Oleh : Ust. Harist Abu Ulya
Masyarakat luas telah mengikuti pemutaran rekaman sebagian dari episode kisruh “cicak-buaya” yang disiarkan langsung oleh televisi selama kurang lebih 4,5 jam pada tanggal 3 November 2009. Ini menjadi sebuah jejak rekam potret peradilan di Indonesia makin buruk dan jatuh pada titik paling nadzir.Seolah ini juga menjadi jawaban atas dugaan dan kegelisahan masyarakat luas selama ini atas sebab minimnya nilai keadilan bagi mereka.
Ibarat gunung es, rekaman pembicaraan tadi hanyalah menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya, yakni adanya mega korupsi yang sangat luar biasa telah terjadi di negeri ini, baik dari segi jumlah uang yang dikorup, kecanggihan praktik sampai jumlah orang dan pihak yang terlibat di dalamnya. Berlanjut pasca di publikasikannya rekaman telpon hasil penyadapan KPK di depan MK tersebut, menjadi titik balik gugatan masyarakat terhadap seluruh instrumen penegak hukum dan peradilan serta terhadap penguasa yang selama ini merasa legitimate.
Mereka mengekspresikan dalam berbagai bentuk, dari demonstrasi, senam sehat hingga seni parodi (sindiran dan ejekan) dari kecaman didunia maya (internet) hingga di dunia nyata. Dan fenomena oposisi jalanan makin menguat, Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum sangat rendah, bahkan dari berbagai jajak pendapat 89,8% masyarakat percaya keputusan hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang. (Jajak pendapat Kompas,9/11/09).
Bahkan masyarakat dibuat jenggah dan bingung ketika semua pihak yang terkait dalam kasus ini merasa menjadi yang paling benar dengan berbagai argumentasi. Sebagian masyarakat semakin kecewa ketika sekelompok orang yang mengatas namakan wakil rakyat (DPR) hilang sikap kritisnya bahkan cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat, dan mendorong kemungkinan, “oposisi jalanan semakin menguat” seperti yang dikatakan Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid, (kompas, 9/11/09). Masyarakat seperti meraba obyek diruang gelap dan sangat bisa tertipu dan mendapatkan jawaban akhir dari kasus ini diluar dugaan. Karena bisa jadi penjahat negara dia tampil dalam balutan sosok kesatria, para begundal mafioso yang memporakporandakan kebenaran dan keadilan dalam wajah pengak-penegak hukum yang dibanggakan, menjadi pembela nafsu konglomerat tapi tampil seperti sang pembela rakyat.
Akhirnya masyarakat sekarang seolah menjadi masyarakat yang terdidik, melek hukum, dan sadar politik.Respon penguasa dengan mencanangkan program “ganyang Mafia” peradilan/hukum pada tanggal 5/11/09 sebagai bagian dari agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, tidak menjadikan otomatis masyarakat percaya.Karena seperti pepatah nasi telah menjadi bubur, juga sekalipun pemerintah kembali membuka PO Box 9949 berikut dengan kode GM (Ganyang Mafia) untuk menerima laporan masyarakat yang menjadi korban. Tapi dari peristiwa pemutaran rekaman diatas telah membuka mata semua warga negara, betapa mafia peradilan telah berurat akar di negeri Indonesia. Kasus suap menyuap dan korupsi sudah menjadi perkara lazim dalam wilayah peradilan.
Hukum tunduk kepada pemilik modal (uang), hukum tidak berpihak bagi masyarakat miskin.Keadilan di takar dengan tumpukan uang, dan hukum bisa diperjual belikan serta dinego. Seolah penguasa negeri ini, baru bangun tersadar setelah semua penyakit kronis ini disorot dengan tajam oleh masyarakat dengan rasa “geram” luar biasa. Dan fakta bahwa problem korupsi tidak hanya di ranah peradilan, tapi menyangkut para pejabat eksekutif mulai dari menteri, gubernur, bupati, walikota hingga seorang lurah, yang memegang kuasa kelola berbagai proyek strategis kepentingan masyarakat menjadi pelaku dan kasusnya banyak mengendap begitu saja.
