternyata tetap saja kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia masih menghantui bagi pembangunan bumi Papua, jadi apakah investasi di Kabupaten Musi Rawas ini sebenarnya dapat mensejahterakan masyarakat atau sebaliknya sama seperti di bumi Papua? Lalu bagaimanakah seharusnya mengelola sumber daya alam in?

Keberadaan investasi asing (foreign direct investment) istilah lain dari Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) seolah memang sebuah keharusan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang menghendaki kemajuan dalam bidang ekonomi, apalagi saat Indonesia lebih condong ke arah kebijakan ekonomi terbuka/bebas yang mengajarkan investasi bukan hanya boleh tetapi memang menjadi sebuah keharusan. Sisi positifnya menurut kebijakan ekonomi terbuka adalah terjadi transfer teknologi, penyerapan tenaga kerja local dan meningkatkan kesejahteraan penduduk local, yang mana Indonesia pada Februari 2006 menghadapi tingkat pengangguran 10,4 persen dari jumlah 106,3 juta orang angkatan kerja, maka untuk mengatasinya menurut logika pemerintah adalah dengan cara membuka lebar-lebar kran bagi masuknya arus modal melalui investasi asing pada kegiatan eksploitasi sumber daya alam dan pengelolaan BUMN, seperti UU No.22 tahun 2001 tentang Migas dan UU No.7 tahun 2004 tentang Ketenagalistrikan yang mana kedua UU ini mempersilahkan swasta melakukan kegiatan eksploitasi dan pengelolaan, ditambah lagi UU No.19 tahun 2003 tentang pengelolaan BUMN oleh swasta. Memang ada cara mengatasi tingkat pengangguran ini yaitu mengadakan kegiatan padat karya tetapi ini terlalu memakan daa APBN sehingga terlalu berat bagi pemerintah. Sehingga dengan usaha membuka kran investasi ini ternyata memang dilakukan, di mana sejak kepemimpinan SBY-JK tawaran demi tawaran kepada investor terus digenjot melalui International Infrastructure Summit pada tahun 2005 dan terakhir bulan November 2006 kemarin. Hasil akhir International Infrastrukture Summit menghasilkan keputusan bahwa proyek infrastruktur dibuka bagi investor asing dengan tawaran mendapatkan keuntungan besar tanpa pengecualian. Dan BUMN Summit menghasilkan keputusan bahwa seluruh BUMN akan dijual ke sector privat/perorangan. Dengan kata lain, kelak tidak ada lagi barang dan jasa yang disediakan pemerintah dengan biaya murah karena disubsidi, selanjutnya penyediaan barang dan jasa akan menjadi komersil yang penyediaannya murni berdasarkan motif untuk mendapatkan laba (profit).

Langkah-langkah ini telah cukup menggambarkan kepada kita bahwa sedang ada proses liberalisasi ekonomi di semua sector public dan juga menunjukkan bahwa pemerintah juga begitu tergantung pada Penenaman Modal Asing (PMA) dalam pembangunan sebagai bentuk tidak adanya kemandirian negara. Kadang karena begitu besarnya ketergantungan dan pola pemikiran yang tidak mandiri ini sering berakibat tekanan asing tidak begitu terasa kita terima sehingga tanpa ditekanpun pemerintah pasti akan melepaskan SDA dan BUMN dan kedaulatan negara kepada asing.

Sebagai contoh kasus PT.Freeport di bumi Papua yang penguasaan dan draft kontraknya dibuat sendiri oleh asing dan kasus penjualan Indosat yang dijual obaral kepada Temasec meski indosat memiliki nilai strategis dari sisi politik dan keamanan. Kasus lain adalah dalam pembuatan UU Migas, UU air, RUU Investasi, seharusnya bisa digunakan sebagai senjata penangkal masuknya perusahaan asing menguasai sector-sektor strategis justru juga telah diintervensi oleh asing dalam penyusunan draftnya.

