Kebejatan yang menimpa sebagian generasi di negeri ini benar-benar berada di ambang kehancuran. Akibat sekularisme, ide pemisahan Islam dari kehidupan, telah menyebabkan kerusakan demi kerusakkan terjadi. Baru-baru ini dunia pendidikan kembali tercoreng, seorang pelajar SMK negeri di Madiun melahirkan usai UAS.
Seperti dilansir detikcom, seorang siswi melahirkan di ruang UKS (Unit Kegiatan Sekolah) sekitar pukul 09.00 WIB, Kamis (16/12/2010). Siswi tersebut duduk di bangku kelas 11 jurusan administrasi perkantoran, SMKN 2 Madiun.
Bila seorang anak tersebut melahirkan sebagai hasil dari pernikahannya munkin tidak terlalu masalah. Tetapi di dalam sistem sekuler hari ini mana ada seorang pelajar sekolah diperbolehkan menikah? Memang ada upaya pernikahan dini dilarang, sementara perzinaan dibiarkan.
Salah satu tenaga Bimbingan Konseling (BK) SMKN 2 Madiun, Heni mengaku berdasarkan dugaan dokter yang menangani siswi tersebut, usia kandungan baru berusia 7 bulan.
"Usai ujian tadi kita kaget atas siswi tersebut yang melahirkan di ruang UKS. Dan dari keterangan dokter yang menangani persalinannya, usia kandungan baru 7 bulan," kata Heni saat di sekolah, Jalan MT Haryono.
Heni menambahkan bahwa selama ini siswinya tersebut sehari-hari aktif dalam kegiatan intra maupun ekstra sekolah termasuk pelajaran olah raga. "Kalau dilihat dari absensinya ia tetap aktif dalam kegiatan sekolah, bahkan ia tetap aktif dalam kegiatan olah raga. Jadi sama sekali tidak ada tanda tanda jika dia hamil," tutur Heni.
Kasus ini bukanlah hal yang baru mencoreng dunia pendidikan. Beberapa waktu lalu seorang siswi yang melahirkan di sekolah tega membunuh bayinya sendiri akibar dari pergaulan bebas yang dia lakukan [baca: Kegagalan Pendidikan Sekuler: Pelajar Hamil dan Bunuh Bayinya Sendiri ].
Apa yang menimpa siswi di SMKN 2 Madiun ini hanya menambah deretan korban generasi muda menyusul siswi SMAN 12 Surabaya, dan siswi-siswi lainnya yang terjerat pada pergaulan bebas. Sungguh sangat miris, data terakhir dari BKKBN yang menyatakan lebih dari separuh remaja di Jabodetabek telah melakukan perbuatan bejat tersebut. Entah sampai berapa banyak lagi berjatuhan korban yang sama?
Menuai Hasil!
Ibarat orang yang menanam pohon, maka ia akan menuai hasil pula. Demikianlah, penanaman ide-ide kebebasan dan demokrasi yang bersumber dari sekularisme serta pencampakkan Islam sebagai jalan hidup telah menuai hasil: maraknya perilaku hewani di kalangan generasi muda di negeri ini.
Memang banyak faktor yang menyebabkan peningkatan pergaulan bebas di kalangan remaja tersebut. Diantaranya:
1. Hilangnya ketaqwaan dan keimanan sebagai buah dari pendidikan sekular. Pendidikan agama sangat terbatas bahkan hanya sebatas ritual semata. Islam pun tidak mendasari pelajaran-pelajaran lainnya yang akan memicu buah ketakwaan.
2. Merebaknya contoh-contoh perilaku yang bejat seperti pacaran dan bercumbu secara terbuka melalui televisi-telivisi.
3. Lingkungan sekolah yang lepas pembinaan dan lepas kontrol, bahkan terkadang pacaran, berduaan dan pakaian yang mengumbar aurat difasilitasi melalui beberapa kegiatan esktrakurikuler yang campur baur.
