“Memang tidak ada yang ideal, semuanya buruk, tapi paling tidak kita memilih presiden yang terbaik diantara yang buruk”, ujar sang pengamat politik nasional yang sedang naik daun dalam sebuah forum diskusi. Argumentasi seperti ini juga cukup popular dikalangan gerakan Islam. Dalam bahasa kaedah ushul dikenal dengan ahwanusy-syarrain atau akhofudh-dhororoin : mencari syar’(keburukan) yang lebih ringan atau yang dhoror(bahaya)nya lebih ringan.
Kita tentu setuju bahwa dalam Islam terhadap kewajiban untuk mengangkat Imam (kepala Negara). Jangankah kepala Negara , tiga orang yang melaku perjalanan (safar) harus ada seorang yang diangkat menjadi amir (pemimpin), apalagi ini urusan masyarakat yang lebih banyak dan lebih kompleks.
Namun, kewajiban mengangkat kepala Negara, bukanlah sekedar adanya pemimpin. Tapi juga berhubungan dengan sistem apa yang akan diterakan oleh sang kepala Negara. Imam (Kepala Negara) diangkat untuk mengurus urusan kaum muslim baik urusan dunia maupun agama. Dan kaum muslim diurus bukan dengan sembarang hukum, tapi wajib dengan hukum Allah SWT. Karena itu kewajiban mengangkat pemimpin tidak bisa dipisahkan dengan sistem yang dijalankan sang pemimpin. Umat Islam wajib memilih pemimpin tentunya pemimpin yang akan menjalankan syariah Islam , bukan yang hukum lain.
Dalam kitab Nizhamul Hukm fi Al Islam, dijelaskan tentang tugas kepala negara (Kholifah): “Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.”
Hal senada disebutkan oleh Imam Al Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah “Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[, Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289]
Sementara saat ini, siapapun kepala negaranya dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang oleh Indonesia, jelas bukan untuk menjalankan syariat Islam, tapi hukum (konstitusi) sekuler yang dibuat oleh manusia atas prinsip suara terbanyak di parlemen.
Dalam kondisi sekarang yang wajib kita lakukan adalah mempersiapkan sistem negara yang berdasarkan syariah Islam, yang dikenal dengan sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah yang berlaku adalah syariah Islam. Jadi siapapun pemimpin yang terpilih nanti wajib menjalankan syariah Islam yang menjadi hukum resmi negara.
Rosulullah saw sendiri mencontohkan saat fase Mekkah , ketika sistem Islam memang belum siap karena kekuasaan dan keamanan belum sepenuhnya ditangan umat Islam , Rosulullah saw tidak terlibat sama sekali dalam sistem hukum dan kepemimpinan jahiliyah saat itu. Bahkan saat dibujuk dengan kekuasan (tahta) untuk menjadi pemimpin oleh kafir Quraisy, Rosulullah saw menolak.
Sebab beliau tahu kekuasaan yang diberikan itu bukan untuk menjalankan sistem Islam secara penuh, tetapi sekedar kompromi politik. Rosulullah saw tahu persis konsekuensi menerima bujukan itu berarti mencampurkan antar hak dan batil, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam.
Sikap Rosulullah SAW sekaligus mencerminkan penolakan terhadap sikap pragmatisme yang hanya memikirkan bagaimana kekuasaan dapat diraih. Padahal kalau menggunakan logika pragmatisme sekarang, apa salahnya Rosulullah mengambil kekuasaan saat itu, bukankah ada gunanya walaupun sedikit ? Bukankah dengan kekuasan itu, kaum muslim sedikit terlepas dari siksaan ? Bukankah dakwahnya akan lebih lapang ?
Sekali lagi Rosulullah SAW tetap berpegang pada prinsip perjuangan yang tidak mengenal kompromi dan tidak mau terlibat dalam sistem kufur yang ada . Meskipun Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya kemudian harus menghadapi ujian yang berat, berupa hinaan, cercaan, siksaan, hingga pembunuhan.
Penggunaan kaedah ahwanusysyarain maupun akhofudhdhororoin tidak bisa dijadikan alasan membenarkan bergabung dengan sistem kufur. Apa yang disebut syar atau dhoror haruslah berdasarkan syariah Islam bukan semata-mata hawa nafsu kita. Yang disebut dhoror dalam Islam misalnya kalau memang mengancam nyawa. Itupun kalau kondisinya harus memilih dan tidak ada pilihan lain (deadlock).
Menurut pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,di antara dalil kaidah ini adalah QS al-Baqarah:173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya. Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai. Itupun tentunya kalau tidak ada pilihan lain.
