Rabu, 13 Agustus 2008

Parpol Islam, Apa yang engkau cari ?


Meski Pemilu masih beberapa bulan lagi, atmosfir negeri ini sudah dipenuhi asap kampanye. Berbagai parpol mencoba mencuri-curi start, meskipun dikemas dalam bentuk yang tidak menyerupai bentuk kampanye; entah itu temu kader, konvensi partai, rapat koordinasi, sampai ke bakti sosial dan sumbangan-sumbangan ke daerah miskin atau pun daerah bencana. Praktis, seluruh parpol—terutama yang lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu—sudah pasang kuda-kuda dan jurus-jurus pamungkas menghadapi masa kampanye partai dan Pemilu.

Hajatan besar lima tahunan itu diongkosi triliunan rupiah dari uang rakyat dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Sebenarnya, apa sih yang menjadi tujuan Pemilu sehingga seluruh negeri gegap-gempita menyambutnya? Namanya juga pesta rakyat, walaupun yang menuai hasil adalah para politisi dan pejabat.

Menurut para pakar politik, Pemilu itu adalah pesta demokrasi, pestanya rakyat; karena demokrasi merupakan cerminan dari aspirasi rakyat untuk memilih para wakilnya yang duduk di parlemen, sekaligus untuk memilih pemimpin yang diidam-idamkannya. Wakil-wakil rakyat itulah, katanya, yang menjadi penyambung lidah rakyat; dan pemimpin yang terpilih itu pula yang menjalankan kehendak dan keinginan rakyat menuju masyarakat dan negara yang demokratis. Lalu, apa benar bahwa para wakil rakyat itu menjadi lidah penyambung aspirasi rakyat? Apa benar juga sang pemimpin yang terpilih itu menjalankan kehendak rakyatnya? Kenyataannya justru berbicara lain. Alih-alih membela kepentingan rakyat, para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih selama ini justru lebih banyak mengagendakan kepentingan pribadi, keluarga, atau paling banter partainya. Rakyat sendiri, habis manis sepah dibuang.

Akan tetapi, apa itu alasannya sehingga kita berlepas diri? Tentu saja bukan. Kita yang mengaku Muslim—yang menaati Allah Swt. dan Rasul-Nya, serta yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah itu sebagai rujukan dalam seluruh aspek kehidupan—harus memperhatikan beberapa kenyataan-kenyataan berikut ini:

Pertama, demokrasi merupakan sistem kufur yang dibangun berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan. Seluruh perkara di dalam demokrasi itu berasal dari—dan ditujukan pada—manusia, bukan dari dan bagi Allah Swt. Manusia dianggap sebagai sumber tasyrî‘ (perundang-undangan). Merekalah yang mengeluarkan peraturan terhadap seluruh urusan kehidupan mereka, dengan metode yang mereka pilih. Hal ini merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan bertentangan dengan akidah Islam secara total. Allah Swt. berfirman:

]أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ[

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam. (QS al-A‘raf [7]: 54).

Demokrasi sama artinya dengan mengabaikan otoritas Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagai Syâri‘ (Pembuat hukum), dan digantikan oleh manusia (rakyat) sebagai pihak yang berdaulat. Ini sesuai dengan prinsip sekularisme (pemisahan agama dengan urusan kehidupan; pemisahan agama dengan arena politik; pemisahan agama dengan urusan-urusan dunia) yang selama ini dipropagandakan dan dijalankan oleh peradaban Barat yang kafir. Wajar jika negara-negara Barat selalu men-support jargon-jargon demokrasi dan mendorong Pemilu yang demokratis (menurut mereka). Dengan demikian, pesta demokrasi hakikatnya adalah pesta kekufuran yang melibatkan rakyat seluruh negeri.

Kedua, sebagian parpol Islam yang terlibat dalam Pemilu mengatakan bahwa kaum Muslim mampu mencapai penerapan hukum Islam melalui jalan usulan untuk penerapan syariat di parlemen. Pandangan semacam ini tidak bisa diterima. Sebab, hal itu berarti tidak menjadikan Islam sebagai asas karena Islam adalah dîn yang wajib kita terapkan, tetapi karena diterima oleh mayoritas masyarakat. Apakah seorang Muslim dibolehkan menjadikan dîn Allah sebagai sasaran dari hawa nafsu manusia dan bergantung pada apakah manusia mau menerima atau menolaknya? Itu jika pandangan orang-orang yang mempropagandakan penerapan Islam untuk menjadi mayoritas di parlemen bisa ditoleransi. Namun, kenyataannya, sistem (pemerintahan) kufur di Dunia Islam tidak mentoleransi hal itu. Sistem demokrasi memang menghendaki adanya orang-orang yang mengangkat syiar-syiar Islam di parlemen sebagai bentuk permainan peran oposisi, untuk menyempurnakan pentas demokrasi, dan menampakkan adanya pluralitas seluruh kelompok-kelompok politik dalam setiap keputusan yang mereka ambil. Seandainya parpol Islam berhasil seluruhnya di dalam pemilihan, mereka tetap tidak akan berhasil mencapai jumlah yang diminta untuk menerapkan Islam di suatu negeri. Bagaimana mungkin hal itu terjadi, sementara mereka sendiri telah bersumpah sebelum masuk (menjadi anggota) parlemen untuk menjaga undang-undang dasar yang ada?! Kenyataan-kenyataan yang ada, dengan keberhasilan partai-partai politik yang mengangkat syiar-syiar Islam, seperti yang ada di Turki, hal itu berhasil setelah mereka memberikan jaminan (garansi) terhadap para penguasa untuk tetap menjaga sekularisme di negara itu. Jika hal itu tidak dilakukan, tentu saja mereka tidak diizinkan untuk mengikuti Pemilu. Bukti nyata atas hal itu adalah apa yang terjadi di Aljazair.

Ketiga, banyak parpol Islam yang bersemangat untuk terlibat dalam Pemilu membenarkan perbuatan mereka, dengan dalih, kita tidak ingin membiarkan lapangan ini untuk orang-orang yang tidak bertakwa; dan kami memilih orang yang lebih baik (salih) untuk aktivitas tersebut. Apa jadinya, menurut mereka, apabila pemerintahan dan kekuasaan dikuasai oleh orang-orang kafir, orang-orang zalim, munafik, dan fasik? Kami mengatakan kepada mereka, yang mengatakan itu, bahwa memilih yang lebih baik bisa dilakukan terhadap perbuatan yang direstui oleh Islam. Namun, jika perbuatan itu diharamkan, bahkan keharamannya amat besar di sisi Allah, yaitu bersandar pada selain syariat Allah, maka tidak dibolehkan memilih yang baik (salih) atau pun yang tidak baik untuk itu. Orang-orang yang salih lagi bertakwa tidak akan mengajukan diri mereka menjadi wakil dari manusia dalam hal pembuatan hukum-hukum selain Allah!

Jika demikian kenyataannya, apa sebenarnya yang dicari oleh kaum Muslim? Lalu, bagi parpol Islam, apa yang sebenarnya yang Anda cari?

Comments :

0 komentar to “Parpol Islam, Apa yang engkau cari ?”

 

Copyright © 2009 by Tiada Kemulian Tanpa Islam