4. Lingkungan masyarakat yang rusak dan jauh dari tatanan Islam, lemah ketaqwaan dan lemah kontrol.
5. Keluarga sebagai media pembinaan pokok bagi anak telah dihancurkan. Pendidikan keluarga hilang, yang ada justru pendidikan "kurang ajar" dari sebagian acara-acara televisi yang merusak, dan hal itu dibiarkan oleh para orang tua kepada anak-anaknynya.
6. Penerapan kurikulum pendidikan internet yang telah mengenalkan internet kepada remaja, tanpa dibarengi dengan pendidikan ketakwaan serta tanpa disertai dengan upaya pencegahan terhadap efek negatif dari internet. Para pemegang kebijakan pun belum siap mengerem efek negatifnya dengan memblokir situs-situs maksiyat sementara internet telah diperkenalkan kepada para remaja dan dunia pendidikan.
7. Seiring dengan hal itu, merebaknya warung-warung internet hingga ke pelosok-pelosok perkampunya, tanpa ada sedikitpun upaya dari pihak berwenang untuk menghilang efek negatifnya seperti pemblokiran konten-konten yang tidak sesuai dengan syariat.
8. Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap para pelaku perzinaan, terbukti para pelaku perzinaan, bahkan ikut menyebarkan tindakan rusaknya itu, berkeliaran bebas tanpa terjerat sanksi yang tegas. Padahal di dalam Islam, sanksinya tegas: hukum rajam hingga meninggal bagi pelaku zina yang sudah berkeluarga dan hukuman cambuk di muka umum bagi para pelaku zina yang belum berkeluarga.
9. Berkeliarannya para perusak negeri untuk meraup keuntungan sekaligus mempromosikan konten-konten yang rusak dengan mengatasnamakan hiburan. Mereka tidak takut lagi untuk membuat sinema dan sinetron dengan mempromosikan para pelaku zina ke negeri ini.
10. Sistem campur baur (ikhtilath) di beberapa lingkungan termasuk pendidikan, menyebabkan interaksi antara laki-laki dan perempuan semakin sering, tanpa dibarengi pemahaman tentang sistem pergaulan dalam Islam
11. Merebaknya para remaja puteri yang berpakaian tanpa pakaian (mengumbar aurat) sebagai hasil dari pendidikan mereka di keluarga yang miskin keimanan. Pendidikan keluarga telah beralih kepada 'pendidikan' yang mengacu kepada para selebritis yang tampil di televisi-telivisi yang seringkali mengumbar auarat.
12. Orang tua, masyarakat, dan para penguasa terlalu banyak mengabaikan syariah Islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam sistem pergaulan dalam Islam, dll.
Masih banyak lagi faktor-faktor lainnya, tetapi paling tidak merebaknya kerusakkan ini karena negeri ini terlalu banyak mengabaikan aturan-aturan Allah Swt. “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada harikiamat dalam keadaan buta.” (Thaahaa: 124).
Sistem Pendidikan sekuler saat ini telah gagal untuk mendidik generasi yang bertaqwa. Alih-alih berperilaku mulia sebagai seorang pelajar, seringkali para pelajar di negeri ini berperilaku kurang ajar. Buktinya, mengapa pergaulan bebas tersebut marak di kalangan remaja yang tiada lain adalah para pelajar.
Pencampakkan Islam sebagai sebuah sistem hidup serta pembanggaan terhadap ide-ide kebebasan dan demokrasi telah membuat generasi di negeri ini tidak memahami cara bergaul dalam agama mereka. Apakah para remaja diajarkan tentang sistem pergaulan Islam di sekolah-sekolah mereka? Tentu saja tidak ada porsi untuk itu. Wajar sekiranya mereka gelap dengan aturan-aturan Islam terkait sistem pergaulan dalam Islam.
Meningkatnya pergaulan bebas ini sejalan juga dengan pemaksaan ide-ide kebebasan terhadap generai melalui berbagai media. Termasuk di dalamnya pembiaran para pemegang kebijakan yang tak mampu menyelamatkan generasi muda masa depan negeri ini.
