Segala puji hanya bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, para sahabat dan siapa saya yang loyal kepada Beliau dan siapa saja yang menelusuri garis Beliau dan menjadikan akidah Islam sebagai asas pemikirannya dan hukum-huku syara’ sebagai standar aktivitas-aktivitasnya dan sumber bagi hukum-hukumnya.
Teriring gema takbir memuji kebesaran Allah SWT, kami mengucapkan ‘Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin’
تقبل الله منا ومنكم تقبل يا كريم
Semoga Allah muliakan kita dengan bai’at kepada Khalifah kaum Muslim di dalam Khilafah Rasyidah yang kedua. Allahumma amin, amin, amin.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Selengkapnya...
Rabu, 08 September 2010
Selamat hari raya idul fitri 1431H.
Selasa, 13 Juli 2010
HAKIKAT PARTAI ISLAM
Partai Islam (al-hizb al-Islami), atau lengkapnya partai politik Islam, perlu dipahami hakikatnya. Sebab banyak orang tidak bisa membedakan mana partai Islam dan mana yang bukan partai Islam. Ada partai yang mengaku partai Islam, padahal strateginya sangat pragmatis dan oportunis, hanya mengejar ambisi kekuasaan seraya mencampakkan Islam.
Sebaliknya ada partai Islam yang hakiki, tapi ditakuti umat, karena diopinikan atau dicitrakan buruk dengan berbagai stempel mengerikan, seperti cap teroris, fundamentalis, radikalis, dan sebagainya. Berikut ini sekilas penjelasan beberapa aspek terpenting mengenai partai Islam.
Pengertian Partai Islam
Partai Islam menurut Abdul Qadim Zallum adalah partai yang berdiri di atas dasar Aqidah Islam, yang mengadopsi berbagai ide, hukum, dan solusi yang Islami, yang metode perjuangannya adalah metode perjuangan Rasululllah SAW. (Ta’rif Hizbut Tahrir, Beirut : Darul Ummah, 2010, hal. 9).
Sementara Ziyad Ghazzal mendefiniskan partai Islam adalah sebuah organisasi permanen yang beranggotakan orang-orang Islam yang bertujuan untuk melakukan aktivitas politik sesuai dengan ketentuan Syariah Islam. (Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah al-Khilafah, hal. 39).
Dari dua definisi itu dapat diambil beberapa poin yang menjadi identitas pokok partai Islam. Pertama, partai Islam wajib berasaskan Aqidah Islam. Dengan kata lain, ideologi partai harus ideologi Islam. Maka partai yang asasnya bukan Aqidah Islam, bukanlah partai Islam. Misalnya partai yang berasaskan sekularisme, sosialisme, komunisme, dan sebagainya.
Kedua, partai Islam wajib mengadopsi fikrah (ide) dan thariqah (metode perjuangan) yang berasal dari Islam. Fikrah dan thariqah ini utamanya terwujud dalam penentuan tujuan dan langkah-langkah (program) untuk mencapai tujuan. Maka bukan partai Islam, partai yang tujuannya untuk melayani kepentingan ideologi Barat. Misalnya bertujuan mewujudkan masyarakat madani (civil society), karena masyarakat sipil sebenarnya istilah lain untuk masyarakat sekular. Bukan pula partai Islam, kalau dalam perjuangannya mengadopsi ide non Islam, seperti demokrasi dan nasionalisme. Bukan pula partai Islam, partai yang mengadopsi metode yang pragmatis dan oportunis, yang tidak memakai kaidah halal haram.
Ketiga, partai Islam wajib beranggota muslim saja. Maka bukanlah partai Islam, kalau menerima anggota-anggota non muslim. Perlu dipahami, masalah keanggotaan ini sebenarnya menunjukkan jenis ikatan (rabithah) yang menyatukan seluruh anggota partai menjadi satu kesatuan integral. Jika anggotanya muslim saja, berarti ikatannya adalah ikatan Ukhuwah Islamiyah yang berpangkal pada kesamaan aqidah, yaitu Aqidah Islam. Jika anggotanya campuran, ada muslim dan non muslim, berarti ikatan partai itu bukan lagi ikatan Islam, tapi telah berganti dengan ikatan lain yang bukan Islam, seperti ikatan kebangsaan (nasionalisme). Maka keanggotaan non muslim sebenarnya tidak sejalan dengan identitas pokok sebuah partai Islam, khususnya asas partai yaitu Aqidah Islam.
Kewajiban Mendirikan Partai Islam
Hukum mendirikan partai Islam adalah wajib. Hanya saja wajibnya bukanlah wajib ’ain, melainkan wajib kifayah. Artinya jika di tengah umat Islam sudah ada satu partai Islam yang mampu menjalankan tugasnya, berarti gugurlah kewajiban seluruh umat Islam. Jika di tengah umat tak ada satu pun partai Islam, maka berdosalah seluruh umat Islam. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2010, hal. 104).
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar." (QS Ali 'Imran : 104).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, ayat ini merupakan perintah untuk membentuk sebuah kelompok (jamaah) dari kalangan kaum muslimin (minal muslimin), yang melaksanakan dua tugas, yaitu menyeru kepada kebajikan (Islam), dan melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar.
Mengapa demikian? Sebab kata "min" pada frase "minkum" adalah "min" yang berarti "sebahagian" (li at-tab’idh). Bukan "min" yang berfungsi untuk menjelaskan jenis (li bayan al-jins). Jadi artinya adalah "hendaklah ada sebuah jamaah di antara kaum muslimin", dan bukan "hendaklah kaum muslimin menjadi satu jamaah/umat." (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 103).
Penjelasan ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama yang mengartikan "min" pada frase "minkum" adalah "min" yang berarti "sebahagian" (li at-tab’idh). (Lihat Tafsir Al-Jalalain, I/181; Tafsir Al-Qurthubi, IV/165).
Hal ini mengandung implikasi bahwa hukum mendirikan sebuah jamaah yang melaksanakan dua tugas seperti tersurat dalam ayat tersebut, adalah fardhu kifayah.
Perlu dicermati, yang fardhu kifayah bukan hukum amar ma'ruf dan nahi munkarnya, melainkan hukum mendirikan jamaah, yang melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar. Imam Ibnu Katsir menegaskan fardhu ‘ainnya amar ma’ruf nahi munkar ketika beliau menafsirkan QS Ali Imran : 104,"Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaknya ada segolongan dari umat ini yang melaksanakan tugas ini, meski tugas ini wajib atas setiap-tiap individu umat sesuai kemampuannya masing-masing." (Tafsir Ibnu Katsir, I/391).
Syaikh Yasin bin Ali dalam masalah ini menegaskan pendapat senada, "Hukum amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu ‘ain, bukan fardhu kifayah." Alasannya menurut beliau antara lain perintah amar ma’ruf nahi munkar seringkali dibarengkan dengan amal-amal yang hukumnya fardhu ‘ain, seperti sholat dan zakat. Misalnya firman Allah dalam QS Al-Hajj : 41 dan QS At-Taubah : 71. (Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar, hal. 24).
Jadi hukum amar ma’ruf nahi munkar berbeda dengan hukum mendirikan jamaah yang melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Yang disebut pertama hukumnya fardhu ‘ain, sedang yang kedua fardhu kifayah.
Yang juga penting disinggung di sini, bolehkah partai Islam jumlahnya lebih dari satu (ta’addud al-ahzab)? Para ulama berbeda pendapat menjadi dua versi, masing-masing dengan dalilnya. Pertama, ada yang mengharamkan, seperti Syaikh Shofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitabnya Al-Ahzab as-Siyasiyah fi Al-Islam. Juga Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dalam kitabnya Jama’ah Wahidah Laa Jama’at. Mereka inilah yang seringkali mengecam berbagai gerakan dan kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh dengan istilah "hizbiyyah", yaitu maksudnya fenomena bergolong-golongan di tengah umat.
Kedua, ada yang membolehkan, ini pendapat mayoritas ulama kontemporer. Seperti Sa’id Hawa dalam kitabnya Jundullah, Muhammad ‘Imarah dalam kitabnya Al-Harakah al-Islamiyah Harakah Mustaqbaliyah, Adnan Ali Ridha an-Nahwi dalam kitabnya Bina’ al-Ummah al-Wahidah, dan sebagainya. (Lihat Abdul Hamid al-Ja’bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 187-189).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah boleh hukumnya ada lebih dari satu partai Islam (ta’addud al-ahzab). Alasan beliau, karena ayat QS Ali ‘Imran : 104 tidaklah berbunyi "waltakun minkum ummah wahidah" (hendaklah ada di antara kamu satu jamaah saja), tapi bunyinya adalah "waltakun minkum ummah" (hendaklah ada di antara kamu satu jamaah).
