Oleh : Ust. Harist Abu Ulya
Masyarakat luas telah mengikuti pemutaran rekaman sebagian dari episode kisruh “cicak-buaya” yang disiarkan langsung oleh televisi selama kurang lebih 4,5 jam pada tanggal 3 November 2009. Ini menjadi sebuah jejak rekam potret peradilan di Indonesia makin buruk dan jatuh pada titik paling nadzir.Seolah ini juga menjadi jawaban atas dugaan dan kegelisahan masyarakat luas selama ini atas sebab minimnya nilai keadilan bagi mereka.
Ibarat gunung es, rekaman pembicaraan tadi hanyalah menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya, yakni adanya mega korupsi yang sangat luar biasa telah terjadi di negeri ini, baik dari segi jumlah uang yang dikorup, kecanggihan praktik sampai jumlah orang dan pihak yang terlibat di dalamnya. Berlanjut pasca di publikasikannya rekaman telpon hasil penyadapan KPK di depan MK tersebut, menjadi titik balik gugatan masyarakat terhadap seluruh instrumen penegak hukum dan peradilan serta terhadap penguasa yang selama ini merasa legitimate.
Mereka mengekspresikan dalam berbagai bentuk, dari demonstrasi, senam sehat hingga seni parodi (sindiran dan ejekan) dari kecaman didunia maya (internet) hingga di dunia nyata. Dan fenomena oposisi jalanan makin menguat, Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum sangat rendah, bahkan dari berbagai jajak pendapat 89,8% masyarakat percaya keputusan hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang. (Jajak pendapat Kompas,9/11/09).
Bahkan masyarakat dibuat jenggah dan bingung ketika semua pihak yang terkait dalam kasus ini merasa menjadi yang paling benar dengan berbagai argumentasi. Sebagian masyarakat semakin kecewa ketika sekelompok orang yang mengatas namakan wakil rakyat (DPR) hilang sikap kritisnya bahkan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat, dan mendorong kemungkinan, “oposisi jalanan semakin menguat” seperti yang dikatakan Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid, (kompas, 9/11/09). Masyarakat seperti meraba obyek diruang gelap dan sangat bisa tertipu dan mendapatkan jawaban akhir dari kasus ini diluar dugaan. Karena bisa jadi penjahat negara dia tampil dalam balutan sosok kesatria, para begundal mafioso yang memporakporandakan kebenaran dan keadilan dalam wajah pengak-penegak hukum yang dibanggakan, menjadi pembela nafsu konglomerat tapi tampil seperti sang pembela rakyat.
Akhirnya masyarakat sekarang seolah menjadi masyarakat yang terdidik, melek hukum, dan sadar politik.Respon penguasa dengan mencanangkan program “ganyang Mafia” peradilan/hukum pada tanggal 5/11/09 sebagai bagian dari agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, tidak menjadikan otomatis masyarakat percaya.Karena seperti pepatah nasi telah menjadi bubur, juga sekalipun pemerintah kembali membuka PO Box 9949 berikut dengan kode GM (Ganyang Mafia) untuk menerima laporan masyarakat yang menjadi korban. Tapi dari peristiwa pemutaran rekaman diatas telah membuka mata semua warga negara, betapa mafia peradilan telah berurat akar di negeri Indonesia. Kasus suap menyuap dan korupsi sudah menjadi perkara lazim dalam wilayah peradilan.
Hukum tunduk kepada pemilik modal (uang), hukum tidak berpihak bagi masyarakat miskin.Keadilan di takar dengan tumpukan uang, dan hukum bisa diperjual belikan serta dinego. Seolah penguasa negeri ini, baru bangun tersadar setelah semua penyakit kronis ini disorot dengan tajam oleh masyarakat dengan rasa “geram” luar biasa. Dan fakta bahwa problem korupsi tidak hanya di ranah peradilan, tapi menyangkut para pejabat eksekutif mulai dari menteri, gubernur, bupati, walikota hingga seorang lurah, yang memegang kuasa kelola berbagai proyek strategis kepentingan masyarakat menjadi pelaku dan kasusnya banyak mengendap begitu saja.
Fakta-fakta yang meruntuhkan kepercayaan Masyarakat
Sebuah pelajaran berharga, dari peristiwa diatas menjadi indikasi kuat betapa amburadulnya perihal hukum di Indonesia, tepatnya aparat hukum dan lembaga-lembaga hukum yang ada serta Undang-Undang yang dijadikan acuan lahirnya keadilan bagi masyarakat dalam berbagai kasus sengketa. Undang-Undang yang ada belum bisa mencover seluruh persoalan sengketa masyarakat yang butuh keadilan, hingga masih membutuhkan tim atau kepanitian baru setiap kasus yang menemui jalan buntu. Adanya Tim Pencari Fakta berbagai kasus peradilan di negeri ini sering kali terjadi, terakhir dalam kisruh KPK melahirkan Tim 8 yang sebagian pihak berpendapat makin menjadikan masalah hukum dan peradilan menjadi blunder, dan menimbulkan kontraksi pada setiap institusi penegak hukum.
Global Corruption Report melansir sekitar US$ 40 miliar atau setara Rp 400 triliun digunakan dunia usaha untuk menyuap pejabat publik setiap tahun. Pemberian suap itu bertujuan untuk memudahkan bisnis dan bahkan ada yang bermotif politik mempertahankan pemerintahan yang korup. Suap, sepertinya sudah bukan hal yang asing terdengar dalam berbagai macam urusan apapun di negeri ini, “dengan suap itu kemudian bisa menyulap suatu kebijakan publik yang memberi kemudahan bisnis,” dan semua itu modus operandinya dilakukan sangat terorganisisr, kata Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis, pada peluncuran Global Corruption Report 2009, di Jakarta, Rabu (7/10).
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Kasus korupsi yang ditangani KPK sejak Januari 2008-Agustus 2009 didominasi oleh modus suap. Sesuai data ICW (Indonesia Coruption Watch) terungkap, dari 95 kasus, ada 34 kasus atau 35,79 persen modusnya suap. Menyusul mark up 19 kasus atau 20 persen, penggelapan atau pungutan 18 kasus (18,95 persen), penyalahgunaan anggaran 15 kasus (15,79 persen), penunjukan langsung 8 kasus atau 8,42 persen, dan 1 kasus pemerasan. “Modus korupsi terbanyak yang diungkap KPK adalah suap. Ini merupakan salah satu cara memutus rantai akar korupsi,” kata Febri Diansyah, peneliti hukum ICW, di Jakarta, Jumat (28/8). Sedangkan dilihat dari latar belakangan profesi, tersangka korupsi paling dominan swasta.
Dari 95 tersangka, 19 di antaranya adalah swasta, disusul anggota DPR/DPRD 18 orang, pejabat eselon dan pimpro 17 orang. Duta besar, pejabat konsulat, dan imigrasi ada 13 orang yang jadi tersangka, kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) 12 orang, dewan gubernur/pejabat Bank Indonesia 7 orang, pejabat BUMN 5 orang, dan komisi negara 2 negara. Untuk aparat hukum dan BPK masing-masing 1 orang. “Penyelenggara negara maupun swasta yang terkait korupsi itu karena merugikan keuangan negara, suap, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan konflik kepentingan,”.
Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak tepat sasaran. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.
Tentu tidak salah dari data diatas masyarakat sampai pada sebuah kesimpulan, mafioso peradilan betul-betul telah mengakar dan meruntuhkan sistem peradilan di negeri ini. Dan menyebabkan jalannya roda pemerintahan terganggu, karena para birokrat tidak bekerja secara optimal.Yang pasti efek dominonya adalah masyarakat semakin menderita dan menggantang asap keadilan, karena hukum tidak bisa diraih dengan tangan yang hampa uang dan harta. Bila keadaan ini terus berlanjut, akan meniscayakan runtuhnya sebuah pemerintahan, apalagi jika kepentingan asing ikut bermain seperti yang sudah menggejala di Indonesia.
Apakah umat ini akan terus mempertahankan produk hukum peradilan dari sistem sekuler seperti hari ini? Lantas seperti apa peradilan dalam Islam sebagai solusi atas bobroknya sistem peradilan sekuler ini?
Solusi Islam mengeliminir korupsi dan mafia peradilan
Sebagai sistem hidup, Islam memiliki sejumlah cara yang sangat gamblang untuk menanggulangi masalah yang untuk negeri ini sudah demikan kronis, diantaranya adalah:
1. Sistem penggajian yang layak. Salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah kurangnya gaji yang diterima para pegawai pemerintah. Sebagai manusia biasa, para birokrat tentu juga memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, kepada mereka diberikan gaji dan fasilitas yang layak. Berkenaan dengan soal ini, Rasul berkata,”Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah: jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya
diberi. Dan barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”(HR.Abu Dawud).
2. Larangan penerimaan suap dan hadiah. Tentang suap, Rasulullah SAW berkata, ”Laknat Allah
terhadap penyuap dan penerima suap“ (HR.Abu Dawud). Suap menyebabkan penyimpangan kebijakan diskriminasi dan merusak mental birokrat .
3. Penghitungan kekayaan. Untuk menjaga dari berbuat curang, Khalifah Umar menghitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai pegawai negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan tidak wajar, Umar memerintahkan segera menyerahkan kelebihan itu kepada negara.
4. Teladan dari pemimpin. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan juga tidak sulit dilakukan. Khalifah Umar misalnya, menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan itu bersama beberapa unta lain digembalakan di padang rumput milik negara. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara. Demi agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada rakyatnya.
5. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima resiko yang akan mencelakakan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berfikir sekian kali untuk melakukan kejahatan. Dalam Islam, tindak korupsi merupakan jarimah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuk bisa berupa hukuman tasyhir (perwartaan dulu diarak, sekarang mungkin bisa ditayangkan di tv) atau hukuman kurungan.
6. Pengawasan masyarakat. Masyarakat jelas turut berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Bila didalam masyarakat tumbuh budaya anti korupsi, bukannya malah memancing timbulnya korupsi, maka insya Allah, masyarakat akan berperan efektif dalam mengawasi setiap tindakan para birokrat. Akhirnya korupsi bisa ditekan.
7. Pengendalian diri yang bersumber dari iman yang teguh. Korupsi atau tidak, pada akhirnya memang berpulang pada kekuatan iman dan kontrol diri para birokrat itu sendiri. Dengan iman yang teguh, ia akan merasa selalu diawasi Allah dan takut untuk melakukan penyelewengan. Takut rizki yang diterimanya selain tidak berkah, juga akan membawanya kepada adzab neraka. Dan terlebih lagi, ia takut akan murka Allah.
Selengkapnya...
Selasa, 10 November 2009
MAFIOSO PERADILAN; BUKTI BOBROKNYA SISTEM PERADILAN SEKULER
Senin, 09 November 2009
SELAMATKAN INDONESIA DENGAN SYARIAH, BERSIHKAN INDONESIA DARI SISTEM DAN BIROKRAT YANG KORUP!!
Diperdengarkannya rekaman berdurasi sekitar 4,5 jam pembicaraan telepon antara Anggodo (adik buron koruptor Anggoro) dengan dan atau tentang sejumlah pihak, baik dari kalangan kepolisian, kejaksaan, pengacara maupun instansi lain di depan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa 3 November lalu, menguak bukan saja tentang adanya rekayasa kriminalisasi KPK, khususnya terhadap dua pimpinannya, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, tapi juga menunjukkan dengan sangat gamblang betapa praktik korupsi sudah demikian merasuk ke relung jantung dan sumsum negeri ini, sekaligus juga menunjukkan betapa korupnya birokrat negeri ini. Sampai-sampai birokrat kepolisian dan kejaksaan yang semestinya menjadi benteng paling kokoh dalam penegakan hukum justru menjadi pihak yang paling telanjang mempermaikan hukum.
Tapi Hizbut Tahrir Indonesia menilai, kenyataan tadi hanyalah sekadar mengkonfirmasikan apa yang telah menjadi omongan banyak pihak tentang betapa parahnya korupsi di negeri ini. Ibarat gunung es, rekaman pembicaraan tadi hanyalah menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya, yakni adanya mega korupsi yang sangat luar biasa telah terjadi di negeri ini, baik dari segi jumlah uang yang dikorup, kecanggihan praktik sampai jumlah orang dan pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus Anggodo, korupsi dalam bentuk penyuapan, melibatkan oknum kepolisian, kejaksaan dan pengacara. Dalam kasus yang lain, misalnya alih fungsi hutan, pemilihan pejabat BI dan kasus lainnya, melibatkan pejabat daerah atau pimpinan BI dan anggota DPR. Sementara, dalam kasus seperti BLBI yang telah merugikan negara ratusan triliun rupiah, melibatkan oknum pejabat BI, pejabat bank, pejabat tinggi pemerintahan, bahkan pada tahap lanjut juga melibatkan anggota DPR, kepolisian, kejaksaan, pengacara, kalangan pers dan lainnya. Dan korupsi bukan hanya terjadi di tingkat pusat tapi juga berlangsung di level lebih rendah, baik di tingkat provinsi, kota kabupaten juga di kecamatan bahkan kelurahan.
Maka, korupsi di Indonesia sungguh telah menjadi persoalan yang amat akut. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Berapa kerugian negara akibat korupsi? Sangat besar. Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak tepat sasaran. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.