Tengok saja, pacaran sebagai awal dari perzinaan telah diajarkan di rumah-rumah melalui televisi. Melalui sinetron, sinema, realty show, konser musik, dan beberapa acara televisi lainnya secara langsung ataupun tidak langsung telah mengajarkan pola hidup bebas serta cara bergaul yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Merebaknya konten-konten yang cabul baik melalui internet, sinema dewasa yang dibiarkan turut serta menghancurkan generasi muda kita. Perzinaan biasanya diawali oleh aktivitas pacaran. Pacaran inilah yang tiap hari dijejalkan melalui sinetron-sinetron televisi kepada anak-anak kita. Adegan bercumbu, berciuman, mengumbar aurat, telah mengotori rumah-rumah kaum Muslim.
Sex Education: Solusi Bodoh!
Melihat merebaknya pergaulan bebas di kalangan remaja, sebagian seolah menutup mata terhadap akar persoalan yang menimpa mereka. Beberapa solusi palsu ditawarkan tanpa sedikitpun menyentuh kepada akar persoalannya. sebut saja, gagasan memasukkan Pendidikan Sex (Sex Education) ke dalam kurikulum dianggap memberikan solusi. Padahal, langkah tersebut malah akan semakin menambah perilaku rusak tersebut.
Di Inggris, sex education yang diterapkan bukannya memberkan solusi, malah perbuatan hewani akhirnya terjadi di kalangan anak-anak belia. Seorang anak berusia delapan tahun sudah melakukan kejahatan permerkosaan terhadap teman sebayanya. Bahkan ketika pergaulan bebas di kalangan anak-anak (bukan remaja) ini merebak, belakangan malah digagas kembali Sex Education untuk usia lima tahun [baca: Akibat Sex Education: Anak Umur Delapan Tahun telah Melakukan Kejahatan Pemerkosaan].
Solusi bodoh lainnya yang sering dilontarkan oleh para 'aktivis kebebasan' adalah solusi ABCDE terkait meningkatnya para pengidap HIV/AIDS. Salah satu solusi rusak itu adalah penggunaan dan penyebaran alat kontrasepsi (condom). Penggunaan alat kontrasepsi juga terkadang sudah dikenalkan kepada para remaja, diantaranya melalui kurikulum Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang disisipkan ke sekolah-sekolah.
Sekali lagi, akar persoalan merebaknya perzinaan di kalangan pelajar adalah telah hilangnya nilai-nilai Islam dalam tingkah laku dan pola pikir mereka. Di waktu yang sama mereka terus menerus dijejali dengan ide-ide kebebasan plus tingkah laku rusak melalui berbagai media yang ada.
Solusi cerdas untuk menuntaskan persoalan ini bukan denganpenerapan sex education ala Barat, tetapi kembali kepada syariah Islam dengan penanaman akidah dan ketakwaan serta pendidikan sistem pergaulan dalam Islam. Islam memiliki solusi tuntas tentang masalah ini dengan solusi nikah atau solusi sistem pergaulan Islam.
Terapkan Kurikulum Sistem Pergaulan dalam Islam Sekarang Juga!
Perzinaan merupakan pemuasan yang keliru dari naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau). Naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani, di mana naluri tersebut muncul karena rangsangan dari luar. Ketika fakta-fakta yang merangsang naluri ini semakin meluas bahkan sengaja diperbanyak seperti pengumbaran aurat, aktivitas pacaran dan bercumbu di tengah masyarakat, tidak aneh bila sebagian manusia berusaha memenuhinya.
Ketika para remaja tidak memahami sistem pergaulan dalam Islam sekaligus miskin keimanan, maka mereka berupaya memenuhinya degan cara-cara Barat yang telah diajarkan di rumah-rumah mereka (melalui televisi dan fasilitas pribadi seperti hape) atau di sekolah (melalui aktivitas campur baur dengan teman-temannya) atau di warnet (kelas baru usai sekolah yang kian menjamur). Bagi usia remaja, ketika menikah dini dilarang oleh sistem yang ada, maka pacaran yang ujung-ujungnya dapat menuju pada perzinaan menjadi pilihan bagi mereka.
