Pemilu Dan Perubahan Masyarakat
Oleh: M. Riyan Syababy
Pemilu 2004 telah usai. Pesta demokrasi yang menelan biaya sangat mahal itu telah selesai. Akankah perhelatan itu menghasilkan sebuah perubahan yang mendasar sebagaimana diimpikan sebagian masyarakat? Ataukah justru tidak ada perubahan signifikan yang dihasilkan karena Pemilu itu sendiri oleh pihak-pihak yang berkuasa memang tidak didesain bagi perubahan yang mendasar, dengan kata lain, sekadar tambal sulam? Tulisan ini berusaha menelusuri hakikat perubahan masyarakat dan bagaimana memposisikan Pemilu dalam konteks perubahan masyarakat yang mendasar.
Memahami Persoalan Masyarakat
Berbicara tentang transformasi (perubahan) masyarakat, paling tidak terdapat tiga perkara penting yang harus diamati: Pertama, bagaimana bentuk persoalan pada masyarakat tersebut. Kedua, bagaimana bentuk perubahan yang dikehendaki. Ketiga, bagaimana bentuk aksi yang dilakukan. Kita akan menganalisis proses transformasi yang dilakukan oleh Rasulullah dalam tiga perkara tersebut.
1. Bentuk Persoalan: sosial atau individual?
Merumuskan terlebih dulu bentuk problem dalam masyarakat itu sangat penting sebelum berbicara tentang perubahan masyarakat yang terencana (planned social change).
Kesalahan dalam menentukan
Kesalahan dalam menentukan problem ini tentu mempengaruhi cara untuk melakukan perubahan. Ini tentu akan berakibat pada kegagalan.
Bentuk problem di tengah-tengah masyarakat bisa dibedakan menjadi dua: (1) sosial (sistemik); (2) individual. Problem sosial (sistemik) tentu harus diatasi secara sistemik (menyeluruh), bukan secara individual. Untuk mengatasi problem sosial, kita perlu mengubah institusi sosial, sistem sosial, dan norma-norma sosial yang sebelumnya berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, kalau di tengah-tengah masyarakat terdapat beberapa orang miskin, kemungkinan problem yang dihadapi adalah personal; bisa jadi orang-orang tersebut lemah atau sakit sehingga tidak bisa bekerja, atau karena malas. Masalah seperti ini bisa dipecahkan secara personal; yang lemah diberi santunan rutin, yang malas dipaksa untuk bekerja. Akan tetapi, kalau yang miskin di tengah-tengah masyarakat tersebut menyeluruh (hampir sebagian besar) seperti kasus Indonesia, itu berarti merupakan problem sosial (sistemik). Karena itu, pemecahannya pun harus dipecahkan secara sosial (sistemik), bukan individual atau parsial. Caranya adalah dengan mengganti sistem kapitalisme yang menyebabkan kemiskinan masyarakat tersebut dengan sistem yang mengatasi kemiskinan.
Pada masa lalu, kita melihat bahwa problem masyarakat yang dihadapi Rasulullah saw. saat beliau diutus sebagai rasul di Makkah adalah bersifat sosial (sistemik). Kerusakan terjadi pada masyarakat Arab hampir di seluruh aspek kehidupan. Mereka memiliki keyakinan yang rendah seperti menyembah selain Allah. Pandangan hidup mereka dangkal dan sempit, hanya sebatas dunia. Mereka juga diikat oleh ikatan-ikatan yang rapuh dan busuk, seperti kesukuan atau ikatan kepentingan. Sangat sering terjadi perselisihan akibat persoalan kesukuan ini. Ukuran baik dan buruk adalah kemanfaatan yang memuaskan egoisme dan hawa nafsu. Tradisi-tradisi yang berkembang juga sangat tidak sesuai dengan fitrah manusia. Dengan alasan malu dan takut miskin mereka membunuh anak-anak perempuan mereka. Kemiskinan merajalela. Penindasan penguasa terhadap yang miskin dan lemah terjadi dimana-mana. Kemaksiatan juga berkembang dalam berbagai bentuknya. Penipuan dan kecurangan dalam perdagangan dan kriminalitas terjadi secara meluas. Ini berarti problem yang dihadapi Rasulullah adalah problem sosial.