Sementara kalau sekarang kita tidak memilih apakah itu akan mengancam nyawa ? Apakah sekarang kita sudah tidak ada pilihan lain (deadlock). Tentu saja tidak. Kita tidak dalam kondisi terpaksa (sehingga terancam nyawa ) sehingga harus memilih para calon yang semuanya buruk(berdasarkan syariah Islam). Ini bukan pula kondisi deadlock. Ada hal yang sekarang bisa kita lakukan sesegera dan secepat mungkin , yakni berjuang mewujudkan Khilafah Islam. Semakin cepat kita berjuang dan mewujudkan , tentu saja makin baik..
Apakah kalau kita tidak memilih berarti apatis dan tidak berarti? Tentu saja tidak. Kalaupun kita tidak memilih, bukan berarti diam. Kita justru terus memperjuangkan syariah Islam dengan sungguh-sungguh dan secepat mungkin . Yang salah , kalau sudah tidak memilih kemudian kita bersikap diam tidak melakukan apa-apa.
Pilihan untuk tidak memilih bukan pula tidak berarti. Dihadapan Allah SWT kalau kita tidak memilih karena menghindarkan diri dari keharaman , jelas akan mendapat pahala yang besar. Disamping itu, tidak memilih adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap sistem kufur yang ada dan upaya menghilangkan legitimasinya. Sebab kalau seluruh umat Islam tidak memilih , karena pemimpin yang ada tidak menerapkan syariah Islam, tentu saja demokrasi akan kehilangan legitimasinya. Hal ini justru akan mempercepat keruntuhan sistem sekuler yang rusak.
Sebaliknya, dengan partisipasi umat Islam dalam pemilihan ini meskipun sudah tahu pemimpinnya tidak akan menerapkan syariah Islam, justru akan memperkokoh dan memperpanjang umur dari sistem sekuler yang sebenarnya sudah bangkrut.
Seharusnya kita berjuang sekuat tenaga secara maksimal. Yang terjadi sekarang, malah bersikap minimalis . Memilih untuk mendapat sedikit keuntungan , namun sebaliknya telah mengorbankan hal yang prinsip dalam perjuangan yakni sikap istiqomah dan berpegang teguh pada dinul haq (Islam) . Belum lagi , bagaimana bentuk pertanggungjawaban kita dihadapan Allah SWT kelak. Apa jawaban kita kalau Allah SWT bertanya kepada kita nanti : kenapa anda memiliki pemimpin yang tidak menjalankan sistem Islam padahal anda bisa menolaknya ?
Selengkapnya...
Minggu, 28 Juni 2009
Memilih yang Terbaik diantara Yang Buruk
Jika Hidup Tidak Untuk Dakwah
Jika Hidup Tidak untuk Dakwah
Terus engkau mau ngapain?
Ente pergi pagi
Dengan semangat mencari duniawi
Jika angkot macet, langsung berganti sewa taksi
Agar harta buruan tidak beralih dari sisi
Ente pulang malam
Dengan jasad yang kelelahan
Nyampe di rumah mendekam sampai pagi datang
Lupakah engkau
Rasulullah saw bagaikan rahib di malam hari
Dan menjadi singa di siang hari
Sementara kamu
Tak peduli siang tak peduli malam
Yang penting dunia dalam genggaman
Sahabat cobalah engkau renungkan
Apa sih yang ingin kugapai sampai harus membanting tulang
Apa sih yang ingin kubangun hingga pagi datang
Apa sih yang ingin kuraih hingga tubuh begitu letih
Jujur saja, untuk urusan perutmu bukan
Buat beli martabak atau nasi
Masuk perut dan kemudian raib menjadi kotoran
Jujur saja, untuk urusan rumah tempat kau tinggal bukan
Buat beli keramik, AC ataupun busa
Dinikmati, rusak, ganti lagi tak berkesudahan
Jujur saja, untuk urusan kesenangan anak-anak yang kau rindukan bukan
Buat pakaian, mainan, ataupun poster-poster idaman
Dinikmati, menghilang dari pandangan
Jika engkau hidup hanya untuk itu semuanya
Maka harga dirimu
Nilainya sama dengan apa yang kamu makan
Nilainya sama dengan apa yang kamu keluarkan dari perut hitam
Nilainya sama dengan apa yang kamu rindukan
Karena jasadmu tak ubahnya tembolok karung
Tempat penyimpanan semua makan yang kamu makan
Karena jasadmu tak ubahnya perekat
Tempat semua kesenangan dunia melekat
Sepekan, setahun, sewindu kau bangun sejuta pundi uang