Jadi, boleh di tengah umat satu partai dan boleh pula ada lebih dari satu partai, selama partai yang adalah partai Islam, bukan yang lain. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 108; M. Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf al-Nas, hal.127-130).
Keanggotaan Partai Islam
Seperti telah diterangkan di muka, masalah keanggotaan merupakan satu identitas pokok partai Islam. Sebuah partai Islam tidak boleh menerima keanggotaan non muslim, berdasarkan firman Allah SWT QS Ali ’Imran : 104 di atas.
Berdasarkan ayat tersebut, Syaikh Abdul Hamid Al-Ja'bah berkata,"Kata "minkum" [di antara kamu] pada ayat di atas melarang sebuah kelompok atau partai dari keanggotaan non Islam, dan membatasi keanggotaannya pada muslim saja." (Abdul Hamid Al-Ja'bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 120; lihat juga Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar, hal. 64; M. Abdullah al-Mas’ari, Muhasabah al-Hukkam, hal. 33).
Selain itu terdapat berbagai dalil yang menegaskan amar ma’ruf nahi munkar adalah ciri khas umat Islam, bukan umat non muslim. Misalnya QS Ali 'Imran : 110 dan QS At-Taubah : 71. Jadi hanya umat Islam sajalah yang akan mampu menjalankan amar ma'ruf dan nahi munkar, umat non Islam tidak. Mungkinkah kita berharap non muslim mampu mendakwahkan wajibnya sholat, zakat, dan puasa, padahal dia sendiri tidak mempercayai wajibnya perbuatan-perbuatan itu? Tidak mungkin, bukan? Maka, Syaikh Ziyad Ghazzal mengatakan anggota partai Islam wajib orang muslim. Tak boleh non muslim. Sebab tugas amar ma’ruf nahi munkar telah mengharuskan keislaman anggotanya. (Ziyad Ghazzal, Masyru' Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 46).
Namun perlu ditambahkan, meski keanggotaan non muslim dilarang dalam partai Islam, bukan berarti Islam mengharamkan partisipasi politik dari non muslim warga negara Khilafah (ahludz dzimmah). Partisipasi politik mereka tetap dapat disalurkan melalui saluran-saluran yang dibenarkan syariah, misalnya lewat Majelis Umat. Partai politik bukan satu-satunya saluran untuk menyampaikan aspirasi atau kritik.
Menurut Ziyad Ghazzal dalam kitabnya Masyru' Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah hal. 29-30, ada 4 (empat) saluran untuk menyampaikan aspirasi atau kritik kepada penguasa. Pertama, partai politik. Kedua, Majelis Umat. Ketiga, Mahkamah Mazhalim. Keempat, Media massa.
Misi Partai Islam
Misi partai Islam adalah melakukan aktivitas politik Islam, yaitu melakukan koreksi atau pengawasan kepada penguasa (muhasabah al-hukkam), atau memperoleh kekuasaan melalui jalan umat. (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 103).
Dalilnya juga QS Ali ’Imran : 104 di atas. Redaksi amar ma’ruf nahi munkar dalam ayat tersebut adalah redaksi yang bermakna umum. Termasuk di dalamnya adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada para penguasa. Atau yang diistilahkan dengan muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Jelas ini adalah aktivitas politik. Bahkan, kata Imam Taqiyuddin an-Nabhani, ini adalah aktivitas politik paling penting.
Maka dari itu, ayat ini di samping memerintahkan secara fardhu kifayah untuk membentuk sebuah jamaah, juga menjelaskan karakter atau misi jamaah tersebut, yaitu karakter sebagai sebuah partai politik. (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 109).
Namun demikian, cara partai Islam dalam mengoreksi penguasa wajib berupa cara yang damai. Tidak dibolehkan menggunakan cara kekerasan, misalnya dengan mengangkat senjata. Sabda Nabi SAW :
من حمل علينا السلاح فليس منا
"Barangsiapa mengangkat pedang kepada kami, maka dia bukan golongan kami." (HR Bukhari dan Muslim).
Syaikh Ziyad Ghazzal menjelaskan, hadis tersebut telah melarang penggunaan senjata untuk mengoreksi penguasa. Senjata dalam hadis ini bersifat mutlak, yaitu meliputi senjata apa pun, seperti senjata tajam, senjata api, bom, dan sebagainya. Dikecualikan jika Khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, misalnya membolehkan judi, maka penggunaan senjata dibolehkan. (Ziyad Ghazzal, Masyru' Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 44)
Langkah-Langkah Partai Islam
Dalam setiap langkahnya, baik berupa program, agenda, rencana strategis, atau yang semacamnya, partai Islam wajib menggunakan cara-cara Islam. Tidak dibenarkan menghalalkan segala macam cara. Kaidah fikih menyebutkan : al-ghayah laa tubarrir al-wasithah. (Tujuan tidak membolehkan segala macam cara). (Ahmad al-Mahmud, Ad-Da’wah Ila al-Islam, hal. 288).
Maka partai Islam tidak boleh menggunakan cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya, seperti suap menyuap. Tidak boleh pula misalnya melakukan kampanye untuk menarik pendukung dengan cara-cara yang melanggar syariah, misalnya menggelar pertunjukan dangdut disertai ikhtilat (campur aduk pria wanita), atau berkoalisi dengan partai-partai yang tidak berideologi Islam hanya demi kursi kekuasaan sesaat.
Semua itu bukanlah cara partai Islam, sebab partai Islam wajib berpegang dengan kaidah halal haram. Jika ada partai Islam yang tidak lagi peduli lagi halal-haram, itu berarti suatu pengumuman bahwa dia bukan lagi partai Islam, tapi sudah berubah menjadi partai sekular. Partai seperti ini jelas wajib dijauhi umat Islam. Haram hukumnya umat Islam mendukung partai oportunis dan hedonis seperti ini. Wallahu a’lam. [KH. M. Shiddiq al-Jawi ]
Selengkapnya...
Selasa, 18 Mei 2010
BANGKITLAH DENGAN ISLAM!
Setidaknya ada dua peristiwa penting pada pekan ini yang perlu dicatat. Pertama, peristiwa yang terkait dengan sejarah, yakni Hari Kebangkitan Nasional, yang biasa diperingati setiap tanggal 20 Mei. Tahun ini Hari Kebangkitan Nasional memasuki peringatan ke-102. Artinya, sejak tanggal 20 Mei 1908–tanggal lahirnya organisasi Boedi Oetomo–ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, perjalanan ’kebangkitan nasional’ telah memasuki tahun ke-102.
Kedua, peristiwa politik, yakni mencuatnya kembali isu terorisme pasca pemburuan sekaligus penembakan sejumlah orang yang diduga teroris oleh aparat Densus 88 yang menewaskan beberapa orang. Yang menarik, di tengah kritikan terhadap langkah-langkah aparat kepolisian yang makin ’brutal’ dalam memperlakukan para ’teroris’ (padahal mereka baru sebatas diduga), Presiden SBY melontarkan pernyataan yang tak kalah kontroversialnya. Merespon apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangani kasus terorisme baru-baru ini, Presiden SBY lalu mengaitkan tindakan para teroris ini dengan keinginan mereka untuk mendirikan Negara Islam.
Ironi Kebangkitan
Terkait dengan peristiwa pertama, meski ’kebangkitan nasional’ sudah berjalan seabad lebih, dari tahun ke tahun, negeri ini bukan makin bangkit, tetapi justru makin terpuruk di segala bidang. Contoh kecil, di bidang pendidikan, hampir berbarengan dengan Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei, kondisi dunia pendidikan di negeri ini boleh dikatakan makin memburuk. Terakhir, hal ini ditandai oleh banyaknya siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional (UN). Bahkan menurut data dari Kementerian Pendidikan Nasional, tahun 2010 ini sebanyak 267 sekolah tingkat SMA di seluruh Indonesia, 100% siswanya tidak lulus UN (Republika.co.id, 28/4). Di tingkat SMP kondisinya lebih parah lagi; sebanyak 561 SMP/MTs di seluruh Indonesia, 100% siswanya juga dinyatakan tidak lulus UN (Detik.com, 5/5). Kenyataan ini belum ditambah dengan makin mahalnya biaya pendidikan. Akibatnya, puluhan juta orang miskin tidak dapat sekolah.