Fakta-fakta yang meruntuhkan kepercayaan Masyarakat
Sebuah pelajaran berharga, dari peristiwa diatas menjadi indikasi kuat betapa amburadulnya perihal hukum di Indonesia, tepatnya aparat hukum dan lembaga-lembaga hukum yang ada serta Undang-Undang yang dijadikan acuan lahirnya keadilan bagi masyarakat dalam berbagai kasus sengketa. Undang-Undang yang ada belum bisa mencover seluruh persoalan sengketa masyarakat yang butuh keadilan, hingga masih membutuhkan tim atau kepanitian baru setiap kasus yang menemui jalan buntu. Adanya Tim Pencari Fakta berbagai kasus peradilan di negeri ini sering kali terjadi, terakhir dalam kisruh KPK melahirkan Tim 8 yang sebagian pihak berpendapat makin menjadikan masalah hukum dan peradilan menjadi blunder, dan menimbulkan kontraksi pada setiap institusi penegak hukum.
Global Corruption Report melansir sekitar US$ 40 miliar atau setara Rp 400 triliun digunakan dunia usaha untuk menyuap pejabat publik setiap tahun. Pemberian suap itu bertujuan untuk memudahkan bisnis dan bahkan ada yang bermotif politik mempertahankan pemerintahan yang korup. Suap, sepertinya sudah bukan hal yang asing terdengar dalam berbagai macam urusan apapun di negeri ini, “dengan suap itu kemudian bisa menyulap suatu kebijakan publik yang memberi kemudahan bisnis,” dan semua itu modus operandinya dilakukan sangat terorganisisr, kata Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis, pada peluncuran Global Corruption Report 2009, di Jakarta, Rabu (7/10).
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Kasus korupsi yang ditangani KPK sejak Januari 2008-Agustus 2009 didominasi oleh modus suap. Sesuai data ICW (Indonesia Coruption Watch) terungkap, dari 95 kasus, ada 34 kasus atau 35,79 persen modusnya suap. Menyusul mark up 19 kasus atau 20 persen, penggelapan atau pungutan 18 kasus (18,95 persen), penyalahgunaan anggaran 15 kasus (15,79 persen), penunjukan langsung 8 kasus atau 8,42 persen, dan 1 kasus pemerasan. “Modus korupsi terbanyak yang diungkap KPK adalah suap. Ini merupakan salah satu cara memutus rantai akar korupsi,” kata Febri Diansyah, peneliti hukum ICW, di Jakarta, Jumat (28/8). Sedangkan dilihat dari latar belakangan profesi, tersangka korupsi paling dominan swasta.
Dari 95 tersangka, 19 di antaranya adalah swasta, disusul anggota DPR/DPRD 18 orang, pejabat eselon dan pimpro 17 orang. Duta besar, pejabat konsulat, dan imigrasi ada 13 orang yang jadi tersangka, kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) 12 orang, dewan gubernur/pejabat Bank Indonesia 7 orang, pejabat BUMN 5 orang, dan komisi negara 2 negara. Untuk aparat hukum dan BPK masing-masing 1 orang. “Penyelenggara negara maupun swasta yang terkait korupsi itu karena merugikan keuangan negara, suap, gratifikasi, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan konflik kepentingan,”.
Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak tepat sasaran. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.
Tentu tidak salah dari data diatas masyarakat sampai pada sebuah kesimpulan, mafioso peradilan betul-betul telah mengakar dan meruntuhkan sistem peradilan di negeri ini. Dan menyebabkan jalannya roda pemerintahan terganggu, karena para birokrat tidak bekerja secara optimal.Yang pasti efek dominonya adalah masyarakat semakin menderita dan menggantang asap keadilan, karena hukum tidak bisa diraih dengan tangan yang hampa uang dan harta. Bila keadaan ini terus berlanjut, akan meniscayakan runtuhnya sebuah pemerintahan, apalagi jika kepentingan asing ikut bermain seperti yang sudah menggejala di Indonesia.