Engkau lupa bahwa kelak yang kau bangun itu pasti kau tinggalkan
Engkau lupa bahwa tempat tinggalmu sesudahnya adalah istana masa depan
Tapi sahabat
Jika engkau hidup untuk dakwah
Tidak ada setitik harapan pun yang kelak dirugikan
Tiada seberkas amal pun yang tiada mendapat balasan
Tapi di dalamnya penuh ujian dan batu karang
Dan engkau harus yakin penuh akan janji Allah
Tapi di dalamnya tidak lekas kau dapatkan keindahan
Dan engkau harus yakin bahwa inilah jalan kebaikan
Sahabat
Janganlah terlena dengan kesenangan fana
Janganlah terlena dengan gemerlapnya dunia
Itulah yang Allah berikan sebagai hak para musyrikin di dunia
Tiada usah kamu iri dan berpikir tuk hanyut bersamanya
Karena kau tahu kehidupan mereka sesudahnya adalah neraka
Dan mereka kekal di dalamnya
Sahabat
Jangan sia-siakan hidup di dunia
Bangun rumah dakwah
Jika kau diluaskan harta, kembalikan di jalan dakwah
Jika kau diluaskan waktu, hibahkan di jalan dakwah
Jika kau diluaskan tenaga, berikan untuk lapangnya jalan dakwah
Jika kau diluaskan pikiran, gunakan untuk merenungi ayat-ayat-Nya
Jika kau diluaskan usia, maksimalkan berikan yang terbaik untuk-Nya
Jangan jadikan dakwah sebagai kegiatan sampingan
Jangan jadikan dakwah sebagai hiburan
Jangan jadikan dakwah sebagai ajang gaul sesama teman
Jangan jadikan dakwah sebagai pengisi waktu luang
Jangan jadikan dakwah sebagai sarana memburu uang
Karena kelak yang kau dapatkan adalah jahanam
Sebagai balasan atas kemusyrikan yang kau jalankan
Sahabat
Jadikan dakwah sebagai ruh kalian di dunia
Jadikan dakwah sebagai rumah tinggal kalian di dunia
Jadikan dakwah sebagai tugas utama kalian di dunia
Jadikan bahwa hanya dengan dakwah diri kalian begitu bahagia
Jadikan bahwa tanpa dakwah kalian begitu menderita
Sahabat
Jalan dakwah inilah yang membedakan kita
Dengan para pendusta ayat-ayat-Nya
Dan jika engkau hidup di dunia ini tidak untuk tegakkan risalah-Nya Itu
artinya engkau pun sama dengan mereka
Yang lebih menyukai neraka ketimbang surga
Dan jika engkau hidup di dunia ini sebagai tujuan
Ingatlah bahwa tak lama lagi ruhmu bakal dicabut dari badan
Jika hidup tidak untuk dakwah
Trus ente mo ngapain?
Mau jadi ayam?
Yang pergi pagi pulang petang
Kurang petang tambahin nyampe tengah malam
Tapi masih mendingan ayam
Karena ia rutin bangun sebelum azan
Dan teriakkan lagu keindahan
Tapi kamu
Rutin subuh setengah delapan
Apalagi kalo akhir pekan
Bisa jadi subuh hengkang dari pikiran
Tapi masih mendingan ayam
Karena ia berani pilih makanan yang ia inginkan
Tapi kamu
Elo embat semua yang ada di hadapan
Tidak peduli daging, tumbuhan, ataupun batu hitam
Sementara kamu dikaruniai pikiran
Selengkapnya...
Selasa, 23 Juni 2009
KEUNGGULAN MANIFESTO HTI
Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (Manifesto HTI) lahir di tengah-tengah situasi politik Indonesia yang sedang mabuk akibat pesta demokrasi, yakni Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2009. Pada masa-masa ini, tak sedikit partai yang menyodorkan platform politiknya kepada publik. Partai Gerindra, misalnya, meluncurkan Manifesto Gerindra. PKS menggagas Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS. Jadi, suasana batin publik kini adalah sedang mempelajari tawaran-tawaran konseptual mengenai pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam suasana batin seperti itulah lahir Manifesto HTI. Tujuan peluncurannya adalah untuk mensosialisasikan konsep HTI mengenai pengaturan kehidupan dalam negara Khilafah nantinya dalam berbagai bidang; pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Diharapkan umat Islam dapat memahami, bahwa Manifesto HTI adalah jalan baru untuk masa depan yang lebih baik, sebagai ganti dari jalan lama (yaitu Kapitalisme-sekular) yang sudah gagal dan hanya menimbulkan kehancuran dan kerusakan dalam berbagai bidang.