Sistem pergaulan dalam Islam telah memberikan seperangkat aturan yang mengatur interaksi antara perempuan dan laki-laki. Diantaranya:
1. Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun wanita, untuk menundukkan pandangan.
2. Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna, yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Mereka hendaknya mengulurkan pakaian hingga menutup tubuh mereka.
3. Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahram-nya.
4. Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.
5. Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya, karena suami memiliki hak atas istrinya.
6. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam masjid, di sekolah, dan lain sebagainya.
7. Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahram-nya atau keluar bersama untuk berdarmawisata.
8. Islam memberikan solusi ikatan pernikahan sebagai satu-satunya ikatan sah untuk memuaskan naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau).
Islam sebagai sebuah jalan hidup telah memberikan seperangkat aturan yang lengkap untuk mengatur sistem kehidupan ini, termasuk pergaulan. Sistem pergaulan dalam Islam semuanya diatur dengan landasalan keimanan dan ketakwaan.
Mengapa tidak ada upaya serius dari beberapa pihak terutama para pemegang kebijakan untuk menyelesaikan persoalan yang sangat kritis ini? Ingat, negara-negara kapitalis, baru-baru ini terungkap, diantara AS dan China telah memiliki rencana busuk untuk menjadikan negeri ini sekular. Para kapitalis meraup keuntungan dengan menghalalkan segala cara, tanpa melihat akibatnya yang dapat menghancurkan generasi. Bahkan bisa jadi kehancuran generasi itulah yang diharapkan, agar negeri ini terus dapat terjajah
Bila demikian adanya, masihkah para orang tua dan masyakarat membiarkan perusakkan generasi muda negeri ini? Siapa pun yang masih punya akal pikiran yang jernih tentu tidak mengingkan perusakkan generasi ini terus berlanjut. Sudah saatnya kembali kepada syariah. Kaum Muslim hanya membutuhkan satu kesatuan politik yang akan mengembalikan kehidupan Islam. Umat membutuhkan Khilafah yang akan menerapkan sistem Islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk sistem pergaulan.
Untuk itu, sudah sepatunya negeri ini menerapkan syariah yang insya Allah akan menuntaskan segala persoalan yang menimpa negeri ini. Hanya dengan syariah dan khilafah inilah, Indonesia akan menjadi negeri yang menuai berkah, besar, maju, berwibawa dan terdepan di dunia. Insya Allah, umat merindukannya!
Selengkapnya...
Kamis, 27 Januari 2011
Astaghfirullah, Siswi SMKN Melahirkan di Sekolah, Buah dari Sekularisme!
Selasa, 11 Januari 2011
Demokrasi Melahirkan Banyak Pejabat ‘Kriminal’
Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.” Demikian kutipan dari editorial sebuah media harian nasional (MI, 10/1/2011). Ini adalah sebuah ungkapan jujur tentang demokrasi. Sekalipun bukan hal baru, ungkapan tersebut mengingatkan kembali umat Islam tentang hakikat dan fakta dari sistem demokrasi yang diadopsi oleh negeri ini.
Dalam berbagai forum, Indonesia mendapat pujian sebagai negara demokratis. Namun, apakah dengan status demokratisnya negeri ini telah mampu melahirkan kepemimpinan yang amanah? Apakah demokrasi bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya?
Tentu, kita merasa miris kalau melihat fakta aktual: sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka. Kebanyakan tersangkut kasus korupsi. Bahkan sebagian dari pemenang Pilkada 2010 berstatus tersangka dan meringkuk di penjara. Contoh nyata, Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar terpilih menjadi Walikota Tomohon-Sulut periode 2010-2015 dan dilantik oleh Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, pada rapat paripurna istimewa DPRD Tomohon, di Jakarta, Jumat (7/1). Padahal Jefferson sedang duduk di kursi pesakitan; ia dijadikan tersangka oleh KPK karena tindak pidana Korupsi. Yang lebih menggelikan, Jeferson lalu dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Baik yang melantik dan yang dilantik seolah sudah putus urat nadi rasa malunya. Jajaran pejabat yang akan mengurus rakyat dilantik oleh seorang terdakwa yang tersandung kasus ketika mengelola uang rakyat.