Melihat kenyataan di atas, maka Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Korupsi tidak bisa tidak harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Bila tidak, ia akan makin merusak perikehidupan bangsa dan negara baik dari sisi politik, ekonomi, sosial dan akhlaq. Beberapa langkah menurut syariat Islam yang harus ditempuh untuk memberantas korupsi adalah:
a. Penetapan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Itu sulit berjalan dengan baik, bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarganya. Maka, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, kepada mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.
b. Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena untuk apa memberi sesuatu bila tanpa maksud, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak sesuai dengan harapan pemberi hadiah. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar – separo untuk kaum Muslim dan sisanya untuk orang Yahudi – datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi. Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR. Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
c. Perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang tepat untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi Khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini justru ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
d. Teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terutama pemimpin tertinggi sebuah negara terlebih dahulu harus bersih dari korupsi. Dengan ketakwaannya, seorang pemimpin bisa menjalankan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan ketakwaannya pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungan jawab. Di sinilah perlunya keteladanan dari para pemimpin itu. Dengan keteladanan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bila korupsi justru dilakukan oleh para pemimpin, praktek busuk ini tentu akan cenderung ditiru oleh bawahannya, hingga semua upaya apa pun dalam memberantas korupsi menjadi tidak ada artinya sama sekali.
e. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
f. Pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.
2. Tapi korupsi sesungguhnya hanya merupakan buah dari sistem yang korup, yaitu sistem Kapitalisme, dengan akidah Sekularisme dan asas manfaatnya. Sistem ini mendorong orang menjadi berpandangan materialistik. Semua hal dihitung dan diletakkan dalam konteks materi, serta untung dan rugi. Tak heran, bila semua hal baik itu jabatan, kewenangan, ijin, lisensi, keputusan hukum, kebijakan pemberitaan, peraturan perundang-undangan dan sebagainya, juga mestinya harus bisa dibuat agar memberikan keuntungan materi. Dari sinilah sesungguhnya hasrat korupsi itu timbul. Karena itu, bila benar-benar ingin menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia, maka selain harus dibersihkan dari birokrat yang korup, negeri ini juga harus dibersihkan dari sistem yang korup, yaitu sistem Sekuler – Kapitalistik ini. Sebagai gantinya adalah sistem syariah yang secara pasti senantiasa akan mengkaitkan semua derap hidup manusia di semua aspek kehidupan dengan keimanan kepada Allah SWT, dzat Maha Melihat dan Maha Mendengar
Selengkapnya...
Senin, 19 Oktober 2009
Al Quds Tidak Bisa Dibebaskan Hanya Dengan Demonstrasi
بسم الله الرحمن الرحيم
هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ
Ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya (TQS Ibrahim [14]: 52)
Al-Quds, dengan Protes dan Demonstrasi … Tidak Bisa Kembali
Dan Akan Kembali ke Pangkuan Kaum Muslim
Hanya dengan Mobilisasi Tentara untuk Mencabut Entitas Yahudi!
Yahudi memprovokasi kaum Muslim di masjid al-Aqsa pagi dan petang. Kadang kala dengan menggali bagian di bawah masjid atau di lain waktu dengan merusak bagian atasnya. Pada kesempatan yang lain dengan mempersulit orang-orang yang melaksanakan shalat, sehingga Yahudi kadang memberi izin kadang yang lain melarang. Dan di waktu yang lain dengan menaruh peci-peci mereka untuk mendeklarasikan ritual-ritual mereka… Jika kaum Muslim menghadang mereka, maka orang-orang Yahudi melempari mereka dengan peluru, sehingga kaum Muslim ada yang terbunuh, terluka dan ditangkap. Sedangkan para penguasa di negeri-negeri kaum Muslim, mereka hanya menghitung korban tewas, terluka dan yang ditangkap. Sikap terbaik dari mereka hanyalah “memberikan karunia” kepada masyarakat dengan mengizinkan mereka melakukan aksi protes, mengajukan keberatan, dan berteriak menentang Yahudi dan begundalnya tanpa melakukan penguntitan atau penangkapan!
Semua itu tidak bisa membuat bulu kuduk Yahudi berdiri sehelai pun. Juga tidak bisa membuat Yahudi mundur satu langkah pun. Sesungguhnya Yahudi bersama dengan para penguasa itu memiliki catatan hitam atas masjid al-Ibrahimi di al-Khalil. Yahudi telah membagi dengan penduduknya dengan pembagian yang tidak adil: pihak musuh yang menduduki tanah al-Khalil (Yahudi) boleh pergi dan bersenang-senang pagi dan petang kapan saja ia mau. Sedangkan bagi penduduk al-Khalil tempat di mana masjid al-Ibrahimi berada, pihak musuh –Yahudi- “membuat undang-undang” yang mengatur bagaimana dan kapan penduduk al-Khalil boleh masuk masjid al-Ibrahimi!
Wahai Kaum Muslim
Bisa jadi merupakan perkara yang agung dan mulia, yang layak dicatat di lembaran putih, kalau orang-orang yang ada di bawah pendudukan melakukan protes dan penolakan untuk membela masjid al-Aqsa… Tetapi bukan perkara yang besar dan bukan upaya mulia yang layak dicatat di dalam pembaran-lembaran putih, melainkan dicatat di lembaran-lembaran asing nan hitam, jika kaum Muslim yang ada di luar tanah yang diduduki mencukupkan diri dengan aksi protes dan demonstrasi… dan dengan protes melalui pidato-pidato yang membakar di berbagai lapangan…!
Dahulu Palestina telah diduduki oleh kaum salibis. Mereka membuat kerusakan dan merusak di masjid al-Aqsa. Darah para syuhada kaum Muslim menggenang di area masjid sampai di atas lutut! Kaum salibis menghancurkan mimbar al-Aqsa. Mereka merubah masjid menjadi tempat menambatkan kuda-kuda mereka… Akan tetapi kaum Muslim tidak menyibukkan diri melakukan aksi protes dan penolakan untuk membebaskan al-Aqsa. Mereka juga tidak menyibukkan diri membangun mimbar yang mereka buat di bawah pendudukan untuk memakmurkan al-Aqsa. Akan tetapi misi mereka siang dan malam adalah menyiapkan pasukan, memobilisasi tentara mukmin yang benar dengan kepemimpinan Shalahuddin, wali Mesir dan Syam di bawah khilafah yang memerintah menurut apa yang diturunkan oleh Allah dan berjihad di jalan Allah.
Dahulu protes-protes kaum Muslim adalah lompatan-lompatan tentara terhadap benteng-benteng kaum salibis. Penolakan-penolakan mereka adalah berupa pukulan-pukulan yang menghantam kepala-kepala orang-orang yang melampaui batas itu. Pidato-pidato membakar kaum Muslim adalah teriakan takbir di medan pertempuran. Dan dimasukannya mimbar ke masjid al-Aqsa adalah pada saat pembebasannya, bukan di bawah pendudukan. Mereka menolong Allah maka Allah menolong mereka.
إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS al-Hajj [20]: 40)
Begitulah kaum Muslim dahulu. Mereka mulia dengan agama mereka dan kuat karena pertolongan Rabb mereka. Mereka menyibukkan diri dalam menyiapkan pasukan untuk membebaskan al-Aqsa dari najis kaum salibis dan menerangi al-Aqsa dengan cahaya para tentara yang memekikkan takbir berkat pertolongan dan kemenangan yang nyata. Untuk semisal itulah hendaknya para aktivis berjuang. Sesungguhnya metode membela al-Aqsa dan sekitarnya bukannya tidak diketahui, akan tetapi hal itu sangat jelas di atas pengetahuan, lebih terang dari pada api:
Yaitu memobiliasi tentara kaum Muslim dan menghimpun orang-orang yang mampu menjadi tentara bergabung di dalam pasukan kaum Muslim itu untuk mencabut entitas Yahudi dari akar-akarnya dan mengembalikan al-Aqsa bebas mulia dan bersih dari kotoran Yahudi dan siapa yang ada di belakang Yahudi…
Sesungguhnya itulah perlakuan bagi Palestina sebagai satu kesatuan dari sungai hingga lautnya, tanpa memecah-mecahnya antara bagian yang diduduki pada tahun 1948 dan yang diduduki pada tahun 1967. Siapa saja yang menarik diri dari sebagian kecil tanah Palestina maka ia pasti akan mundur dari bagian yang lain dan bagian yang lainnya lagi. Dan siapa saja yang menghinakan diri maka itu mempermudah kehinaan terhadapnya…
Sesungguhnya metode membela al-Aqsa adalah dengan menginjak-injakkan kaki pada rencana perundingan dengan Yahudi berupa peta jalan menuju pembentukan dua negara… bahkan menginjak-injakkan pada bagian atas dan bawahnya dan huruf-hurufnya diulang-ulang dan oleh para pengusung panjinya. Palestina tidak menerima pembagian menjadi dua bagian. Palestina adalah tanah yang diberkahi, semuanya adalah tanah Islami, tidak ada satu jengkal pun yang kosong dari darah para mujahid atau debu kuda-kuda para mujahid.
Sesungguhnya metode membela al-Aqsa adalah umat berdiri di hadapan para penguasanya agar para penguasa itu memobilisasi pasukan untuk berperang. Jika mereka tidak mau melakukanya, maka umat akan menindak mereka dan mengangkat seorang penguasa yang mukmin dan benar. Yaitu seorang Khalifah ar-rasyid, yang umat berperang di belakangnya, yang menjual dirinya demi mendapatkan keridhaan Allah. Seorang Khalifah yang tidak akan menempatkan pasukan tetap berdiam di barak hanya untuk perhiasan dan perayaan. Akan tetapi adalah untuk meraih salah satu dari dua kebaikan dan pembebasan kiblat pertama di antara dua kiblat.
Wahai Kaum Muslim
Musuh-musuh Islam dan antek-antek mereka telah berhasil memutuskan Palestina dari pokok dan akarnya. Mereka telah “mengkerdilkanya” dari masalah Islam menjadi masalah Arab, kemudian menjadi masalah Palesina “nasionalisme”. Kemudian mereka membaginya di antara Gaza dan Tepi Barat! Kemudian menjadi masalah pemukiman. Mereka “menyelam” di kedalaman kata-kata: Apakah pemukiman akan dihentikan, dibekukan, dibatasi, diatur… semuanya atau total?! Dan terjadilah diskusi, dan diskusi. Sementara entitas Yahudi tidak mengacuhkan semua itu. Akan tetapi berlawanan dengan semua diskusi tentang pemukiman, meninggikan pondasi, pilar atau dinding… Entitas Yahudi meninggikan bangunan dan membungkusnya dengan marmer. Mereka meninggikan suara dengan kata-kata gurauan!
Begitulah, musuh-musuh Islam berhasil menurunkan masalah dari ketinggiannya. Mereka membebaskan siapa saja yang menjadi pengikut mereka dari kesalahan … Sehingga masalah itu menjadi masalah Palestina atau lebih kecil dari itu! Para penguasa hanya melihatnya dari kejauhan. Para penguasa itu hanya bersikap netral atau malah lebih dekat kepada musuh, maka dilaknati Allah lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Akan tetapi yang lebih menyakitkan adalah bahwa di antara penduduk Palestina ada yang mendapatkan kemuliaan dengan perbuatan dosa. Dia berteriak: “Wahai para penguasa , kami tidak menginginkan tentara Anda, kami cukup! Padahal semua orang yang berakal bisa memahami, bahwa menghilangkan entitas Yahudi dan mengembalikan Palestina ke pangkuan negeri Islam tidak akan sempurna kecuali oleh sebuah negara yang memobilisasi tentara yang mengalahkan entitas Yahudi. Dengan selain itu pelenyapan entitas Yahudi tidak akan terealisir dan Palestina tidak akan bisa dikembalikan secara total ke pangkuan negari-negeri Islam. Sesungguhnya setiap orang Muslim di dalam negeri Palestina atau di luar negeri, baik individu maupun kelompok, menasehati para penguasa agar tidak memobilisasi pasukan untuk menyelamatkan Palestina dan agar menyerahkan pembebasan Palestina kepada penduduknya yang berada di bawah pendudukan. Siapa saja yang demikian sungguh telah mengkhianati Allah, RasulNya dan kaum Mukmin. Karena dengan itu mereka telah mempertahankan Palestina di bawah pendudukan…
Wahai Kaum Muslim
Wahai Bapak-bapak dan Saudara-saudara Pasukan Kaum Muslim…
Wahai Tentara-tentara Mujahid
Sungguh al-Aqsa berteriak memanggil Anda dan Palestina meminta pertolongan Anda. Para wanita kaum Muslim menyeru Anda. Maka apakah Anda tidak menjawab mereka dan mencari salah satu dari dua kebaikan: kemenangan atau syahid; bahkan keduanya sekaligus dengan izin Allah, sehingga wajah-wajah orang Yahudi menjadi buruk, dan Anda memasuki masjid al-Aqsa sebagaimana para pembebas memasukinya pertama kali, dan membersihkan kotoran yang melekat pada Yahudi di al-Aqsa dan sekitarnya. Tidakkah Anda semua memenuhinya?
Bukankah Anda melihat al-Aqsa ditawan, dilukai, bahkan dibunuhi. Sementara Anda akan diam saja memenuhi perintah para thaghut yang zalim? Tidakkah Anda takut akan ditimpa apa yang telah menimpa kaum yang bermaksiyat kepada Allah dan malah mentaati pemimpin mereka, sehingga mereka disesatkan dan dijerumuskan ke dalam neraka Jahannam
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاَ * وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (QS al-Ahzâb [33]: 66-67)
Bukankah Anda adalah pemilik kekuatan dan kekuasaan yang di tangan Anda lah penghancuran mahkota orang-orang zalim jika mereka menghalangi Anda untuk memerangi musuh-musuh Anda? Tidakkah pendengaran Anda digelitik oleh ayat-ayat Allah SWT
إِلاَّ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih (QS at-Tawbah [9]: 39)
Wahai Kaum Muslim
Wahai Bapak-bapak dan Saudara-saudara Pasukan Kaum Muslim…
Wahai Tentara-tentara yang Terikat di Baraknya:
Tidak adakah di antara Anda orang yang cerdas, sehingga menuntut balas untuk al-Aqsa kiblat pertama di antara dua kiblat? Tidak adakah di antara Anda orang cerdas, yang menuntut balas atas apa yang diderita oleh orang-orang tua, anak-anak yatim, dan wanita-wanita kaum Muslim?