2. Bentuk Perubahan: Parsial (Personal) Atau Menyeluruh?
Karena persoalan yang dihadapi oleh Rasulullah merupakan problem sosial (sistemik), maka sangatlah beralasan kalau perubahan yang dilakukan oleh Rosulullah juga adalah perubahan sosial yang mendasar dan menyeluruh, bukan perubahan individual dan parsial. Berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah, pandangan perubahan gradual (bertahap), mulai dari level individu, keluarga, masyarakat, dan kemudian negara tidak terbukti sama sekali.
Rasulullah mengawali perubahan masyarakat dengan mengubah keyakinan mendasar mereka (akidah). Akidah Islam ini kemudian menjadi dasar dari perubahan individu maupun masyarakat (spritual maupun politis). Rasulullah juga melakukan perubahan nilai-nilai dan hukum yang berlaku di masyarakat secara menyeluruh. Perkara penting lain yang dilakukan oleh Rasulullah adalah mengubah struktur pemerintahan pada waktu itu menjadi pemerintahan dan bentuk negara yang didasarkan pada Islam. Perubahan ini sangat penting karena negara dan pemerintahanlah yang menerapkan seluruh hukum dan menjaga nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat secara menyeluruh.
3. Bentuk Aksi: Reformasi Individual Atau Kolektif?
Perubahan yang menyeluruh tentunya menuntut aksi pemecahan yang juga menyeluruh, tidak bisa secara individual atau parsial. Melihat perubahan yang harus dilakukan oleh Rasulullah adalah perubahan yang menyeluruh, aksi yang dilakukan juga tentunya bukanlah aksi individual. Rasulullah tidak menunggu perubahan individu seluruh masyarakat terlebih dulu. Tidak ditemukan bukti sama sekali bahwa beliau melakukan perubahan dari satu individu ke individu yang lain sampai seluruh masyarakat Makkah pada waktu itu menjadi Muslim.
Metode Perubahan
Secara metodologis, cara mengubah masyarakat akan terkait dengan sasaran perubahan, apakah asas yang membangun masyarakatnya atau sekadar cabang dari sistem dari masyarakat itu; juga terkait dengan pola perubahan, apakah dari pola masyarakat khas yang satu menjadi masyarakat yang lain atau dari masyarakat tidak khas menjadi masyarakat khas. Ada dua metode perubahan yang dimungkinkan:
1. Perubahan yang diarahkan pada asas (taghyîr), yakni jika persoalannya menyangkut sistem.
2. Perubahan yang diarahkan pada cabang, bukan asas (reformasi, ishlâh), yakni jika persoalannya bersifat individual/parsial.
Kedua konteks ini penting diperhatikan jika masyarakat menginginkan adanya perubahan yang benar dan mendasar.
Kekeliruan Berpikir Tentang Perubahan
Dari uraian di atas, secara faktual dapat dikatakan bahwa ada dua metode yang hakiki dalam perubahan masyarakat: taghyîr dan ishlâh. Keduanya tidak harus dipertentangkan; masing-masing harus digunakan sesuai dengan konteksnya.
Setelah memahami metode, maka faktor mendesak lainnya dalam perubahan masyarakat adalah pentingnya berpikir secara benar dalam mengaplikasikan metode perubahan tersebut. Sering kesalahan berpikir (sering diistilahkan dengan intellectual cul-de-sac) terjadi, karena penerapan kedua metode tersebut tidak dipahami. Kesalahan berpikir dapat ditelusuri dari dua aspek:
1. Kesalahan dalam konsep (termasuk pilihan metode yang dipakai).
2. Kesalahan pengamatan terhadap fakta yang akan diubah.
Berikut ini adalah rincian dari kedua jenis kesalahan yang terjadi:
1. Kesalahan Konsep (Termasuk Pilihan Metode Perubahan).
Setidaknya ada dua hal yang sering dipahami secara keliru di masyarakat: Pertama, perubahan harus melalui urutan individu, keluarga, masyarakat. Menurut pendapat ini, perubahan masyarakat adalah melalui urutan individu, keluarga, masyarakat dan negara. Pendapat ini tidak menjelaskan secara jelas bagaimana proses ini berlangsung. Secara prinsip, pendapat ini keliru karena: (1) Terpengaruh oleh pemikiran kapitalisme dalam memandang masyarakat yang didefiniskan sebagai kumpulan individu; jika individu baik maka baiklah masyarakat. (2) Bertentangan dengan realitas perubahan masyarakat itu sendiri, yang tidak melalui urutan seperti itu, tetapi melalui dukungan kelompok terkuat di tengah masyarakat yang akan diubah. Contoh: perubahan masyarakat Islam di Madinah, Revolusi Bolshevik di Rusia, tumbangnya Komunisme di Uni Sovyet, atau Revolusi Prancis.
Kedua, peran keteladanan dan kesalihan individu. Konsep ini secara teoretis terkait dengan “The greatmen theory” dalam literatur ilmu sosial, yakni bahwa perubahan besar dipelopori pribadi-pribadi yang memiliki kelebihan tertentu (keteladanan dan kesalihan), tanpa menyinggung bagaimana peran dukungan masyarakat yang akan diubah. Memang, keteladanan tokoh adalah penting dalam perubahan. Akan tetapi, untuk perubahan yang mendasar, keteladanan dan kesalihan seorang tokoh saja tidak cukup, ia harus didukung kelompok terkuat dalam masyarakat; jika tidak maka aspek kesalihan dan keteladanan ini tidak akan mampu menciptakan perubahan masyarakat, terutama perubahan mendasar. Contohnya, Baharuddin Lopa (alm.) yang dianggap bersih, karena sistemnya korup maka kekuatan pengaruhnya terhadap perubahan sistemik (secara spesifik di kejaksaan dan pengadilan) menjadi tidak signifikan.
2. Kesalahan Pengamatan Terhadap Fakta.
Setidaknya ada dua jenis kesalahan karena salah mengamati fakta: Pertama, masyarakat saat ini sudah benar asasnya, hanya perlu diperbaiki. Pendapat ini didasarkan pada pengamatan yang tidak cermat terhadap realitas. Sebab, faktanya masyarakat di negeri-negeri Muslim hari ini, termasuk di Indonesia, tidak berdiri pada asas Islam, yang berarti harus diganti dengan asas Islam. Artinya, yang diperlukan sesungguhnya adalah perubahan yang bersifat mendasar (taghyîrî) mulai dari asas, bukan sekadar melakukan reformasi/perbaikan (ishlâh) pada aspek cabang. Dalam konteks ini, kini banyak orang yang menempatkan Pemilu 2004 ini sebagai sarana untuk melakukan perbaikan (reformasi) keadaan cabang dan parsial, karena asas negara ini dianggap sudah baik. Akibatnya, isu yang diangkat pun sifatnya parsial, misalnya pemberantasan KKN, tetapi keimanan dan kesejahteraan aparat pemerintah tidak dijamin; refomasi hukum nasional, padahal asas hukumnya bukan akidah dan syariat Islam; atau reformasi ekonomi padahal asasnya berpijak pada prinsip ribawi.
Kedua, masyarakat harus dihancurkan secara anarki (fisik). Pendapat ini didasarkan pengamatan, bahwa negara dan masyarakat ini sudah rusak, misalnya karena banyaknya tempat yang menjadi sarang dan pusat perjudian, korupsi, dan pelacuran. Tempat-tempat tersebut harus dihancurkan (dibom, misalnya) sehingga masyarakat akan sehat dan bersih dari segala penyimpangan tersebut. Padahal, perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan pemikiran, bukan aspek fisik. Artinya, bukan bangunan yang dirusak atau orangnya dibunuh, tetapi pemikiran para pelakunya yang harus diubah sehingga mereka akan terdorong meninggalkan praktik dan aturan yang rusak tersebut.