Sebagai tawaran konseptual mengenai kehidupan bernegara, Manifesto HTI sebenarnya dapat dimasukkan dalam kategori yang sama dengan tawaran-tawaran serupa, seperti Manifesto Gerindra. Namun, dengan mencermati isinya, akan dapat ditangkap keunggulan-keunggulan yang tidak terdapat dalam tawaran konseptual sejenis. Tulisan ini berusaha menunjukkan beberapa keunggulan tersebut.
Ideologi Islam
Keunggulan ideologis merupakan keunggulan yang tampak jelas sekali dari Manifesto HTI. Pada saat partai-partai yang ada menawarkan ideologi Kapitalisme-sekular, atau menawarkan ideologi Islam yang kurang begitu jelas, Manifesto HTI menegaskan ideologinya, yaitu Islam bukan yang lain. Partai Gerindra, misalkan, meski menawarkan ekonomi kerakyatan, tetap saja tidak anti Kapitalisme, sebagaimana ungkapan Prabowo Subianto di sebuah media nasional.
PKS sebenarnya menunjukkan penyikapan yang positif terhadap syariah, misalnya mendukung Perda syariah atau perbankan syariah. (Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS, hlm. 11 dan 34). Akan tetapi, sikap PKS kurang begitu jelas terhadap ideologi Islam, yaitu pengamalan Islam secara utuh (kâffah) dalam kehidupan bernegara. Dalam platform-nya, PKS masih mempercayai demokrasi. PKS menyatakan tujuannya adalah membentuk masyarakat madani. Ini kurang jelas. Sikapnya terhadap konsep bernegara dalam Islam juga kurang begitu jelas, sebagaimana tampak dalam statemen resmi mereka. Dikatakan bahwa dalam konteks hubungan Islam dan negara, pilihannya bukan negara Islam yang menerapkan syariah atau negara sekular yang menolak syariah, tetapi realisasi ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal (ibid., hlm. 37).
Dibandingkan dengan Manifesto HTI, dengan tegas Hizbut Tahrir menyatakan hanya memperjuangkan ideologi Islam, yang berakar pada prinsip kedaulatan di tangan syariah (as-siyâdah li asy-syar'i). Sebaliknya, Hizbut Tahrir menentang keras berbagai ideologi lainnya seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Hizbut Tahrir juga menentang keras konsep-konsep yang lahir dari paham sekularisme seperti demokrasi, nasionalisme atau isme-isme lain. Dalam penentangannya, Hizbut Tahrir tidak menggunakan cara-cara kompromis atau langkah-langkah penyesuaian diri. Meski demikian, Hizbut Tahrir tidak menggunakan aktivitas kekerasan (fisik) dalam perjuangannya. (Manifesto HTI, hlm. 46).
Lebih tegas lagi, Hizbut Tahrir menekankan bahwa ideologi Islam itu hanya dapat diwujudkan dengan institusi negara Khilafah. (Manifesto HTI, hlm. 46). Penegasan ini tentu merupakan keunggulan tersendiri jika dibandingkan dengan pandangan berbagai partai atau atau ormas Islam yang ada. Mereka umumnya menganggap sistem demokrasi-sekular yang ada sudah final dan dianggap harga mati. Sayangnya, anggapan ini sejalan dengan kehendak skenario Kapitalisme global di bawah pimpinan AS. Padahal sistem demokrasi adalah sistem kufur, najis serta thâghût yang wajib dibuang ke tong sampah peradaban.
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan Islam yang digagas HTI adalah negara Khilafah, yaitu sebuah negara yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan mempunyai misi menyebarkan dakwah Islam ke seluruh umat manusia. Mengapa Khilafah dan bukan sistem yang lain, semisal republik atau monarki? Sebab, sistem pemerintahan Islam inilah yang secara genuine (asli) lahir dari rahim ideologi Islam. Sistem republik atau monarki tidak berasal dari ideologi Islam, melainkan berasal dari ideologi Barat.
Dengan Khilafah, diharapkan dapat muncul beberapa keunggulan, yaitu adanya kemandirian serta partisipasi rakyat yang tinggi. Kemandirian akan terwujud karena Khilafah memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi negara-negara imperialis-kolonialis. Pada saat Indonesia merdeka, sebenarnya ideologi yang diterapkan adalah ideologi kaum penjajah, yaitu sekularisme. Penjajah diusir, tetapi ideologinya diadopsi. Inilah yang menyebabkan Indonesia selalu menjadi subordinat dari negara-negara imperialis Barat melalui agen-agennya yang duduk dalam posisi kunci di tengah masyarakat ataupun di tubuh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam konteks kekinian, bukti nyata untuk itu adalah lahirnya berbagai UU yang pro negara penjajah seperti UU Migas, UU Ketenagalistrikan, UU SDA (Sumber Daya Air), UU Penanaman Modal, UU Badan Hukum Pendidikan, dan sebagainya. (Manifesto HTI, hlm. 12).