Tidak adakah di antara Anda orang cerdas, yang berani berdiri di hadapan para penguasa zalim dan komprador, yang menghalangi Anda untuk meraih satu dari dua kebaikan dan menyelamatkan kiblat pertama di antara dua kiblat? Tidak adakah di antara Anda seorang cerdas yang melengserkan thaghut-thaghut itu dan memimpin pasukan sebagai mujahid di jalan Allah dan penguasa yang memerintah menggunakan apa yang telah diturunkan oleh Allah, mengingat Allah di dalam kekuasaan yang berasal dari sisi-Nya dan membuat iri orang-orang pilihan dan para malaikat langit?
Tidak adakah di antara Anda seorang cerdas, yang memahami firman Allah SWT tentag Yahudi:
}لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلاَّ أَذًى وَإِنْ يُقَاتِلُوكُمْ يُوَلُّوكُمُ الأَدْبَارَ ثُمَّ لاَ يُنْصَرُونَ {
Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan. (QS Ali Imran [3]: 111)
Dan memahami sabda Rasulullah saw:
«لَتُقَاتِلُنَّ الْيَهُودَ فَلَتَقْتُلُنَّهُمْ حَتَّى يَقُولَ الْحَجَرُ يَا مُسْلِمُ هَذَا يَهُودِيٌّ فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ»
Sungguh Engkau akan memerangi Yahudi sehingga Engkau membunuh mereka sampai bebatuan pun berkata “hai Muslim ini Yahudi kemarilah bunuh dia”
Tidak adakah di antara Anda seorang cerdas, yang suka dimuliakan oleh Allah yang Mahaperkasa dengan kepemimpinan para tentara untuk melenyapkan entitas Yahudi dan membebaskan al-Aqsa tujuan Isra’ dan tempat awal Mi’raj Rasul Saw ke langit yang tinggi?
Dimanakah tentara-tentara Mesir tanah Kinanah? Dimana tentara negeri Syam ibukota Khilafah? Dimana tentara Irak tanah kaum rafidhin? Dimana rudal-rudal Iran, Turki, dan Pakistan?
Bukankah lelucon mereka mengelilingi entitas Yahudi seperti gelang melingkari pergelangan tangan. Kemudian mereka tidak cenderung untuk menyerang entitas Yahudi itu sebagai satu kekuatan dan melenyapkannya serta mengembalikan Palestina secara total ke negeri Islam, meninggikan suara adzan dari menara al-Aqsa; adzan yang bebas dan mulia, lepas dari kotoran Yahudi, sehingga mereka akan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat?
}قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ{
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman (QS at-Tawbah [9]: 14)
Wahai Kaum Muslim
Sesungguhnya pemimpin tidak akan mendustai penduduknya. Sungguh Hizbut Tahrir telah memberikan penjelasan yang benar kepada Anda, memurnikan nasehat dan peringatan kepada Anda … Hizbut Tahrir sekali lagi memperingatkan Anda:
Siapa saja yang mencintai Palestina, al-Quds dan al-Aqsa; siapa saja yang mencintai tempat Isra’ dan Mi’raj Rasul Saw dan tanah yang diberkahi; siapa saja yang rambut kepalanya berdiri karena kejahatan-kejahatan Yahudi di al-Aqsa; siapa saja yang darah di nadinya mendidih karena tindakan Yahudi yang brutal terhadap orang-orang yang sedang beri’tikaf di al-Aqsa … maka hendaklah berjuang membelanya; dan dia seorang mukmin, hendaknya ia berjuang sungguh-sungguh bersama para aktivis dan pejuang untuk memobilisasi pasukan kaum Muslim ke medan perang. Jika para penguasa itu enggan maka hendaklah ia merubah mereka dan mewujudkan penguasa mukmin mujahid, seorang Khalifah ar-Rasyid, yang orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung… Mobilisasi pasukan kaum Muslim untuk memerangi Yahudi dan menghimpun orang-orang yang mampu untuk menjadi bagian dari tentara itu, merupakan jalan satu-atunya, tidak ada jalan lain untuk melenyapkan entitas Yahudi, menyelamatkan al-Quds dan mengembalikan Palestina secara total ke pangkuan negeri-negeri Islam.
هَذَا بَلاَغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ وَلِيَعْلَمُوا أَنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُولُو الأَلْبَابِ
Ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (QS Ibrahim [14]: 52)
Selengkapnya...
Selasa, 13 Oktober 2009
Jihad Untuk Kemuliaan Hidup
Oleh : M. Ismail Yusanto
[ Opini Jawa Pos Selasa, 13 Oktober 2009 ]
Seiring dengan keberhasilan aparat keamanan menangkap sejumlah orang yang diyakini terlibat aksi terorisme di Indonesia, slogan isy kariman au mut syahidan ramai dibicarakan. Semestinya, tidak ada yang salah dengan slogan atau doktrin tersebut. Sebagaimana tidak ada yang salah dengan kewajiban jihad bahwa yang terbunuh di jalan jihad fi sabilillah disebut syahid.
Dalam Islam, kewajiban jihad dalam pengertian perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimatullah adalah perkara yang mulia. Para imam mazhab dan ulama pengikutnya sepakat tentang kewajiban jihad dalam pengertian perang di jalan Allah SWT.
Kalaupun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, itu bukanlah tentang kewajiban jihadnya. Namun, dalam perkara apakah hukum wajibnya, apakah fardu kifayah atau fardu ain. Atau, berhubungan dengan perkara teknis turunan dari kewajiban ini.
Imam Nawawiy menjelaskan, ”Mazhab kami berpendapat, hukum jihad sekarang ini adalah fardu kifayah, kecuali jika kaum kafir menyerang negeri kaum muslim, seluruh kaum muslim diwajibkan berjihad (fardu ain). Jika penduduk negeri itu tidak memiliki kemampuan (kifayah untuk mengusir mereka), seluruh kaum muslim wajib berjihad hingga kewajiban itu tersempurnakan (mengusir orang kafir) (Syarah Shahih Muslim, juz 8/63-64).”
Ulama juga sepakat bahwa pengertian syahid adalah yang terbunuh di jalan Allah SWT. Di dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah, Imam al-Raziy menyatakan bahwa al-syahiid bermakna al-qatiil fi sabilillah (orang yang gugur di jalan Allah). Termasuk, tidak ada perbedaan tentang kemuliaan orang-orang syahid.
Karena itu, slogan atau doktrin yang memuliakan seseorang yang syahid tentu bukanlah sebuah kesalahan. Slogan, doktrin, atau perkataan ulama selama tidak bertentangan dengan hukum syara’ tentu bisa digunakan. Slogan atau doktrin terkadang diperlukan untuk lebih menanamkan semangat atau pemahaman yang dimaksud dalam doktrin tersebut. Hal seperti itu biasa digunakan siapa pun, termasuk perusahaan, organisasi massa, dan militer.
Dalam sejarah perjuangan Indonesia, juga muncul slogan atau doktrin yang mirip dengan isy kariman au mut syahidan, yakni slogan merdeka atau mati. Slogan atau doktrin tersebut terbukti telah mendorong semangat perjuangan melawan negara penjajah saat itu.
Pilihan untuk syahid di jalan Allah dalam medan perperangan bukanlah sikap sia-sia, seakan cerminan orang yang berputus asa, frustrasi, atau bosan hidup. Pilihan syahid justru dilakukan untuk memuliakan hidup itu sendiri meski dia harus mengorbankan diri sendiri. Sebab, jihad dilakukan dalam rangka memerangi musuh yang hendak menguasai dan menjajah negeri-negeri Islam.
Sikap itulah yang dipilih umat Islam di Palestina, Iraq, dan Afghanistan sekarang. Mereka berjihad memerangi pasukan imperialis Amerika Serikat dan sekutunya yang membunuh rakyat sipil, menjajah, dan merampok kekayaan alam negerinya. Meski, mereka harus menempuh risiko mati di medan perperangan. Jelas itu bukanlah terorisme.
Hal yang sama diserukan KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan saat itu. Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, fatwa itu telah mendorong puluhan ribu muslim untuk bertempur melawan Belanda yang berlindung di balik tentara Inggris. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat jihad melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Itulah salah satu jasa pesantren dalam membela negara Indonesia. Sayang sekali, dalam buku sejarah saat di SMP dan SMA, peristiwa itu tidak dicantumkan.
Adalah hal yang tidak relevan menggugat slogan, doktrin, atau kewajiban jihad dalam pengertian perang di jalan Allah hanya karena ada yang salah dalam mempraktikkan kewajiban jihad (seperti pengeboman JW Marriott dan Ritz-Carlton). Atau, ada yang menyalahgunakan doktrin jihad untuk kepentingan lain. Sebagaimana para pembela demokrasi atau penegak HAM tidak akan setuju demokrasi atau HAM disalahkan hanya karena sikap AS di masa Bush yang memerangi negara lain dan membunuh rakyat sipil dengan mengatasnamakan penegakan HAM dan demokrasi.
Perang Ideologi
Mengaitkan konsep jihad dengan terorisme membuat kita masuk dalam jebakan perang pemikiran/ideologi yang dijalankan AS (American War) untuk kepentingan negara imperialis itu. Dalam pandangan Barat (American War), perang melawan terorisme tidak hanya merupakan perang fisik, tapi juga menyangkut perang pemikiran (war on idea). Pada 2002 Sekretaris Menteri Pertahanan AS saat itu Paul Wolfowitz mengatakan, ”Saat ini kita sedang bertempur dalam perang melawan teror -perang yang akan kita menangkan. Perang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran -jelas suatu tantangan, tetapi sesuatu yang juga harus kita menangkan.”
Ideologisasi perang melawan terorisme itu tampak pada upaya mengaitkan terorisme dengan sikap anti imperialisme Amerika, penegakan syariah, atau khilafah. Stigmatisasi itu kemudian menjadi berbahaya karena digunakan sebagai alat generalisasi. Siapa pun kelompok Islam yang menentang penjajahan Amerika atau ingin mendirikan syariah dan khilafah kemudian dicap atau dikesankan sebagai teroris. Padahal, tidak semua kelompok Islam yang ingin mendirikan syariah dan khilafah setuju dengan jalan pengeboman atau angkat senjata terhadap rezim pemerintahan sekuler.
Karena itu, selain meluruskan pemahaman aplikasi jihad yang keliru, pemerintah dan ulama perlu berperan aktif untuk membela negeri-negeri Islam yang ditindas tersebut. Termasuk, berperan aktif meminta agar Amerika, Inggris, dan negara-negara sekutunya menarik diri dari Iraq dan Afghanistan. Juga, menghentikan dukungan mereka terhadap rezim-rezim penindas di negeri Islam seperti Palestina. Sebab, faktor ketidakadilan global merupakan salah satu penyebab utama serangan terhadap target-target Barat.
Walhasil, meluruskan aplikasi jihad yang keliru tanpa menyinggung motif perlawanan kelompok-kelompok itu tidak akan menyelesaikan masalah. Bisa-bisa pemerintah, termasuk para ulama, dicap sebagai pengkhianat karena telah melegalkan penjajahan negara-negara Barat. (*)
Selengkapnya...
Rabu, 12 Agustus 2009
Propaganda Anti Islam Dibalik Perang Melawan Terorisme
Oleh Farid Wadjdi
Penjajah Barat kapitalis tidak berhenti melakukan melakukan evaluasi dan studi tentang kaum Muslimin dan Islam. Mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa kekuatan Islam dan umatnya ada pada akidah Islam dan pemikiran-pemikiran yang lahir darinya. Karena itu, mereka tetap berkepentingan untuk memusnahkan Islam. Caranya adalah dengan menghapuskan Islam sebagai akidah siyâyisah (dasar sistem politik) dan menggantikannya dengan akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Mereka pun gencar mengembangkan ide-ide yang muncul dari aqidah sekularisme ini seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, HAM, kebebasan, dan politik pasar bebas.
Di samping itu, untuk menjauhkan keinginan kaum Muslim untuk kembali ke Islam, mereka secara sistematis melakukan pendiskreditan Islam dengan predikat-predikat seperti teroris, fundamentalis, konservatif, ekstremis, dan sebutan-sebutan penghinaan lainnya. Mereka juga melakukan perang propaganda seperti melakukan obfuskasi (pembingungan), disformasi (pemberian informasi yang tidak benar), desepsi, deversi, dan cara-cara propaganda lainnya. Intinya, mereka melakukan penyesatan opini terhadap kaum Muslim. Semuanya itu, sekali lagi, bermuara pada satu hal: memberangus Islam sebagai kekuatan politik dan ideologis sekaligus menghalangi tegaknya Daulah Islamiyah dan penerapan Islam yang kâffah.
Propaganda yang Sistematis
Penyesatan opini, dalam berbagai bentuknya, sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah propaganda. Propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalu simbol-simbol verbal, tulisan, dan perilaku; dengan menggunakan media seperti buku-buku, pamflet, film, ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan salah satu metode standar yang digunakan negara untuk mengamankan, memelihara, dan menerapkan power (kekuasaan) dalam rangka memajukan kepentingan nasionalnya. (Columbus dan Wolf, Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 184).
