Senin, 26 Januari 2009

Fatwa haram terlibat dalam Sistem Sekuler

Ada seruan untuk mengeluarkan fatwa golput, alasannya kalau orang tidak memilih itu banyak itu akan mengancam dan merugikan negara. Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir tentang masalah ini?

Yang pertama, undang-undang pemilu sendiri menyebut bahwa memilih itu hak bukan kewajiban. Orang yang punya hak itu kan dia bisa menggunakan atau tidak, namanya juga hak. Jadi bagaimana mungkin hak itu dihukumi haram ketika orang itu tidak mengambilnya. Misalnya begini, Anda punya hak dapat gaji dari kantor, lalu anda tidak ambil, bagaimana dikatakan bahwa anda telah melakukan sesuatu yang haram, itu kan hak. Jadi, fatwa haram golput itu sendiri menurut saya secara filosofis itu sudah bermasalah, kecuali kalau memilih itu kewajiban maka ketika dia tidak tunaikan kewajiban bisa jadi disebut haram.

Kedua, terkait dengan pengertian memilih itu sendiri. Memilih tidak memilih itu kan memilih. Jadi, adalah hak juga setiap orang untuk menggunakan hak pilihnya itu dalam segala bentuk yang dia memang pilih. Termasuk ketika dia tidak memilih, itu juga adalah pilihan. Makanya kan sifatnya itu hanya seruan, orang boleh datang boleh tidak. Yang tidak datang juga nggak apa-apa, nggak bisa dipaksa. Ketika dia masuk ke bilik suara, dia memilih atau tidak memilih, itu juga pilihan.

Kemudian yang ketiga, bahwa sekarang ini berkembang fenomena golput di mana-mana. Di pilkada itu sampai 45%, 47 %, angka yang sangat tinggi. Itu harus dipahami secara lebih mendalam. Jangan-jangan itu merupakan refleksi dari apatisme politik masyarakat melihat bahwa proses politik itu tidak memberikan efek apa-apa terhadap kehidupan mereka.

Bagaimana anggapan, kalau masyarakat itu tidak memilih dan itu jumlahnya banyak, ini akan mengancam negara dalam pengertian proses politik dalam negara?

Bahwa itu mengancam, saya juga tidak mengerti ancaman dalam bentuk apa? Kalau katakanlah memang betul masyarakat itu pada akhirnya memang lebih banyak tidak memilih, itu sebenarnya menunjukkan bahwa sistem politik itu sudah tidak berjalan. Nah kalau kembali kepada konsep kedaulatan rakyat, maka sebenarnya rakyat itu harus memegang kendali untuk perubahan. Berarti sistem ini juga tidak bisa mengabsorps apa yang dimaksud dengan kehendak rakyat itu. Nah, kehendak rakyat itu harus kemudian dibaca dalam bentuk yang lain. Artinya bukan dalam bentuk pemilihan-pemilihan seperti itu. Kemungkinan menghendaki sebuah perubahan yang lebih mendasar. Menurut saya, ini tidak bisa dianggap sebagai ancaman, karena berarti rakyat menghendaki sesuatu yang lebih baik. Jadi, bagaimana rakyat yang menghendaki keadaan yang lebih baik kok dianggap mengancam kelangsungan negara.

Bagaimana pandangan Hizbut Tahrir tentang pemilu ini?

Hizbut Tahrir sendiri memandang bahwa pemilu itu adalah wakalah. Dari konsep wakalah ini ada empat unsur yang penting: wakil, muwakil–orang yang memilih wakilnya itu, ijab qabul, dan amal atau kegiatan apa yang diminta muwakil kepada wakil melakukannya. Nah dari empat unsur itu, ada satu yang paling penting, yaitu amal atau kegiatan apa yang akan dilakukan wakil atas perintah muwakilnya itu. Amal itulah yang akan menentukan apakah wakalah ini bisa dikatakan islami atau tidak. Kalau perbuatannya itu benar sesuai dengan akidah dan syariat Islam maka wakalah ini Islami, tetapi kalau tidak maka ini tidak Islami. Nah kalau mau dibuat fatwa, sebenarnya konteksnya harus ini. Yaitu, fatwa bahwa orang itu harus menjalankan wakalah ini dengan benar, kalau tidak benar maka haram. Nah itu bagus. Misalnya, yang memilih wakil yang justru akan melanggengkan sistem sekularisme.