Memposisikan Metode Ishlâhî Dan Taghyîrî
Setelah kita mengenali kesalahan-kesalahan tersebut, lantas bagaimana kita melakukan perubahan yang seharusnya? Kapan kita menggunakan secara benar masing-masing metode tersebut? Dalam buku Ad-Da‘wah ilâ al-Islâm, Ahmad Mahmud menyatakan, Islam adalah agama yang paripurna; di dalamnya dijumpai cara islâh ketika faktanya memang membutuhkan islâh dan cara taghyîr ketika faktanya memang membutuhkan taghyîr.
Melihat fakta yang ada sekarang ini, apa yang dituntut syariat, apakah ishlâh atau taghyîr?
Harus dipahami, bahwa yang berhak menetapkan hukum atas fakta yang akan diubah hanyalah Allah SWT. Allahlah yang membuat hukum-hukum atas berbagai keadaan. Meskipun demikian, yang menentukan jenis perubahan adalah realitas yang akan diubah, apakah harus di-taghyîr atau di-ishlâh.
Taghyîr secara etimologis berarti mengubah atau mengganti sesuatu dengan sesuatu yang baru dan lebih baik (Lihat: Mu‘jam al-Wasîth, cet. 2, 2/668). Metode ini bisa dilakukan pada individu dan masyarakat. Taghyîr harus dimulai dengan mengubah asas yang membangun individu atau masyarakat. Asas yang menjadi landasan seorang Muslim atau masyarakat Islam adalah akidah Islam. Dalam konteks individu, orang kafir, asas keyakinannya bukan Islam. Karena itu, ia harus di-taghyîr dulu dengan mengubah terlebih dulu akidahnya menjadi Islam. Begitu juga dalam konteks masyarakat dan negara kufur, yang berarti asasnya bukan Islam. Artinya, jika asas suatu masyarakat dan negara bukan akidah Islam, yang tercermin dalam UUD, UU, maupun perundang-undangan lainnya maka yang dituntut adalah taghyîr, bukan ishlâh. Contohnya adalah fakta negara-negara kaum Muslim saat ini, yang harus di-taghyîr menjadi Daulah Islamiyah, karena peraturan-peraturannya tidak berasal dari syariat Islam (meskipun mereka mengatakan bahwa agama negara adalah agama Islam). Karena itu, jika terhadap negara-negara ini yang dilakukan adalah ishlâh maka secara tidak langsung eksistensi sistem kufur pada negara-negara itu diakui.
Sedangkan ishlâh secara etimologis berarti memperbaiki atau melakukan aktivitas dengan membawa sesuatu yang lebih baik (Mu‘jam al-Wasith, cet. 2, 1/520). Ishlâh adalah perbaikan yang menyangkut perkara cabang (furû‘), bukan asas. Asas yang telah ada dibiarkan, tidak diubah, artinya eksistensinya tetap diakui. Dalam konteks individu, misalnya, pada seorang Muslim yang melakukan maksiat, seperti mencuri, korupsi, dan sebagainya, maka yang harus dilakukan adalah mengembalikan kesadarannya sehingga kecenderungannya bisa diarahkan oleh pemikirannya, yaitu akidah Islam. Demikian pula dalam konteks masyarakat dan negara. Pada masyarakat/negara yang asasnya sudah Islam, atau sudah memenuhi syarat-syarat sebagai Daulah Islamiyah, tetapi di dalamnya dijumpai banyak kerusakan atau keburukan penerapan syariat Islam, maka yang harus dilakukan adalah ishlâh, bukan taghyîr. Kondisi ini mirip dengan keadaan Daulah Islamiyah pada masa-masa akhir Turki Utsmani. Daulah Islamiyah saat itu sebetulnya hanya membutuhkan ishlâh. Tapi desakan dari luar berupa peperangan-peperangan khususnya Perang Dunia I dan infiltrasi Barat kepada para pemuka Turki (Mustafa Kemal dkk) justru telah mengubah kondisinya secara mendasar dan Daulah Khilafah Islamiyah itu menjadi Republik Sekular Turki.