Di bidang hukum/peradilan, yang mengemuka akhir-akhir malah merajalelanya mafia hukum/peradilan. Di bidang politik/pemerintahan, kasus-kasus korupsi bukan malah berkurang, tetapi makin banyak dan beragam dengan berbagai modus. Wajar jika menurut survei PERC, tahun ini 2010 ini pun–sebagaimana tahun lalu–Indonesia masih memegang rekor sebagai negara terkorup di Asia Pasifik (Metronews.com, 10/3).
Di bidang ekonomi, negeri yang kaya-raya dengan sumberdaya alam ini pun masih menyisakan sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia (Okezone, 18/8/2009). Parahnya lagi, rakyat ini harus menanggung beban utang luar negeri yang tahun 2010 ini mendekati Rp 2000 triliun (Kompas.com, 16/5).
Di bidang kesehatan, bahkan akhir-akhir ini mencuat kembali sejumlah kasus gizi buruk di berbagai daerah, yang tentu berkaitan langsung dengan masalah kemiskinan.
Jika demikian keadaannya, tentu setiap orang di negeri ini layak bertanya: lalu apa makna Hari Kebangkitan Nasional yang telah melawati usia lebih dari satu abad ini jika kebangkitan yang diharapkan semakin jauh dari harapan?
Wacana Negara Islam
Adapun terkait dengan yang kedua, sebetulnya upaya sejumlah kalangan, termasuk pejabat negara, mengaitkan isu terorisme dengan wacana pendirian Negara Islam bukanlah hal baru. Karena itu, pernyataan SBY di atas hanyalah pengulangan belaka.
Sebagaimana diketahui, Presiden SBY dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5), sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia, menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan Negara Islam. Padahal, menurut SBY, pendirian Negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri ini. Padahal demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah reformasi. Karena itu, menurut Presiden, keinginan mendirikan Negara Islam dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia (Okezone.com, 17/5).
Ada sejumlah hal yang menarik untuk dicatat dari pernyataan SBY di atas. Pertama: Negara Islam adalah negara yang menjadikan Islam sebagai asasnya dan syariah Islam sebagai aturan segala aspek kehidupan. Hal ini bukanlah persoalan sejarah, atau masalah diterima oleh mayoritas rakyat banyak atau tidak. Ini adalah masalah kewajiban dalam agama. Sudah seharusnya siapapun yang menjadi Muslim terikat pada syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupannya; termasuk bernegara, politik, ekonomi dan pendidikan. Kewajiban ini merupakan konsekuensi keimanan dan kecintaan seorang Muslim kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang seharusnya dijadikan teladan. Semuanya itu diwujudkan dengan terikat pada hukum-hukum Allah SWT yang bersumber dari Al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً[
Hai orang-orang yang beriman, masukkan kalian ke dalam Islam secara total (QS al-Baqarah [2]: 208).
Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ali ash-Shabuni menegaskan, bahwa ayat tersebut memerintahkan kaum Muslim untuk melaksanakan seluruh hukum Islam; tidak boleh melaksanakan hanya sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.
Lagi pula, dalam berbagai kesempatan Presiden SBY sering mengatakan kita harus menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan kehidupan kita. Ini sejalan dengan firman Allah SWT:
]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[
Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang baik bagi kalian (QS al-Ahzab [33]: 21).
Rasul saw. tentu saja harus diteladani dalam seluruh aspeknya, termasuk dalam upayanya mendirikan Negara Islam (Daulah Islam) di Madinah. Bahkan beliau sendirilah yang menjadi kepala negaranya.
Kita pun masih ingat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan sambutan pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) V, Jumat (7/5) di Jakarta. Dalam pidatonya, Presiden sendiri mengatakan Islam hadir sebagai jalan kehidupan manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Tuntunan al-Quran dan as-Sunnah adalah pedoman hidup dan jalan yang lurus untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah pun telah mencontohkan tatanan peradaban yang dibangun atas dasar iman dan takwa. “Kita memiliki tugas sejarah untuk membangun dan mengembalikan kejayaan Islam!” tegas Presiden saat itu.
Kita juga ingat, ketika SBY memberikan kata sambutannya dalam Forum Ekonomi Islam Sedunia di Jakarta (2 /3/2009). Saat itu SBY mengajak negara-negara Islam mengatasi krisis dengan bersatu; negara-negara Islam akan bisa mengenang kembali kejayaan Abad 13. Tentu, kalau kita berbicara tentang kejayaan Islam Abad 13, tidak bisa dilupakan bahwa kejayaan Islam saat itu terjadi karena adanya Negara Islam–yang dikenal dengan Khilafah Islam–yang menjalankan syariah Islam.
Selain itu, kewajiban menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pedoman hidup tentu bukan hanya dalam masalah ibadah ritual, moral atau individual saja, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Di sinilah letak wajibnya menegakkan institusi negara yang akan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan. Sebab, mustahil melaksanakan kewajiban syariah Islam secara keseluruhan kalau negaranya tidak berdasarkan Islam. Ini sesuai dengan kaidah ushul fikih:
] ماَ لاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ[
Selama suatu kewajiban tidak sempurna kecuali karena adanya sesuatu maka sesuatu itu wajib pula adanya.
Kedua: Meskipun mendirikan Negara Islam adalah kewajiban agama, kita sepakat secara realita sosiologis, apakah Negara Islam tegak atau tidak sangat bergantung pada masyarakat; bergantung pada dukungan dan kesadaran masyarakat. Sistem apapun akan berjalan tegak dan baik kalau didukung oleh kesadaran masyarakat. Sistem demokrasi yang saat ini masih kita jadikan panutan bisa berjalan karena masyarakat kita masih mendukungnya. Artinya, kita tentu tidak bisa menolak perubahan kalau ternyata rakyat Indonesia yang mayoritas Islam ini kemudian mendukung penegakkan Negara Islam.
Namun, kita setuju bahwa upaya membangun kesadaran masyarakat untuk menegakkan Negara Islam dilakukan bukan dengan jalan teror. Jalan ini bukanlah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw. Jalan ini bahkan bisa kontraproduktif. Bagaimana mungkin rakyat akan mendukung syariah Islam kalau mereka ditakut-takuti dengan bom atau pembunuhan?
Hizbut Tahrir termasuk yang menginginkan Negara Islam global berupa Khilafah Islam. Namun, dengan sangat tegas Hizbut Tahrir menentukan garis perjuangannya yang tidak menggunakan jalan kekerasan atau mengangkat senjata (non violence).
Ketiga: Adalah kesalahan besar mengaitkan kewajiban penegakan Negara Islam dengan tindakan terorisme. Mungkin ada yang menempuh jalan kekerasan dalam memperjuangkan tegaknya Negara Islam. Akan tetapi hal itu tidak bisa digeneralisasi bahwa yang menginginkan tegaknya Negara Islam adalah teroris. Jika demikian logikanya, ketika banyak koruptor yang ditangkap dan mereka adalah pendukung sistem sekular, maka bisa dikatakan bahwa mendukung sistem ini pasti adalah seorang koruptor. Karena itu, kita melihat ada agenda busuk di balik pengaitan ini, yakni agar masyarakat kemudian takut, tertipu dan akhirnya tidak setuju dengan penegakan Negara Islam. Upaya ini memang secara sistematis dilakukan oleh kekuatan-kekuatan penjajah yang khawatir akan kebangkitan Islam. Sebab, tegaknya Negara Islam, apalagi dalam wujud Negara Islam global (Khilafah Islam) sangat ditakuti oleh Barat. Mereka tahu persis, tegaknya Khilafah akan menghentikan agenda penjajahan mereka di Dunia Islam.
Karena itu, tentu sangat kita sayangkan kalau SBY terjebak dalam propaganda Barat ini yang mengaitkan terorisme dengan upaya penegakan syariah Islam atau Negara Islam.
Bangkit Hanya dengan Islam
Harus dikatakan, bahwa jika bangsa ini benar-benar ingin bangkit, maka kunci kebangkitan itu adalah Islam. Tanpa Islam bangsa ini akan makin tepuruk. Tanpa ideologi dan sistem Islam kondisi negeri ini akan makin memburuk. Tanpa Negara Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariah Islam umat ini tak akan pernah bangkit dan akan tetap tertinggal.
Karena itu, perubahan adalah hal yang niscaya. Apalagi jika itu perubahan ke arah yang lebih baik. Allah SWT sendiri telah berfirman:
]إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ[
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada dalam suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya (QS ar-Ra’du [13]: 11).