Melihat defenisi di atas, propaganda merupakan perkara yang ‘wajib’ ada dalam sebuah negara, apalagi negara yang ideologis. Di sinilah penguasa atau rakyat sebuah negara harus benar-benar mampu menilai mana yang merupakan propaganda mana yang tidak. Penguasa atau rakyat sebuah negara yang gagal memahami propaganda negara lain akan mengakibatkan perubahan sikap, pendapat, dan perilakunya justru sejalan dengan kepentingan musuh.
Umat Islam sebagai umat yang ideologis harus benar-benar menyadari bahwa propaganda itu benar-benar ada. Propaganda bisa dilakukan secara sistematis untuk mendapat kemanfaatan jangka pendek atau bisa juga untuk kemanfaatan jangka panjang. Untuk jangka pendek, misalnya, melegalisasi serangan ke sebuah negara dan menjatuhkan sebuah rezim atau pemerintahan di sebuah negara; seperti propaganda AS untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein, Soekarno, dan Soeharto, termasuk Taliban di Afganistan. Sebagai contoh, saat hendak menyerang Irak dalam Perang Teluk II, AS melancarkan propaganda dengan melakukan pembohongan informasi kepada kongres dan publik AS.
Terungkap kebohongan Nariyah yang katanya merupakan saksi kekejaman tentara Irak. Namun ternyata, gadis ini tidak pernah bekerja di Kuwait dan saat peristiwa ada di Paris. Atas dasar laporan bohong itulah, kongres menyetujui serangan ke Irak. (Lihat: ZA Maulani, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 9). Untuk menjatuhkan rezim Taliban, AS dalam propagandanya mendaftar pengkhianatan Taliban terhadap rakyat Afganistan seperti pembantaian, pelanggaran hak asasi wanita dan anak perempuan, perilaku korup, dan menggunakan Islam sebagai selubung pembantaian etnis. (Jaringan Teroris, Deparlu AS, hlm 13).
Propaganda bisa dilakukan juga untuk kepentingan jangka panjang. Propaganda seperti ini biasanya lebih bersinggungan dengan nilai-nilai ideologis yang ingin disebarkan di pihak lawan dan, sebaliknya, menanamkan ‘citra jelek’ terhadap nilai-nilai ideologis yang dianut oleh negara musuh. Tipe propaganda seperti ini biasa lebih membutuhkan waktu yang panjang, namun secara sistematis dan kontinu terus dilakukan. Sebagai contoh, bagaimana AS dengan gencar menyebarkan nilai-nilai ideologisnya seperti sekularisme, demokrasi, HAM, kebebasan, dan pasar bebas. Sesungguhnya ini merupakan propaganda jangka panjang AS. Tujuannya jelas, yakni untuk kepentingan AS sendiri. Sebaliknya, AS membuat citra jelek terhadap lawan ideologinya seperti tuduhan teroris, ekstrimis, konservatif, dan pencitraan jelek lainnya. Metode utama propaganda jangka panjang ini yang dilakukan oleh AS adalah disinformasi, yakni melakukan penyesatan opini. Inilah yang sekarang ini sedang dilakukan oleh AS kepada musuh utama ideologisnya, yakni Islam.
Teknis Khusus ‘Penyesatan Opini’
KJ Holsti, dalam Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm 220, dengan mengutip buku The Fine Art of Propaganda: A Study of Father Coughlin’n Speeches, mengemukakan beberapa teknis propaganda yang sering dilakukan untuk melakukan penyesatan opini.
Pertama, nama julukan.
Propagandis mencantelkan lambang yang dibebani emosi pada seseorang atau suatu negeri. Sasaran diharapkan akan menanggapi cap tersebut tanpa memeriksa bukti. Sebagai contoh, Saddam Hussain diberi julukan ‘Pembantai dari Baghdad’. Selama Perang Teluk II, media massa AS menyebut Presiden Irak ini dengan sebutan ‘Binatang Buas’ (Mary McGroriy, Washington Post, 7/8/90) atau ‘Monster’ (Newsweek, 20/8/90). Orang-orang Arab (yang jelas sangat berhubungan dengan Islam) dalam budaya populer Barat digambarkan sebagai orang yang licik, tidak bisa dipercaya, jalang, bernafsu seks besar, dan kejam. Rasulullah saw. dijuluki ‘si Maniak Seks’ atau ‘sang Teroris’. Perusahaan kartun a Doaug Marlette membuat headline dengan judul, “What Would Mohammed Drive?” Digambarkan di sana, Rasulullah mengendrai truk yang berisi bom nuklir-laden yang mirip dengan truk yang digunakan oleh Timothi McVeigh dalam pengeboman di Oklahoma City 1995. Pejuang Hamas diberi gelar teroris. Para penegak syariat Islam dilabeli secara sistematis dengan julukan ‘kaum skriptualis’, kaum tekstualis’, atau ‘kaum ortodoks dan konservatif’. Iran diberi gelar ‘negeri para mullah’ (tentu dengan konotasi negatif). Istilah ‘Muslim garis keras’, sebagai lawan dari ‘Muslim moderat’, digunakan untuk memberikan kesan negatif pada pelaku penegak syariat Islam. Negara yang tidak sejalan dengan AS di Timur Tengah dicap sebagai ‘negara militan’, sementara negara yang sejalan dengan AS disebut ‘negara sahabat’ atau ‘negara moderat’.
Dalam teknis propaganda ini, para propagandis biasanya menggunakan istilah-istilah emosional dan stereotif yang telah melekat di telinga pendengar. Seperti kata ‘buas’, ‘maniak’, garis keras’, biasanya merupakan istilah yang sudah melekat dianggap ‘jahat’. Berbeda dengan kata ‘moderat’, ‘pejuang’, dan ‘substansialis’; merupakan kata-kata yang dianggap ‘baik’. Kata-kata tersebut kemudian dilekatkan pada seseorang atau negara tanpa diperiksa lagi kebenarannya.
Kedua, generalitas gemerlapan.
Kalau yang pertama lebih berkaitan dengan individu atau suatu negeri, yang kedua ini digunakan untuk gagasan atau kebijakan. Istilah ‘dunia bebas’, ‘dunia beradab’, atau ‘dunia yang makmur’ adalah generalitas yang paling disukai oleh Barat untuk mendukung ide kapitalismenya.
Ketiga, pengalihan.
Pelaku propaganda berupaya mengidentifikasikan suatu gagasan, seseorang, suatu negara, atau kebijakan dengan mengalihkannya pada gagasan atau kebijakan yang bertolak belakang. Hal ini untuk menimbulkan citra jelek pada gagasan atau kebijakan pihak musuh. Khilafah Islamiyah atau negara Islam dijuluki sebagai ‘negara pada zaman batu’, ‘sistem abad kegelapan’, ‘dunia jumud dan tidak beradab’, ‘sistem utopis’, ‘sistem penuh darah’, serta julukan-julukan negatif lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Israel di Palestina dialihkan dengan gagasan lain seperti ‘anti Semith’ atau ‘anti negara demokrasi’.
Saat Irak diserang oleh AS dalam Perang Teluk II, untuk menutupi maksud AS sebenarnya, dipropagandakan bahwa hal itu demi membebaskan Kuwait. Demikian juga saat sekarang; untuk menutupi tujuan AS sebenarnya, yakni menguasai minyak Irak, dipropagandakan bahwa penyerangan atas Irak adalah bukan untuk menyerang umat Islam, tetapi untuk menjatuhkan diktator Saddam Hussein. Pada faktanya, saat AS menyerang Irak dalam Perang Teluk II, 200.000 orang Irak meninggal dunia. Pemerintah dan media massa AS mengabaikan hal ini. Bahkan, Colin Powel, saat ditanya jumlah korban sipil di Irak yang meninggal sejak tahun 1991 dalam tersebut, dengan arogan menjawab, tidak peduli dengan angka-angka korban tersebut, “It’s really not a number I am terribly interested in.”
Kalaulah AS memang bermaksud baik menjatuhkan diktator Saddam Hussein, mengapa Raja Fahd, Musharaf, Husni Mubarak, dan Islam Karimov yang juga diktator tidak diserang. Mengapa pula Ariel Sharon, yang jelas-jelas membantai umat Islam Palestina, tidak diserang AS?
Keempat, ‘orang sederhana’.
Setiap pelaku propaganda sadar bahwa masalah bertambah rumit jika ia tampak pada pendengarnya sebagai ‘orang asing’. Karena itu, mereka berupaya mengidentifikasikan diri sedekat mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran dengan menggunakan logat, aksen, dan ungkapan setempat. Untuk itu, para propagandis biasanya lebih suka menggunakan penduduk ‘pribumi’ untuk menyuarakan kepentingan mereka. Cara yang paling efektif adalah merekayasa seseorang untuk menjadi tokoh, sumber rujukan, atau ilmuwan yang kompeten. Hal ini dilakukan lewat proses pendidikan, rekayasa media dengan menampilkan tokoh tersebut secara terus-menerus, atau dengan memberinya gelar/penghargaan. Tentu saja dengan kesan wah dan go internasional. Jadi, umat Islam harus waspada, kalau ada calon tokoh atau tokoh, yang idenya bertentangan dengan Islam bahkan menyerang Islam, tetapi mendapat banyak penghargaan dari Barat.
Kelima, kesaksian.
Di sini propagandis menggunakan seseorang atau lembaga yang dihargai untuk mendukung atau mengecam suatu gagasan atau kesatuan politik. Diharapkan sasaran mempercayainya karena hal ini disampaikan oleh yang ‘berwenang’. Propagandis, misalnya, menggunakan narasumber yang diberi gelar ‘pakar’, ‘ahli’, ‘ilmuwan’, ‘yang berpengalaman’, atau ‘saksi langsung’ untuk menambah keyakinan para pendengarnya.
Untuk menambah keyakinan pembaca tentang adanya jaringan Jamaah Islamiyah atau Jaringan al-Qaedah di Asia Tenggara, media massa Barat merujuk pada pendapat orang yang mereka sebut sebagai ‘pakar teroris’ seperti Rohan Gunaratma. Dia disebut ‘pakar’ antaralain karena melakukan studi tentang terorisme atau mengarang buku tentang terorisme. Di sini tidak dipersoalkan, apakah buku yang dikarangnya memberikan bukti-bukti ilmiah atau tidak. Demikian juga untuk menambah keyakinan pendengar tentang ‘pemahaman Islam yang benar’—maksudnya yang sejalan dengan kepentingan Barat, media massa Barat merujuk pada orang yang mereka sebut dengan ‘pakar Islam’ atau ‘cendekiawan Muslim. Padahal, yang dirujuk sering merupakan antek Barat yang dicangkokkan di tubuh umat. Di sini umat Islam penting untuk tetap melihat argumentasi dari ‘sumber-sumber’ tersebut, bukan terpesona dengan gelar-gelarnya.
Di samping itu, untuk menambah percaya pendengarnya, propagandis juga merujuk pada lembaga-lembaga swasta yang dikesankan independen. Padahal, pada praktiknya, lembaga ini merupakan lembaga pesanan yang menjalankan proyek-proyek penelitian berskala besar dengan biaya pemerintah. Banyak studi-studi tentang Islam atau Timur Tengah yang disponsori oleh pemerintah AS atau organasisi donor yang berafiliasi kepada pemerintah AS. Lembaga-lembaga yang terkesan independen ini kemudian memperkuat pandangan pemerintah AS dan mereka kemudian menjadi rujukan media massa. Di Indonesia, sudah diketahui umum, pada imasa Orde Baru, untuk memperkuat kebijakan pemerintah yang otoriter dan korup, penguasa sering merujuk pada CSIS. Padahal, CSIS adalah lembaga thinktank yang diketahui berhubungan dengan penguasa Orba pada waktu itu. Dalam kampanye AS sekarang ini juga banyak lembaga-lembaga yang mendapat bayaran dari Barat untuk mendukung propaganda Barat. Di AS beberapa lembaga ‘independen’ diketahui memiliki hubungan erat dengan pemerintah seperti Heritage Foundation.
Keenam, pilihan.
Hampir semua propaganda biasanya melakukan pilihan fakta; meskipun aktual, namun jarang rinci. Kalaupun rinci, propagandis menggunakan ‘fakta-fakta’ yang diperlukan saja untuk membuktikan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dulu. Pilihan ini biasanya digunakan untuk melakukan generalisasi. Perjuangan syariat Islam diidentikkan dengan kekerasan. Kesimpulan ini dibangun dengan memilih fakta adanya aksi kekerasaan yang dilakukan oleh sekelompok kaum Muslim yang ingin menegakkan syariat Islam (itu pun sering tanpa bukti hukum). Sementara itu, adanya fakta lain berupa perjuangan syariat Islam tanpa kekerasaan—seperti yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di Uzbekistan, Yordania, Mesir, dan belahan dunia lainnya—cendrung ditutupi. Akibatnya, ada kesan kuat bahwa perjuangan syariat Islam identik dengan teror dan kekerasan.
Pemerintah AS mengeluarkan propaganda khusus untuk membantah diskriminasi Muslim di AS pasca Serangan 11 Septermber. Dalam iklan propaganda yang disiarkan di hampir seluruh Dunia Islam, dipilih fakta-fakta tertentu untuk mendukung tujuan tersebut. Empat orang warga AS yang berasal dari Arab bicara tentang kebebasan dan kesempatan hidup di Negeri Paman Sam itu. Padahal, banyak fakta lain di AS yang bertolak belakang dengan iklan tersebut diabaikan; seperti kewajiban cap jari bagi orang-orang dari Arab, Pakistan, dan negeri-negeri Islam lainnya; perusakan masjid dan Islamic Centre; gangguan terhadap wanita Muslimah di Amerika.