Hasil liberalisasi SDA dan BUMN tersebut juga sudah dapat dirasakan yaitu dengan banyaknya perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, yang mana mereka menguasai asset-asset penting milik public seperti pertambangan minyak dan gas, listrik, transportasi, dan lain sebagainya sehingga kelak setelah mereka menguras habis kekayaan negeri ini berua keuntungan yang besar maka tinggal masyarakat kesulitan mendapatkan hajat hidupnya di mana mereka harus membayar lebih mahal daripada yang seharusnya sebagai contoh listrik yang tidak lain dikarenakan PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik dalam negeri juga membeli dari perusahaan swasta, termasuk juga contoh perusahaan pupuk juga harus membeli gas dari perusahaan swasta untuk produksi pupuk.

Ada beberapa permasalahan yang timbul sebagai dampak negative dari investasi asing ini: pertama, adanya control dari luar negeri yaitu pemerintah di mana investor berasal atau badan internasional seperti IMF, Bank Dunia dalam politik dan ekonomi karena perusahaan mereka berhasil menguasai asset penting negeri ini, sehingga ini akan membuat pemerintah negeri ini mudah dipermainkan dan memiliki ketergantung terhadap mereka.

Kedua, akan terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, di mana biasanya investor asing dan investor dalam negeri akan membuat kontrak sesuai dengan jumlah kandungan di bawah tanah sehingga jika kontrak telah berakhir maka tinggal kerusakan lingkungan yang ditinggalkan dan mereka pergi dengan membawa keuntungan yang besar sehingga pemerintah yang tinggal meremajakan kerusakan dengan dana dari kantong sendiri yang tentu dari pajak yang berasal dari rakyat lagi.

Ketiga, investor asing dan dalam negeri biasanya sering bergerak di sector pertambangan dan perkebunan yang banyak menggunakan tenaga mesin dan alat canggih sehingga kebutuhan akan tenaga kerja sebenarnya sangat sedikit dan ini juga sebenarnya mengurangi biaya/cost production, maka dari sini logika pemerintah yang mengatakan investasi asing dapat menyedot tenaga kerja yang banyak itu hanyalah asumsi belaka tanpa fakta karena di manapun tempat dan zamannya tidak ada pengusaha yang berfikiran berani untuk membiarkan biaya/cost production dengan membengkakkan tenaga kasar yang pasti akan memperbesar biaya maka alat berteknologi canggih sebagai alternative adalah sebuah keharusan sebagai gantinya.

Keempat, adanya biaya yang harus ditanggung setelah beroperasi (recovery cost) biasanya ditanggung oleh investor asing tetapi biasanya malah pemerintah yang harus menutupi, sebagai contoh berdasarkan laporan Exxon Mobile di mana pasca operasinya harus mengeluarkan recovery cost sebesar 450 juta dolar AS dan semua ditanggung Exxon Mobile tetapi ternyata menurut laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa pengeluaran Exxon Mobile pada biaya tersebut hanya mengeluarkan sebesar 142 juta dollar AS, ini berarti pemerintah yang harus menutupi kekurangannya.

Kelima, kemungkinan adanya manipulasi data keuangan untuk mengurangi bagian keuntungan kepada pemerintah akan dilakukan oleh investor asing atau investor dalam negeri karena mereka sebagai pengusaha akan selalu mencari untung sebesar-besarnya, ini dapat mereka lakukan karena memang mereka yang memegang data dan walaupun ada pengawasan dari pemerintah tetapi tetap saja itu tidak akan sampai pada masalah dapur perusahaan sebagai contoh kasus manipulasi data oleh Exxon Mobile terkait kapasitas Blok Cepu yang mana mereka mengatakan bahwa cadangan minyak Blok Cepu hanya sebesar 781 juta barrel di mana kapasitas produksi perusahaan sebesar 651 ribu barrel perhari. Dengan demikian jika hitungan di atas kertas maka dengan kapasitas produksi perhari sebesar itu maka untuk mencapai nilai kandungan 781 juta barrel hanya butuh waktu eksploitasi 11 tahun atau 12 tahun saja, tetapi mengapa kontrak Exxon Mobile di Blok Cepu diperpanjang 20 tahun dari tahun 2010 sampai dengan 2030? Ini menunjukkan ada sebuah kebohongan data yang telah dipaparkan investor.