Karena itu, sangat bodoh siapapun yang tidak mau berubah dan gigih mempertahankan status-quo yang buruk. Karena itu pula, kita mempertanyakan sikap-sikap mempertahankan sistem demokrasi dan Kapitalisme yang jelas-jelas di depan mata tampak kebobrokannya. Padahal ada sistem yang lebih baik di depan matanya. Itulah sistem Islam. Itulah Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam. []
Selengkapnya...
Minggu, 09 Mei 2010
Tunggulah Kehancurannya!
“Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Geger artis porno/cabul dan pezina mencalonkan diri jadi pemimpin membuat kita teringat pada beberapa hadist Rosulullah saw yang menjadi panutan kita. Pertama sabda Rosulullah saw: “Tunggu saat kehancuranannya, apabila amanat itu disia-siakan!” Para sahabat serentak bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi SAW menjawab: “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Jelas artis-artis seronok ini tidak punya kapabilitas untuk mengatur urusan umat yang merupakan hal utama dalam politik. Seorang pemimpin politik haruslah mengerti apa yang menjadi masalah masyarakat dan paham solusinya. Bukan hanya itu, dalam Islam, solusi yang diberikan, bukanlah sembarang solusi, tapi haruslah berdasarkan kepada syariah Islam.
Bagaimana artis-artis cabul ini menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, sementara selama ini mereka tidak pernah hirau dalam urusan ini. Apalagi berharap mereka akan menyelesaikannya berdasarkan syariah Islam ? Bukankah yang mereka bicarakan selama ini hanyalah persoalan hiburan, gaya pakaian sensual yang mengundang nafsu , gaya panggung memikat yang mengumbar aurat ? Bukankah selama ini justru mereka menjadi pelaku maksiat yang banyak melanggar syariah Islam. Kalau kepemiminan politik ini diserahkankepada mereka tunggu saja kehancurannya !
Saat ini bukti kehancuran itu sudah terjadi di depan mata. Ketika umat Islam dipimpin oleh orang yang maksiat, yang tidak mau berhukum pada hukum Allah SWT. Lebih tunduk kepada hukum kufur, tunduk kepada penjajah kufur dan mengikuti arahan mereka dalam mengatur kehidupan masyarakat. Tunduk kepada imperialis Amerika dengan perangkat sistem sekuler dan organisasi - alat penjajahannya- seperti PBB, IMF dan Bank Dunia. Lihatlah nasib umat Islam yang semakin terpuruk.
Yang kedua adalah hadist Rosulullah saw tentang munculnya ruwaibidhoh. Sabda Rosulullah saw : “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?“. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah)
Hal ini pun sudah terjadi. Banyak orang bodah yang memimpin umat . Mereka disebut bodoh karena menerapkan sistem yang bodoh (jahiliyah), tidak mau menjalankan syariah Islam. Bodoh , karena sudah tahu sistem sekuler danlibarel yang ada tidak akan membawa kepada kebaikan , malah membawa kehancuran, namun tetap saja dipertahankan. Bodoh, karena tidak mau mendengar pada kebenaran Islam untuk menerapkan syariah Islam.
Dan terbukti, saat ini penuh dengan penipuan. Yang tadinya berpakaian seksi , menipu ummat dengan, pura-pura berbusana muslim. Berjanji akan memperhatikan rakyat, setelah memimpin malah memiskinkan dan menambah derita rakyat. Bicara mempertahankan kedaulatan negara, pada realitanya malah menjual negara kepada asing, dengan menyerahkan kekayaan alam yang seharusnya untuk rakyat, dirampok oleh penjajah asing. Namun , sayangnya, masih ada masyarakat yang menganggap mereka sebagai orang yang amanah, bukan pengkhianat. Sebaliknya, yang menyerukan syariah Islam yang berasal dari Allah SWT yang Maha Pengasing dan Penyayang , justru dituduh mengancam negara.
Namun yang jelas , maraknya artis maksiat mencalonkan diri menjadi pemimpin , tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi yang kita anut sekarang ini. Inilah yang menjadi pangkal kehancuran sistem politik kita. Dalam sistem demokrasi dimana sekulerisme menjadi asasnya, persoalan agama dianggap merupakan persoalan pribadi. Sehingga syarat-syarat agama, tidak menjadi penting dan tidak bisa jadi ukuran .
Ditambah dengan prinsip liberalisme yang memberikan kepada siapapun kebebasan atas nama suara rakyat untuk dipilih menjadi pemimpin. Seperti yang dikatakan Gary Hart, calon presiden AS (1988) yang ketahuan selingkuh : Let the people decide, biarkan rakyat memilih, menjadi slogan demokrasi. Tanpa perlu melihat ketaqwaan dari sang pemimpin. Sampai-sampai Amin Rais mengatakan : meskipun yang terpilih adalah setan gundul.
Padahal ketaqwaan menjadi hal yang sangat penting dalam Islam. Hancur atau tidaknya sebuah negara , bangsa, dan rakyatnya tergantung pada ketaqwaan masyarakat , tergantung kepada keterikatan mereka pada syariah Islam. Kalau mereka bertaqwa Allah SWT akan membukakan pintu barakoh dari langit dan bumi (QS al A’raf : 96). Sebaliknya kalau mereka menyimpang dari aturan Allah swt mereka akan ditimpakan dengan kehidupan yang sempit dengan berbagai penderitaan (QS Thoha: 123-126).
Ketaqwaan disini bukanlah sekedar ketaqwaan personal dari pemimpin , tapi juga sistem yang dijalankan oleh sang pemimpin. Artinya, kita bukan hanya butuh pemimpin yang terikat pada syariat Islam secara individu, tapi sistem yang diterapkan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam berpolitik, ekonomi, pendidikan, dan masalah mua’amalah lainnya haruslah berdasarkan syariah Islam. Jangan berharap itu akan terwujud selama sistem yang diterapkan adalah sistem demokrasi, sistem kufur yang menyerahkan sumber kedaulatan hukum kepada manusia, bukan kepada Allah SWT semata-mata. (Farid Wajdi)
Selengkapnya...
Jumat, 19 Maret 2010
Hukum Memuliakan Tamu
Barangkali tidak keliru ketika ada yang mengatakan “Tamu adalah Raja !”, sehingga layaknya Raja, tamu harus kita terima dan kita layani dengan sangat istimewa. Dan Syari’at Islam pun secara jelas memang mengajarkan tentang tatacara menyambut tamu. Bahkan perkara ini merupakan salah satu kewajiban yang dibebankan syariat kepada kaum Muslim. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali persahabatan; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau hendaklah dia diam saja.”[HR. Bukhari dan Muslim]
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya pada saat istimewanya. “ Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah saw, apakah saat istimewa itu? Beliau bersabda, “Hari dan malam pertamanya. Bertamu itu adalah tiga hari. Kalau lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Tamu yang disebut di dalam hadits di atas mencakup tamu Mukmin maupun kafir. Kata “dlaifahu” termasuk dalam lafadz umum, sehingga mencakup semua jenis tamu; baik tamu Mukmin, kafir, laki-laki, maupun perempuan. Semua tamu wajib disambut dan dimulyakan dan dihormati berdasarkan nash-nash hadits di atas. Seorang Muslim juga diperintahkan untuk memenuhi hak-hak tamu, sekadar dengan kemampuannya.
Hukum Syara’ Tentang Menerima Tamu dari Kalangan Penguasa Imperialis
Lalu, bagaimana jika tamu yang hendak berkunjung adalah penguasa-penguasa kafir imperialis yang telah terbukti mendzalimi, menganiaya, menjajah, membunuhi kaum Muslim, dan berusaha menistakan kesucian agama Islam? Apakah, ketentuan-ketentuan dalam hadits di atas tetap berlaku?