Di samping pilihan fakta, pilihan kata yang digunakan oleh media massa juga berperan dalam propaganda. Jika yang melakukan penyerangan adalah Muslim Palestina, serangan itu disebut sebagai serangan dari kelompok militan, fundamentalis, garis keras, bahkan teroris. Sebaliknya, jika yang melakukan penyerangan dan pembantaian adalah Israel atau Amerika Serikat, kata yang sering digunakan adalah serangan balasan (retaliation), serangan untuk mendahului (preempative strike), atau tindakan hukuman (punitive action). Pilihan kata itu tentu saja lebih baik dari istilah teroris, bahkan bisa dijadikan pembenaran tindakan. Hamas yang ingin membebaskan diri dari penjajah Israel disebut teroris. Sebaliknya, sebutan pejuang pro kemerdekaan diberikan kepada kelompok Fretelin di Timor Timur yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Jika yang tertangkap adalah tentara AS, mereka disebut sandera atau hostage (berkonotasi tidak bersalah). Sebaliknya, pejuang al-Qaedah yang tertangkap disebut tahanan atau detainer (yang berkonotasi jahat dan sudah bersalah).
Ketujuh, ikut pihak yang banyak.
Teknik ini memanfaatkan keinginan pendengar untuk ‘menjadi bagian’ atau ‘satu sikap’ dengan orang banyak. Propaganda AS dan sekutunya sering menggunakan ungkapan ‘masyarakat internasional’, ‘sahabat-sahabat AS’, dsb. Dengan teknik ini akan terbangun suatu anggapan: siapa yang menentang propaganda tersebut akan menjadi minoritas dan terkucil.
Teknis ini paling sering digunakan oleh AS dalam kampanye ‘Perang Melawan Terorisme’-nya saat ini. AS dan sekutunya sering menyatakan bahwa terorisme adalah serangan terhadap dunia.
Sama halnya dengan ungkapan para penolak syariat Islam yang sering menggunakan ungkapan, ‘mayoritas umat Islam Indonesia adalah moderat’, ‘organisasi Islam terbesar di Indonesia saja menolak syariat Islam’, ‘mereka itu hanya minoritas…’, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Padahal jelas, kebenaran tidaklah bergantung pada suara mayoritas.
Kedelapan, kambing hitam frustasi.
Salah satu cara untuk menciptakan kebencian dan melepaskan frustasi adalah menciptakan kambing hitam. Propaganda kapitalis acapkali menuduh terorisme sebagai pengacau kemakmuran dunia, penyebab kemelaratan dan kemiskinan, dan pengganggu kebebasan dunia dan demokrasi. Padahal semua itu justru merupakan buah dari sistem kapitalisme yang keji. Syariat Islam dituduh merendahkan wanita dan menjadi pangkal kemunduran wanita, padahal sistem kapitalismelah penyebabnya. Tuduhan ‘pemecah-belah’ sering dilontarkan terhadap pejuang syariat Islam. Padahal pada faktanya, justru ide nasionalisme, kebebasan menentukan nasib sendiri, dan ide-ide kapitalisme lainnyalah yang menyebabkan terpecahbelahnya kaum Muslim. Bukankah ini terjadi pada Timor Timur yang melakukan referandum untuk memisahkan diri? Alasannya, kebebasan menentukan nasib sendiri.
Merangkul Media Massa
Hubungan antara propagaganda dengan media massa dan para intelektual adalah hal yang lumrah. Sebab, propaganda untuk mengubah pemikiran dan sikap sasarannya membutuhkan media massa sebagai alat yang efektif. Sementara itu, para intelektual sering dimanfaatkan sebagai narasumber yang dipercaya oleh masyarakat untuk memperkuat sebuah propaganda. Coulombus dan Wolf menulis, bahwa salah satu fungsi bisnis propaganda adalah memonitor, mengklasifikasi, mengevaluasi, dan mempengaruhi media massa. Para wartawan, kolumnis, komentator, dan pembuat opini yang dianggap bersahabat biasanya diundang ke kedutaan besar. Pihak kedutaan besar biasanya memberikan informasi ekslusif, bila perlu menawarkan bonus. Di negara-negara Barat, peran dinas propaganda luar negeri sangat besar. Hal ini mengingat opini publik, kelompok penekan, dan media massa terlibat terus-menerus untuk mempengaruhi kebijakan sebuah negara. (Pengantar Hubungan Internasional, hlm., 186-187).
Pemerintah AS saat dipimpin oleh Presiden Eisenhower pernah membentuk Badan Informasi Amerika Serikat (U.S.I.A) untuk menjalankan fungsi propaganda ini. Badan yang kemudian berganti nama ini menjalankan program-program radio multi bahasa pada Radio Voice of America (VOA); Radio Free Europe, telivisi, film dan media berita; serta program khusus seperti pertukaran mahasiswa dan sarjana, pidato keliling, konferensi-konferensi artistik, keilmuan, dan ilmiah. (Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 186).
Pemerintah AS juga melakukan propaganda lewat media massa ‘swasta’ yang mengklaim diri independen. Dalam kasus isu terorisme, misalnya, sebagian besar media massa AS menggunakan pemerintah sebagai sumber utama berita mereka. Dari sebuah riset yang dilakukan oleh Edward Herman dan Gerry O’Sulivan, terbukti bahwa sumber-sumber media massa yang digunakan sebagian besar adalah pejabat pemerintah (42,3%).(Lihat: Satrio Arismunandar, Jurnal Ilmu Politik no. 12, hlm. 69). Tentu saja, informasi itu akan sangat bias, karena dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah, dan biasanya, tanpa pengujian.
Keterlibatan pemerintah AS, dengan memanfaatkan wartawan sebagai agen intelijen mereka, sudah terjadi sejak Perang Dingin. Seperti yang ditulis surat kabar New York Times, “Sejak berakhirnya Perang Dunia II, lebih dari 30 atau bahkan 100 wartawan Amerika dari sejumlah organisasi berita dilibatkan sebagai pekerja operasi intelijen yang dibayar sementara menjalankan tugas-tugas reportasenya.”
Pada pertemuan dengan serikat redaktur surat kabar bergengsi, American Society of Newspaper Editors, pada April 1980, Direktur CIA Marsekal Stansfeild Truner mengatakan, “Bila dibutuhkan, ia tak akan ragu-ragu merekrut jurnalis.”
Agen CIA juga memiliki, mensubsidi, dan mempengaruhi banyak surat kabar, kantor berita, dan media lainnya. (Ade Armando, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 78-79). Dalam era Perang Dingin, Badan Propaganda Amerika Serikat (ICA) sering mendukung penulis atau editor surat kabar asing yang menulis secara baik mengenai AS dan kebijakannya. (K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm 222). Tidak aneh jika kemudian media massa Barat sangat miring dalam memberitakan perjuangan umat Islam. Di Indonesia, bahkan ada TV yang dengan tegas menyatakan visinya sekularisme dan anti syariat Islam. Kalaupun membuat talkshow tentang syariat Islam dan menghadirkan pembicara yang pro dan yang kontra, biasanya acaranya direkasaya sedemikian rupa, baik dari segi waktu maupun moderatornya.
Perhatikan perubahan istilah ‘pejuang’ menjadi ‘teroris’ yang digunakan untuk kaum mujahidin Afganistan. Media massa Barat menggunakan istilah pejuang, karena saat itu AS memiliki kepentingan untuk mengusir pengaruh komunis di negeri itu. Setelah kepentingan AS berubah, yakni ingin menguasai Afganistan, dan istilah ‘pejuang’ kemudian menjadi ‘teroris’.
Para Intelektual Pengkhianat
Kaum intelektual Islam juga digunakan sebagai alat propaganda AS, baik sadar maupun tidak. Karena itu, AS sangat getol memberikan beasiswa kepada para pelajar di seluruh dunia. Pemerintah AS sangat sadar bahwa para pelajar yang sudah dibina oleh mereka akan menjadi corong-corong propaganda kepentingan Amerika di negara asal mereka masing-masing.
Mereka pun sangat jeli memilih siapa pelajar yang mereka beri beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Mereka biasanya adalah para aktivis serta para pelajar yang cerdas dan unggul namun lemah secara ideologis atau mereka yang berasal dari organisasi, etnis, atau agama yang berpengaruh di sebuah negara. Tidak mengherankan, untuk Indonesia, beasiswa luar negeri sering diberikan kepada para pelajar dari organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tentu saja, mereka berharap, para pelajar yang bisa dipengaruhi akan menjadi corong mereka dengan legitimasi yang kuat, yakni dari organisasi Islam yang besar di Indonesia; meskipun tidak semua kemudian ‘berhasil’ mereka jadikan corong. (Lebih jelas, lihat: Holsty, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm. 223).
Dunia Islam saat ini dipenuhi oleh para intelektual pengkhianat semacam di atas. Mereka menyebarkan ide-ide kapitalis seperti sekularisme, demokrasi, individualisme, HAM, pluralisme, dll. Mereka juga menjadi pembela sejati ‘yang dibiayai’ oleh pemerintah kapitalis. Tujuannya adalah untuk merusak akidah umat dan menjauhkan mereka dari syariat Islam. Dua perkara ini, akidah dan syariat Islam, memang menjadi sumber kekuatan umat Islam yang utama.
Lihat saja, bagaimana para alumnus universitas Barat pengkhianat itu membela habis-habisan kebijakan ekonomi kapitalis di Indonesia; membela IMF dan Bank Dunia. Mulut mereka juga berbusa-busa membela privatisasi, penghapusan utang konglomerat, pencabutan subsidi, dan mengikuti arahan tuan kapitalis mereka. Mereka tidak mau tahu, bagaimana penderitaan rakyat yang semakin terpuruk akibat diterapkan sistem ekonomi kapitalis tersebut.
Perhatikan pula pengusung ide libelisme yang ingin menghancurkan akidah umat dan syariat Islam. Mereka getol menyerukan ‘dialog antarumat beragama’ untuk menyatakan semua agama itu sama. Sekularisme juga mereka ajarkan kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Islam itu adalah masalah individual; tidak ada hubungannya dengan masalah publik seperti ekonomi dan politik; juga tidak ada urusannya dengan negara. Seruan-seruan mereka ini kemudian melanggengkan sistem sekularisme di Dunia Islam yang berarti melanggengkan penjajahan kapitalis Barat.
Selengkapnya...
Minggu, 09 Agustus 2009
Terorisme dan Stigmatif Negatif Perjuangan Syariah dan Khilafah
Mantan Kepala BIN A.M Hendropriyono kembali mengundang kontroversi. Dalam wawancara dengan TV One 29/7/2009) Hendropriyono berusaha mengkaitkan antara terorisme dengan apa yang dia sebut sebagai wahabi radikal. Menurutnya wahabi radikal merupakan lingkungan yang cocok (habitat) bagi terorisme. Tidak hanya itu, Hendropriyono juga mengkaitkan wahabi radikal dengan Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin.
Pernyataan ‘ngawur’ seperti ini disamping banyak yang tidak berdasarkan fakta juga berbahaya. Meskipun tentu harus diakui memang ada kelompok Islam memilih jalan kekerasan tujuannya. Namun melakukan generalisasi dengan menyatakan itu setiap kekerasan adalah terorisme adalah keliru. Beberapa kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir telah menegaskan ketidaksetujuannya bahkan pengecaman terhadap pemboman yang salah seperti pemboman di Jakarta baru-baru ini .
Tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok mujahidin Islam di Palestina, Irak, dan Afghanistan, tidaklah bisa disebut tindakan teroris. Apa yang dilakukan oleh umat Islam disana adalah jihad memerangi penjajah yang telah menduduki, merampas, dan membunuh umat Islam. Sudah tidak terhitung berapa nyawa umat Islam terbunuh akibat penjajahan ini. Hal yang sama pernah dilakukan oleh ulama Indonesia ketika bersama-sama rakyat berjihad memerangi penjajah Belanda. Tindakan memerangi penjajah tentu bukan terorisme. Justru para penjajah AS, Inggris itulah yang melakukan tindakan terorisme negara dengan korban yang massif. Namun sayangnya, fakta yang sangat jelas ini tidak banyak disinggung.
Termasuk mengkaitkan terorisme dengan wahabi dengan dibumbui kata radikal apalagi mengkaitkan dengan Hizbut Tahrir jelas adalah kedustaan disamping berbahaya. Siapapun yang membaca dengan teliti buku-buku Hizbut Tahrir bisa menyimpulkan bahwa tidak benar Hizbut Tahrir adalah wahabi. Hizbut Tahrir adalah partai Islam yang bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan syariah Islam di bawah institusi Khilafah Islam.
Dalam kitab Kaifa Hudimat al Khilafah (Bagaimana Khilafah Runtuh) yang ditulis oleh Amir Hizbut Tahrir yang kedua Syekh Abdul Qadim Zallum mengkritik Gerakan Wahhabi yang berkerjasama dengan Abdul Aziz bin Muhmmad bin Saud yang ditelah dimanfaatkan oleh Inggris untuk memberontak kepada Daulah Khilafah Ustmaniyah dan mendorong timbulnya perang antar Madzhab saat itu.