Keenam, investasi asing ini akan menimbulkan dual economic (ekonomi serba dua), maksudnya daerah pusat investasi (utamanya pertambangan) diperlakukan seperti pulau pembangunan yang penuh dengan fasilitas modern, sangat gemerlap, tetapi daerah sekitarnya tetap saja terbelakang bahkan sangat mengenaskan penuh kekumuhan, kemiskinan. Ini jelas sangat mudah memacu benturan social sebagai akibat dari kecemburuan social, yang mana biaya penanganan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah sangat besar, inilah alasan yang sebenarnya juga memacu konflik di bumi Papua pada tahun 2005-2006 yang lalu sehingga menyulut adanya keinginan masyarakat Papua memisahkan diri dari Indonesia karena mereka merasa dijajah karena alam tempat tinggal lahir dan hidup mereka dikeruk tetapi mereka tetap miskin dan terbelakang.

Ketujuh, kemungkinan akan adanya monopoli harga jual hasil alam oleh pengusaha terhadap hasil alam pertanian dari petani masyarakat sekitar, kasus ini banyak terjadi pada investasi pertanian dan perkebunan yang sudah tentu akan merugikan petani dikarenakan biaya yang mereka keluarkan untuk perawatan pertanian dan perkebunan seperti membeli pupuk tidak seimbang dengan harga jualnya karena harga sudah dipatok oleh perusahaan investor yang penuh motif mencari untung sebesar-besarnya karena kuatnya modal dan jaringan pemasaran.

Apakah ini namanya pembangunan, kalau rakyat kecil selalu jadi korban? Haruskah hanya untuk prestasi kerja, penguasa korbankan mereka yang lemah? Maka hendaknya pemerintah negeri ini bisa mandiri mengelola sumber daya alamnya, pemerintah memiliki perusahaan BUMN andalan untuk mengelola kekayaan minyak bumi seperti Pertamina yang pernah beroperasi di Sumur Sukowati Tuban, Tambun dan Pondok Tengah Bekasi, Patrol Jawa Barat, Prabumulih Sumatera Selatan, dan lainnya yang teruji mampu. Jikalau pun alasan teknologi yang kurang memadai, maka pemerintah tidak membeli saja teknologi pengolahan minyak yang paling canggih dari Barat dari hasil swakelola ladang minyak?. Jikalau pun beralasan tidak ada tenaga ahli maka pemerintah tinggal panggil (recall) saja ahli perminyakan putra bangsa ini yang bekerja di perusahaan asing atau anggota PERHAPI (Persatuan Ahli Pertambangan Indonesia). Dan untuk memperkuat bidang perkebunan dan pertanian, mengapa pemerintah tidak meminjamkan atau memberikan modal dana, teknologi, dan kemampuan enterpreunership kepada petani agar mereka lebih mandiri dan sukses sehingga dalam jangka panjang pemerataan kesejahteraan dan kekuatan pangan negeri ini tercapai?. Sekali lagi mungkin ide ini tidak adak bisa direalisasikan pemeritah jika tidak ada political will dari pemerintah kita dan tidak adanya pergantian system ekonomi nasional dari system ekonomi kapitalisme/neo liberalisme.

Comments :

1
Anonim mengatakan...
on 

Kabar baik untuk semua pelanggan terhormat kami, kami di JUDITH FRANKLIN PINJAMAN PERUSAHAAN tawaran pinjaman dari 2% bunga, tetapi saat ini kami menawarkan pinjaman dari 1,5% bunga karena akhir kami dari bonanza tahun. Anda datang pada waktu yang tepat, kami mendesak Anda bahwa jika Anda mengikuti instruksi dan direktif kami, Anda akan bisa mendapatkan pinjaman Anda dalam waktu 24 jam setelah aplikasi. hubungi kami melalui judithfranklinloanfirm@gmail.com.
Terima kasih Untuk Binaan Anda.

 

Copyright © 2009 by Tiada Kemulian Tanpa Islam