Jawabnya jelas, seorang Muslim dilarang (haram) menerima kunjungan, menyambut dan memulyakan tamu dari kalangan penguasa kafir imperialis yang jelas-jelas telah terbukti merampas harta, menciderai kehormatan, dan melenyapkan ribuan jiwa kaum Muslim. Alasannya sebagai berikut;
Pertama, larangan menampakkan loyalitas dan kasih sayang kepada orang-orang kafir, lebih-lebih lagi kafir imperialis yang menghisap harta dan darah kaum Muslim. Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalanKu dan mencari keridhaanKu (janganlah kamu berbuat demikian)”. [TQS Al Mumtahanah (60):1]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ$ هَا أَنْتُمْ أُولاَءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلاَ يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوْ كُمْ قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”. [TQS. Ali ‘Imran (3): 118-119]
Kunjungan Barack Obama –penguasa kafir imperialis yang telah membunuhi ribuan kaum Muslim di Irak, Afghanistan, dan pendukung utama negara teroris Israel–, jelas-jelas harus ditolak, dan jika ia memaksa datang, tidak boleh disambut dengan sambutan mulia dan kasih sayang. Pasalnya, ia adalah musuh Islam dan kaum Muslim. Selain itu, kunjungannya di Indonesia diduga membawa agenda-agenda jahat, semacam liberalisasi ekonomi, demokratisasi, serta pressure politik-pressure politik yang merugikan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. Lantas, bagaimana kita akan menerima kunjungannya dan menampakkan rasa hormat dan menyambutnya dengan sambutan kasih sayang –yang sebenarnya ini adalah watak asli umat Islam–, jika orang yang hendak datang adalah penguasa kafir yang dzalim dan lalim terhadap umat Islam?
Kedua, larangan menyakiti kaum Muslim. Penerimaan dan penyambutan Barack Obama di negeri ini, tentu saja akan menyebabkan bertambahnya penderitaan dan rasa sakit kaum Muslim yang pada saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina, dan negeri-negeri kaum Muslim lainnya. Padahal, Allah swt dan RasulNya telah melarang kaum Muslim menyakiti saudaranya sendiri, baik dengan ucapan maupun tindakannya. Allah swt berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata”.[TQS Al Ahzab (33):58]
Nabi saw melalui lisannya yang suci bersabda:
«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan mendzaliminya dan tidak akan menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Penerimaan kunjungan Barack Obama tidak hanya menyakiti saudara-saudara Muslim di negeri-negeri yang secara langsung didzalimi dan dijajah oleh Amerika Serikat, tetapi juga wujud “menyerahkan saudara-saudara Muslim kita” kepada musuh Islam dan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa penguasa negeri ini menerima kunjungan Barack Obama, dan menyambutnya dengan sambutan kenegaraan? Lantas, seandainya negeri ini dikuasai dan diduduki oleh Amerika –dan faktanya kita sekarang sudah dijajah oleh mereka secara non fisik–, lantas apakah kita akan tetap bersikap manis terhadap mereka? Sungguh, hanya orang-orang munafik yang memiliki kasih sayang dan rasa hormat kepada musuh-musuh Allah dan kaum Muslim.
Ketiga, kewajiban membela saudara Muslim yang tidak berada di dekatnya. Nabi Mohammad saw bersabda;
مَنْ نَصَرَ أَخَاهُ بِظَهْرِ الْغَيْبِ نَصَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Barangsiapa yang membela saudaranya saat tidak ada di dekatnya, maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat”. [HR. Imam Asyi Syihab dari Anas bin Malik ra, dalam Musnad Asy Syuihab]
Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap saudara-saudaranya yang pada saat ini dijajah dan dianiaya oleh Amerika Serikat adalah menolak kunjungan mereka, dan tidak menyambutnya dengan keramahan dan kasih sayang. Di dalam hadits-hadits lain, Nabi saw juga bersabda:
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَة
“Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya, maka Allah akan menolak api neraka di Hari Kiamat dari wajahnya”. [HR. Imam Tirmidziy dari Abu Darda' ra. Hadits Abu Darda ra ini telah ditakhrij oleh Ahmad. Ia berkata hadits ini sanadnya hasan. Al-Haitsami mengatakan hal yang sama)
Hadits riwayat Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma binti Yazid, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
مَنْ ذَبَّ عَنْ عَرَضِ أَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya pada saat tidak berada di dekatnya, maka Allah pasti akan membebaskannya dari api neraka".[HR. Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma' binti Yazid]
Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap kaum Muslim di Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina yang saat ini tengah menghadapi invasi militer Amerika, adalah menolak kunjungan, kerjasama, maupun intervensi non fisik dari penguasa-penguasa kafir imperialis dan antek-anteknya, semacam Amerika, Inggris, dan Israel.
Keempat, perilaku shahabat. Selain nash-nash di atas, perilaku generasi salafush shalih juga menunjukkan kepada kita, bagaimana sikap seharusnya seorang Muslim. Riwayat-riwayat berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku shahabat terhadap orang-orang kafir, lebih-lebih yang memusuhi Islam dan kaum Muslim.
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Salamah bin Al Akwa’ ra, bahwasanya ia berkata;
…فَلَمَّا اصْطَلَحْنَا نَحْنُ وَأَهْلُ مَكَّةَ، وَاخْتَلَطَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ، أَتَيْتُ شَجَرَةً، فَكَسَحْتُ شَوْكَهَا، فَاضْطَجَعْتُ فِي أَصْلِهَا، قَالَ: فَأَتَانِي أَرْبَعَةٌ مِنْ الْمُشْرِكِينَ، مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ، فَجَعَلُوا يَقَعُونَ فِي رَسُولِ اللهِ ، فَأَبْغَضْتُهُمْ، فَتَحَوَّلْتُ إِلَى شَجَرَةٍ أُخْرَى
“Ketika kami berdamai dengan penduduk Makkah dan sebagian kami bercampur dengan sebagian mereka, aku mendatangi suatu pohon kemudian aku menyingkirkan durinya dan aku merebahkan diriku di akarnya. Kemudian datang kepadaku empat orang kaum Musyrik Makkah. Mereka mulai membicarakan Rasulullah, maka aku pun membenci mereka, hingga aku pindah ke pohon yang lain”.[HR. Imam Muslim]
Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Abdullah bin Rawahah berkata kepada Yahudi Khaibar:
«يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ، أَنْتُمْ أَبْغَضُ الْخَلْقِ إِلَيَّ، قَتَلْتُمْ أَنْبِيَاءَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ،وَكَذَبْتُمْ عَلَى اللهِ، وَلَيْسَ يَحْمِلُنِي بُغْضِي إِيَاكُمْ عَلَى أَنْ أَحِيفَ وَكَذَبْتُمْ عَلَى اللهِ، وَلَيْسَ يَحْمِلُنِي بُغْضِي إِيَّاكُمْ عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ…»
“Wahai kaum Yahudi! Kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci. Kalian telah membunuh para Nabi dan telah mendustakan Allah. Tapi kebencianku kepada kalian tidak akan mendorongku untuk berlaku sewenang-wenang kepada kalian”.[HR. Imam Ahmad]
Imam Ahmad, Abdur Razak, Al Hakim, dan Abu Ya’la menuturkan hadits hasan dari Abu Faras, ia berkata; Umar bin Khathab pernah berkhutbah dan berkata:
…مَنْ أَظْهَرَ مِنْكُمْ شَرًّا، ظَنَنَّا بِهِ شَرًّا، وأَبْغَضْنَاهُ عَلَيْهِ
“Barang siapa di antara kalian menampakan suatu kejahatan, maka kami akan menduganya berlaku jahat, dan kami akan membencinya karena kejahatan itu..” [HR. Imam Ahmad, Abdur Razaq, Al Hakim, dan Abu Ya'la. Imam Al Hakim menyatakan bahwa hadits ini hasan menurut syarat Imam Muslim]
Dalil yang Keliru
Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah menerima utusan Musailamah Al Kadzdzab, dan Abu Sofyan pemimpin Quraisy. Riwayat-riwayat ini sering dijadikan argumentasi bolehnya seorang Muslim menerima kunjungan dan menyambut tamu dari kalangan orang kafir penjajah. Padahal, dengan pembacaan yang seksama dan teliti dapatlah disimpulkan bahwa riwayat-riwayat tersebut tidak layak dijadikan hujjah atas argumentasi mereka. Untuk itu, kami perlu memaparkan panjang lebar riwayat tersebut agar tidak ada kesalahan dalam penarikan kesimpulannya.