Hizbut Tahrir juga dengan tegas dalam buku-bukunya yang menjadi rujukan amal perjuangannya telah menegaskan jalan memperjuangkan syariah Islam bukanlah dengan jalan angkat senjata. Upaya mengkaitkan Hizbut Tahrir dengan terorisme jelas merupakan upaya membangun stigma negatif yang didasarkan kepada kedustaan. Opini ini memang sengaja dibangun oleh musuh-musuh Islam yang ingin menjauhkan Hizbut Tahrir dari ummat. Seperti yang dilakukan oleh Zeyno Baran dari The Nixon Centre atau Ariel Cohen.
Laporan Ariel Cohen –yang pernah tinggal di Israel selama sebelas tahun dan lulusan Bar Ilan University Law School di Tel Aviv– dipublikasikan oleh the Heritage Foundation yang dikenal luas sebagai think-tank Konservatif yang dekat dengan kelompok neo-Konservatif. Sementara Zeyno Baran –Direktur Program Energi dan Keamanan Internasional Nixon Centre– ternyata memiliki hubungan yang dekat dengan perusahan-perusahan minyak AS yang beroperasi di Asia Tengah dan rezim otoriter di Asia Tengah (lihat, Who is Zeyno Baran, www.khilafah.com) .Wajar kalau kemudian banyak muncul ketidakakuratan, inkonsistensi, generalisasi keliru, bahkan kebohongan dalam tulisan-tulisan tersebut
Hizbut Tahrir telah menegaskan garis perjuangannya untuk menegakkan syariah Islam yang tidak menggunakan kekerasaan/angkat senjata (non violence). Hal ini bisa dilihat secara terbuka dalam buku-buku rujukan HT, seperti kitab Ta’rif (Mengenal HT) atau Manhaj Hizbut Tahrir fi Taghyir (Strategi Hizbut Tahrir Untuk Melakukan Perubahan). Hizbut Tahrir dalam hal ini berkeyakinan, bahwa perubahan yang dicita-citakan harus dimulai dari pemikiran, serta menyakini bahwa masyarakat tidak dapat dipaksa untuk berubah dengan kekerasan dan teror. Karena itu, garis perjuangan Hizbut Tahrir sejak berdiri hingga hari Kiamat bersifat tetap, yaitu bersifat fikriyah (pemikiran), siyasiyah (politik) dan la madiyah wa la unfiyyah (non fisik dan kekerasan).
Terbukti, dalam aktivitasnya lebih dari 50 tahun sejak didirikan HT tidak pernah sekalipun menggunakan kekerasan meskipun banyak penguasa yang bersikap refresif dan kejam terhadap HT. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, 17 Mei 2005, Craig Murray, mantan Duta Besar Inggris untuk Uzbekistan, mengatakan, “Hizbut Tahrir merupakan organisasi yang betul-betul tanpa kekerasan.” (http://www.English.aljzeera.net).
Bill Rammell mengatakan, “Kami belum menemukan bukti yang kuat bahwa Hizbut Tahrir adalah organisasi yang menyerukan kekerasan atau terorisme. Kita juga belum pernah melihat adanya hubungan kerjasama antara Hizbut Tahrir dan al-Qaida (UK FCO Minister Bill Rammell, Hansard, 19/4/04). ICG juga menyatakan hal yang sama tentang perbedaan HT yang melarang penggunaan aktivitas kekerasan dengan kelompok jihad (International Crisis Group, 2/3/05).
Dengan demikian, upaya mengkaitkan Hizbut Tahrir dengan terorisme adalah upaya pelacuran intelektual, yang penuh dengan kepentingan, khususnya kepentingan negara-negara besar, seperti AS dan Inggris. Penyebabnya tidak lain, karena HT dianggap merupakan ancaman potensial terhadap hegomoni Kapitalisme global yang telah menyengsarakan umat manusia. HT juga merupakan ancaman bagi AS, karena menyerukan syariah Islam dan Khilafah yang akan menggantikan sistem tirani global Kapitalisme ini. Sebab Hizbut Tahrir memang menjadikan Kapitalisme menjadi penyebab penderitaan manusia.
Tentu saja sangat menyedihkan, kalau ada intelektual, atau kelompok yang menjalankan agenda pihak asing ini, sebagai agendanya, yang sekaligus membuktikan kemiskinan intelektualitasnya. Menyebar kebohongan dan memprovokasi untuk mengelompokkan HT ke dalam kelompok terorisme.
Cap terorisme juga sering digunakan oleh Barat dan kelompok pendukungnya legitimasi untuk melakukan kedzoliman terhadap umat Islam. Pada gilirannya siapapun yang melakukan perjuangan melawan penjajahan Barat akan dicap teroris dan mereka berhak ditangkap tanpa bukti, disiksa bahkan dibunuh. Seperti yang dialami oleh umat Islam diberbagai kawasan dunia termasuk Indonesia. Dimasa Orde Baru, sangat banyak aktifis Islam yang dizolimi, dibantai dan dibunuh seperti yang terjadi dalam peristiwa Tanjung Priok dan tentu saja Talangsari Lampung ketika Hendropriyono menjadi Danrem Garuda Hitam disana. Peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh umat Islam dan tentu saja harus dipertanggungjawabkan oleh pelakunya dihadapan Allah SWT di Hari Akhir nanti.
Generalisasi kelompok Islam yang memperjuangkan syariah Islam dan Khilafah adalah teroris jelas bermaksud untuk menjauhkan umat dari perjuangan syariah Islam dan Khilafah. Padahal disamping merupakan kewajiban syari’ syariah dan Khilafah adalah solusi tuntas bagi umat Islam untuk mengakhiri penjajahan kapitalisme yang menjadi pangkal penderitaan umat Islam dan umat manusia di dunia saat ini.
Selengkapnya...
Rabu, 08 Juli 2009
Renungan Pemilu Di Indonesia......?
Pada 8 Juli kemaren diselenggarakan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009. Pemilihan presiden dan wakilnya, dalam Islam termasuk dalam pasal pengangkatan kepada negara (nashb al-ra’is), yang hukumnya terkait dengan dua konteks, yaitu person dan sistem.
Dalam kaitannya dengan person, Islam menetapkan bahwa seorang kepala negara harus memenuhi syarat-syarat pengangkatan (syurutul in’iqadz), yaitu sejumlah keadaan yang akan menentukan sah dan tidaknya orang menjadi kepala negara. Syarat-syarat itu adalah (1) Muslim; (2) Baligh; (3) Berakal; (4) Laki-laki; (5) Merdeka; (6) Adil atau tidak fasik; dan (7) Mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kepala negara. Tidak terpenuhinya salah satu saja dari syarat-syarat di atas, cukup membuat pengangkatan seseorang menjadi kepala negara menjadi tidak sah.
Adapun kaitannya dengan sistem, harus ditegaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi kepala negara wajib menerapkan sistem Islam. Ini adalah konsekuensi akidah dari seorang kepala negara yang Muslim. Selain itu, dalam Islam, tugas utama kepala negara adalah untuk menjalankan syariat Islam dan memimpin rakyat dan negaranya dengan syariat tersebut. Hanya dengan cara itu sajalah, segala tujuan mulia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan tercapai. Memimpin dengan sistem yang lain, selain Islam sudah terbukti tidak pernah menghasilkan kebaikan, malah kerusakan dan bencana. Lebih jauh al-Qur’an menyatakan:
﴾وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَاۤ أَنْزَلَ اﷲُ فَأُ وْ لٰئِكَ هُمُ الْكَٰفِرُونَ﴿
”Dan, siapa saja yang tidak memerintah berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Q.s. al-Maidah [05]: 44)
﴾وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَاۤ أَنْزَلَ اﷲُ فَأُ وْ لٰئِكَ هُمُ الظَّٰلِمُونَ﴿
”Dan, siapa saja yang tidak memerintah berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (Q.s. al-Maidah [05]: 45)
﴾وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَاۤ أَنْزَلَ اﷲُ فَأُ وْ لٰئِكَ هُمُ الْفٰسِقُونَ﴿
”Dan, siapa saja yang tidak memerintah berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (Q.s. al-Maidah [05]: 47)
Nas-nas tersebut merupakan peringatan yang keras dari Allah kepada siapa saja yang berkuasa dan memerintah bukan dengan hukum Allah.
Selain itu, al-Quran surah an-Nisa ayat 59, Allah SWT memerintahkan orang beriman untuk taat kepada ulil Amri. Ayat itu juga menegaskan, adanya waliyul amri tidak lain adalah demi tegaknya syariat Islam. Sebab, perintah taat kepada ulil amri tersebut mengiringi perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, mewujudkan ulil amri yang menegakkan syariat Islam hukumnya wajib. Meninggalkannya jelas maksiat, dan berdosa. Sebaliknya, mewujudkan ulil amri yang menghalangi tegaknya syariat Islam, atau justru menegakkan sistem sekuler, berarti keberadaannya itu membawa masyarakat dan negara untuk maksiat, bukan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini jelas haram. Karena tindakan tersebut nyata-nyata melakukan apa yang justru dilarang oleh Allah.
Kerahmatan Islam sebagaimana dijanjikan oleh Allah juga hanya mungkin bila syariat Islam tersebut dilaksanakan secara kaffah, menyeluruh dan konsisten. Kepala negara yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, pasti akan memimpin negara dan masyarakatnya dengan melaksanakan syariat-Nya dengan penuh taat pula. Dia juga akan mendorong setiap Muslim untuk tekun beribadah, menjaga makanan dan minuman halal, menutup aurat dan berakhlak mulia serta bermuamalah secara Islami. Dengan syariat, dia akan memimpin negara untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang berakhlak mulia, aman, damai, sejahtera; menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur transportasi dan komunikasi, air dan listrik kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya melalui aparat birokrasi pemerintah yang bertindak jujur, sungguh-sungguh dan amanah sehingga apa yang disebut good governance dan clean government benar-benar dapat diwujudkan. Disamping itu, dengan syariat pula kepala negara akan menyelesaikan berbagai persoalan di tengah masyarakat. Dia dengan tegas melarang pornografi, pornoaksi dan perjudian; menghukum setimpal para koruptor dan para penjahat lain; mengatasi kemiskinan dengan menumbuhkan ekonomi, menggiatkan sektor usaha dan investasi sehingga lapangan kerja terbuka, melarang penimbunan uang dan praktek ribawi dalam segala jenisnya agar uang terus berputar dan ekonomi juga terus tumbuh.
Karena itu, kepala negara di dalam Islam jelas berbeda dengan kepala negara dalam sistem sekuler. Meski sama-sama dipilih rakyat, dalam sistem sekuler kepala negara dipilih rakyat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, dalam arti rakyatlah yang berhak membuat undang-undang, maka kepala negara wajib melaksanakan undang-undang yang sudah dibuat oleh para wakil rakyat itu meski itu bertentangan dengan syariat. Dengan kata lain, kepala negara dalam sistem sekuler berkewajiban memimpin negara dan mengurusi urusan rakyat dengan hukum sekuler, bukan dengan syariat Islam.
Dalam Islam, karena yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT, bukan rakyat ataupun kepala negara. Maka, kepala negara yang dipilih rakyat berkewajibang melaksanakan hukum Allah dengan cara mengadopsi syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang dinilai sebagai pendapat terkuat untuk dijadikan undang-undang negara, dan dengan undang-undang itu kepala negara mengurus segala kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, kepala negara dalam sistem politik Islam merupakan perwujudan dari kekuasaan di tangan rakyat guna mewujudkan kedaulatan syariat, bukan kedaulatan rakyat. Di sini, umat atau rakyat melalui momen Pilpres ini sebenarnya ikut menentukan, apakah hukum yang diterapkan nantinya adalah hukum Islam ataukah hukum thaghut? Apakah kedaulatan tetap berada di tangan manusia, seperti selama ini? Ataukah akan berubah di tangan syariat, sebagaimana yang dituntut oleh Allah?
Berangkat dari kenyataan di atas, maka dalam memilih kepala negara, setiap Muslim harus memperhatikan hal berikut:
1. Memilih kepala negara yang memenuhi syarat-syarat pengangkatan (surutu al-in’iqadz), yakni Muslim (haram mengangkat kepala negara non-Muslim), laki-laki (haram mengangkat kepala negara wanita), baligh, berakal, adil (konsisten dalam menjalankan aturan Islam), merdeka dan mampu melaksanakan amanat sebagai kepala negara. Selain syarat-syarat tadi, diutamakan kepala negara memiliki syarat afdhaliyah (keutamaan) seperti mujtahid, pemberani dan politikus ulung.
2. Bersedia mengubah sistem sekuler yang ada, dan melaksanakan syariat Islam secara kaffah, menyeluruh dan konsisten. Kepala negara memiliki seluruh otoritas yang diperlukan untuk melaksanakan hukum, maka tidak alasan untuk menunda apalagi menolak melaksanakan syariat Islam.
3. Memilih kepala negara yang mampu menjamin kekuasaan atas negeri ini tetap independen (merdeka), dan hanya bersandar kepada kaum Muslim dan negeri-negeri Muslim, bukan kepada salah satu negara Kafir imperialis atau di bawah pengaruh orang-orang Kafir. Dengan kata lain, kepala negara mampu mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan justru sebaliknya membiarkan negeri ini tetap dalam cengkeraman kekuatan penajajah, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan keamanan.
Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia sebagai pemegang kekuasaan dalam momentum pemilihan kepala negara saat ini, hendaknya betul-betul menyadari hal ini. Sebab jika tidak, maka mereka tidak saja berdosa di sisi Allah, tetapi telah nyata-nyata menjerumuskan negeri ini dalam kemiskinan, kemunduran, keterpurukan, dan membiarkannya terus-menerus dikuasai penjajah.