Jadi, dalam pandangan Hizbut Tahrir, seharusnya fatwa itu adalah fatwa kewajiban bagi caleg untuk menerapkan syariat Islam?

Ya, itu. Jadi haram untuk memilih wakil rakyat yang justru melanggengkan sekularisme. Nah itu baru pas. Jadi bukan fatwa golput. Kalau fatwa golput kan seolah-olah kemudian wajib memilih, apapun pilihannya. Padahal kan, dalam pilihan itu bisa benar bisa salah.

Ada tudingan ketika Hizbut Tahrir misalkan tidak ada pilihan, kemudian tidak memilih, ini dianggap apolitis atau apatis terhadap kondisi politik yang ada dengan menggunakan kaidah akhofud-dhororoin, mengambil dhoror yang lebih ringan, bagaimana pandangan Hizbut Tahrir?

Pertama, Hizbut Tahrir tidak pernah mengatakan golput. Hizbut Tahrir dalam pernyataan resminya mengingatkan kepada rakyat untuk menggunakan hak pilihnya dengan benar. Yaitu kalau memilih yaitu memilih partai yang baik, yang berasas Islam dengan tujuan tegaknya syariah dan Khilafah, tercermin dalam konsepnya, tercermin dari kinerja kesehariannya, anggotanya dan sebagainya.

Kedua, ketika orang itu punya pilihan politik itu tidak bisa dikatakan apolitik, justru dia itu mengerti politik. Karena pilihannya itu didasarkan pada pengetahuan politik dan sikap politik. Bahwa dia tidak mau terus menerus terjerumus kepada sistem yang sekularistik ini.

Nah, akhofud-dhororoin, itu kaidah yang menurut saya, kaidah yang lantas disalahgunakan secara semena-mena. Dalam arti begini, selalu akhirnya dipertimbangkan bahwa intinya itu maslahat. Karena berdasarkan kaidah yang asalnya memang baik lantas itu digunakan untuk seluruh keadaan. Misalnya begini, dulu antara Gusdur dan Megawati, berdasarkan kaidah akhofud-dhorooin lalu memilih Gusdur, karena katanya Megawati lebih dhoror, Gusdur lebih akhof—ringan—dhorornya. Nah ketika Gusdur sudah terpilih, kemudian Gusdur harus diturunkan tapi konsekuensinya Megawati naik karena katanya dhoror Gusdur itu lebih besar dari dhorornya Megawati. Akhirnya kan jumpalikkan begitu, nggak pernah ada satu sikap yang tegas. Karenanya maka menurut saya, sikap itu harus didasarkan pada dasar ideologi yang tegas lebih dulu.

Artinya kemaslahatan itu, kalau dalam pandangan Islam harus dinilai dari kepentingan syariah Islam, begitu?

Iya.

Aktivitas Hizbut Tahrir sekarang misalkan berkampanye ingin merubah masyarakat menegakkan syariat Islam, itu juga aktivitas politik?

Aktivitas politik itu tidak berarti ada di parlemen, tapi mengoreksi penguasa itu adalah aktivitas politik, kemudian mendidik umat itu juga aktivitas politik. Kalau kita kembali kepada empat fungsi partai politik itu, representasi itu hanya salah satu saja, selain edukasi, artikulasi dan agregasi. Jadi kalau kaitannya dengan Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir melakukan tiga dari empat. Jadi tidak bisa, bagaimana Hizbut Tahrir disebut apolitik. (li-hti)

Comments :

1
Rizaldy Patra mengatakan...
on 

Assalamu'alaikum

Akhi, tulisannya bagus sekali. Dari pertanyaan dan jawaban yang dilontarkan, hampir(tidak berani bilang 100%) semuanya logis.

Teruskan kinerja baikmu ini dan berusahalah menjadi lebih baik Akhi.

Wassalam.

 

Copyright © 2009 by Tiada Kemulian Tanpa Islam