Jadi, rasanya omong-kosong kita berharap bahwa sistem demokrasi bisa melahirkan para pemimpin yang amanah. Begitu juga terkait kesejahteraan. Pasalnya, demokrasi hanya menjadi tempat bagi orang-orang dan kelompok oportunis untuk mentransaksikan kepentingan-kepentingan perut dan nafsunya.
Biaya Mahal, Hasilnya Nol
Selama tahun 2010, tercatat sebanyak 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari Rp 4,2 triliun. Perlu dicatat, beberapa Pilkada akhirnya juga mengalami pengulangan pada tahun 2011 seperti kasus di Tangerang Selatan, setelah MK menerima gugatan ihwal banyaknya kecurangan dalam pelaksanaannya. Biaya ini jauh lebih besar daripada Pilkada tahun sebelumnya. Pilkada Tahun 2007 yang berlangsung di 226 daerah saja, yakni di 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota, menelan dana sekitar Rp 1,25 triliun. Penghamburan uang rakyat itu terjadi di tengah-tengah kondisi yang sangat memilukan; pada tahun 2010 tercatat lebih dari 31 juta (13,3%) dari 237 juta penduduk Indonesia dalam kondisi miskin luar biasa. Dalam hal ini, hasil Pilkada tak pernah mengubah nasib rakyat. Yang berubah nasibnya hanyalah para penguasa dan kroni-kroninya saja.
Pilkada yang bertujuan menyertakan rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpinnya sendiri di tingkat lokal/daerah pada faktanya juga telah melahirkan dampak negatif. Masyarakat, misalnya, menjadi terkotak-kotak bahkan saling berhadap-hadapan. Hubungan sosial menjadi renggang. Tak jarang proses Pilkada ini melahirkan bentrokan yang mengarah pada tindakan kekerasan.
Semua itu niscaya terjadi karena banyak faktor. Pertama: Banyak aturan Pilkada yang tumpang-tindih. Hal ini akibat terlalu besarnya dominasi partai politik dalam Pilkada. Kedua: Masih lemahnya pendidikan politik untuk masyarakat. Lemahnya pemahaman politik masyarakat ini ditunjukkan dengan masih banyaknya incumbent (pejabat lama) yang terpilih kembali. Padahal incumbent ini telah gagal dalam mensejaherakan rakyatnya. Ketiga: terjadi kecurangan dalam proses pemilihan tanpa penyelesaian hukum yang adil, misalnya, menggunakan politik uang. Hal ini jelas menimbulkan kecemburuan di kalangan calon yang “miskin”. Faktanya, banyak Pilkada berakhir di pengadilan.
Demokrasi: Akar Masalah
Secara sederhana, politik saat ini diartikan sebagai proses interaksi pemerintah dengan masyarakat untuk menentukan kebijakan publik (public policy) demi kebaikan bersama. Sistem politik yang dianut Indonesia adalah demokrasi. Demokrasi kini telah menjelma menjadi sebuah paham, bahkan semacam ‘agama’ yang menglobal, yang nyaris tanpa koreksi. Gagasan dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Intinya, kewenangan membuat hukum ada di tangan manusia. Demokrasi selalu dianggap sebagai tatanan atau sistem politik yang paling ideal. Dalam sistem demokrasi, rakyat diasumsikan akan benar-benar berdaulat dan mendapatkan seluruh aspirasinya. Dari sana, melalui proses politik yang demokratis, lantas dibayangkan bakal tercipta sebuah kehidupan masyarakat yang ideal: adil, damai, tenteram dan sejahtera.
Namun, semua itu hanyalah bayangan, bahkan tipuan. Dalam tataran praktik gagasan ideal itu tak pernah terwujud. Dalam negara demokrasi,
yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yakni sekelompok penguasa (dan pengusaha) saling bekerjasama untuk menentukan kebijakan politik, sosial
dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya. Partai politik dan wakilnya di Parlemen bekerja lebih untuk memenuhi aspirasinya sendiri.