Memposisikan Pemilu Dan Parlemen Dalam Perubahan Masyarakat
Harus disadari, sebagai uslûb yang mubah, Pemilu bisa diadopsi oleh sistem apapun, termasuk sistem Islam (Daulah Khilafah Islamiyah), misalnya untuk pemilihan khalifah atau anggota majelis umat. Sekalipun masing-masing mempunyai rincian uslûb yang berbeda.
Meski demikian, diakui atau tidak, bila dalam sistem Islam maupun non-Islam, pemilu hanyalah uslûb untuk memilih orang atau partai yang akan menjalankan mandat yang diberikan oleh rakyat. Sementara perubahan itu sendiri belum tentu terjadi, kalaupun ada perubahan tentu saja desainnya adalah perubahan reformatif (ishlâh) untuk memperbaiki sistem tersebut. Dalam konteks Indonesia hari ini, misalnya, Pemilu didisain untuk tetap mengokohkan sistem sekular. Ini diindikasikan dengan kenyataan bahwa partai atau individu (anggota legislatif dan DPD) pemenang Pemilu tidak boleh mengotak-atik masalah falsafah negara dan UUD, yang menjadi asas negara; sebagaimana tercantum dalam UU pemilu dan UU parpol. Artinya, siapapun yang menang harus tetap ‘bermain’ dalam koridor falsafah dan UUD tersebut. Sekalipun dalam UUD 1945 sendiri dimungkinkan adanya perubahan UUD itu sendiri.
Artinya, pemilu baru-baru ini juga pemilu untuk presiden Juli nanti didesain untuk tetap melanggengkan sistem demokrasi sekular, sekalipun ada partai-partai Islam yang ikut jadi kontestan.
Melihat platform dan kampanye dari parpol peserta Pemilu 2004, tidak ada–kecuali sedikit–yang secara terang-terangan dan berani menyatakan penolakan terhadap sistem sekular yang eksis saat ini, serta komposisi perolehan suara yang didominasi oleh partai-partai sekular, maka tampaknya perubahan yang–kalaupun ada–terjadi sifatnya reformatif (ishlâhî). Malah menurut TA Legowo, seorang pengamat politik, perolehan parpol peserta Pemilu 2004, tidak mempengaruhi peta kekuatan politik pasca Pemilu 2004, apalagi aktor politik masih orang-orang dari kekuatan lama.
Walhasil, sebagai indikator perubahan, hasil pemilu 2004 belum menunjukkan indikasi perubahan, apalagi perubahan mendasar (taghyîr). Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [al-Wa'ie, no. 45 Tahun IV, 1-31 Mei 2004]
Daftar Referensi
1. Muhammad Husain Abdullah, Mafâhîm Islâmiyyah, Darul Bayariq, 1996.
2. Ahmad Athiyah, At-Thrîq, Darul Bayariq,
3. Mahmud Abdul Karim Hasan, At-Taghyî,
4. Taqyuddin an-Nabhani, At-Tafkîr, Al-Quds: 1973
5. Ahmad Mahmud, Ad-Da‘wah ilâ al-Islâm, Darul Ummah: 1995.
6. Ted Gurr. Why Men Rebel,
7. Crane Brinton, Anatomy of Revolution,
8. Ryszard Kapuscinski. Revolution. The
9. Charles Tilly, From Mobilization to Revolution. Addison Wasley, 1978.
10. Piotr Sztompka.The Sociology of Social Change.
11. Erich Fromm, The Sane Society (terj.) Yayasan Obor
12. Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial, Rosda Karya, 2000.
11. Joe Arthur Barker, Paradigms (terj.), Interaksara, 1999.
12. Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Muslim, Mizan, 1994.