Khilafah yang berasaskan ideologi Islam akan melegislasi UU hanya dari al-Quran dan as-Sunnah. Segala perundang-undangan yang ada tidak dapat lagi didikte oleh siapapun khususnya agen-agen imperialis. Dengan demikian, secara politik Khilafah akan mewujudkan kemandirian dan mengakhiri penjajahan.
Partisipasi politik yang tinggi juga akan dapat diwujudkan dalam negara Khilafah nanti. Tidak seperti sekarang, partisipasi politik hanya tampak dalam Pemilu lima tahunan yang sayangnya juga tidak lepas dari manipulasi dan eliminasi aspirasi rakyat, misalnya lewat manipulasi DPT. Dalam negara Khilafah, partisipasi politik antara lain terwujud dalam kontrol rakyat yang kuat kepada pemerintah. Kontrol kepada penguasa dapat dilakukan melalui empat jalur: melalui individu, partai politik, Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim. (Manifesto HTI, hlm. 13). Ini akan sangat berbeda dengan sistem pengawasan sekarang yang dirancang untuk meminimalkan akses publik untuk dapat mengontrol pemerintah. Contoh mutakhir adalah RUU Kerahasiaan Negara, yang menentukan bahwa sejumlah informasi penting yang menyangkut publik tidak dapat diungkapkan untuk publik; atau RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), yang menyatakan para pejabat sektor keuangan tidak dapat dijerat hukum terkait kebijakan mereka, yaitu bantuan likuiditas guna menghadapi krisis finansial global.
Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi yang diterapkan sekarang adalah Kapitalisme dengan mazhab neoliberalisme. Ciri-ciri utama neoliberalisme antara lain: (1) pengurangan subsidi, seperti subsidi BBM, pendidikan, kesehatan dan sebagainya; (2) privatisasi, yaitu penjualan BUMN kepada asing, misalnya penjualan PT Indosat kepada Temasek Holding Singapura; (2) liberalisasi sektor keuangan, industri dan perdagangan; misalnya masuknya retail raksasa semisal Carefour dan Wallmart ke pasar retail Indonesia yang akhirnya menghancurkan pasar tradisional dan usaha kecil dan mikro.
Dalam Manifesto HTI ditegaskan bahwa sistem Kapitalisme seperti ini adalah sistem yang menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi. Pihak yang kuat akan untung, sementara rakyat banyak yang lemah akan buntung, yang pada gilirannya akan melambungkan jumlah kemiskinan. Kesejahteraan tidak untuk semua, tetapi untuk golongan yang kuat saja. (Manifesto HTI, hlm. 15).
Manifesto HTI akan makin tampak keunggulannya, karena berusaha menggagas sistem ekonomi Islam sebagai alternatif dari sistem Kapitalisme-neoliberal yang zalim dan eksploitatif ini. Gagasan HTI antara lain adalah negara harus memastikan bahwa kegiatan ekonomi baik yang menyangkut produksi, distribusi maupun konsumsi dari barang dan jasa berlangsung sesuai dengan ketentuan syariah; di dalamnya tidak ada pihak yang menzalimi ataupun dizalimi. Karena itu, Islam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi (produksi, industri, pertanian, distribusi dan perdagangan), investasi, mata uang, perpajakan, dll yang memungkinkan setiap orang mempunyai akses untuk mendapatkan kekayaan tanpa merugikan atau dirugikan oleh orang lain. Selain itu, negara juga menggunakan pola distribusi non ekonomi guna mendistribusikan kekayaan kepada pihak-pihak yang secara ekonomi tetap belum mendapatkan kekayaan melalui instrumen seperti zakat, sedekah, hibah dan pemberian negara. Dengan cara ini, pihak yang secara ekonomi tertinggal tidak semakin tersisihkan. (Manifesto HTI, hlm. 16).