Maka dari itu, tidak ada yang namanya masyarakat yang adil, damai, tenteram dan sejahtera dalam sistem demokrasi. Yang ada justru ketidakadilan yang makin menganga. Kesejahteraan memang ada, tetapi hanya untuk segelintir elit yang berkuasa. Sebaliknya, kebanyakan rakyat sengsara dan menderita; jauh dari gambaran ideal yang diharapkan.
Bagaimana bisa diharap ada keadilan bila sistem demokrasi malah melahirkan banyak pejabat dan penguasa yang lebih pantas disebut penjahat. Mereka adalah para tersangka berbagai kasus tindak pidana (terutama korupsi). Ini karena banyak dari proses politik berlangsung secara transaksional. Pragmatisme politik baik demi kekuasaan ataupun uang lebih banyak berperan. Kekuasaan diperlukan untuk mendapatkan uang. Uang diperlukan untuk mendapatkan kekuasaan atau kekuasaan yang lebih besar lagi. Kekuasaan dan uang juga diperlukan untuk menutup seluruh kebusukan yang telah dilakukan selama berkuasa.
Dalam kondisi demikian, kepentingan rakyat dengan mudah terabaikan. Bagi penguasa, rakyat hanyalah alat untuk meraih kuasa. Akhirnya, bukan kedaulatan rakyat yang menjadi ‘ruh’ dari sistem demokrasi, melainkan kedaulatan kapital dari para pemilik modal atau penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah kenyataan umum di negara-negara penganut demokrasi, tanpa kecuali, termasuk di AS dan Eropa sebagai kampiun demokrasi.
Oleh karena itu, pujian terhadap Indonesia yang dianggap sebagai ‘jawara demokrasi’ dengan julukan “Indonesia’s Shining Muslim Democrazy” (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia) hanya karena dianggap sukses menyelenggarakan Pileg dan Pilpres tahun 2004 dan 2009 secara damai perlu dipertanyakan. Sebab faktanya, keberhasilan itu tidak selaras dengan perbaikan hidup rakyat. Justru melalui pintu demokratisasilah liberalisasi di semua sektor kehidupan terjadi, dengan segala implikasi buruknya yang makin sulit dikendalikan.
Tak aneh bila kemudian banyak orang melihat demokrasi sesungguhnya adalah sistem politik yang bermasalah. Tokoh Barat sendiri, Winston Churchil, menyatakan, “Democracy is worst possible form of government (Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan).”
Benjamin Constan juga berkata, “Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Jadi, benar bahwa problem politik, bahkan juga problem ekonomi, problem sosial dan budaya (perilaku amoral) berawal dari demokrasi, yang tragisnya justru dianggap sebagai sistem politik yang paling baik. Na’udzu billah.
Saatnya Kembali ke Sistem Islam
Dasar politik yang diterapkan di Indonesia adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Hukum bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia melalui proses demokrasi. Hukum dibuat oleh segelintir orang yang tidak lepas dari kepentingan, baik kepentingan uang ataupun kekuasaan.
Selama sekularisme dengan demokrasinya yang diterapkan, selama itu pula yang terjadi adalah kerusakan dan keterpurukan. Hanya syariah Islam yang bisa menjamin keadilan karena ia berasal dari Zat Yang Mahaadil. Tetap menerapkan sekularisme dengan demokrasinya berarti meninggalkan hukum terbaik, yakni hukum Allah SWT, sebagaimana al-Quran menegaskan:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Untuk itu, negeri ini harus segera mengubur sekularisme, lalu menggantinya dengan akidah dan syariah Islam. Segera tinggalkan demokrasi dengan kedaulatan rakyatnya, lalu ubah dengan sistem Khilafah dengan kedaulatan hukum syariahnya. Inilah yang akan menjamin kesejahteran, keadilan dan keberkahan di dunia serta kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Wallahu a’lam. [http://hizbut-tahrir.or.id/]
Selengkapnya...