Selengkapnya...
Minggu, 28 Juni 2009
Memilih yang Terbaik diantara Yang Buruk
“Memang tidak ada yang ideal, semuanya buruk, tapi paling tidak kita memilih presiden yang terbaik diantara yang buruk”, ujar sang pengamat politik nasional yang sedang naik daun dalam sebuah forum diskusi. Argumentasi seperti ini juga cukup popular dikalangan gerakan Islam. Dalam bahasa kaedah ushul dikenal dengan ahwanusy-syarrain atau akhofudh-dhororoin : mencari syar’(keburukan) yang lebih ringan atau yang dhoror(bahaya)nya lebih ringan.
Kita tentu setuju bahwa dalam Islam terhadap kewajiban untuk mengangkat Imam (kepala Negara). Jangankah kepala Negara , tiga orang yang melaku perjalanan (safar) harus ada seorang yang diangkat menjadi amir (pemimpin), apalagi ini urusan masyarakat yang lebih banyak dan lebih kompleks.
Namun, kewajiban mengangkat kepala Negara, bukanlah sekedar adanya pemimpin. Tapi juga berhubungan dengan sistem apa yang akan diterakan oleh sang kepala Negara. Imam (Kepala Negara) diangkat untuk mengurus urusan kaum muslim baik urusan dunia maupun agama. Dan kaum muslim diurus bukan dengan sembarang hukum, tapi wajib dengan hukum Allah SWT. Karena itu kewajiban mengangkat pemimpin tidak bisa dipisahkan dengan sistem yang dijalankan sang pemimpin. Umat Islam wajib memilih pemimpin tentunya pemimpin yang akan menjalankan syariah Islam , bukan yang hukum lain.
Dalam kitab Nizhamul Hukm fi Al Islam, dijelaskan tentang tugas kepala negara (Kholifah): “Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”
Hal senada disebutkan oleh Imam Al Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah “Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[, Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289]
Sementara saat ini, siapapun kepala negaranya dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang oleh Indonesia, jelas bukan untuk menjalankan syariat Islam, tapi hukum (konstitusi) sekuler yang dibuat oleh manusia atas prinsip suara terbanyak di parlemen.
Dalam kondisi sekarang yang wajib kita lakukan adalah mempersiapkan sistem negara yang berdasarkan syariah Islam, yang dikenal dengan sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah yang berlaku adalah syariah Islam. Jadi siapapun pemimpin yang terpilih nanti wajib menjalankan syariah Islam yang menjadi hukum resmi negara.
Rosulullah saw sendiri mencontohkan saat fase Mekkah , ketika sistem Islam memang belum siap karena kekuasaan dan keamanan belum sepenuhnya ditangan umat Islam , Rosulullah saw tidak terlibat sama sekali dalam sistem hukum dan kepemimpinan jahiliyah saat itu. Bahkan saat dibujuk dengan kekuasan (tahta) untuk menjadi pemimpin oleh kafir Quraisy, Rosulullah saw menolak.
Sebab beliau tahu kekuasaan yang diberikan itu bukan untuk menjalankan sistem Islam secara penuh, tetapi sekedar kompromi politik. Rosulullah saw tahu persis konsekuensi menerima bujukan itu berarti mencampurkan antar hak dan batil, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam.
Sikap Rosulullah SAW sekaligus mencerminkan penolakan terhadap sikap pragmatisme yang hanya memikirkan bagaimana kekuasaan dapat diraih. Padahal kalau menggunakan logika pragmatisme sekarang, apa salahnya Rosulullah mengambil kekuasaan saat itu, bukankah ada gunanya walaupun sedikit ? Bukankah dengan kekuasan itu, kaum muslim sedikit terlepas dari siksaan ? Bukankah dakwahnya akan lebih lapang ?
Sekali lagi Rosulullah SAW tetap berpegang pada prinsip perjuangan yang tidak mengenal kompromi dan tidak mau terlibat dalam sistem kufur yang ada . Meskipun Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya kemudian harus menghadapi ujian yang berat, berupa hinaan, cercaan, siksaan, hingga pembunuhan.
Penggunaan kaedah ahwanusysyarain maupun akhofudhdhororoin tidak bisa dijadikan alasan membenarkan bergabung dengan sistem kufur. Apa yang disebut syar atau dhoror haruslah berdasarkan syariah Islam bukan semata-mata hawa nafsu kita. Yang disebut dhoror dalam Islam misalnya kalau memang mengancam nyawa. Itupun kalau kondisinya harus memilih dan tidak ada pilihan lain (deadlock).
Menurut pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,di antara dalil kaidah ini adalah QS al-Baqarah:173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai. Itupun tentunya kalau tidak ada pilihan lain.
Sementara kalau sekarang kita tidak memilih apakah itu akan mengancam nyawa ? Apakah sekarang kita sudah tidak ada pilihan lain (deadlock). Tentu saja tidak. Kita tidak dalam kondisi terpaksa (sehingga terancam nyawa ) sehingga harus memilih para calon yang semuanya buruk(berdasarkan syariah Islam). Ini bukan pula kondisi deadlock. Ada hal yang sekarang bisa kita lakukan sesegera dan secepat mungkin , yakni berjuang mewujudkan Khilafah Islam. Semakin cepat kita berjuang dan mewujudkan , tentu saja makin baik..
Apakah kalau kita tidak memilih berarti apatis dan tidak berarti? Tentu saja tidak. Kalaupun kita tidak memilih, bukan berarti diam. Kita justru terus memperjuangkan syariah Islam dengan sungguh-sungguh dan secepat mungkin . Yang salah , kalau sudah tidak memilih kemudian kita bersikap diam tidak melakukan apa-apa.
Pilihan untuk tidak memilih bukan pula tidak berarti. Dihadapan Allah SWT kalau kita tidak memilih karena menghindarkan diri dari keharaman , jelas akan mendapat pahala yang besar. Disamping itu, tidak memilih adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap sistem kufur yang ada dan upaya menghilangkan legitimasinya. Sebab kalau seluruh umat Islam tidak memilih , karena pemimpin yang ada tidak menerapkan syariah Islam, tentu saja demokrasi akan kehilangan legitimasinya. Hal ini justru akan mempercepat keruntuhan sistem sekuler yang rusak.
Sebaliknya, dengan partisipasi umat Islam dalam pemilihan ini meskipun sudah tahu pemimpinnya tidak akan menerapkan syariah Islam, justru akan memperkokoh dan memperpanjang umur dari sistem sekuler yang sebenarnya sudah bangkrut.
Seharusnya kita berjuang sekuat tenaga secara maksimal. Yang terjadi sekarang, malah bersikap minimalis . Memilih untuk mendapat sedikit keuntungan , namun sebaliknya telah mengorbankan hal yang prinsip dalam perjuangan yakni sikap istiqomah dan berpegang teguh pada dinul haq (Islam) . Belum lagi , bagaimana bentuk pertanggungjawaban kita dihadapan Allah SWT kelak. Apa jawaban kita kalau Allah SWT bertanya kepada kita nanti : kenapa anda memiliki pemimpin yang tidak menjalankan sistem Islam padahal anda bisa menolaknya ?
Selengkapnya...
Jika Hidup Tidak Untuk Dakwah
Jika Hidup Tidak untuk Dakwah
Terus engkau mau ngapain?
Ente pergi pagi
Dengan semangat mencari duniawi
Jika angkot macet, langsung berganti sewa taksi
Agar harta buruan tidak beralih dari sisi
Ente pulang malam
Dengan jasad yang kelelahan
Nyampe di rumah mendekam sampai pagi datang
Lupakah engkau
Rasulullah saw bagaikan rahib di malam hari
Dan menjadi singa di siang hari
Sementara kamu
Tak peduli siang tak peduli malam
Yang penting dunia dalam genggaman
Sahabat cobalah engkau renungkan
Apa sih yang ingin kugapai sampai harus membanting tulang
Apa sih yang ingin kubangun hingga pagi datang
Apa sih yang ingin kuraih hingga tubuh begitu letih
Jujur saja, untuk urusan perutmu bukan
Buat beli martabak atau nasi
Masuk perut dan kemudian raib menjadi kotoran
Jujur saja, untuk urusan rumah tempat kau tinggal bukan
Buat beli keramik, AC ataupun busa
Dinikmati, rusak, ganti lagi tak berkesudahan
Jujur saja, untuk urusan kesenangan anak-anak yang kau rindukan bukan
Buat pakaian, mainan, ataupun poster-poster idaman
Dinikmati, menghilang dari pandangan
Jika engkau hidup hanya untuk itu semuanya
Maka harga dirimu
Nilainya sama dengan apa yang kamu makan
Nilainya sama dengan apa yang kamu keluarkan dari perut hitam
Nilainya sama dengan apa yang kamu rindukan
Karena jasadmu tak ubahnya tembolok karung
Tempat penyimpanan semua makan yang kamu makan
Karena jasadmu tak ubahnya perekat
Tempat semua kesenangan dunia melekat
Sepekan, setahun, sewindu kau bangun sejuta pundi uang
Engkau lupa bahwa kelak yang kau bangun itu pasti kau tinggalkan
Engkau lupa bahwa tempat tinggalmu sesudahnya adalah istana masa depan
Tapi sahabat
Jika engkau hidup untuk dakwah
Tidak ada setitik harapan pun yang kelak dirugikan
Tiada seberkas amal pun yang tiada mendapat balasan
Tapi di dalamnya penuh ujian dan batu karang
Dan engkau harus yakin penuh akan janji Allah
Tapi di dalamnya tidak lekas kau dapatkan keindahan
Dan engkau harus yakin bahwa inilah jalan kebaikan
Sahabat
Janganlah terlena dengan kesenangan fana
Janganlah terlena dengan gemerlapnya dunia
Itulah yang Allah berikan sebagai hak para musyrikin di dunia
Tiada usah kamu iri dan berpikir tuk hanyut bersamanya
Karena kau tahu kehidupan mereka sesudahnya adalah neraka
Dan mereka kekal di dalamnya
Sahabat
Jangan sia-siakan hidup di dunia
Bangun rumah dakwah
Jika kau diluaskan harta, kembalikan di jalan dakwah
Jika kau diluaskan waktu, hibahkan di jalan dakwah
Jika kau diluaskan tenaga, berikan untuk lapangnya jalan dakwah
Jika kau diluaskan pikiran, gunakan untuk merenungi ayat-ayat-Nya
Jika kau diluaskan usia, maksimalkan berikan yang terbaik untuk-Nya
Jangan jadikan dakwah sebagai kegiatan sampingan
Jangan jadikan dakwah sebagai hiburan
Jangan jadikan dakwah sebagai ajang gaul sesama teman
Jangan jadikan dakwah sebagai pengisi waktu luang
Jangan jadikan dakwah sebagai sarana memburu uang
Karena kelak yang kau dapatkan adalah jahanam
Sebagai balasan atas kemusyrikan yang kau jalankan
Sahabat
Jadikan dakwah sebagai ruh kalian di dunia
Jadikan dakwah sebagai rumah tinggal kalian di dunia
Jadikan dakwah sebagai tugas utama kalian di dunia
Jadikan bahwa hanya dengan dakwah diri kalian begitu bahagia
Jadikan bahwa tanpa dakwah kalian begitu menderita
Sahabat
Jalan dakwah inilah yang membedakan kita
Dengan para pendusta ayat-ayat-Nya
Dan jika engkau hidup di dunia ini tidak untuk tegakkan risalah-Nya Itu
artinya engkau pun sama dengan mereka
Yang lebih menyukai neraka ketimbang surga
Dan jika engkau hidup di dunia ini sebagai tujuan
Ingatlah bahwa tak lama lagi ruhmu bakal dicabut dari badan
Jika hidup tidak untuk dakwah
Trus ente mo ngapain?
Mau jadi ayam?
Yang pergi pagi pulang petang
Kurang petang tambahin nyampe tengah malam
Tapi masih mendingan ayam
Karena ia rutin bangun sebelum azan
Dan teriakkan lagu keindahan
Tapi kamu
Rutin subuh setengah delapan
Apalagi kalo akhir pekan
Bisa jadi subuh hengkang dari pikiran
Tapi masih mendingan ayam
Karena ia berani pilih makanan yang ia inginkan
Tapi kamu
Elo embat semua yang ada di hadapan
Tidak peduli daging, tumbuhan, ataupun batu hitam
Sementara kamu dikaruniai pikiran
Selengkapnya...
Selasa, 23 Juni 2009
KEUNGGULAN MANIFESTO HTI
Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (Manifesto HTI) lahir di tengah-tengah situasi politik Indonesia yang sedang mabuk akibat pesta demokrasi, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2009. Pada masa-masa ini, tak sedikit partai yang menyodorkan platform politiknya kepada publik. Partai Gerindra, misalnya, meluncurkan Manifesto Gerindra. PKS menggagas Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS. Jadi, suasana batin publik kini adalah sedang mempelajari tawaran-tawaran konseptual mengenai pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam suasana batin seperti itulah lahir Manifesto HTI. Tujuan peluncurannya adalah untuk mensosialisasikan konsep HTI mengenai pengaturan kehidupan dalam negara Khilafah nantinya dalam berbagai bidang; pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Diharapkan umat Islam dapat memahami, bahwa Manifesto HTI adalah jalan baru untuk masa depan yang lebih baik, sebagai ganti dari jalan lama (yaitu Kapitalisme-sekular) yang sudah gagal dan hanya menimbulkan kehancuran dan kerusakan dalam berbagai bidang.