Dalam sistem Kapitalisme sekarang, SDA (Sumber Daya Alam) berada dalam cengkeraman korporasi swasta, misalnya tambang tembaga dan emas Papua yang dikuasai PT Freeport Indonesia, tambang migas di Cepu yang dikuasai PT Exxon-Mobil, dan sebagainya. Akhirnya, sebagian besar hasil SDA dinikmati oleh asing, bukan dinikmati rakyat Indonesia. Sebagai contoh, keuntungan perusahaan migas AS PT Exxon-Mobil di Indonesia tahun 2007 adalah sebesar 40,6 miliar USD (Rp 373 triliun), dari pendapatan kotor sebesar 114,9 miliar USD (Rp 1.057 triliun). Dari keuntungan Rp 373 triliun itu, bagi hasilnya yang nisbahnya 85:15 bagi Pemerintah dan perusahaan asing, baru dilakukan setelah dipotong "cost recovery" yang ditetapkan perusahaan asing. Jika tidak tersisa, Indonesia tidak dapat. Di Blok Natuna, setelah dipotong "cost recovery", PT Exxon-Mobil mendapat 100% dan pemerintah mendapat 0% (nol persen). (Kompas, 13/10/2006). Walhasil, swasta makin kaya dan Indonesia menjadi fakir-miskin.
Di sinilah Manifesto HTI menggugat dan mendobrak sistem zalim dan eksploitatif ini. SDA ditegaskan sebagai milik umum (milkiyah 'âmmah) sehingga wajib dikelola oleh negara saja sebagai wakil dari umat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta. Hasil dari SDA itu, misalnya BBM, akan didistribusikan kepada pemiliknya, yaitu seluruh rakyat, dengan gratis atau dengan harga murah yang dijangkau oleh rakyat; misalnya dijual pada harga yang sama dengan ongkos produksi. Kwik Kian Gie pernah menghitung, biaya produksi satu liter bensin hanya Rp 540,- (Kompas, 3/2/2005). Dengan cara ini, hasil SDA tidak lagi dijarah oleh kaum imperialis, namun justru akan dinikmati oleh seluruh rakyat (Manifesto HTI, hlm. 16).
Utang luar negeri juga menjadi salah satu perhatian dalam Manifesto HTI. Indonesia dalam pandangan HTI telah terjerumus dalam jebakan hutang (debt trap) sehingga tidak memiliki kemandirian dalam menentukan kebijakan ekonomi dan politiknya. Manifesto HTI menegaskan, utang luar negeri haram hukumnya karena mengandung bunga (riba) (QS al-Baqarah [2]: 275) dan menimbulkan dominasi asing terhadap Indonesia (QS An-Nisa’ [4]: 141). (Manifesto HTI, hlm. 18).
Polugri
Konsepsi Polugri (politik luar negeri) dalam negara Khilafah berbasiskan satu prinsip yang tetap dan tidak berubah-ubah sampai Hari Kiamat, yakni jihad fi sabilillah. Jihad fi sabilillah tujuannya bukanlah untuk membunuh manusia, atau memaksa manusia masuk Islam, atau merusak bangunan dan pepohonan, melainkan untuk menyebarkan Islam kepada seluruh manusia (QS al-Anbiya’ []: 207) dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi sampainya dakwah Islam.
Prinsip jihad fi sabilillah inilah yang akan melandasi seluruh kebijakan polugri negara Khilafah, seperti kebijakan dalam mengatur hubungan dengan negara lain, kebijakan mengadakan perjanjian dengan negara lain dan kebijakan menyikapi organisasi internasional seperti PBB. Maka dari itu, Manifesto HTI menegaskan, Khilafah nantinya akan mengambil kebijakan menolak politik "Minimum Deterrence" yang meminimalkan kekuatan senjata Dunia Islam, dan sebaliknya Khilafah akan mengupayakan kekuatan militer secara penuh. Khilafah tidak akan menandatangani perjanjian NPT (Non-Proliferation Treaty) dan perjanjian lain yang semisal. Khilafah tidak akan meminta bantuan AS, Inggris ataupun negara-negara penjajah lainnya untuk menyelesaikan masalah umat Islam. Khilafah juga tidak akan menjadi anggota lembaga-lembaga internasional yang menjadi alat penjajahan seperti PBB, Bank Dunia, IMF dan yang semisalnya.
Semua kebijakan ini jelas merupakan suatu keunggulan tersendiri, yang berbeda dengan garis politik luar negeri saat ini yang amat lemah dan tidak mandiri. Kebijakan yang ada saat ini justru menempatkan Indonesia sebagai subordinat dari kepentingan negara penjajah, khususnya AS.
Kesimpulan
Inilah sekilas beberapa keunggulan Manifesto HTI yang ditawarkan kepada umat Islam di Indonesia. Tampak jelas, berbagai keunggulan ini berpangkal dari keunggulan ideologisnya, yaitu ideologi Islam. Keunggulan ini kemudian diturunkan dalam berbagai konsep dan rencana kebijakan yang Islami, yang sesungguhnya amat layak menggantikan ideologi sekarang yang sudah lapuk, gagal dan mau tumbang. Wallâhu a'lam.