Apakah umat ini akan terus mempertahankan produk hukum peradilan dari sistem sekuler seperti hari ini? Lantas seperti apa peradilan dalam Islam sebagai solusi atas bobroknya sistem peradilan sekuler ini?
Solusi Islam mengeliminir korupsi dan mafia peradilan
Sebagai sistem hidup, Islam memiliki sejumlah cara yang sangat gamblang untuk menanggulangi masalah yang untuk negeri ini sudah demikan kronis, diantaranya adalah:
1. Sistem penggajian yang layak. Salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah kurangnya gaji yang diterima para pegawai pemerintah. Sebagai manusia biasa, para birokrat tentu juga memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, kepada mereka diberikan gaji dan fasilitas yang layak. Berkenaan dengan soal ini, Rasul berkata,”Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah: jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya
diberi. Dan barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”(HR.Abu Dawud).
2. Larangan penerimaan suap dan hadiah. Tentang suap, Rasulullah SAW berkata, ”Laknat Allah
terhadap penyuap dan penerima suap“ (HR.Abu Dawud). Suap menyebabkan penyimpangan kebijakan diskriminasi dan merusak mental birokrat .
3. Penghitungan kekayaan. Untuk menjaga dari berbuat curang, Khalifah Umar menghitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai pegawai negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan tidak wajar, Umar memerintahkan segera menyerahkan kelebihan itu kepada negara.
4. Teladan dari pemimpin. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan juga tidak sulit dilakukan. Khalifah Umar misalnya, menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan itu bersama beberapa unta lain digembalakan di padang rumput milik negara. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara. Demi agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada rakyatnya.
5. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima resiko yang akan mencelakakan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir (pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berfikir sekian kali untuk melakukan kejahatan. Dalam Islam, tindak korupsi merupakan jarimah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuk bisa berupa hukuman tasyhir (perwartaan dulu diarak, sekarang mungkin bisa ditayangkan di tv) atau hukuman kurungan.
6. Pengawasan masyarakat. Masyarakat jelas turut berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Bila didalam masyarakat tumbuh budaya anti korupsi, bukannya malah memancing timbulnya korupsi, maka insya Allah, masyarakat akan berperan efektif dalam mengawasi setiap tindakan para birokrat. Akhirnya korupsi bisa ditekan.
7. Pengendalian diri yang bersumber dari iman yang teguh. Korupsi atau tidak, pada akhirnya memang berpulang pada kekuatan iman dan kontrol diri para birokrat itu sendiri. Dengan iman yang teguh, ia akan merasa selalu diawasi Allah dan takut untuk melakukan penyelewengan. Takut rizki yang diterimanya selain tidak berkah, juga akan membawanya kepada adzab neraka. Dan terlebih lagi, ia takut akan murka Allah.
Selengkapnya...
Selasa, 10 November 2009
MAFIOSO PERADILAN; BUKTI BOBROKNYA SISTEM PERADILAN SEKULER
Senin, 09 November 2009
SELAMATKAN INDONESIA DENGAN SYARIAH, BERSIHKAN INDONESIA DARI SISTEM DAN BIROKRAT YANG KORUP!!
Diperdengarkannya rekaman berdurasi sekitar 4,5 jam pembicaraan telepon antara Anggodo (adik buron koruptor Anggoro) dengan dan atau tentang sejumlah pihak, baik dari kalangan kepolisian, kejaksaan, pengacara maupun instansi lain di depan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa 3 November lalu, menguak bukan saja tentang adanya rekayasa kriminalisasi KPK, khususnya terhadap dua pimpinannya, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, tapi juga menunjukkan dengan sangat gamblang betapa praktik korupsi sudah demikian merasuk ke relung jantung dan sumsum negeri ini, sekaligus juga menunjukkan betapa korupnya birokrat negeri ini. Sampai-sampai birokrat kepolisian dan kejaksaan yang semestinya menjadi benteng paling kokoh dalam penegakan hukum justru menjadi pihak yang paling telanjang mempermaikan hukum.