Imam Ahmad dan Abu Dawud menuturkan sebuah riwayat dari Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’iy ra bahwasanya ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada dua orang utusan, ketika beliau saw membaca surat Musailamah al-Kadzdzab, “Apa yang hendak kalian katakan?” Mereka menjawab, “Kami mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Musailamah al-Kadzdzab.” Nabi saw pun bersabda, “Demi Allah, seandainya bukan karena para utusan tidak boleh diutus, niscaya akan kupenggal leher kalian berdua”.[HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud]
Di dalam Sunan Abu Dawud dikisahkan bahwasanya, ‘Abdullah bin Mas’ud pernah menjalin pershahabatan dengan seorang Arab, lalu beliau berkehendak untuk mengunjunginya. Dalam perjalanannya, beliau melewati sebuah masjid milik Bani Hanifah, dan disaksikannya bahwa Bani Hanifah telah menjadi pengikut Musailamah al-Kadzdzab. Melihat keadaan itu, ‘Abdullah bin Mas’ud ra diutus menemui mereka untuk menyadarkan mereka. Beliau ra pun menemui mereka dan menyadarkan kesesatan dan kekeliruan mereka. Setelah mendapatkan penjelasan dari beliau, semua penduduk Bani Hanifah kembali ke pangkuan Islam, kecuali Ibnu Nawwahah. Ia tetap bersikukuh menjadi pengikut setia Musailamah al-Kadzdzab. Ibnu Mas’ud ra berkata kepadanya, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Seandainya engkau bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu”. Akan tetapi, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan”. Ibnu Mas’ud segera memerintahkan Qurzah bin Ka’ab untuk memenggal leher Ibnu Nawwahah. Dan akhirnya, Ibnu Nawwahah dipenggal lehernya di pasar. Setelah itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Siapa saja yang ingin mengetahui Ibnu Nawwahah, kini ia telah terbunuh di pasar”.
Dari paparan seluruh riwayat di atas dapatlah disimpulkan bahwa seorang utusan yang datang ke dalam Daulah Khilafah Islamiyyah haruslah mendapatkan perlindungan, selama mereka adalah berkedudukan sebagai utusan (delegasi). Dengan demikian, riwayat-riwayat di atas berhubungan dengan dengan hukum melindungi utusan, bukan berkaitan dengan hukum menerima dan menyambut tamu. Bahkan, di dalam riwayat itu jelas sekali ditunjukkan, bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap utusan-utusan kaum kafir yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Sabda beliau, “Seandainya engkau bukan seorang utusan, niscaya sudah aku penggal lehermu”, menunjukkan bahwa beliau bersikap sangat keras dan tidak menunjukkan penerimaan yang ramah terhadap mereka. Begitu pula sikap seharusnya penguasa Muslim ketika menghadapi penguasa kafir penjajah yang memusuhi umat Islam, yakni menekan, merendahkan, mengancam, dan memerangi mereka jika mereka tidak menghentikan permusuhan dan penganiayaan mereka terhadap umat Islam.
Begitu pula riwayat mengenai kunjungan Abu Sofyan kepada Madinah, juga tidak berhubungan dengan penyambutan tamu atau penghormatan tamu dari kalangan penguasa kafir. Kunjungan Abu Sofyan ke Madinah dikarenakan ia ingin memperbarui perjanjian dengan Rasulullah saw setelah sebelumnya orang-orang Quraisy menyerang Bani Khuza’ah yang merupakan sekutu Nabi saw. Penyerangan Quraisy terhadap Bani Khuza’ah tersebut telah membatalkan perjanjian Hudaibiyyah yang ditandatangani antara Kaum Quraisy dan Nabi saw. Oleh karena itu, Abu Sofyan mendatangi Nabi saw di Madinah untuk memulihkan perjanjian damai. Ibnu Hisyam dalam Kitab Sirahnya menceritakan peristiwa ini sebagai berikut, “Ibnu Ishaq berkata, “Setelah itu, Abu Sofyan bin Harb datang ke tempat Nabi saw. Ia berbicara dengan beliau, namun beliau saw tidak menggubrisnya. Lalu, Abu Sofyan pergi ke tempat Abu Bakar ra, dan menyuruhnya berbicara dengan Rasulullah saw, namun Abu Bakar berkata, “Aku tidak mau!”. Kemudian, Abu Sofyan bin Harb mendatangi rumah Umar bin Khaththab dan berbicara dengannya, namun Umar malah berkata, “Aku harus membelamu di hadapan Rasulullah saw? Demi Allah, jika aku hanya mendapatkan semut kecil, aku akan memerangimu bersamanya”. Abu Sofyan keluar dari rumah Umar bin Khaththab ra dan menemui Ali bin Abi Thalib ra yang saat itu sedang bersama dengan isterinya, Fathimah binti Mohammad saw dan anak keduanya, Hasan bin ‘Ali yang sedang merangkak. Abu Sofyan berkata, “Hai, Ali, engkau adalah orang yang paling penyayang. Aku datang kepadamu untuk satu keperluan, oleh karena itu, jangan pulangkan aku dalam keadaan gagal total. Belalah aku di hadapan Rasulullah saw”. Ali bin Abi Thalib berkata, “Celakalah kamu, hai Abu Sofyan! Demi Allah, Rasulullah saw telah bertekad kepada sesuatu dan kita tidak bisa bernegoisasi dengan beliau”. Abu Sofyan menoleh kepada Fathimah binti Mohammad, seraya berkata, “Wahai putri Mohammad, maukah engkau menyuruh anak kecilmu ini melindungi manusia, kemudian ia akan menjadi pemimpin Arab sepanjang zaman? Fathimah menjawab, “Demi Allah, annakku tidak bisa melindungi manusia dan seorangpun tidak bisa melindungi mereka dari Rasulullah saw…. Abu Sofyan menaiki untanya dan pulang ke Makkah. Sesampainya di Makkah, orang-orang Quraisy bertanya kepadanya, “Informasi apa yang engkau bawa? Abu Sofyan bin Harb berkata, “Aku datang kepada Mohammad saw kemudian berbicara dengannya, namun ia tidak menyahut sedikitpun. Kemudian aku datang kepada Abu Bakar, namun aku tidak melihat kebaikan sedikitpun dari dirinya. Lalu, aku menemui Umar bin Khaththab dan mendapatinya orang yang paling keras permusuhannya. Kemudian aku datang kepada Ali bin Abi Thalib dan mendapatinya orang yang paling lembut. Ia menasehatiku untuk melakukan sesuatu, namun demi Allah, aku tidak tahu apakah sesuatu itu bermanfaat bagiku atau tidak. Orang-orang Quraisy berkata, “Apa yang diperintahkan Ali bin Abi Thalib kepadamu? Abu Sofyan bin Harb menjawab, “Aku disuruh untuk melindungi manusia dan aku pun melakukannya”. Orang-orang Quriasy berkata lagi, “Apakah Mohammad membolehkannya? Abu Sofyan menjawab, “Tidak!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Celakalah engkau! Engkau telah dipermainkan oleh Ali bin Abi Thalib. Apa yang engkau katakan tadi sama sekali tidak bermanfaat bagimu”. Abu Sofyan berkata, “Demi Allah, aku tidak memiliki alternatif lain”. [Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyyah, hal.735]
Riwayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap Abu Sofyan, beliau saw sama sekali tidak menggubris kedatangannya, bahkan beliau siap menyerang Mekah, karena pengkhianatan kaum Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyyah. Nabi saw tidak pernah menerima dan menyambut Abi Sofyan bin Harb dengan penyambutan kenegaraan yang menunjukkan rasa hormat dan belas kasih, namun beliau saw memperlakukan Abu Sofyan ra dengan sangat keras, hingga harga diri dan kesombongan Abu Sofyan luruh bagaikan sekawanan laron yang tersambar api pelita. Lalu, dari arah mana bisa dinyatakan bahwa para penguasa negeri-negeri Islam wajib menerima, menyambut, dan memulyakan tamu dari kalangan para penguasa kafir yang lalim dan dzalim itu, dengan alasan bahwa Nabi saw pernah menerima dan menyambut Abu Sofyan bin Harb? Padahal, bukankah Nabi saw jelas-jelas menolak dan tidak menggubris kedatangan Abu Sofyan bin Harb, begitu pula sikap para shahabat? Atas dasar itu, menggunakan kisah kedatangan Abu Sofyan ke Madinah adalah istinbath yang keliru dan mengada-ada.
Lalu, setelah penjelasan ini, masihkah ada orang yang tetap bersikukuh untuk menerima, menyambut, dan menghormati kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas terbukti menganiaya dan membunuhi ribuan kaum Muslim, serta merampok dan menguras habis kekayaan umat Islam?