Selengkapnya...
Senin, 01 Juni 2009
Negara Islam Bukan Ilusi
Ide lama yang basi menyerang ideology Islam, penegakan syariah Islam, Khilafah kembali muncul. Kelompok liberal Sabtu malam (18/05 ) meluncurkan buku berjudul “Ilusi Negara Islam”: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Buku setebal 322 halaman yang diterbitkan atas kerja sama Gerakan Bhineka Tunggal Ika, the Wahid Institute dan Maarif Institute .
Menurut Gus Dur studi dalam buku ini dilakukan dan dipublikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen bangsa khususnya para elit dan media massa tentang bahaya ideologi dan paham Islam garis keras yang di bawa ke Tanah Air oleh gerakan transnasional Timur Tengah. memperjuangkannya.
Buku ini sendiri patut dipertanyakan baik secara metodelogi, substansi, maupun pengusungnya (lihat keterangan pers Jubir HTI) . Inkonsistensi, kebohongan dan generalisasi kelirupun bertebaran dalam buku ini. Ada aroma kebencian dan kemarahan dari buku ini. Anehnya , Negara Islam dianggap ilusi, namun harus harus diwaspadai secara serius sampai pada tingkat rekomendasi aksi. Padahal ilusi itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya angan-angan , khayalan dan palsu. Lho, kenapa yang angan-angan dan khayalan harus disikapi serius seperti itu ?
Tentu juga bukan kebetulan kalau opini yang ingin dibangun bahwa syariah dan khilafah itu mengancam, sejalan dengan opini yang disampaikan oleh Bush – Sang Pembantai Kaum Muslimin. Pada tanggal 5 September 2006 Presiden George W. Bush mengatakan:“They hope establish a violent political utopia across the Middle East, which they call Caliphate, where all would be ruled according to their hateful ideology”. [“Mereka berangan-angan untuk membangun utopia-politik kekerasan di sepanjang Timur Tengah, yang mereka sebut dengan Khilafah, dimana semua akan diatur berdasar pada ideologi yang penuh kebencian.”]
Sebenarnya perdebatan transnasional tidak relevan. Persentuhan Indonesia dengan ideologi transnasional adalah hal yang tak terelakan. Bukan hanya ideologi, Indonesia juga bersentuhan dengan hal lain baik itu berupa agama, seni, budaya, bahasa, bahkan juga makanan yang bersifat transnasional. Lima agama yang diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha) juga Konghu Cu, semuanya berasal dari luar Indonesia. Termasuk pula gagasan-gagasan sistem politik seperti demokrasi, bahkan istilah republik juga berasal dari Barat.
Masuknya Islam ke Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari watak ‘transnasional’ Islam. Adalah Sultan Muhammad I dari kekhilafahan Utsmani yang pada tahun 808H/1404M pertama kali mengirim para ulama (kelak dikenal sebagai Walisongo) untuk berdakwah ke pulau Jawa seperti Maulana Malik Ibrahim (Turki), Maulana Ishaq (Samarqand) yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra (Mesir), Maulana Muhammad al-Maghrabi (Maroko) Maulana Malik Israil (Turki), Maulana Hasanuddin (Palestina),Maulana Aliyuddin (Palestina) dan Syekh Subakir dari Persia.
Keberadaan ormas-ormas Islam besar di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, juga tidak bisa dilepaskan dari persinggungan dengan dunia Islam internasional. Watak transnasional ini wajar saja mengingat Islam memang agama bagi seluruh manusia di dunia (rahmatan lil ‘alamin). Tokoh-tokoh pendiri ormas itu sebagian besar belajar di Timur Tengah dan menyebarkan pemikiran-pemikiran ulama dari Timur Tengah yang menjadi pusat Islam saat itu.
Penyakit Islamophobia dan Syariahphobia sepertinya telah membutakan mata hati dan sikap rasional kelompok liberal dan pengusungnya ini. Kenapa hanya Ideologi Islam dan kelompok Islam yang mereka anggap sebagai ancaman dari luar dan bersifat transnasionalisme. Sementera itu, ide-ide liberal dan sekuler seperti demokrasi , HAM, pluralisme, ide gender, yang mereka usung yang sesungguhnya merupakan ide import (dari Barat) dan juga berwatak transnasional, tidak dianggap ancaman.
Padahal ide liberal dan sekuler ini bukan hanya mengancam, tapi telah menjadi penyebab kehancuran Indonesia dan dunia Islam. Bukankah penerapan ekonomi yang neo liberal di Indonsia dengan progam pengurangan subsidi, privataisasi , investasi asing dan pasar bebas telah menyebabkan kemiskinan dan perampokan kekayaan alam Indonesia.