Tapi Hizbut Tahrir Indonesia menilai, kenyataan tadi hanyalah sekadar mengkonfirmasikan apa yang telah menjadi omongan banyak pihak tentang betapa parahnya korupsi di negeri ini. Ibarat gunung es, rekaman pembicaraan tadi hanyalah menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya, yakni adanya mega korupsi yang sangat luar biasa telah terjadi di negeri ini, baik dari segi jumlah uang yang dikorup, kecanggihan praktik sampai jumlah orang dan pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus Anggodo, korupsi dalam bentuk penyuapan, melibatkan oknum kepolisian, kejaksaan dan pengacara. Dalam kasus yang lain, misalnya alih fungsi hutan, pemilihan pejabat BI dan kasus lainnya, melibatkan pejabat daerah atau pimpinan BI dan anggota DPR. Sementara, dalam kasus seperti BLBI yang telah merugikan negara ratusan triliun rupiah, melibatkan oknum pejabat BI, pejabat bank, pejabat tinggi pemerintahan, bahkan pada tahap lanjut juga melibatkan anggota DPR, kepolisian, kejaksaan, pengacara, kalangan pers dan lainnya. Dan korupsi bukan hanya terjadi di tingkat pusat tapi juga berlangsung di level lebih rendah, baik di tingkat provinsi, kota kabupaten juga di kecamatan bahkan kelurahan.
Maka, korupsi di Indonesia sungguh telah menjadi persoalan yang amat akut. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Berapa kerugian negara akibat korupsi? Sangat besar. Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak tepat sasaran. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.
Melihat kenyataan di atas, maka Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Korupsi tidak bisa tidak harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Bila tidak, ia akan makin merusak perikehidupan bangsa dan negara baik dari sisi politik, ekonomi, sosial dan akhlaq. Beberapa langkah menurut syariat Islam yang harus ditempuh untuk memberantas korupsi adalah:
a. Penetapan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Itu sulit berjalan dengan baik, bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarganya. Maka, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, kepada mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.
b. Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena untuk apa memberi sesuatu bila tanpa maksud, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak sesuai dengan harapan pemberi hadiah. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar – separo untuk kaum Muslim dan sisanya untuk orang Yahudi – datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi. Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR. Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
c. Perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang tepat untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi Khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini justru ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
d. Teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terutama pemimpin tertinggi sebuah negara terlebih dahulu harus bersih dari korupsi. Dengan ketakwaannya, seorang pemimpin bisa menjalankan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan ketakwaannya pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungan jawab. Di sinilah perlunya keteladanan dari para pemimpin itu. Dengan keteladanan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bila korupsi justru dilakukan oleh para pemimpin, praktek busuk ini tentu akan cenderung ditiru oleh bawahannya, hingga semua upaya apa pun dalam memberantas korupsi menjadi tidak ada artinya sama sekali.
e. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
f. Pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.
2. Tapi korupsi sesungguhnya hanya merupakan buah dari sistem yang korup, yaitu sistem Kapitalisme, dengan akidah Sekularisme dan asas manfaatnya. Sistem ini mendorong orang menjadi berpandangan materialistik. Semua hal dihitung dan diletakkan dalam konteks materi, serta untung dan rugi. Tak heran, bila semua hal baik itu jabatan, kewenangan, ijin, lisensi, keputusan hukum, kebijakan pemberitaan, peraturan perundang-undangan dan sebagainya, juga mestinya harus bisa dibuat agar memberikan keuntungan materi. Dari sinilah sesungguhnya hasrat korupsi itu timbul. Karena itu, bila benar-benar ingin menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia, maka selain harus dibersihkan dari birokrat yang korup, negeri ini juga harus dibersihkan dari sistem yang korup, yaitu sistem Sekuler – Kapitalistik ini. Sebagai gantinya adalah sistem syariah yang secara pasti senantiasa akan mengkaitkan semua derap hidup manusia di semua aspek kehidupan dengan keimanan kepada Allah SWT, dzat Maha Melihat dan Maha Mendengar
Selengkapnya...