Kesimpulannya:
(1) seorang Muslim, lebih-lebih lagi penguasa Muslim dilarang (haram) menerima dan menyambut kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi Islam dan kaum Muslim,
(2) sikap sejati seorang Muslim adalah bersikap keras terhadap orang-orang kafir, dan membela saudara-saudaranya yang saat ini tengah dianiaya oleh orang-orang kafir,
(3) jika penguasa Muslim memiliki kemampuan, maka ia wajib membebaskan saudara-saudara Muslimnya dari penjajahan, penganiayaan, serta pembunuhan yang dilakukan oleh kafir imperialis, dengan mencurahkan segenap kemampuan fisik maupun non fisiknya. Wallahul Musta’aan Wa Huwa Waliyut Taufiq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy; Lajnah Tsaqofi Hizbut Tahrir Indonesia]
Selengkapnya...
Selasa, 05 Januari 2010
Pluralisme Bertentangan dengan Islam, Haram Menyebarkan dan Menerapkannya
Oleh : Ust Syamsuddin Ramadhan
Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur, isu pluralisme kembali menjadi perbincangan. Presiden SBY pun secara khusus memberikan gelar “Bapak Pluralisme” untuk Gus Dur. Padahal MUI sendiri dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Bagaimana sesungguhnya pluralisme itu dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya ?
Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengakui adanya pemikiran beragam -agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain. Kadang-kadang pluralisme juga diartikan sebagai paham yang menyatakan, bahwa kekuasaan negara harus diserahkan kepada beberapa golongan (kelompok), dan tidak boleh dimonopoli hanya oleh satu golongan. Merujuk pada definisi kedua ini, Ernest Gellner menyebut model masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan hak-hak individu sebagai masyarakat sipil (civil society). Gellner juga menyatakan bahwa civil society merupakan ide yang menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang mampu mengimbangi kekuasaan negara.
Kemunculan ide pluralisme –terutama pluralisme agama- didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis yang sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Gagasan kelompok kedua ini bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-beda.
Inilah gagasan-gagasan penting seputar ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media, misalnya dialog lintas agama, doa bersama, dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan pemerintah yang harus mengacu kepada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru. Setiap orang wajib menjunjung tinggi prinsip kebebasan berfikir dan beragama, seperti yang dicetuskan oleh para penggagas paham pluralisme.
Argumentasi Para Penggagas Pluralisme Agama dan Koreksinya
Meskipun ide pluralisme –baik yang beraliran agama global maupun kesatuan transenden — ditujukan untuk meredam konflik akibat adanya keragaman agama, dan truth claim, namun ide ini ujung-ujungnya malah menambah jumlah agama baru dengan truth claim yang baru pula. Wajar saja jika ide ini mendapat tantangan keras dari agama beserta pemeluknya, terutama Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, para pengusung gagasan pluralisme berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini (pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Adapun alasan-alasan yang sering mereka ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut adalah sebagai berikut:
a. Surat al-Hujurat Ayat 13
Allah swt telah berfirman;
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “(al-Hujurat:13).
Menurut kaum pluralis, ayat ini menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme.
Koreksi:
Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama yang diajarkan oleh kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan bangsa. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam mengakui ‘klaim-klaim kebenaran” (truth claim) dari agama-agama, isme-isme, dan peradaban-peradaban selain Islam. Ayat ini juga tidak mungkin dipahami, bahwa Islam mengakui keyakinan kaum pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama yang ada di dunia ini menyembah Satu Tuhan, seperti Tuhan yang disembah oleh kaum Muslim. Ayat ini juga tidak mungkin diartikan, bahwa Islam telah memerintahkan umatnya untuk melepaskan diri dari identitas agama Islam, dan memeluk agama global (pluralisme). Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.
Agar kita bisa memahami makna ayat tersebut di atas, ada baiknya kita simak kembali penjelasan para mufassir yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketaqwaan.
Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, “Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as. Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggkan nenek moyang mereka. Kemudian Allah swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih. Mujahid berkata, “Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu’. Syekh Zadah berkata, “Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang lain….Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa menempuhnya ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada Allah.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa surat Hujurat ayat 13 hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku, bangsa, agama, dan lain-lain. Adanya keragaman suku, bangsa, bahasa, dan agama merupakan perkara alami. Hanya saja, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bahkan, Islam menolak klaim kebenaran yang dikemukakan oleh penganut-penganut agama selain Islam, dan menyeru seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam Islam, jika mereka ingin selamat dari siksa api neraka. Perhatikan ayat-ayat berikut ini;
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ(٦٧)وَإِنْ جَادَلُوكَ فَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُونَ(٦٨)اللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(٦٩)أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(٧٠)وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ(٧١)
“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu. Mereka adalah orang-orang dzalim yang tidak mempunyai pembela.” (al-Hajj:67-71).
Ayat ini dengan tegas menyatakan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) agama. Hanya saja, Islam tidak pernah mengakui kebenaran (truth claim) agama-agama selain Islam. Tidak hanya itu saja, ayat ini juga menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah swt. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya, dan menyembah kepada Tuhan yang sama?
Di ayat yang lain, al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah swt hanyalah agama Islam.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imron:19).
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).
Pada tempat yang lain, Allah swt menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya. Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan diantara manusia ada yang mendewa-dewakan selain daripada Allah, dan mencintainya sebagaimana mencintai Rabb, lain dengan orang yang beriman, mereka lebih mencintai Allah. Kalau orang lalim itu tahu waktu melihat adzab Allah niscaya mereka sadar sesungguhnya semua kekuatan itu milik Allah, dan Allah amat pedih siksaNya.”(al-Baqarah:165).
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (al-Taubah:30)
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31)
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah:18)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan, “Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera Maryam.”(al-Maidah:72)
Ayat-ayat di atas –dan masih banyak ayat yang lain– menyatakan dengan sangat jelas (qath’iy), bahwa Islam telah menolak truth claim semua agama selain Islam. Islam juga menyatakan dengan tegas, bahwa konsepsi Ketuhanan Islam berbeda dengan agama selain Islam yang ada pada saat ini, alias tidak sama. Sedangkan agama Yahudi dan Nashraniy sebelum disimpangkan oleh penganutnya, dahulunya masih memiliki konsepsi ketuhanan yang sama dengan agama Islam, yakni tauhid. Hanya saja, karena keculasan para penganutnya, akhirnya dua agama menyimpang jauh dari konsepsi tauhid. Dari sini bisa dipahami, bahwa Islam tidak sama dengan agama yang lain yang ada pada saat ini, baik dari sisi cara penyembahan (bentuk empirik), maupun konsepsi ketuhanannya (aspek gnosis). Fakta nash telah menunjukkan kesimpulan ini dengan sangat jelas. Oleh karena itu, menyamakan Islam dengan agama selain Islam jelas-jelas keliru dan menyesatkan, bahkan terkesan dipaksakan.
Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang masuk ke neraka dan kekal di dalamnya. Padahal, al-Quran telah menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum Musyrik, tidak mungkin masuk ke surganya Allah, akan tetapi mereka kekal di dalam neraka. Perhatikan ayat berikut ini.
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (al-Baqarah:111)
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Hujurat ayat 13 bukanlah pembenar bagi ide pluralisme agama. Ayat tersebut hanya berbicara pada konteks pluralitas suku, bangsa, dan agama, dan sama sekali tidak berbicara pada konteks gagasan pluralisme, seperti yang diklaim para pengusung ide pluralisme. Bahkan, nash-nash al-Quran jelas-jelas telah menyatakan pertentangan Islam dengan ide pluralisme.
Demikianlah, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme, baik ide agama global maupun kesatuan transenden. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan keyakinan, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui kebenaran (truth claim) agama selain Islam.
Adapun untuk memecahkan masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap dan pandangan yang jelas; yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan membiarkan pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan melenyapkan identitas agama-agama selain Islam, seperti gagasan kelompok pluralis pertama (global religion).
Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan ‘aqidah Islam. Siapapun yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nashrani masuk ke surga, maka dia telah murtad dari Islam.
b. Islam Tidak Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam
Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat;
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah:256)
Surat al-Baqarah ayat 256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam, bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan, bahwa Islam mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar mengakui pluralitas (keragaman) agama.
Koreksi:
Sesungguhnya, ayat ini tidak bisa digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme. Ayat ini hanya berbicara pada konteks “tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk masuk Islam”. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Oleh karena itu, Islam tidak akan memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Islam membenarkan keyakinan dan ajaran agama selain Islam. Bahkan, ayat ini telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di dalam agama Islam, sedangkan agama yang lain jelas-jelas bathilnya. Hanya saja, kaum Muslim tidak diperbolehkan memaksa penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-diin pada ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mu’taqid wa al-millah (keyakinan dan agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Ayat ini tidak berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme yang diusung oleh kaum pluralis. Bahkan, ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak adanya pemaksaan atas penganut agama lain untuk masuk Islam hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui identitas agama mereka. Akan tetapi, Islam tidak mengakui sama sekali truth claim agama mereka. Bahkan, kaum Muslim diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam dengan hujjah dan hikmah.