Atas nama HAM, kebebasan bertingkah laku mereka merusak moralitas menjerumuskan para pemuda dalam kemaksiatan. Dengan alasan HAM,mereka minta pornografi dan pornaaksi, pengakuan terhadap kelompok gay dan lesbian dilegalkan. Sementara perda yang mewajibkan busana muslimah dianggap melanggar HAM.
Atas nama HAM juga mereka meracuni aqidah umat Islam. Dengan dalih kebebasan beragama, kelompok liberal ini meminta agar Ahmadiyah jangan dilarang. Pelarang sholat dua bahasa yang jelas-jelas bid’ah, oleh kelompak liberal dianggap pelanggaran HAM. Tidak hanya itu ‘tafsir’ liberal yang mereka usung telah menghancurkan sendi-sendi Islam yang mendasar yang menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al Qur’an dan as Sunnah.
Kelompok liberal ini menganggap kelompok yang ingin menegakkan syariah Islam sebagai garis keras. Sementara AS dan sekutunya yang dengan alasan HAM dan penyebaran demokrasi, serta perang melarang terorisme membunuh jutaan umat Islam di Irak, Afghanistan, Somalia, Sudan, dan Palestina, tidak secara intensif mereka kritik . Bukankah dengan dalih HAM (kebebasan menentukan nasib sendiri) Timor Timur lepas, dan hal yang sama sedang mengancam Aceh dan Papua ? Jadi ideologi mana yang sebenarnya berbahaya bagi bangsa ini ?
Yang jelas kewajiban penegakan syariah Islam dan Khilafah adalah perintah Allah SWT. Tidak mungkin hukum yang berasal dari NYA akan mencelakakan manusia. Syariah Islam akan membebaskan Indonesia dari penjajahan ideologi negara imperialis dan mensejahterakan rakyat . Hal ini bukanlah perkara mimpi atau ilusi, tapi bisa dibuktikan secara normatif maupun secara historis-empiris.
Untuk membuktikan itu, cukuplah kita kutipkan surat Surat Raja Inggris Goerge II kepada Kholifah Hisyam III : Keunggulan pendidikan di masa Khilafah , membuat banyak pihak mempercayai keluarganya untuk dididik dalam sistem pendidikan Khilafah. Termasuk Raja di Eropa yang mengirim keluarganya untuk belajar di Daulah Khilafah, seperti yang tampak dalam surat dari George II, Raja Inggeris, Swedia dan Norwegia, kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia Spanyol. Kutipan surat tersebut antara lain : ” Setelah salam hormat dan takdzim, kami beritahukan kepada yang Mulia, bahwa kami telah mendengar tentang kemajuan yang luar biasa, dimana berbagai sekolah sains dan industri bisa menikmatinya di negeri yang Mulia, yang metropolit itu. Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.”
Syariah Islam akan menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat yang menjadi tanggung jawab negara. Berdasarkan syariah Islam pendidikan dan kesehatan wajib gratis. Syariah Islam juga melarang barang-barang yang merupakan pemilikan umum (al milkiyah al ‘amah) seperti emas, perak, minyak, batu bara diserahkan kepada swasta apalagi asing . Milik rakyat yang harus dikelola untuk kemaslahatan umat.
Syariah juga akan mencegah setiap intervensi asing yang mengancam disintegrasi umat dan negara. Sementara negara Islam Khilafah Islam adalah instutisi yang menerapkan syariah Islam dan menyatukan umat Islam sehingga menjadi negara adidaya global yang mensejahterakan manusia. Sekali lagi kita pantas bertanya, apa yang sebenarnya mengancam Indonesia : syariah Islam yang bersumber dari Allah SWT yang ar Rahman dan ar Rohim atau ideology liberal dari penjajah yang rakus ?
Tentang kepastian tegaknya kembali Khilafah tentu kita lebih percaya kepada hadist Rosulullah saw yang memberikan kabar gembira kepada kita : “Masa kenabian akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Kemudian akan ada (masa) Khilafah Rasyid (yang mendapat petunjuk) yang berjalan selaras dengan kenabian. Khilafah itu akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Setelah itu akan ada (masanya) banyak pemimpin, dan itu akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Setelah itu akan ada (masa) pemerintahan tirani, dan akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Kemudian, akan muncullah (masa) Khilafah Rasyid (kembali) yang berjalan selaras dengan kenabian.” Kemudian beliau (Rasulullah) terdiam.” (Musnad Imam Ahmad (v/273)).
Selengkapnya...