Sebagai tawaran konseptual mengenai kehidupan bernegara, Manifesto HTI sebenarnya dapat dimasukkan dalam kategori yang sama dengan tawaran-tawaran serupa, seperti Manifesto Gerindra. Namun, dengan mencermati isinya, akan dapat ditangkap keunggulan-keunggulan yang tidak terdapat dalam tawaran konseptual sejenis. Tulisan ini berusaha menunjukkan beberapa keunggulan tersebut.
Ideologi Islam
Keunggulan ideologis merupakan keunggulan yang tampak jelas sekali dari Manifesto HTI. Pada saat partai-partai yang ada menawarkan ideologi Kapitalisme-sekular, atau menawarkan ideologi Islam yang kurang begitu jelas, Manifesto HTI menegaskan ideologinya, yaitu Islam bukan yang lain. Partai Gerindra, misalkan, meski menawarkan ekonomi kerakyatan, tetap saja tidak anti Kapitalisme, sebagaimana ungkapan Prabowo Subianto di sebuah media nasional.
PKS sebenarnya menunjukkan penyikapan yang positif terhadap syariah, misalnya mendukung Perda syariah atau perbankan syariah. (Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS, hlm. 11 dan 34). Akan tetapi, sikap PKS kurang begitu jelas terhadap ideologi Islam, yaitu pengamalan Islam secara utuh (kâffah) dalam kehidupan bernegara. Dalam platform-nya, PKS masih mempercayai demokrasi. PKS menyatakan tujuannya adalah membentuk masyarakat madani. Ini kurang jelas. Sikapnya terhadap konsep bernegara dalam Islam juga kurang begitu jelas, sebagaimana tampak dalam statemen resmi mereka. Dikatakan bahwa dalam konteks hubungan Islam dan negara, pilihannya bukan negara Islam yang menerapkan syariah atau negara sekular yang menolak syariah, tetapi realisasi ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal (ibid., hlm. 37).
Dibandingkan dengan Manifesto HTI, dengan tegas Hizbut Tahrir menyatakan hanya memperjuangkan ideologi Islam, yang berakar pada prinsip kedaulatan di tangan syariah (as-siyâdah li asy-syar'i). Sebaliknya, Hizbut Tahrir menentang keras berbagai ideologi lainnya seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Hizbut Tahrir juga menentang keras konsep-konsep yang lahir dari paham sekularisme seperti demokrasi, nasionalisme atau isme-isme lain. Dalam penentangannya, Hizbut Tahrir tidak menggunakan cara-cara kompromis atau langkah-langkah penyesuaian diri. Meski demikian, Hizbut Tahrir tidak menggunakan aktivitas kekerasan (fisik) dalam perjuangannya. (Manifesto HTI, hlm. 46).
Lebih tegas lagi, Hizbut Tahrir menekankan bahwa ideologi Islam itu hanya dapat diwujudkan dengan institusi negara Khilafah. (Manifesto HTI, hlm. 46). Penegasan ini tentu merupakan keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan pandangan berbagai partai atau atau ormas Islam yang ada. Mereka umumnya menganggap sistem demokrasi-sekular yang ada sudah final dan dianggap harga mati. Sayangnya, anggapan ini sejalan dengan kehendak skenario Kapitalisme global di bawah pimpinan AS. Padahal sistem demokrasi adalah sistem kufur, najis serta thâghût yang wajib dibuang ke tong sampah peradaban.
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Islam yang digagas HTI adalah negara Khilafah, yaitu sebuah negara yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan mempunyai misi menyebarkan dakwah Islam ke seluruh umat manusia. Mengapa Khilafah dan bukan sistem yang lain, semisal republik atau monarki? Sebab, sistem pemerintahan Islam inilah yang secara genuine (asli) lahir dari rahim ideologi Islam. Sistem republik atau monarki tidak berasal dari ideologi Islam, melainkan berasal dari ideologi Barat.
Dengan Khilafah, diharapkan dapat muncul beberapa keunggulan, yaitu adanya kemandirian serta partisipasi rakyat yang tinggi. Kemandirian akan terwujud karena Khilafah memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi negara-negara imperialis-kolonialis. Pada saat Indonesia merdeka, sebenarnya ideologi yang diterapkan adalah ideologi kaum penjajah, yaitu sekularisme. Penjajah diusir, tetapi ideologinya diadopsi. Inilah yang menyebabkan Indonesia selalu menjadi subordinat dari negara-negara imperialis Barat melalui agen-agennya yang duduk dalam posisi kunci di tengah masyarakat ataupun di tubuh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam konteks kekinian, bukti nyata untuk itu adalah lahirnya berbagai UU yang pro negara penjajah seperti UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU SDA (Sumber Daya Air), UU Penanaman Modal, UU Badan Hukum Pendidikan, dan sebagainya. (Manifesto HTI, hlm. 12).
Khilafah yang berasaskan ideologi Islam akan melegislasi UU hanya dari al-Quran dan as-Sunnah. Segala perundang-undangan yang ada tidak dapat lagi didikte oleh siapapun khususnya agen-agen imperialis. Dengan demikian, secara politik Khilafah akan mewujudkan kemandirian dan mengakhiri penjajahan.
Partisipasi politik yang tinggi juga akan dapat diwujudkan dalam negara Khilafah nanti. Tidak seperti sekarang, partisipasi politik hanya tampak dalam Pemilu lima tahunan yang sayangnya juga tidak lepas dari manipulasi dan eliminasi aspirasi rakyat, misalnya lewat manipulasi DPT. Dalam negara Khilafah, partisipasi politik antara lain terwujud dalam kontrol rakyat yang kuat kepada pemerintah. Kontrol kepada penguasa dapat dilakukan melalui empat jalur: melalui individu, partai politik, Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim. (Manifesto HTI, hlm. 13). Ini akan sangat berbeda dengan sistem pengawasan sekarang yang dirancang untuk meminimalkan akses publik untuk dapat mengontrol pemerintah. Contoh mutakhir adalah RUU Kerahasiaan Negara, yang menentukan bahwa sejumlah informasi penting yang menyangkut publik tidak dapat diungkapkan untuk publik; atau RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), yang menyatakan para pejabat sektor keuangan tidak dapat dijerat hukum terkait kebijakan mereka, yaitu bantuan likuiditas guna menghadapi krisis finansial global.
Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi yang diterapkan sekarang adalah Kapitalisme dengan mazhab neoliberalisme. Ciri-ciri utama neoliberalisme antara lain: (1) pengurangan subsidi, seperti subsidi BBM, pendidikan, kesehatan dan sebagainya; (2) privatisasi, yaitu penjualan BUMN kepada asing, misalnya penjualan PT Indosat kepada Temasek Holding Singapura; (2) liberalisasi sektor keuangan, industri dan perdagangan; misalnya masuknya retail raksasa semisal Carefour dan Wallmart ke pasar retail Indonesia yang akhirnya menghancurkan pasar tradisional dan usaha kecil dan mikro.
Dalam Manifesto HTI ditegaskan bahwa sistem Kapitalisme seperti ini adalah sistem yang menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi. Pihak yang kuat akan untung, sementara rakyat banyak yang lemah akan buntung, yang pada gilirannya akan melambungkan jumlah kemiskinan. Kesejahteraan tidak untuk semua, tetapi untuk golongan yang kuat saja. (Manifesto HTI, hlm. 15).
Manifesto HTI akan makin tampak keunggulannya, karena berusaha menggagas sistem ekonomi Islam sebagai alternatif dari sistem Kapitalisme-neoliberal yang zalim dan eksploitatif ini. Gagasan HTI antara lain adalah negara harus memastikan bahwa kegiatan ekonomi baik yang menyangkut produksi, distribusi maupun konsumsi dari barang dan jasa berlangsung sesuai dengan ketentuan syariah; di dalamnya tidak ada pihak yang menzalimi ataupun dizalimi. Karena itu, Islam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi (produksi, industri, pertanian, distribusi dan perdagangan), investasi, mata uang, perpajakan, dll yang memungkinkan setiap orang mempunyai akses untuk mendapatkan kekayaan tanpa merugikan atau dirugikan oleh orang lain. Selain itu, negara juga menggunakan pola distribusi non ekonomi guna mendistribusikan kekayaan kepada pihak-pihak yang secara ekonomi tetap belum mendapatkan kekayaan melalui instrumen seperti zakat, sedekah, hibah dan pemberian negara. Dengan cara ini, pihak yang secara ekonomi tertinggal tidak semakin tersisihkan. (Manifesto HTI, hlm. 16).
Dalam sistem Kapitalisme sekarang, SDA (Sumber Daya Alam) berada dalam cengkeraman korporasi swasta, misalnya tambang tembaga dan emas Papua yang dikuasai PT Freeport Indonesia, tambang migas di Cepu yang dikuasai PT Exxon-Mobil, dan sebagainya. Akhirnya, sebagian besar hasil SDA dinikmati oleh asing, bukan dinikmati rakyat Indonesia. Sebagai contoh, keuntungan perusahaan migas AS PT Exxon-Mobil di Indonesia tahun 2007 adalah sebesar 40,6 miliar USD (Rp 373 triliun), dari pendapatan kotor sebesar 114,9 miliar USD (Rp 1.057 triliun). Dari keuntungan Rp 373 triliun itu, bagi hasilnya yang nisbahnya 85:15 bagi Pemerintah dan perusahaan asing, baru dilakukan setelah dipotong "cost recovery" yang ditetapkan perusahaan asing. Jika tidak tersisa, Indonesia tidak dapat. Di Blok Natuna, setelah dipotong "cost recovery", PT Exxon-Mobil mendapat 100% dan pemerintah mendapat 0% (nol persen). (Kompas, 13/10/2006). Walhasil, swasta makin kaya dan Indonesia menjadi fakir-miskin.
Di sinilah Manifesto HTI menggugat dan mendobrak sistem zalim dan eksploitatif ini. SDA ditegaskan sebagai milik umum (milkiyah 'âmmah) sehingga wajib dikelola oleh negara saja sebagai wakil dari umat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta. Hasil dari SDA itu, misalnya BBM, akan didistribusikan kepada pemiliknya, yaitu seluruh rakyat, dengan gratis atau dengan harga murah yang dijangkau oleh rakyat; misalnya dijual pada harga yang sama dengan ongkos produksi. Kwik Kian Gie pernah menghitung, biaya produksi satu liter bensin hanya Rp 540,- (Kompas, 3/2/2005). Dengan cara ini, hasil SDA tidak lagi dijarah oleh kaum imperialis, namun justru akan dinikmati oleh seluruh rakyat (Manifesto HTI, hlm. 16).
Utang luar negeri juga menjadi salah satu perhatian dalam Manifesto HTI. Indonesia dalam pandangan HTI telah terjerumus dalam jebakan hutang (debt trap) sehingga tidak memiliki kemandirian dalam menentukan kebijakan ekonomi dan politiknya. Manifesto HTI menegaskan, utang luar negeri haram hukumnya karena mengandung bunga (riba) (QS al-Baqarah [2]: 275) dan menimbulkan dominasi asing terhadap Indonesia (QS An-Nisa’ [4]: 141). (Manifesto HTI, hlm. 18).
Polugri
Konsepsi Polugri (politik luar negeri) dalam negara Khilafah berbasiskan satu prinsip yang tetap dan tidak berubah-ubah sampai Hari Kiamat, yakni jihad fi sabilillah. Jihad fi sabilillah tujuannya bukanlah untuk membunuh manusia, atau memaksa manusia masuk Islam, atau merusak bangunan dan pepohonan, melainkan untuk menyebarkan Islam kepada seluruh manusia (QS al-Anbiya’ []: 207) dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi sampainya dakwah Islam.
Prinsip jihad fi sabilillah inilah yang akan melandasi seluruh kebijakan polugri negara Khilafah, seperti kebijakan dalam mengatur hubungan dengan negara lain, kebijakan mengadakan perjanjian dengan negara lain dan kebijakan menyikapi organisasi internasional seperti PBB. Maka dari itu, Manifesto HTI menegaskan, Khilafah nantinya akan mengambil kebijakan menolak politik "Minimum Deterrence" yang meminimalkan kekuatan senjata Dunia Islam, dan sebaliknya Khilafah akan mengupayakan kekuatan militer secara penuh. Khilafah tidak akan menandatangani perjanjian NPT (Non-Proliferation Treaty) dan perjanjian lain yang semisal. Khilafah tidak akan meminta bantuan AS, Inggris ataupun negara-negara penjajah lainnya untuk menyelesaikan masalah umat Islam. Khilafah juga tidak akan menjadi anggota lembaga-lembaga internasional yang menjadi alat penjajahan seperti PBB, Bank Dunia, IMF dan yang semisalnya.
Semua kebijakan ini jelas merupakan suatu keunggulan tersendiri, yang berbeda dengan garis politik luar negeri saat ini yang amat lemah dan tidak mandiri. Kebijakan yang ada saat ini justru menempatkan Indonesia sebagai subordinat dari kepentingan negara penjajah, khususnya AS.
Kesimpulan
Inilah sekilas beberapa keunggulan Manifesto HTI yang ditawarkan kepada umat Islam di Indonesia. Tampak jelas, berbagai keunggulan ini berpangkal dari keunggulan ideologisnya, yaitu ideologi Islam. Keunggulan ini kemudian diturunkan dalam berbagai konsep dan rencana kebijakan yang Islami, yang sesungguhnya amat layak menggantikan ideologi sekarang yang sudah lapuk, gagal dan mau tumbang. Wallâhu a'lam.
Selengkapnya...