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ
“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” (al-Hajj:67)
c. Surat al-Maidah : 69 dan Surat al-Baqarah: 62
Dua ayat ini juga sering digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(al-Maidah:69)
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah:62).
Sesungguhnya, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabi’un, yang taat kepada ajaran agamadan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Akan tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama-agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain).
Untuk menafsirkan surat al-baqarah ayat 62, ada baiknya kita simak penuturan ahli tafsir berikut ini:
Menurut al-Sudiy, ayat ini (al-Baqarah: 62) turun berkenaan dengan shahabat-shahabatnya (pendeta-pendeta) Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan mereka. Salman ra bercerita kepada Nabi saw, “Mereka mengerjakan sholat, berpuasa, dan beriman kepada kenabian Anda, dan bersaksi bahwa Anda akan diutus oleh Allah swt sebagai seorang Nabi.” Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85]. Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan (agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.” Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.
Dari uraian di atas jelaslah, dua ayat di atas ditujukan kepada umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Topiknya sangat jelas, bahwa umat-umat terdahulu yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten pada zaman itu; semisal umat Yahudi yang konsisten mengikuti kitab Taurat, menyakini dan menjalankan isinya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Adapun setelah Nabi Mohammad saw diutus di muka bumi ini, maka tidak ada satupun agama –selain Islam—yang mampu menyelamatkan pemeluknya dari kekafiran, kecuali jika mereka mau memeluk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa ahlul kitab dan kaum musyrik –setelah diutusnya Mohammad saw—terkategori muslim, dan berhak memperoleh pahala dari Allah swt.
Selain itu, pemelintiran makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayat-ayat itu [al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja akan bertolak belakang dengan sabda Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi, dan Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada nabi, di antara aku dan ia, yakni ‘Isa as, sesungguhnya ia adalah tamu. Bila kalian melihatnya, maka kalian akan mengenalnya sebagai seorang laki-laki yang mendatangi sekelompok kaum yang berwarna merah dan putih, seakan kepalanya turun hujan, bila ia tidak menurunkan hujan, maka akan basah, Dan ia akan memerangi manusia atas Islam, menghancurkan salib, membunuhi babi, mengambil jizyah, saat itu Allah menghancurkan seluruh agama kecuali Islam, sedangkan ‘Isa as menghancurkan Dajjal. Dan ia berada di muka bumi selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin mensholatkannya.” (HR. Abu Dawud)
Al-Quran sendiri telah memberikan predikat Ahli Kitab –Yahudi dan Nashrani—sebagai orang-orang musyrik. Allah swt berfirman: “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31). Redaksi sebelumnya dinyatakan, bahwa orang-orang Yahudi berkata, “‘Uzair adalah putera Allah” dan orang Nashrani berkata,” Al Masih putera Tuhan”.
Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani terkategori kaum musyrik, bukan Muslim. Lantas, bagaimana bisa disimpulkan; kaum Yahudi dan Nashrani yang ada sekarang ini terkategori Muslim dan berhak mendapatkan pahala dari Allah swt, sementara itu mereka telah kafir dan musyrik? Bukankah Allah swt telah berfirman di dalam al-Quran:
“Oleh karena itu, siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia tidak diperkenankan oleh Allah masuk surga, dan tempat kembalinya adalah neraka.”(al-Maidah:72).
“Sungguh telah kafir mereka yang mengatakan bahwa Tuhan itu ketiga dari yang ke tiga, padahal Tuhan itu hanya satu. Jika mereka belum berhenti berkata demikian, tentulah mereka yang kafir itu, akan mendapat siksa yang sangat pedih.” (al-Maidah:73)
“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.”(Ali Imron:19)
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Baqarah ayat 62 dan surat al-Maidah ayat 59 sama sekali tidak berhubungan dengan paham pluralisme.
d. Ayat Tentang Kalimatun Sawa’
Para pengusung ide pluralisme juga menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kalimatun sawa’.
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali Imron:64])
Para pengusung gagasan pluralisme mengatakan, bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama langit yang memiliki prinsip-prinsip ketuhanan dan berasal dari Tuhan yang sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan, bahwa umat Islam, Yahudi, dan Kristen berasal dari keturunan Ibrahim as; sehingga ketiga pemeluk agama besar itu memiliki akar kesejarahan dan nasab yang sama. Mereka pun menyimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nashraniy dalam masalah ketuhanan. Semua menyembah kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kalimat sawa’. Dengan kata lain, Islam pun pada dasarnya mengakui kebenaran konsep ketuhanan agama Yahudi dan Kristen sekarang ini. Akhirnya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama-sama benarnya dan sama-sama punya kans masuk ke surganya Allah swt. Sesungguhnya, penafsiran kaum pluralis tersebut, benar-benar telah menyimpang jauh dari makna sebenarnya.
Untuk mengetahui makna hakiki dari frase kalimat sawa’, kita dapat merujuk kepada ulama tafsir yang lebih kredibel dan netral dari kepentingan barat, diantaranya adalah Imam Ibnu Katsir.
Menurut Ibnu Katsir, frase “kalimat” di dalam surat Ali Imron ayat 64 tersebut dipakai untuk menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu adalah “sawaa’ bainanaa wa bainakum” (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dengan kalian). Frase ini merupakan sifat yang menjelaskan kata “kalimat” yang memiliki makna dan pengertian tertentu. Adapun makna hakiki yang dituju oleh frase “kalimatun sawaa’ sawaa’ bainanaa wa bainakum” adalah kalimat tauhid, yaitu “allaa na’budu illaa Al-Allah” (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah). Inilah makna sesungguhnya dari kalimat sawa’, yaitu kalimat Tauhid; yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (ilah) yang berhak untuk disembah kecuali Allah swt; bukan patung, rahib, api, dan sebagainya. Kalimat ini (kalimat tauhid) adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh Rasul yang diutus oleh Allah swt, termasuk di dalamnya Musa as dan Isa as. Allah swt berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.” (al-Nahl:36)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (al-Anbiyaa’:25)
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa surat Ali Imron ayat 64 di atas sama sekali tidak menyerukan kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain Islam. Sebaliknya, ayat tersebut justru berisikan ajakan kepada ahlul kitab (baik Yahudi dan Nashraniy) untuk kembali mentauhidkan Allah swt, sebagaimana yang telah diajarkan pertama kali oleh Musa as dan Isa as. Sebab, kaum Yahudi dan Nashrani telah menyimpang jauh dari konsepsi Tauhid. Mereka telah menjadikan ahbar (pendeta-pendeta) dan ruhban (rahib-rahib) sebagai sesembahan selain Allah swt. Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Quran dengan sangat jelas. Allah swt berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31)
Walaupun ayat ini tidak menyatakan, bahwa ahbar itu ditujukan khusus untuk kaum Yahudi, dan ruhban untuk kaum Nashrani, akan tetapi konsensus pengguna bahasa Arab telah memahami, bahwa dua kata tersebut khusus untuk orang Yahudi dan Nashrani.
Dari sinilah bisa dipahami, bahwa ayat ini merupakan seruan kepada orang Yahudi dan Nashrani agar mereka kembali ke jalan Tauhid, setelah mereka menyimpang jauh dari jalan tersebut (tauhid); yaitu ketika orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah, dan tatkala orang Nashrani mengatakan bahwa Isa as adalah putera Tuhan. Surat Ali Imron di atas tidak lain tidak bukan adalah ajakan agar orang Yahudi dan Nashraniy meninggalkan kemusyrikannya dan kembali menyembah kepada Allah swt semata, dan mengikuti ajaran Mohammad saw.
Demikianlah, ayat ini sama sekali tidak berbicara pada konteks kesatuan dan kesamaan agama seperti yang dinyatakan oleh kaum pluralis. Ayat ini sama sekali juga tidak menunjukkan, bahwa Islam mengakui gagasan pluralisme yang dijajakan di negeri kaum Muslim. Sebaliknya, ayat ini merupakan ajakan dan seruan kepada ahlul kitab agar mereka kembali kepada jalan yang lurus, yakni agama Tauhid seperti yang telah diajarkan oleh Musa dan Isa as. WaLlâh a’lam bi al-shawâb
Selengkapnya...